Oleh: Dhiya Muhammad
Salah satu adab pesantren yang diajarkan oleh para Kyai dan guru-guru saat ngaji dahulu adalah kita jangan terburu-buru menyalahkan sebuah tulisan dalam kitab, jikalau kita rasa tulisan atau susunan kata dalam kitab tersebut terasa menjanggalkan atau nampak tidak sesuai dengan pemahaman kita. Para Kyai dan guru kita mengajarkan untuk selalu Husnudzan (berbaik sangka) pada Muallif (penulis) kitab, dan mencurigai diri sendiri, jangan-jangan memang kitalah yang minim ilmu sehingga tidak faham. Oleh karenanya para Kyai dan guru kita selalu mengajarkan kita untuk mengatakan "La'alla Shawâb..." Yang artinya "mungkin saja Yang benar adalah demikian.... ".
Kehati-hatian, itulah kira-kira prinsip yang ingin di ajarkan oleh guru-guru kita dahulu saat di pondok. Terlebih lagi jikalau penilian kita tersebut berkenaan dengan orang lain. Karena jangan-jangan tuduhan kita yang sangat tajam itu, tak lain adalah karena kesalah pahaman kita sendiri. Bukan murni kesalahan sesuatu yang kita kritik. Ada sebuah Syair Arab yang dulu saya tulis dalam sampul kitab Al-Amrithi--saya lupa entah dari kitab apa saya ambil--yang mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam menilai orang lain. Di sebutkan:
وكم من عائب قولا صحيحا # وآفته من الفهم السقيم
"Berapa banyak orang yang mencela pendapat yang benar, penyebabnya adalah dari pemahaman yang salah"
Untuk lebih mudahnya, kita ambilkan saja contoh dalam ilmu Bahasa Arab (Arabic Grammer). Bagaimana pendapat anda ketika melihat tarkib (susunan) seperti ini :
أَنَّ زَيْدٌ كَرِيْمٍ
Jika orang yang belum faham dengan susunan di atas atau bagi yang baru faham ilmu Nahwu sedikit saja, pasti akan langsung menyalahkan, karena seharusnya harf (أنّ) me-nashab-kan isim dan me-Rafa'-kan khabar-nya, loh tapi kenapa pada contoh di atas kok malah me-marfu'-kan dan khabar-nya malah majrur (di baca jar). Orang yang tidak open minded pasti akan langsung menyalahkan, tanpa mau mencari tahu kebenarannya. Padahal kalau mau dicari, pasti ketemu jawabannya. Kira-kira apa jawabannya?, begini penjelasannya.
Di sana (أنّ) bukan sebagai huruf taukîd yang berfungsi me-nashab-kan isim dan me-marfu-kan
khabar, melainkan dia adalah fi'il (kata kerja) dari :
أَنَّ - يَئِنُّ
Yang artinya merintih. Sedangkan kata زَيْدٌ dia rafa' karena sebagai fa'il (subjek/pelaku pekerjaan), dan كريم kenapa majrur, karena susunan tersebut terdiri dari dua kata sebenarnya, yang pertama adalah huruf tasybîh ك dan kedua kata ريم yang artinya rusa. Sehingga arti susunan di atas adalah : "Zaid merintih kesakitan seperti rintihan rusa". Menarik bukan? 😅
Begitulah pentingnya kita untuk tidak cepat-cepat menyalahkan orang lain, apalagi dalam masalah agama yang masih bersifat dzan (dugaan) yang potensi Ijtihad dan berbeda pendapat terbuka lebar di sana. Apalagi kalau perbedaan itu masih dalam taraf aplikatif (Tahqîqu-l-Manâth) dari sebuah nilai yang disepakati bersama. Hal Itu adalah sebuah perbedaan ringan yang jangan sampai menjadikan hancurnya nilai yang kita sepakati. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindari. Hanya saja, kita dituntut untuk bisa mengaransemen perbedaan itu menjadi sebuah paduan musik kroncong atau Dangdut yang enak didengarkan, sambil ngopi dan menyantap pisang goreng hangat di pagi hari.
Dan yang paling penting lagi menurut saya adalah kita belajar Tawâdhu' dalam melihat atau menilai pendapat orang lain. Bagaimana caranya? Yakni dengan tidak tergesa-gesa menyalahkan orang lain, menuduh orang lain telah melenceng, dan berbagai macam tuduhan lainnya. Akan tetapi curigailah diri kita sendiri. Jangan-jangan memang kita yang minim informasi atau salah faham. Kalau kita mau bersikap demikian, insya Allah akan ada banyak ilmu yang bisa kita serap dan dapatkan dari orang lain, siapapun orangnya. Apa yang tidak kita ketahui, sejatinya lebih banyak dari apa yang telah kita ketahui.
Wallahu A'lam.
Semoga bermanfaat.
☺️☕
0 komentar