Wajahnya yang nampak sangar, menunjukkan ketegasan dan keteguhannya dalam memegang prinsip yang beliau yakini kebenarannya. Sorot matanya yang tajam mengisyaratkan pandangannya yang luas nun jauh ke depan menembus batas-batas ruang dan waktu. Dialah putra emas masanya, yang nampaknya zaman pun enggan untuk melahirkan lagi orang-orang semisalnya. Dialah Kiai Sholeh Bin Kiai Abdullah Mudzakkir Bin Kiai Ibrahim Suro, salah seorang ulama yang keilmuan dan keteladanannya mewarnai corak kehidupan masyarakat Desa Kalisari, Kec. Sayung, Kab. Demak, sampai sekarang ini.
Memang, kalau kita mau jujur, Mbah Sholeh—begitulah beliau akrab dipanggil oleh para pecintanya—merupakan sesosok ulama yang ‘kaku’ dan keras perihal hukum syariat. Keteguhannya bagaikan karang yang tak pernah lapuk sedikit pun, walaupun diterpa oleh gelombang ombak bertubi-tubi. Namun, beliau cukup pandai dalam membungkus ke-kaku-an dan ketegasannya ini dengan kasih sayang dan perhatiannya yang tak pernah jemu terhadap masyarakat serta para santri binaan beliau. Hal itu terbukti dari kecintaan para pengikutnya yang dengan begitu bangganya menyebut Mbah Sholeh sebagai maha guru mereka. Tidak hanya itu saja, mereka pun rela untuk tunduk dan patuh terhadap apapun intruksi yang telah diarahkan oleh sang guru ini. Ditambah lagi dengan masih kuatnya beberapa ajaran beliau yang masih mengakar di masyarakat desa Kalisari ini. Bahkan masih banyak kenangan tentang beliau masih menjadi legenda lintas generasi, yang masih hangat diceritakan oleh para ayah pada putra-putrinya, kakek pada cucu-cucunya dan seterunya, pasca kurang lebih 40 tahun dari kewafatan beliau.
Membicarakan Mbah Sholeh, tak ubahnya membicarakan laut—meminjam istilah yang pilih oleh salah satu santri beliau, yakni Bapak Sya’roni yang dengan bangga menyebut beliau sebagai lautan—yang tentunya sangat sulit untuk diketahui ujung pangkal dan tepinya. Bahkan, orang-orang yang sudah menyelam jauh di dalamnya pun akan kesulitan untuk melukiskan keindahannya. Begitu jugalah jikalau kita akan membicarakan sosok Kiai Sholeh ini. Namun, menurut saya pribadi, ada beberapa kisah dan cerita menarik yang harus diabadikan melalui sebuah karya tulis. Sehingga keberadaannya akan selalu terjaga dengan baik dan pada akhirnya bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya nanti, terutama lagi adalah keluarga beliau yang semakin lama nampak semakin kurang mengenal beliau dengan lebih dekat.
Ndingkik Burung Perkutut
Salah satu hal menarik dari sosok Mbah Sholeh ini adalah hobi beliau yang bagi saya termasuk unik, yakni ndingkik (mengintai) burung perkutut yang sarangnya berada disela-sela pepohonan. Dan seringnya hal ini beliau lakukan pada waktu malam hari dengan mengajak beberapa santri. Dan yang lebih unik lagi, Mbah Sholeh tidak hanya menangkap perkutut saja, tetapi beliau juga menyediakan asupan untuk burung-burung beliau itu dari hasil tanaman beliau sendiri. Karenanya tidak heran, sebagaimana dikisahkan oleh Bapak Hanif dan Bapak Rofi’ yang keduanya merupakan cucu dari adik kandung beliau sendiri, jikalau dulu di depan rumah beliau banyak tanaman juwawut, yang tak lain adalah untuk makanan burung-burung perkutut piaraan beliau. Dan yang perlu dicatat juga, beliau tidak pernah menjual burung perkutut piaraannya. Kalau seekor perkutut dirasa sudah terlalu lama berada dalam naungan beliau, atau kelihatan ada orang yang lain yang menyukainya, maka bergegas beliau akan memberikan perkutut itu pada orang lain tersebut.
Sebagian orang mungkin melihat interaksi antara Mbah Sholeh dan burung perkutut peliharaannya tersebut sebagai sekedar hobi belaka, tidak lebih. Akan tetapi saya pribadi melihat bahwa sebenarnya interaksi tersebut telah menimbulkan dampak psikologis yang kuat dalam jiwa beliau. Hal ini tak ubahnya dengan interaksi yang pernah dialami oleh baginda Nabi Muhammad saat beliau menjadi penggembala bagi kambing-kambing sebagian penduduk Makkah, sebelum akhirnya beliau diangkat menjadi seorang Nabi. Ya, karena memang pola interaksi yang demikian ini pada dasarnya hanyalah sebagai prasarana dalam membentuk jiwa pemimpin dalam diri seseorang, disamping juga kepekaan terhadap lingkungan, kasih sayang, perhatian dan tentunya juga kesabaran dalam perjuangan nantinya.
Salah satu kegemaran Mbah Sholeh lainnya adalah njagong atau sekedar kongkow-kongkow bersama dengan para pecinta dan santri-santrinya. Bahkan banyak riwayat yang sampai kepada saya menuturkan bahwa Mbah Sholeh sering begadang malam hanya untuk jagongan saja. Kalau tidak jagongan ya ndingking burung perkutut sebagaimana telah saya tuturkan di muka. Dan kalaupun beliau sendirian, maka beliau akan berusaha untuk membangkitkan jiwa seninya dengan mendengarkan alunan nyanyian aktris kuno Mesir kenamaan, Ummi Kultsum.
Dalam satu cerita tutur rakyat Kalisari, disebutkan bahwa hampir setiap sore Mbah Sholeh selalu bersepeda dengan santainya untuk mengunjungi beberapa santri dan rakyatnya diberbagai pelosok desa Kalisari ini. Lalu dengan asyik beliau ngobrol ngalor ngidul bersama mereka, membahas berbagai tema yang menarik/mendengar berbagai macam keluhan rakyat maupun santri perihal problematika kehidupan yang sedang mereka hadapi. Melalui media jagongan ini pula, Mbah Sholeh dengan sangat elegan dan mudah telah mampu menyampaikan pesan dakwah Islam, disamping juga beliau bisa mengetahui secara langsung apa problem yang sedang menimpa masyarakat. Dan melalui media ini pulalah, Mbah Sholeh bisa mengetahui bagaimana aspirasi rakyat dan apa saja aspirasi mereka yang belum terpenuhi.
Ini semua membuktikan bahwa beliau bukanlah sesosok Kiai yang manditho, dalam arti hanya sekedar duduk pada singgasana kesucian yang tinggi nun jauh di atas sana, sehingga sangat sulit bagi rakyat jelata dan masyarakat awam—apalagi para pendurhaka—untuk sekedar mereguk kesegaran ilmu dan hikmah beliau. Tidak. Beliau adalah sosok Kiai yang populis dan merakyat. Kalau bapak Presiden Jokowi sekarang ini mengenalkan tradisi blusukan, maka sebenarnya jauh-jauh hari para ulama dan kiai kita, di antaranya adalah Mbah Sholeh, sudah mengenalkannya terlebih dahulu. Bedanya mereka tidak diliput oleh media yang selalu menguntit di belakang.
Perhatian Pada Umat Dan Santri
Berbekal dari ketajaman insting, kepekaan sosial, keteguhan sikap dan welas asih yang besar, Mbah Sholeh ngemong masyarakat dan santrinya menuju ke dalam sebuah pola kehidupan yang sesuai dengan bingkai ajaran Islam yang indah. Mbah Sholeh memperhatikan hampir semua aspek dan sisi kehidupan santrinya. Pernah suatu hari, ada seorang santri—seingat saya bernama bapak Akhyar—yang punya keinginan untuk mondok ke luar kota seperti umumnya anak-anak pada zaman itu. Namun saat sowan kepada Mbah Sholeh, beliau malah melarang si anak untuk berangkat mondok seperti teman-temannya. Dan yang lebih mencengangkan lagi, Mbah Sholeh menyuruh si anak tersebut untuk bekerja dan cukup ngaji kepada beliau saja. Selidik punya selidik, ternyata larangan Mbah Sholeh ini dikarenakan kedua orang tua si anak adalah keluarga yang kurang mampu, sehingga kalau si anak tetap memaksa mondok, maka pasti akan memberatkan beban orang tuanya.
Tidak hanya itu saja, bahkan jikalau ada salah seorang santri beliau yang tidak kelihatan tidur di masjid, maka beliau tidak segan-segan untuk mencarinya sendiri, sebagaimana hal itu pernah dialami oleh bapak Sya’roni, salah seorang santri beliau. Pernah dalam satu kesempatan, santri Sya’roni tidak tidur di masjid karena disuruh membantu oleh ibunya di rumah. Mau kembali ke masjid, waktu sudah beranjak mendekati tengah malam, sedang pekerjaannya dirumah tak kunjung selesai juga. Akhirnya santri Sya’roni tidur di Musholla kampung. Belum satu lelapan pun menghinggapi kedua matanya yang sudah sayu, terdengar dari luar suara keras yang memanggil-manggil namanya:
“Sya’...Sya’roni...Sya’...Sya’roni”
“Geh...Geh Yai...wonten napa Yai? ”, Sya’roni menjawab dengan tergesa-gesa, dan ternyata itu suara Mbah Sholeh.
“Gak kethok neng pondok Sya’? ”
“Geh, wau mpun kedhalon ajeng wangsul pondok Yai ”
“Oh yo wes, ayo kene mbonceng aku ”
Maka, pada malam itu juga, dengan santainya Mbah Sholeh memboncengkan santri Sya’roni dengan sepeda merk Relly kesayangan beliau.
Perhatian yang Mbah Sholeh berikan kepada santri tidaklah hanya seputar problematika kehidupan, tapi juga masalah yang berhubungan dengan ajaran Islam dan prakteknya. Salah satu hal yang menarik dalam hal ini adalah perhatian beliau pada santri-santri kecil yang baru saja di Khitan (jw-Sunat). Tanpa rasa canggung, Mbah Sholeh memeriksa sendiri khitan yang dilakukan oleh para santri, apakah khitan tersebut sudah benar atau belum. Kalau ada seorang santri yang khitannya belum benar/masih kurang pas, maka Mbah Sholeh akan menyuruh santri tersebut mengulangi lagi khitannya untuk kedua kali. Dan ini tidak beliau lakukan satu kali atau dua kali saja, akan tetapi berkali-kali.
Tidak hanya berhenti dalam masalah Khitan saja, beliau pun memperhatikan sendiri tingkah polah santri-santrinya saat mereka tidak sedang mengaji. Semisal saat mereka sudah kembali ke gothakan masing-masing. Pernah dalam satu malam, di desa Kalisari terdapat hiburan berupa pementasan wayang yang pada waktu itu bisa dikatakan merupakan salah satu seni dan hiburan yang sangat digemari oleh rakyat. Tentunya, para santri dilarang untuk mengunjungi pementasan wayang tersebut, entah alasan apa pastinya, tetapi saya sendiri menduga bahwa alasan utamanya adalah karena mengganggu belajar mereka. Namun, ada sebagian santri yang nampaknya masih ogah untuk mengikuti aturan tersebut. Dan mereka pun tetap saja berangkat untuk mengunjungi pentas seni rakyat tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi, kiranya tidak di ketahui oleh Mbah Sholeh.
Tak mau kalah dengan santri-santri yang bandhel itu, Mbah Sholeh yang sudah mengetahui rencana itu sebelumnya melakukan pengintaian sendiri. Ya, itu beliau lakukan sendiri, bukan menyuruh orang lain untuk melakukannya. Pengintaian tersebut beliau lakukan dengan memanjat pohon di pinggir jalan menuju ke arah masjid. Hal itu beliau lakukan untuk mengetahui siapa saja santri yang mendatangi pentas wayang tersebut. Memang sekilas lalu, hal tersebut terkesan aneh, terlalu dan berlebihan bagi seorang Kiai. Akan tetapi bagi saya pribadi, apa yang telah dilakukan oleh Mbah Sholeh merupakan hal yang sangat luar biasa. Bagaimana tidak? Dalam dunia ke-Kiai-an terdapat kesan tidak elok dan kurang pantas jikalau mereka itu terjun langsung untuk mengurusi para santri. Bahkan pondok yang bisa dibilang kecil pun, rata-rata yang mengurusi santri dengan lebih intensif malahan para pengurusnya, bukan Kiai-nya langsung. Sedang Mbah Sholeh ternyata lain, beliau terjun sendiri guna mengurusi para santri, dengan tanpa rasa canggung maupun gengsi. Tentunya apa yang dilakukan mbah sholeh ini membuahkan hasil yang sangat luar biasa, karena anda bisa membayangkan bagaimana senangnya seorang santri jikalau guru dan kiai-nya itu memperhatikan secara langsung apa saja yang menjadi keluhan dan kebutuhan mereka. Dan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat Kalisari hingga sekarang.
Bentuk perhatian lain dari seorang Mbah Sholeh kepada masyarakat adalah kebiasaan beliau setiap menjelang Idul Fitri tiba. Ya, Mbah Sholeh dulu—sebagaimana diceritakan oleh Bude Na’amah—selalu menyuruh para santri-santri beliau untuk membagi-bagikan beras maupun sedikit uang belanja kepada janda-janda yang ada di desa Kalisari setiap menjelang Idul Fitri. Sungguh hal yang sangat luar biasa akhlak beliau ini. Kedermawanan yang saat ini mungkin sangat sulit untuk dicari padanannya. Jadi saya sendiri akhirnya tidak heran, jikalau masyarakat dan santri-santrinya merasa sangat diperhatikan oleh beliau ini. Memang beginilah sosok pemimpin sejati.
Perhatian Kepada Keluarga
Salah satu hal yang sangat membekas dalam diri setiap orang yang pernah berjumpa dengan Mbah Sholeh adalah perhatian yang beliau berikan kepada siapa saja. Sehingga setiap orang yang saya wawancarai itu menganggap masing-masing dari mereka adalah orang yang paling diperhatikan oleh Mbah Sholeh. Terlebih lagi keluarga beliau yang sangat banyak—karena ayahanda beliau, Al-Marhum Kiai Abdullah Mudzakir, mempunyai empat orang istri dan putra-putri yang sangat banyak sekali—pun ikut merasakan perhatian yang sangat luar biasa.
Dulu, Mbah Abdurrosyid dan Mbah Muslimah—kakek dan nenek saya yang tak lain adalah keponakan beliau, karena Mbah Muslimah adalah putri semata wayang dari Mbah Aminah yang tak lain adalah adik kandung Mbah Sholeh—pernah beberapa waktu tinggal di desa Jali, Kec. Bonang. Tetapi selang beberapa waktu tinggal disana, beliau berdua merasa tidak betah untuk tinggal lebih lama lagi disana, karena satu dua alasan yang tidak bisa saya sebutkan dalam tulisan sederhana ini, sebab menyangkut problematika pribadi seseorang yang telah ditokohkan oleh masyarakat desa tersebut.
Akhirnya mereka berkeinginan kuat untuk hijrah ke desa Kalisari, kec. Sayung yang tak lain merupakan desa asli tempat tinggal Mbah Muslimah. Nah, mengetahui hal itu, Mbah Sholeh melarang Mbah Dur (panggilan akrab Mbah Abdurrosyid) dan istrinya Mbah Muslimah untuk pindah ke desa Kalisari. Larangan tersebut bukan lantaran Mbah Sholeh tidak senang dengan kehadiran Mbah Dur, tetapi lebih karena Mbah Dur masih memiliki tanggungan seorang ibu yang sudah tua renta dan tidak ada yang mengurusnya lagi, yakni Mbah Radisah. Mbah Sholeh menyuruh keponakannya itu untuk Birrul Walidain dengan mengurus ibundanya yang sudah sepuh itu, dan mengesampingkan kebutuhan pribadi, walaupun sebenarnya itu pun sangat mendesak sekali. Setelah Mbah Radisah wafat, dengan sendirinya, Mbah Sholeh memerintahkan Mbah Dur untuk hijrah ke Kalisari dan menjual semua aset tanah yang dimiliki oleh keponakannya tersebut, untuk kemudian hasil penjualan itu dibelikan tanah lagi di desa Kalisari.
Saat perjalanan hijrah yang memakan waktu tidak sebentar itu, salah satu putra Mbah Dur yang bernama Rofi’ sakit keras. Setelah diobati ke sana kemari, ternyata Rofi’ ini tak kunjung sehat juga, bahkan ada kesan penyakitnya bertambah sampai-sampai—menurut cerita Ibu Na’amah, kakak tertua bapak Rofi’—Rofi’ dikhawatirkan akan meninggal. Mengetahui kesusahan yang menimpa salah satu cucunya itu, Mbah Sholeh tanggap dan serta merta langsung bertindak tanpa menunggu sowanan terlebih dahulu. Dengan lugasnya Mbah Sholeh melakukan Suwuk terhadap Rofi’ kecil ini. Setelah di Suwuk oleh Mbah Sholeh, akhirnya Rofi’ kecil ini berangsur-angsur sehat dan sampai sekarang alhamdulillah masih diberi kesehatan oleh Allah, karena beliau tak lain adalah ayahanda penulis sendiri.
Pernah dalam satu waktu, Ibu Na’amah putri Mbah Dur yang tertua, melahirkan putra pertamanya di desa Kalisari. Tentunya hal ini merupakan kabar yang sangat menggembirakan bagi keluarga Mbah Dur, karena yang lahir ini merupakan cucu pertama, ditambah lagi adalah seorang bayi laki-laki yang kelak diharapkan bisa menjadi orang yang bermanfaat. Pada waktu pagi buta, setelah sholat Subuh, Mbah Sholeh sudah berada di kediaman Mbah Dur untuk menjenguk Ibu Na’amah yang baru saja melahirkan, dengan membawa beberapa barang bawaan yang berhubungan dengan bayi dan ibunya. Dengan santai dan penuh keakraban Mbah Sholeh menanyakan kesehatan bayi serta ibundanya. Dan dengan penuh perhatian, Mbah Sholeh berkata kepada Ibu Na’amah:
“Nduk, sok anakmu iki jenengano Luthfil Hakim yo. In sya Allah bakale dadi wong seng mulyo”
Saya melihat, Ibu Na’amah menceritakan peristiwa ini dengan penuh suka cita dan wajah yang berbinar-binar sangat bahagia. Sebagai seorang tokoh yang sangat disegani, dihormati dan bahkan menjadi panutan masyarakatnya, ternyata Mbah Sholeh sangat perhatian sekali dengan saudara-saudaranya. Dan perhatian itu tidak hanya sekedar memberikan support ataupun motivasi belaka, tetapi beliau bertindak secara langsung. Dan yang lebih unik lagi, perhatian beliau tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang kelihatannya nampak besar, tetapi hal-hal yang dianggap sepele oleh sebagian orang, maka oleh Mbah Sholeh hal tersebut diperhatikan juga.
Dalam satu waktu, Mbah Murni—ibunda Mbah Sholeh yang tak lain adalah istri tertua dan pertama dari Mbah Mudzakir—sakit keras. Akhirnya Mbah Sholeh menyuruh Mbah Muslimah yang merupakan cucu dari Mbah Murni untuk datang dengan membawa makanan kesukaan ibundanya itu, yakni iwel-iwel. Baru setelah Mbah Muslimah datang dengan membawa iwel-iwel inilah, beberapa hari kemudian Mbah Murni wafat dalam kondisi tenang. Inilah bentuk perhatian Mbah Sholeh yang sangat besar terhadap ibundanya. Beliau mengetahui bahwa cucu kesayangan Mbah Murni adalah Mbah Muslimah, karena dari kecil sudah ditinggal wafat oleh ayah ibunya dan akhirnya ikut sang nenek, yakni Mbah Murni. Tentunya Mbah Murni sangat ingin sekali bertemu dengan cucu kesayangannya itu sebelum akhirnya beliau meninggal dunia dengan tenang.
Sosok Yang Teguh Memegang Prinsip
Pada awal pembicaraan tentang Mbah Sholeh tadi, telah saya sebutkan bahwa beliau adalah orang yang teguh nan kokoh dalam memegang prinsip. Sesuatu yang menurut beliau benar secara syariat, maka hal tersebut akan beliau pertahankan dengan sungguh-sungguh. Keteguhan serta ketegasan beliau ini sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat Kalisari, sampai-sampai kisah keteguhan itu menjadi cerita yang berpindah-pindah dari satu mulut rakyat, ke mulut yang lain sampai sekarang.
Tetangga saya, Lek Haris, bercerita bahwa beliau mempunyai seorang saudara yang bernama Pak Thoifur Prampelan (hal ini karena memang Lek Haris aslinya berasal dari desa Prampelan). Dulu Pak Thoifur ini pernah mondok ke berbagai macam pondok pesantren yang berada di daerah Demak ini, yang diantaranya adalah mondok di daerah Mranggen yang pada waktu itu memang sangat masyhur menjadi pusat keilmuan. Setalah Pak Thoifur mondok ke berbagai macam pesantren, ayahnya menyuruh beliau untuk mondok di Pesantren Salafiyah yang di asuh oleh Mbah Sholeh.
Pak Thoifur ini oleh Mbah Sholeh sering disuruh memijit beliau setelah selesai mengaji. Dan di sela-sela pijitan itulah, kemudian Mbah Sholeh mengeluarkan petuah-petuah kehidupan kepada Pak Thoifur. Pernah suatu hari, Mbah Sholeh melihat resepsi pernikahan salah seorang warga. Acara resepsi tersebut sangat mewah sekali, dan yang paling nampak adalah mempelai perempuan yang dipertontonkan di depan orang dengan begitu menor dan berlebihan. Nah, lalu Mbah Sholeh berkata kepada Pak Thoifur:
“Fur, sok kowe nek nikahan yo ojo koyok ngono kui yo”
“Nggeh Yai. La trus sak niki nek ningali tiyang seng mantenan pripun carane Yai” , tanya Pak Thoifur selanjutnya.
“Yo nganggo koco moto” , jawab Mbah Sholeh.
Memang, sampai sekarang saya sendiri juga belum mengetahui secara pasti, apa sebenarnya yang melatarbelakangi larangan Mbah Sholeh yang disampaikan kepada pak thoifur tersebut. Dan saya juga kurang tahu secara pasti, bagaimana bentuk serta model resepsi pernikahan yang terjadi dalam kisah di atas. Namun saya mempunyai dugaan kuat, bahwa resepsi pernikahan yang dilarang oleh Mbah Sholeh adalah yang mengandung unsur kemaksiatan di dalamnya. Sebagaimana hal tersebut banyak dijelaskan dalam buku-buku Fiqh, tepatnya dalam bab walimah. Bahkan dalam buku Al-Majmu’ah Al-Kafiyah, karya Kiai Sholeh Ndarat—guru dari Kiai Mudzakir, yang tak lain ayahanda dari Mbah Sholeh—terdapat penjelasan bahwa sebuah walimah yang pelaksanaannya dengan berhutang-hutang/mengada-adakan sesuatu yang tidak ada, maka hukum pelaksanaan walimah tersebut hukumnya haram, dan mendatangi walimah dengan model tersebut pun hukumnya juga haram. Mungkinkah Mbah Sholeh terpengaruh oleh pendapat Kiai Sholeh Ndarat ini? Bisa saja, tapi pastinya ya Wallahu A’lam.
Salah satu bukti keteguhan beliau dalam berpegang pada hukum adalah larangan penggunaan alat spiker yang beliau berlakukan bagi semua santri dan pengikut beliau. Memang tidak jelas, apa hukum penggunaan spiker dan alasan sebenarnya yang mendasari larangan beliau ini. Apakah beliau mengharamkan penggunaan alat spiker ini? Kalau memang iya, lalu apa alasan yang mendasari keharamannya ini?
Kalau kita merunut cerita yang dituturkan Lek Haris dari Pak Thoifur, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa memang Mbah Sholeh mengharamkan penggunaan spiker. Dan alasan yang diceritakan pun adalah karena penggunaan spiker itu bisa menimbulkan sikap pamer dan riya’ kepada tetangga-tetangga sekitar, sebagaimana hal ini dituturkan oleh Lek Haris dari Pak Thoifur. Dari sini, nampaknya Mbah Sholeh sudah terpengaruh oleh karakteristik Fiqh yang dipadukan dengan nilai-nilai Sufi. Sebagaimana hal itu dulu pun pernah terjadi dalam dunia Islam. Tepatnya saat terjadi ketegangan antara pembela Fiqh An Sich dan penganut ajaran Sufi. Ketegangan antara keduanya sangatlah keras sekali, hingga akhirnya datanglah Al-Ghozali yang mempunyai gagasan baru dengan mengkompromikan kedua aliran dalam dunia pemikiran Islam tersebut. Karenanya tidak aneh, jikalau dalam salah satu fatwanya, Al-Ghozali menyatakan bahwa ke-khusyu’-an seseorang merupakan salah satu syarat sah-nya sholat. Sehingga orang yang tidak khusyu’ dalam sholatnya, maka sholat itu tidak sah. Ya, khusyu’ yang semestinya masuk dalam ranah sufistik, tetapi oleh Al-Ghozali ditarik pada ranah Fiqhiyyah.
Mbah Sholeh Wafat
Pagi itu, seperti biasanya, di depan rumah Mbah Sholeh telah terdapat beberapa karung goni yang terbentang guna untuk menjemur gabah yang telah di panen beberapa hari yang lalu. Biasanya, yang menata dan mengulak-alik gabah tersebut adalah Mbah Muslimah, tetapi nampaknya pagi itu beliau tidak datang. Entah tidak tahu, apa penyebab ketidak datangan beliau Mbah Muslimah. Akhirnya Mbah Sholeh sendiri yang mengulak-alik gabah tersebut dengan kaki beliau. Kalau-kalau ada ayam yang mendekat, maka beliau mengusirnya, agar ayam tersebut tidak notholi gabah yang telah tertata dengan rapi dan baik.
Tiba-tiba telinga beliau mendengar air yang berkecipakan di sumur Masjid. Nampaknya ada orang yang sedang mandi di sana. Dengan lantang beliau memanggil-manggil orang tersebut:
“Sopo kui neng sumur?”
“Kulo Mbah”
“Sopo?”
“Na’amah kaleh Naezah Mbah”
“Zah...Zah...mreneo Nduk”
Tiba-tiba Unaezah kecil—memang pada waktu itu Lek Unaezah masih kecil, bahkan mungkin belum sekolah—mendatangi Mbah Sholeh sambil menutupi sebagian tubuh mungilnya dengan kain tapeh.
“Zah....Makmu undango, kon nggusahi pitik. Wetengku loro”
“Nggeh Mbah”
Ya, memang Mbah Sholeh memiliki penyakit Magh yang akut. Dan peristiwa di pagi itu bisa dikatakan merupakan pertemuan terakhir beliau dengan keluarga, santri-santri serta masyarakat. Karena setelah itu beberapa hari kemudian, Mbah Sholeh wafat karena penyakit Magh yang kronis tersebut. Padahal 1 tahun sebelum beliau meninggal, Mbah Sholeh sudah mendaftar Haji. Haul beliu sampai sekarang masih diperingati oleh masyarakat Kalisari dan sekitarnya, tepatnya pada tanggal 2 Jumada-L-Akhirah.
“Allahummaghfir Lahu War Hamhu Wa ‘Afihi Wa’fu ‘Anhu. Wa Akrim Nuzulahu Wa Wassi’ Madkholahu Waj’alil Jannata Matswahu Bi Rohmatika Ya Arhamar Rohimin”.
0 komentar