Malam itu, suasana kota Sarang sudah nampak lengang dan sepi, tidak seperti
biasanya yang diramaikan oleh suara diskusi ataupun lalaran Muhafadzoh
kang-kang Santri seperti biasanya. Dan memang wajar sepi, sebab malam itu adalah
malam pertama liburan Mulud atau liburan tengah tahun yang sudah menjadi
kebiasaan di Pondok-pondok pada Umumnya. Tapi aku pribadi nampaknya tidak ingin
langsung pulang, tapi pengen maen ke rumah temen di Ndawe, Kudus. Tepatnya di
rumah neneknya Shobiburrohman Nawawi.
Karena aku mondok di al-Anwar, sedang Shobib di MUS, akhirnya aku pun
beranjak menjemput dia di MUS, nanti kita akan naik bis bersama dari gerbang
pondok. Memasuki pelataran pondok MUS, hanya suasana lengang dan sepi yang aku
temukan. Di tambah lagi gelap banget, ya maklum lah, sudah jam 10 malam.
Apa lagi saat itu waktu liburan, jadi benar-benar gelap. Aku berjalan menyusuri
setiap inci halaman pondok MUS, tapi sayang, aku tidak tahu di mana kamar kang
Shobib. Akhirnya aku mencari-cari kang santri, siapa tahu ada yang masih
tersisa di pondok. Alhamdulillah, di pojok Musholla pondok, nampak sosok dengan
kaos oblong, peci putih dan terlihat nyala rokok yang sesekali memerah. Aku pun
mendekati sosok tersebut:
"Kang, kamare Kang Shobib pundhi nggih?", tanyaku pada
sosok dalam temaram gelap tersebut.
"Oh, Shobib Sumatra? Al-Hambran atas. Goleki ae", jawab
beliau dengan singkat.
"Suwun",
Aku pun nglonyor sambil menenteng sendal jepit lusuhku menuju ke kamar al-Hambran
atas. Dan akhirnya ketemu dengan kang Shobib. Turun bareng-bareng menuju jalan,
dan kembali berpapasan dengan sosok dalam temaram gelap tersebut. Tapi kali ini
aneh, kang Shobib menghampiri sosok tersebut, merunduk ta'dhim dan mencium
tangan beliau. Hatiku mulai bertanya-tanya tentang sosok tersebut. Setelah
Shobib menemuiku, aku pun bertanya:
"Kang, kui mau sopo tho?"
"Lhoh, gak ruh tah sampean, niku wau Mbah Said", jawab
Shobib sambil cengengesan.
Deg, hatiku pun kalut, aku berbalik dan mendatangi sosok misterius tadi,
aku salim dengan beliau, aku cium tangan beliau yang ternyata adalah KH. Said
Abdurrahim. Ya, begitulah aku pertama kali mengenal dan secara langsung melihat
pasuryan mulia beliau.
Beliau adalah sosok dengan tubuh yang tegap, gagah dan pandangan mata yang
tajam menunjukkan kedisiplinan dan kesungguhan beliau dalam segala hal. Sosok
"Faqih" yang lebih memilih banyak diam, akan tetapi berbicara
melalui karya-karya ilmiah yang lahir dari tangan dingin beliau. Sebut saja
kitab "Hilyatut Thullab fi Syarhi Mathlab", "Kifayatul
Ashab fi Syarhi Nadzmi Asybah Wan Nadzoir", "I'lamul
Munadzimin", "Kasyaf Isthilahatil Fuqoha'" dan masih
banyak yang lain.
Berbicara tentang kepakaran beliau dalam "Fiqh", bisa
dilihat saat dulu kami belajar kitab Qowaid "Asybah Nadzoir"
di MGS. Beliau kalau mengajar itu yang membacakan adalah santri, dan seingatku
yang membaca waktu itu adalah Gus Ahmad Syarifuddin Hidayatulloh Misbah (Gus Dayat). Seperti biasa, setelah masuk ruang
auditorium, beliau menyuruh santri untuk membaca, beliau mendengarkan sementara
kami sibuk memberikan absahan makna. Tetiba beliau keluar ruangan, dan
bacaan pun terus berjalan. Satu lempir terlewati, dua, tiga, empat dan
seterusnya, hingga berlempir-lempir halaman terlewati. Tapi Yai Said belum juga
datang kembali. Sebagian santri sudah mulai ramai, yah begitulah kang santri
kalau ditinggal Kiai keluar sebentar saja sudah ramai. Saat sedang
ramai-ramainya, tetiba Yai Said masuk. Tanpa Ba Bi Bu, beliau nampak
mendengarkan sedikit bacaan Gus Dayat, akhirnya halaman perhalaman kitab "Asybah"
sudah beliau buka. Dan tetiba beliau ngethok-ngethok meja:
"Heem...hem",
Deheman beliau ini menunjukkan ada yang salah pada bacaan Gus Dayat, yang
akhirnya diulang bacaan yang salah tadi. Adegan tersebut tadi adalah
pemandangan yang luar biasa bagi santri-santri seperti kami. Yang mana
menunjukkan penguasaan yang luar biasa dari Kiai Said terhadap kitab "Asybah".
Dan perlu di catat, kitab "Asybah" yang beliau bawa adalah
fotocopyan dari "Asybah" almarhum Kiai Sahal Mahfudz yang
sudah ada Ta'liqot (catatan kaki) beliau saat dahulu ngaji pada Kiai
Zubair Dahlan, ayahanda Kiai Maemoen.
Kiai Said bukanlah hanya sosok Kiai yang "Faqih", tapi
juga sosok yang selalu mengikuti perkembngan zaman, untuk kemudian merespon
dengan melahirkan karya ilmiah. Dulu kala saat sedang ramai-ramainya media
memberitakan perceraian Ahmad Dani dan Maiya, lalu berlanjut pada saling
berebut hak asuh anak, Kiai Said pun juga merespon isu tersebut dengan menulis
sebuah kitab dengan judul "Tsamrotul Fuad Fi Hadhonatil Awlaad".
Saat rame isu larangan memilih presiden Wanita—yang pada waktu itu adalah Ibu
Megawati berpasangan dengan al-marhum KH. Hasyim Muzadi—maka beliau menulis
buku dengan judul "al-Intikhob al-'Aam".
Sikap beliau yang selalu merespon kondisi aktual bangsa ini tidaklah
mengherankan, sebab beliau selalu mengikuti perkembangan dunia melalui membaca
koran, yang memang internet waktu itu tidaklah seperti sekarang ini. Salah satu
cerita dari temen, Yusuf Zakaria namanya. Dia pernah sowan bersama dengan
pamannya, dan di persilahkan masuk ke kamar pribadi beliau. Ternyata apa yang
dilihat di kamar beliau? Tak lain hanyalah kasur tipis yang di atasnya sudah terdapat
tumpukan kitab, sebagian terbuka, dan koran yang juga berada di samping beliau.
Nampak baru saja di baca. Sangat amat sederhana sekali pemandangan tersebut,
yang kesemuanya menunjukkan kecintaan beliau pada ilmu.
Inilah yang sedikit yang aku kenal dari sosok Faqih Sarang, Syaikhuna Said
Abdurrahim, Sarang. Mungkin temen-temen saya yang pernah menjadi orang dekat
beliau punya cerita lebih banyak lagi. Semisal mas Ahmad Atho Katib
beliau, Jamal Lutfi, Patih Muhammad Zaim, dan lain sebagainya.
Semoga bisa meneladani.
0 komentar