Seorang alim yang bernama Qotadah suatu hari memasuki kota Kufah. lalu dengan penuh ke-PD-an beliau berkata ditengah-tengah masyarakat: "Bertanyalah kalian kepadaku tentang apa saja..! akan aku jawab semua". Semua diam, karena memang semua mengakui kealiman beliau. Tetapi tiba-tiba ada seorang anak kecil yang turut hadir di situ mengacungkan jari telunjuknya, dengan polos seraya bertanya:
"Apakah jenis
kelamin dari semut yang hampir saja terinjak oleh Raja Sulaiman? Apakah ia jantan atau betina?", Tanya si anak kecil.
Mendapat pertanyaan yang tak terduga-duga demikian,
Qotadah hanya bisa diam dan membisu, karena memang sulit sekali jawabannya.
Melihat Qotadah yang nampak kesulitan menjawab, anak tersebut segera pergi
karena tidak enak. Tetapi beberapa orang mengejarnya dan saat bertemu mereka
bertanya:
"Apa jenis kelamin semut tersebut wahai anak kecil?",
tanya orang yang mengejarnya.
"Jenis kelaminnya betina pak", jawab si anak kecil.
"Jenis kelaminnya betina pak", jawab si anak kecil.
"Kok kamu bisa tau dari mana", kejar si bapak.
"Dari al-Qur'an"
"Coba gimana ayatnya sebutkan"
"Allah berfirman:
قَالَتْ نَمْلَةٌ
Andaikan semut itu jantan, tentunya Allah akan berfirman: (قَالَ) tanpa ada huruf Ta' Mabsuthoh", jawab anak tersebut.
Mendengar jawaban yang cerdas itu, orang tua tadi bertanya:
"Siapa namamu nak?"
"Nu'man Bin Tsabit".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah sedang berkumpul dengan
santri-santrinya dalam satu majlis untuk melakukan kajian Fiqh. Saat sedang
seru-serunya membahas, tiba-tiba ada seorang wanita dengan wajah yang andaikan
bulan purnama tahu pun akan malu memperlihatkan cahayanya, karena saking
cantiknya. Tiba-tiba wanita tadi meletakkan sebutir buah apel yang berwarna
dua, setengah berwarna kuning dan separonya lagi berwarna merah. Semua murid
sang imam bingung, lalu sang imam mengambil apel
tadi dan membelahnya jadi dua, hingga tampak jelas bahwa isi apel tersebut
berwarna putih bersih. Setelah melihat apa yang dilakukan sang imam, wanita
tadi dengan tersipu malu, pergi tanpa mengucapkan kata apa-apa.
Nah, tambah bingung lagi para murid Imam Abu
Hanifah dan mereka saling berpandangan satu sama lainnya. Melihat kebingungan
diwajah murid-muridnya, sang imam pun berkata:
"Wanita tadi adalah seorang gadis yang
masih perawan, dia malu untuk bertanya secara langsung tentang masalah Haidh. Makanya,
dia melatakkan apel dengan dua warna tadi, yang artinya kalo darah yang keluar
darinya sebagian masih merah dan sebagian lagi sudah kuning, apakah berarti
sudah suci, tidak haidh lagi? Maka ketika aku belah apel tadi dan tampak jelas
warna putih dalam apel, dia faham bahwa bisa dikatakan suci kalau yang keluar
adalah cairan putih".
Ya beliau inilah yang kemudian hari di kenal
dengan sebutan Imam Abu Hanifah, seorang pendiri salah satu madzhab Fiqh dalam
lingkungan Sunni. Memang, rentetan panjang sejarang telah banyak melukiskan dan
manggambarkan kecerdasan serta
kecerdikan beliau ini. Sehingga tidak heran jika kemudian madzhab Hanafi
terkenal sebagai Ahlu-R-Ro’yi. Sementara ini, sebagian intelektual Islam
memahami bahwa maksud dari Ahlu-R-Ro’yi adalah madzhab yang lebih
mengedepankan rasionalitas dari pada tekstual, sebagaimana hal itu bisa kita
lihat misalnya dari penjelasan Syaikh Khudhori Bek dalam bukunya, Tarikh
Tasyri’. Sehingga yang muncul adalah kesan negativ yang menempel pada
madzhab Hanafi, seolah-olah mereka lebih mengedepankan rasional (Aql)
dari pada teks-teks agama (Naql). Namun yang perlu dicatat adalah apa
yang ditulis oleh salah satu ulama Hanafiyah Muta’akhirin, yakni Syaikh
Muhammad Zahid Al-Kautsari, yang memiliki pemaknaan lain atas istilah Ahlu-R-Ro’yi
yang disematkan kepada Imam Abu Hanifah dan para pengikut madzhab Hanafi secara
umum.
Menurut Syaikh Muhammad Zahid Al-Kautsari,
maksud dari istilah Ahlu-R-Ro’yi adalah sebuah pernyataan yang
mengukuhkan bahwa para Ulama Hanafiyah merupakan segolongan intelektual Islam
yang paling mampu dan berkompeten dalam melakukan ijtihad sebagai media guna
memahami ajaran Islam. Al-Kautsari mengatakan bahwa semua mujtahid memanfaatkan
dan menggunakan akal serta nalar (Ro’yu) mereka untuk memahami Al-Qur’an
maupun Al-Hadis. Yang membedakan antara satu dan yang lain adalah porsi yang
mereka berikan pada nalar serta akal mereka dalam memahami kedua pusakan Islam
tersebut, disamping tentunya adalah perbedaan kemampuan dan kecerdasan nalar
masing-masing dari para mujtahid, sehingga akhirnya hal itu pula yang
menyebabkan mereka berbeda-beda. Jadi semua menggunakan nalar dan akal (Ro’yu),
hanya Ulama Hanafiyah-lah yang paling berkompeten dalam memahami teks-teks
kedua pusaka islam tersebut di atas.
Tentunya, pemaknaan Al-Kautsari ini sangat
jauh berbeda sekali dengan interpretasi yang telah diberikan oleh kebanyakan
pakar Islam sementara ini. Dan memang, kesan fanatisme madzhab tercium sangat
kental sekali dari apa yang disampaikan oleh Al-Kautsari—dan memang Al-Kautsari
sendiri terkenal sangat fanatik terhadap Madzhab Hanafi dan tentunya Abu
Hanifah. Tetapi bagi saya pribadi, pemaknaan yang diberikan oleh Al-Kautsari
ini setidaknya bisa menjadi bantahan bagi sementara orang yang menganggap bahwa
dari Madzhab Hanafi inilah benih-benih “Liberalisme Islam” muncul. Padahal
kalau kita mengkaji kitab semisal Musykilu-L-Atsar karya At-Thohawi atau
Fiqhu-L-Akbar, Fiqhu-L-Absath serta Al-Washiat yang
ketiganya adalah karya Imam Abu Hanifah, niscaya kita akan menemukan kuatnya
ulama Hanafiyah dalam berpegang pada teks agama. Hanya saja, cara yang mereka
tempuh dalam mengimani dan berpegang pada teks agama tidaklah sama dengan cara
yang ditempuh oleh selain mereka. Mestinya perbedaan ini tidaklah lantas
menjadikan tuduhan yang macam-macam, atau bahkan sampai menghujat.
Walhasil, seorang Imam Abu Hanifah adalah
salah satu icon kegemilangan dan kejeniusan para intelektual Islam masa
lalu—bahkan beliau masih masuk dalam kurun Salaf, karena beliau wafat pada
sekitar tahun 150 H, tahun dimana Imam Syafi’i lahir—yang rasa-rasanya sulit
untuk kita temukan padanannya di era modern sekarang ini. Sangat layak sekali
jika kemudian kita mengenang apa yang menjadi kelebihan dan kehebatan beliau
dalam bidang ilmiah, walaupun tentunya kehebatan beliau dalam bidang yang lain
pun juga tidak bisa dikesampingkan. Semuanya adalah dengan harapan kita bisa
meneladani beliau, atau paling tidak bisa mengidolakan beliau. Terlebih lagi
sekarang ini, zaman dimana kebanyakan orang Islam kehilangan idola yang
sebenarnya. Bukankah menampilkan profil beliau ini merupakan satu jihad
tersendiri?
0 komentar