“Man Izdada Khusyu’an Izdada Jahlan” sebuah
ungkapan yang kurang lebih memiliki arti “barang siapa yang bertambah
khusyu’-nya, maka akan bertambah pula kebodohannya. Aneh, memang ungkapan
tersebut terasa sangat aneh ditelinga-telinga swasta seperti telingaku.
Terlebih lagi, pertama kali aku mendengar istilah tersebut sering diulang-ulang
oleh gurunda, simbah KH. Maemoen Zubair saat aku baru awal-awal masuk ke Ponpes
Sarang. Tepatnya sekitar tahun 2003-2004, dan umurku pada waktu itu pun masih
tergolong kecil, sekitar umur 16 tahunan. Nalar kekanak-kanakan yang masih kuat
melekat dalam diriku belum mampu untuk mencerna dengan baik apa makna tersirat
dibalik petuah “aneh” beliau ini.
Seiring berjalannya waktu
dan bertambahnya corak serta wawasan yang menjadi menu harianku, ditambah lagi
pergaulanku dengan orang-orang yang memiliki pola pikir yang bermacam-macam,
sedikit demi sedikit kabut tebal yang menyelimuti ungkapan Mbah Maemoen
tersebut akhirnya tersingkap. Walaupun konsekwensinya aku harus dicap sebagai
santri yang “salah pergaulan”. Ya, aku masih ingat betul bahwa waktu itu aku
masih duduk dikelas 1 Aliyah MGS dan jujur, pada waktu itu pemikiranku masih
sangat lugu sekali. Namun alhamdulillah, pada waktu itu pulalah aku bersentuhan
secara lebih intim dengan berbagai pemikiran Al-Imam Al-Ghozali. Semua itu
gara-gara kitab Al-Munqidz Mina-D-Dholal yang dihadiahkan oleh mas Najih
kebumen kepadaku. Dalam satu hari penuh, aku menghatamkan membaca serta
memahami kitab tersebut sebanyak tiga kali. Hingga akhirnya aku benar-benar
merasakan bahwa memang Al-Ghozali adalah sesosok ulama yang gagasan dan
pemikirannya mampu mencerahkan. Sehingga layak sekali, jika kemudian beliau
disebut sebagai salah satu “Sang Pencerah”.
Tidak hanya itu saja,
perkenalanku dengan KH. M. Wafi Maemoen—akrab dipanggil dengan Gus Wafi—dengan
karakteristik beliau yang Mobile, progresif dan kaya akan ide, pun juga sedikit
banyak telah memberi warna dan corak dalam cara berfikirku. Belum lagi KH.
Baha’uddin NS—akrab aku panggil dengan Gus Baha’—yang pada waktu itu banyak memberikan
inspirasi, hingga akhirnya aku nyaman dan setia mendengarkan rekaman-rekaman
pengajian beliau yang serat akan nuansa ilmiah nan kritis. Pak Najib Bukhori
pun tidak kalah juga, beliau adalah sosok muda dengan gagasan dan pemikiran
brilian yang berani meloncat keluar “pagar” kemapanan, akan tetapi tetap kalem
dalam melakukan perubahan. Hingga akhirnya aku juga rutin mengikuti kajian Bulughul
Marom yang diampu oleh KH. Dr. Abdul Ghofur Maemoen yang tentunya sangat
asyik dan penuh insirasi. Nah, pertemuanku dengan merekalah yang sedikit banyak
kemudian memberikan dampak dan efek luar biasa pada diriku dalam memahami sosok
Mbah Maemoen, yang diantaranya adalah dengan memahami dawuh beliau di atas.
Memang, Mbah Maemoen tidak
pernah—dan aku sendiri juga belum pernah mendengar—beliau menguraikan apa makna
dari petuah beliau tersebut. Tetapi, sebagai seorang santri, aku sudah tergerak
semenjak dulu untuk membaca, mengkaji dan bahkan berusaha untuk mendiskusikan berbagai
tindakan, statement dan tentunya ijtihad beliau ini bersama beberapa teman yang
bisa aku ajak berfikir ke arah sana. Berkenaan dengan dawuh: “Man Izdada
Khusyu’an Izdada Jahlan” di atas, aku melihat paling tidak ada 3 hal yang ingin
disampaikan oleh Mbah Maemoen, walaupun tentunya ini menurut pemahaman dan
kajianku sendiri atas dawuh beliau.
Pertama- Beliau
nampak ingin menekankan bahwa akhir-akhir ini banyak orang-orang yang
menampilkan prilaku, sikap, cara berpakaian dan mungkin juga tutur kata yang
kesemuanya mengindikasikan bahwa mereka adalah orang-orang sholih, ahli ibadah
dan seterusnya. Padahal, sejatinya ilmu yang yang bersemayam dalam kalbu mereka
nol, alias kosong, alias tidak ada. Mereka menjadikan ke-khusyu’-an sebagai
kedok dan topeng demi menutupi serta menyembunyikan kebodohan mereka. Nah, Mbah
Moen menyampaikan pesan di atas agar para santri-santri Sarang tidak silau atau
bahkan terpesona untuk mengikuti orang-orang yang demikian itu. Karenanya,
tidak heran kalau dulu Gus Baha’ bercerita bahwa santri Sarang tempo dulu itu
mempunyai cara berfikir ilmiah dan tidak ada yang kelihatan khusyu’. Dawuh
beliau: “Ilmiah itu identik dengan kebebasan dalam berfikir, jika di batasi
terus maka akan terpasung keilmiahannya”. Tentunya kebebasan ini bukan bebas
segala-galanya, akan tetapi bebas yang masih berada dalam rel dan bingkai
keilmuan Pesantren. Bahkan menurut cerita salah satu senior (Kang Fadhlan,
akrab aku panggil dengan Wa’ Lan), dulu Gus Baha’ itu selesai Jama’ah Sholat
tidak duduk untuk wiridan lama-lama, akan tetapi beliau bergegas untuk kembali
melanjutkan Muthola’ah-nya yang sempat diistirahatkan karena jama’ah sholat.
Dan jujur saja, sampai sekarang pun aku belum pernah melihat Gus Baha’
Wiridan/sholat Sunnah Ba’diyah setelah sholat Fardhu. Nampaknya kebiasaan di
Pesantren itu masih terbawa saat beliau di rumah atau mungkin saja beliau
memang masih asyik dengan Muthola’ah.
Pernah ada yang bertanya
kepadaku: “Lebih utama siapakah, santri yang asyik dengan muthola’ah-nya hingga
ia lupa atau enggan melakukan amaliah-amaliah sunnah? Atau santri yang
memperbanyak amaliah sunnah sementara Muthola’ah-nya kurang?”. Waktu itu aku
menjawab bahwa santri yang bisa mensinergikan antara keduanya adalah yang
terbaik. Namun jika terpaksa ia harus memilih salah satu dari keduanya, maka
dengan tegas aku mengatakan bahwa santri yang memanfaatkan semua waktunya dan
mengerahkan segala daya serta upaya guna Muthola’ah ilmu—tentunya
mengecualikan waktu-waktu yang digunakan untuk melakukan kebutuhan primer yang
lain, semisal makan—adalah lebih utama jika dibandingkan dengan memperbanyak
ibadah Sunnah. Pendapatku ini berdasarkan statement imam an-nawawi yang
diabadikan dalam mukaddimah kitab Minhaju-T-Tholibin. Beliau berkata:
فَإِنَّ الِاشْتِغَالَ بِالْعِلْمِ مِنْ أَفْضَلِ الطَّاعَاتِ و أَوْلَى مَا أُنْفِقَتْ فِيهِ نَفَائِسُ الْأَوْقَاتِ
“Sesungguhnya, kesibukan
seseorang untuk belajar ilmu itu adalah ketaatan paling baik dan kesibukan
paling utama untuk menghabiskan waktu seseorang”
Kedua- Dari
statement Mbah Maemoen di atas, sebenarnya beliau ingin mengajak santri dan
masyarakat Pesantren untuk berfikir secara terbuka (Open Mind). Disamping
tentunya beliau ingin mengajak kita agar melihat, melakukan analisa dan kajian
secara proporsional, objektif, holistik dan tentunya komprehensif. Beliau
kurang suka dengan santri yang hanya memiliki satu cara pandanga saja, sehingga
pikirannya menjadi kaku, jumud dan mudah menyalahkan orang lain, terlebih lagi
jikalau tidak ada klarfikasi/Tabayyun terlebih dahulu. Santri dengan
model terakhir ini biasanya enggan dan acuh tak acuh terhadap setiap gagasan
berbeda dari apa yang ada dalam pemahamannya selama ini. Bahkan tidak jarang
dari mereka yang kemudian memusuhi dan menyerang dengan ngawur
orang-orang yang memunculkan gagasan yang seakan di anggap baru tersebut.
Dalam beberapa
pengajiannya, Mbah Maemoen sering menyindir dan mengkritik orang-orang, baik
dari kalangan umum maupun dari kalangan pesantren, yang memiliki pola pikir
terlalu kaku dan jumud tersebut dengan menyitir sebuah statement ayahanda
beliau, yakni Kiai Zubair Dahlan. Mbah Maemoen sering dawuh: “Bapak mbien
ngendikan[1]:
حفظ شيئا وفات عنه أشياء
“Hanya
menghapal/menjaga/mengetahui satu hal saja, akan tetapi luput darinya banyak
hal”
Tidak hanya itu saja, Mbah
Maemoen dalam beberapa pengajiannya juga sering mengatakan bahwa:
“Manungso kui kaprahe mung iso ndelok sak arah thok.
Iku yo wajar, sebab deweke mung isone yo madep sak arah thok. Dadi yo mung 90
derajat thok. Lah ndunyo kui bunder ser. Bunder kui 360 derajat. Dadi santri ya
harus tau segala”[2]
Aku memahami bahwa yang
dimaksud dengan “harus tau segala” atau “Bunder Kui 360 Derajat”
adalah berusaha untuk melihat segala sesuatu dengan sesuai porsinya dan
tentunya harus secara utuh, komprehensif, tidak secuil atau separo saja. Karena
tentunya pemahaman yang sepihak saja, akan menjadikan seseorang fanatik dan
mudah mencela serta menyalahkan orang lain, padahal belum tentu orang lain
tersebut salah.
Dalam kesempatan lain,
Mbah Maemoen pun sering dawuh mengutip statement Nabiyullah Ibrahim Alahis
Salam:
على العاقل أن يكون عارفا بزمانه مقبلا في شأنه راضيا بربه
“Bagi seorang yang berakal,
hendaknya ia harus memahami kondisi dan fenomena yang terjadi pada masanya.
Perhatian terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya (Sya’nu), serta ridha
terhadap apa yang menjadi ketetapan tuhannya”[3]
Bahkan dulu sebelum aku
kluyuran ke Lebanon dan sowan kepada beliau sebanyak 3 kali, Mbah Maemoen
berpesan khusus kepadaku:
“Lebanon kui ono telu yoh...presidene Kristen, perdana
mentrine Sunni, la ketua parlemene Syiah. La kowe yo kudu paham telu-telune yo...heh...yo
paham Sunni, yo paham Kristen, yo paham Syiah...paham?”
“Nggeh Yai” [4],
Jawabku.
Apakah dengan petuah ini beliau ingin menyuruhku untuk
menjadi seorang Syi’i atau seorang Kristen? Tentunya tidak, Khasya Wa Kalla.
Lalu apa maksud beliau? Secara pribadi, aku memahami bahwa beliau hendak
mendorongku untuk menjadi orang yang pengalaman, terbuka, santri dengan wawasan
yang tidak sempit/ dengan istilah beliau adalah menjadi “santri yang tau
segala”. Karena pada akhirnya, realitas kehidupan menuntut kita untuk bijak
dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang berkembang. Perbedaan adalah sebuah
keniscayaan dan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan bukan untuk
dimusuhi, perbedaan bukan untuk dilawan dan bukan pula untuk dimusnahkan. Akan
tetapi, semestinya perbedaan adalah untuk diracik sedemikian rupa, sehingga ia
bisa menjadi pelangi yang walaupun berbeda-beda warnya, tetapi sedap nan sejuk
dipandang mata.
Bahkan beda agama pun semestinya tidak menjadikan sesama
manusia untuk saling bermusuhan. Dalam kajian Fiqh Islam, kita akan menemukan
data bahwa tidak semua non muslim itu boleh diperangi, bahkan ada sebagian dari
mereka yang harus dilindungi oleh institusi pemerintah. Yang boleh kita perangi
hanyalah non muslim dengan predikat Harbi, yakni non muslim yang
menyerang/memerangi umat Islam. Sedang non muslim yang Dzimmi (non
muslim yang keamanannya menjadi tanggungan umat Islam, karena mereka siap untuk
berdampingan secara damai dengan umat Islam), Musta’man (non muslim yang
keamanannya dijamin oleh pemerintah yang sah) dan Mu’ahad (non muslim
yang menyepakati adanya gencatan senjata dengan umat Islam), maka mereka ini
tidaklah boleh kita perangi. Lalu bagaimana dengan Umat Islam yang berbeda
pandangan dan madzhab dengan kita? Tentunya lebih tidak boleh lagi untuk kita
perangi. Dan dalam bingkai pemahaman ini pula, kita bisa memahami Hadis Nabi
yang berbunyi:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله
“Saya diperintahkan
untuk berperang dengan manusia, hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah”
Kita perhatikan redaksi (أقاتل) yang mengikuti shighot
(bentuk kata) Mufa’alah yang tentunya bagi para pengkaji ilmu shorof
sudah tidak asing lagi apa faidah-nya, yaitu Musyarokah. Faidah Musyarokah
menunjukkan makna “saling”, yang pada akhirnya memberikan pemahaman kepada kita
bahwasannya ada dua pelaku/lebih dalam sebuah pekerjaan. Nah, dalam redaksi
hadis di atas, kata (أقاتل) menunjukkan saling
bunuh membunuh antara manusia. Berarti yang akan diperangi Rasulullah,
sebagaimana termaktub dalam redaksi hadis di atas, adalah non muslim yang
memang ingin memerangi umat Islam juga, sedang yang lain tidak. Betapa hebatnya
baginda Nabi dalam memilah dan memilih redaksi yang akan beliau sabdakan,
sehingga tidak akan bisa menimbulkan kerancuan pemahaman dikemudian hari.
Ketiga- Dari statement di atas, Mbah Maemoen ingin mengajak
kita untuk flash back/kembali merenungi sejarah umat Islam yang telah lalu.
Mbah Maemoen mengajak kita untuk memperhatikan tragedi berdarah yang sangat
menusuk hati setiap umat Islam, yakni peristiwa pembunuhan Imam Ali KarramaLlah
Wajhah yang direncanakan oleh sekelompok orang yang mengaku paling benar,
paling paham atas interpretasi al-Qur’an maupun Hadis, merasa paling baik dan
paling khusyu’. Mereka berpendapat bahwa Imam Ali, Amr Bin Ash, Abu Musa
Al-Asy’ari, Mu’awiyah, pelaku perang Jamal dan semua orang yang ridha atas
keputusan Tahkim adalah orang-orang yang kafir yang halal darahnya[5].
Merekalah Khowarij, kaum paling khusyu’ sepanjang perjalanan sejarah umat Islam.
Dalam kajian sejarah, Khowarij adalah salah satu kelompok
paling berbahaya bagi kehidupan umat Islam. Dan lagi-lagi, khusyu’ menjadi
semacam tameng dan topeng yang sangat berguna untuk memuluskan aksi-aksi
mereka. Coba saja kita perhatikan bersama, bagaimana Al-Imam Ahmad Bin Hanbal
menggambarkan beberapa ciri khas mereka dari sebuah hadis yang beliau kutip
dalam musnadnya dari Abu Sa’id Al-Khudri RadhiyaLlahu Anhu.
Dulu, pada masa
kehidupan Rasul Shollallahu Alaihi Wa Sallam,
ada suatu peristiwa yang sangat menggemparkan jagad para sahabat. Suatu hari di
masjid Rasul ada seseorang yang kelihatannya demikian khusuk melaksanakan
shalat. Kekhusyukannnya begitu memikat dan menawan hati sebagian shahabat yang
melihatnya. Mereka banyak memperbincangkannya, bahkan sengaja ada yang
menceritakan pemandangan itu di dekat Rasul, dengan maksud agar beliau
mengomentarinya. Mereka sangat berharap ada komentar dan perkataan Rasul
tentang orang itu. Namun, alih-alih pujian yang muncul dari lisan beliau yang
suci, justru tantangan bagi sahabat yang punya nyali untuk memisahkan kepala
dari tubuhnya. Semua terperangah, seolah tidak percaya dengan perkataan Rasul.
Bahkan Rasul berkata : “Orang inilah yang nantinya akan menebarkan aroma
perpecahan dan fitnah kehancuran dalam agama. Aku melihat hembusan setan di
dahinya. Sekiranya engkau membunuh orang itu, maka tidak akan terjadi
perpecahan umat dikemudian hari”.
Rasul lalu
memerintahkan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu
untuk membunuhnya, tetapi sayang, dia tidak mampu mengalahkan perasaannya untuk
membunuh orang yang sedang khusyu’ beribadah tersebut. Kemudian Rasulullah
merintahkan Umar ibn Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu dengan perintah yang sama, namun
Umar mengalami perasaan yang sama. Dia lebih tunduk kepada perasaannya
ketimbang perintah wajib dari Rasul. Kemudian Rasul memeritahkan Ali ibn Abi
Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, dan Ali pun
tanpa berpikir panjang segera bangkit dengan menghunus pedang dihadapan Rasul
dan para sahabat. Namun sayang, rupanya hal itu diketahui oleh orang itu
sehingga dia kabur meninggalkan masjid[6].
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang hapal Al-Qur’an (يقرؤون القرآن), akan tetapi makna dan
kandungan Al-Qur’an hanya sampai dimulut mereka saja, tidak bisa meresap dalam
kalbu (ولم يجاوز تراقيهم). Bahkan Abdurrahman
Ibnu Muljam Al-Murodi, pembunuh Imam Ali, pun adalah orang yang super khusyu’.
Dia terkenal sebagai penghapal Al-Qur’an, selalu melakukan sholat malam dan selalu
menahan dahaga dengan puasa di siang hari. Namun, dia merasa sebagai orang
paling baik, orang paling benar dan orang paling berhak untuk menafsirkan
al-Qur’an, karenanya tidak heran jikalau kemudian dia mengkafirkan Imam Ali,
menghalalkan darahnya dan bahkan akhirnya membunuh beliau.
Dr. Umar Abdullah Kamil—salah satu santri dan murid dari
Abuya Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki—menyebutkan beberapa ciri-ciri
tertentu dari khowarij. Dan anehnya, ciri-ciri tersebut pun sampai sekarang
masih melekat dalam diri sebagian umat Islam yang menganggap dirinya sebagai
orang yang paling benar dan paling khusyu’. Beberapa ciri khas mereka adalah:
1. Khowarij tempo dulu selalu menggembor-gemborkan slogan dan syi’ar “La
Hukma Illa Lillah”, tidak ada hukum kecuali hukumnya Allah. Namun Imam Ali mengatakan
bahwa slogan ini hanyalah bualan saja, ia merupakan “Kalimatu Haqqin Urida
Biha Al-Bathil”, sebuah ungkapan yang benar, namun dibalik itu terdapat
tujuan dan maksud yang salah dan batil. Jadi slogan itu hanyalah kedok saja
untuk membenarkan apa yang menjadi hasrat dan keinginan mereka saja. Ungkapan tersebut
tidak benar-benar keluar karena ingin mengikuti perintah Allah. Begitu juga
dengan khowarij di era modern sekarang ini. Mereka berusaha ingin menegakkan
syariat Islam disebuah negara/daerah tertentu, namun sebenarnya semua itu
hanyalah mereka jadikan kedok untuk memuluskan langkah mereka guna meraih
kekuasaan. Dan saat mereka sudah duduk dikursi empuk, maka praktek
penerapan syariat pun tak pernah bisa terealisasikan, seperti halnya kejadian
di Mesir pasca tumbangnya Husni Mubarok. Atau kalaupun bisa merealisasikan apa
yang mereka sebut ‘syariat’, maka yang diterapkan adalah syariat dengan versi
mereka sendiri. Sehingga hal itu memberikan dampak berupa intimadasi,
diskriminasi dan tentunya Isolasi terhadap kelompok lain yang tidak sepaham
dengan mereka. Pemandangan seperti inilah yang terjadi pada Saudi Arabia dengan
paham Wahhabi sampai sekarang. Dari kronologi inilah kemudian muncul syiar
Nahdhatul Ulama (NU) yang menyatakan bahwa NKRI harga mati.
2. Khowarij tempo dulu adalah orang-orang yang sangat berlebihan dalam masalah
beribadah dan dalam pemahaman agama. Saking khusyu’-nya, mereka memiliki
pemahaman bahwa pelaku dosa besar adalah orang kafir yang halal darahnya.
Mereka mengkafirkan para pemimpin seperti Imam Ali, Mu’wiyah serta Amr Bin
‘Ash. Tidak berhenti pada pengkafiran saja, bahkan mereka sudah bergerak dan berusaha
membunuh kesemuanya, walaupun akhirnya mereka hanya berhasil membunuh Imam Ali
saja. Sama dengan mereka adalah Neo Khowarij sekarang ini. Mereka mempunyai
anggapan bahwa para pemimpin Indonesia sekarang ini sudah kafir. Hal ini karena
mereka menganggap bahwa para pemimpin itu tidak menetapkan syariat Islam
sebagai undang-undang. Berpijak dari sini, mereka kemudian melegalkan adanya
revolusi dan pemberontakan terhadap sebuah pemerintahan yang sah. Rakyat yang
tidak mau ikut revolusi guna meruntuhkan kekuasaan pemerintah dengan model
seperti ini pun mereka cap sebagai rakyat yang kafir juga. Lihat saja berbagai
macam pergolakan yang terjadi berbagai belahan negara Islam akhir-akhir ini.
Mulai dari Al-Jazair, Tunisia, Libya, Mesir dan terakhir adalah Syiria yang
sampai sekarang masih terus bergejolak. Semua itu adalah karena benih-benih
ke-khusyu’-an Khowarij ini berkembang biak dengan baik, tanpa ada yang mampu
untuk membendungnya.
3. Khowarij tempo dulu tidak takut mati sama sekali demi menegakkah syariat
Allah yang berada dalam hayalan mereka. Dengan semangat dan keberanian penuh,
mereka maju untuk berperang tanpa memperdulikan untuk apa dan siapa yang mereka
perangi. Keberanian ini bukan tanpa sebab, karena mereka mempunyai anggapan
bahwa kematiannya inilah yang memuluskan jalan mereka menuju ke Surga. Tak jauh
beda dengan mereka adalah khowarij modern sekarang ini. Mereka rela menjadi
‘pengantin’ dengan mengorbankan dirinya guna mendapatkan kapling Surga nanti.
4. Khowarij tempo dulu enggan untuk membunuh babi, karena mereka menganggap
itu sebagai kerusakan. Padahal mereka berani membunuh sahabat Nabi, Abdullah
Bin Hubab beserta istrinya yang sedang hamil dan beberapa sahabat yang lain.
Mereka juga enggan untuk memungut sepotong kurma yang terjatuh di atas tanah. Namun
disisi lain mereka mudah menuduh orang lain sebagai pelaku bid’ah, kafir,
syirik dan tuduhan miring lainnya, hanya gara-gara berbeda dalam masalah
khilafiyah saja.
5. Khowarij tempo dulu terjebak dalam pemahaman keagamaan secara tekstualis
ansich, sehingga hal itu menjadikan mereka berfikir secara konservtif. Al-Hafidz
Ibnul Jauzi menuturkan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa saat Ibnu Muljam akan
di Qishash karena pembunuhan yang ia lakukan terhadap Imam Ali, maka Abdullah
Bin Ja’far Bin Abi Thalib memotong kedua tangannya. Tetapi Ibnu Muljam tetap
kekeh diam saja, tidak ada sedikit pun ratapan keluar dari mulutnya. Lalu kedua
matanya dicukil dengan paku yang dipanaskan, ia pun hanya diam saja, tidak ada
ratapan sama sekali keluar dari mulutnya, bahkan dengan bangganya ia membaca: “Iqro’
Bismi Robbika-L-Ladzi Kholaq”. Namun saat Ibnu Ja’far hendak memotong
lisannya, tiba-tiba Ibnu Muljam meratap. Abdullah bertanya: “Kenapa engkau
meratap wahai Ibnu Muljam?”, “Aku khawatir meninggal sedang aku dalam kondisi tidak
bisa berdzikir dengan lisanku”. Dari riwayat Ibnul Jauzi ini, bisa kita ambil
kesimpulan bahwa Ibnul Muljam memahami perintah dzikir secara lahiriah saja,
karenanya ia takut kalau tidak bisa berdzikir dengan lisannya itu. Padahal
esensi dari sebuah dzikir adalah ingat Allah dengan hati, sedang dzikir dengan
lisan hanyalah sunnah saja. Dan masih banyak lagi ciri-ciri khowarij yang tidak
bisa aku sebutkan satu persatu di sini.
Uraian yang sangat panjang ini hanyalah ingin
mengantarkan kita pada sebuah gagasan besar Mbah Maemoen yang disampaikan
dengan gaya bahasa yang terkesan humoris, penuh teka teki tetapi serat akan
makna: “Man Izdada Khusyu’an Izdada Jahlan”. Dan dalam era modern ini,
banyak kita temukan kelompok-kelompok maupun perorangan yang sedikit banyak
telah terjangkiti virus khowarij ini. Banyak orang awam yang terkagum-kagum
dengan ke-khusyu’-an mereka, terlebih lagi kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang memiliki olah vokal luar bisa dan mental yang kuat. Padahal sebenarnya
pengetahuan dan keilmuan mereka berkenaan dengan masalah agama sangatlah minim
sekali. Sedang orang yang sebenarnya memiliki pengetahuan agama cukup luas,
lama di Pesantren dan memiliki pemahaman Islam yang moderat, malah tidak mampu
untuk berbicara di depan audien banyak. Ia tidak mampu untuk bermain retorika
sebagaimana para pengikut gagasan neo khowarij yang telah aku sebutkan di
depan. Lalu bagaimana solusinya?
Ya, solusi yang diberikan Mbah Maemoen selama ini adalah
dengan tidak berhenti untuk belajar. Jangan merasa puas dengan apa yang telah
kita ketahui sekarang ini, karena pada dasarnya ilmu yang tidak kita ketahui
lebih banyak dari pada ilmu yang kita ketahui. Dengan terus belajar dan membaca
apa saja, seseorang akan dengan mudah memahami apa yang di pahami oleh orang
lain. Dan tentunya hal itu pula akan mengantarkan ia pada kedewasaan dan
keterbukaan pemikiran (Open Mind). Seorang santri yang telah lama
belajar dan bertapa di pesantren sekalipun, kalau dia berhenti untuk belajar
dan membaca, maka tidak menutup kemungkinan virus khowarij ini pun akan
menjangkitinya. Karenanya Mbah Maemoen juga menyampaikan hal ini kepada
masyarakat pesantren agar mereka sadar dan tidak berhenti untuk belajar dan
membaca apa saja.
Walhasil, melalui petuah “Man Izdada Khusyu’an Izdada
Jahlan” ini, paling tidak ada 3 hal yang ingin disampaikan Mbah Maemoen
kepada kita—konklusi ini adalah menurut pemahaman dan analisaku pribadi, bukan
langsung disampaikan oleh beliau. Pertama, kita jangan terpesona dengan
penampilan lahiriah seseorang yang nampaknya khusyu’, karena seringnya hal itu
menipu kita. Kedua, hendaknya kita menjadi umat Islam—terlebih lagi santri—yang
mau selalu belajar dan terus membaca. Apapun harus kita ketahui, jangan puas
hanya dengan pengetahuan yang sekilas saja, karena hal itu bisa menimbulkan
sikap fanatik buta yang sangat dilarang oleh Islam itu sendiri. Ada sebuah
ungkapan menarik dari para ulama yang berbunyi:
الإنسان أعداء ما
جهلوا
“Manusia adalah musuh
dari kebohannya sendiri”
Begitu juga ungkapan yang terekam dengan manis dalam
kitab Ta’lim:
خذ ما صفا ودع ما كدر
“Ambillah yang baik,
tinggalkan yang tidak baik”
Ketiga, hendaknya kita berhati-hati dengan paham Neo
Khowarij yang akhir-akhir ini merebak diberbagai belahan negara Indonesia
tercinta ini. Ketiga paham “khusyu’isme” ini tidak hanya membahayakan orang
diluar kelompoknya saja, akan tetapi juga membayakan keberlangsungan eksistensi
dan kesatuan NKRI yang harus di jaga. Jadi ojo khusyu’-khusyu’ nemen...!
[2] Artinya: “manusia itu umumnya hanya bisa melihat satu arah saja. Itu ya
wajar saja, sebab dia hanya bisa menghadap pada satu arah saja. Jadi ya hanya
mendapatkan 90 derajat saja. Sedangkan dunia itu bulat. Bulat itu 360 derajat.
Jadi seorang santri ya harus tau segala”.
[3] Banyak redaksi yang semakna dengan apa yang disampaikan oleh Mbah Maemoen
di atas. Akan tetapi secara pribadi aku belum menemukan data dengan redaksi
yang sama persis dengan apa yang disampaikan Mbah Maemoen di atas. Imam
Ar-Rozi, Al-Biqo’i dan An-Nasafi menggunakan redaksi: ينبغي للعاقل أن يكون حافظاً للسانه عارفاً
بزمانه مقبلاً على شأنه. sedang yang hampir
mirip adalah redaksi As-Suyuthi dalam Ad-Durru-L-Mantsur yang berbunyi: وحق على العاقل أن يكون عارفاً بزمانه ، حافظاً
للسانه ، مقبلاً على شأنه. Wallahu A’lam Bis
Showab.
[4] Artinya: “Lebanon itu ada 3 kelompok ya, presidennya dari kristen, perdana
mentrinya dari islam sunni, ketua parlemennya dari islam syiah. Nah, kamu harus
faham ketiga-tiganya ya. Heh. Ya paham sunni, paham kristen dan paham syiah.
Paham kamu?”. “Iya Kiai”.
[6] Ini adalah ringkasan Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya, sedang Al-Hafidz Al-Haitsami mengomentari
hadis ini sebagai hadis yang para perowinya Tsiqqah. Lihat Al-Hafidz Nuru-D-Din
Ali Bin Abi Bakar Al-Haitsami (1412), Majma’u-Z-Zawaid Wa Manba’u-L-Fawaid,
Beirut: Dar El-Fikr. Vol: 6. Hal: 335.
1 komentar:
menarik sekali urainnya mas, salut dgn pemahamannya yg komplek/mendalam tp kenapa kok pakai cover bukunya di coret?
Tks