Advertise 728x90

Manaqib Singkat Mbah Makin Mudzakir

Written By Unknown on Tuesday, November 11, 2014 | 6:35 PM



Awakmu iso moco kitab tenan kui nek wes iso moco kitab seng durung tau pok ngerteni, pengarange sopo yo durung ngerti lan during tau pok ngajeni. Nek wes iso moco kitab seng model ngono kui, lagi awakmu tak percoyo iso moco kitab tenan, nek ora yo durung


(kamu bisa benar-benar membaca kitab [kuning yang gundul tanpa makna dan harokat] itu kalau sudah bisa membaca kitab yang kamu sendiri belum pernah tau kitab itu sebelumnya, belum tau siapa penulisnya dan kamu pun belum pernah ngaji kitab itu. Kalau kamu sudah bisa membaca kitab yang seperti itu, baru aku percaya kalau kamu benar-benar bisa membaca kitab, kalau tidak [bisa membaca kitab model yang demikian] ya berarti belum bisa [baca kitab])

Ungkapan singkat di atas merupakan salah satu pesan yang disampaikan oleh guru, kakek dan saudaraku, Al-Maghfur Lahu Mbah Yai Makin Mudzakir sekitar 9 tahun yang lalu. Dan seingatku, pesan ini beliau sampaikan saat pertama kali aku belajar ilmu Nahwu Shorof pada beliau, dan diulang kembali saat aku hendak berangkat mondok ke Lamongan, hingga akhirnya pindah ke pondok Sarang, Rembang. Entah, aku sendiri tidak tahu, apakah ungkapan itu hanya ditujukan kepadaku saja atau kepada yang lain juga. tapi yang jelas, ungkapan di atas telah memberikan suntikan dan support yang luar biasa bagi aku yang pada waktu masih ingusan, karena kalau tidak salah, umurku waktu itu kurang lebih masih 11/12 tahun. Jadi masih umbelen dan unyil-unyil sekali..he..he.

Dulu, di gedung Madrasah Salafiyah pernah di adakan pengajian nahwu shorof dengan materi kitab Matan Jurumiyah dan Amtsilah Tashrifiyah, dan sebagai pengampu adalah beliau Mbah Makin sendiri. Saat itu aku baru saja lulus SD dan masuk jenjang pertama sekolah Menengah. Sebenarnya aku enggan ikut pengajian ini, karena aku menduga bahwa pesertanya banyak dan rata-rata mereka jauh lebih tua dariku, jadi aku males karena gak bisa fokus. Akan tetapi atas desakan dan dorongan dari guru dan pak dheku, Ust. Hanif Faishal, akhirnya aku pun ikut pengajian itu.

Dan ternyata dugaanku benar, pada malam pertama aku berangkat mengaji, yang hadir kurang lebih sekitar 25 orang dan rata-rata umur mereka lebih tua dariku. Bahkan bisa di katakana aku adalah siswa paling kecil di antara mereka, hanya saja keakrabanku  dengan mereka bisa sedikit mencairkan suasana, karena ternyata kebanyakan mereka adalah murid dari bapak dan tentunya mengenalku dengan baik. Aku pun masuk ruangan dan memilih duduk paling belakang, karena aku takut kalau-kalau nanti di Tanya ini dan itu oleh Mbah Makin.

Berselang kemudian, beliau masuk ke dalam ruangan dan memulai ngaji dengan memimpin kami membaca surat Al-Fatihah bersama. Setelah itu mulailah kami bersama-sama membaca Tashrif Mazid Istilahi yang terdengar sayup-sayup dengan irama dan melodi yang indah nan teratur dan suara yang kompak melafalkan:

Fa’ala-Yufa’ilu-Taf’ilan-Taf’ilatan-Taf’alan-Tif’alan-Mufa’alan-Fa Huwa- Mufa’ilun-Wa Dzaka-Mufa’alun-Fa’il-Laa Tufa’il –Mufa’alun-Mufa’alun…dst

Setelah itu beliau memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menguji kemampuan dan pemahaman anak-anak pada malam itu.

“Bah, nek lafald Nashoro diikutkan wazan Istaf’ala isim fa’ile piye?”, kata beliau pada Lek Misbah, seniorku dan sekarang ketua Banser.
Muf’ilun pak”, jawab lek Bah dengan mimik wajah kurang PD.
“Salah Bah, la nek kowe Ham, piye?”, beliau melempar pertanyaan pada lek Adham.
Mustaf’ilun pak”, jawab lek Ham dengan cengengesan bangga.
“La nek di ikutkan wazan Tafa’ala, Fi’il Nahi-ne piye?”, pertanyaan kejaran Mbah Makin kepada lek Ham dan akhirnya membuat dia klepek-klepek.
“Nek kowe Mam, Fi, piye?”, ganti beliau bertanya kepada kedua keponakan beliau, lek Himam dan lek Shofi.
Laa Tunasshir, dhe”, jawab keduanya serentak.
“Jal Tashrif Lughowi..!”

Yah, begitulah kurang lebih cara beliau mengajar. Beliau berusaha untuk menerapkan pola interaktif dengan murid-muridnya, tidak hanya beliau saja yang memberi akan tetapi murid juga harus bekerja untuk bisa memahami dan menancapkan ilmu dalam jiwa mereka. Sehingga yang menjadi pinter tidak hanya beliau saja, tapi juga menular kepada murid-muridnya.

Sosok Pelayan Umat

Di antara beberapa keistimewaan Mbah Makin adalah beliau selalu berusaha untuk melayani umat, dan pelayan terhadap umat ini beliau ejawantahkan dengan selalu berusaha mengahadiri undangan warga desa yang ditujukan kepada beliau. Kesan ini sangat nampak kuat dan melekat sekali dalam diri beliau. Setiap ada warga desa yang hajatan, baik itu berupa sunatan anaknya, orang tua/kerabatnya meninggal, orang mau menikah dan masih banyak tetek bengek hajat yang lain, maka bisa di pastikan kalau Mbah Makin ada dalam acara tersebut atau bahkan beliau sendirilah yang memimpin berjalannya acara itu.

Nampaknya memang Mbah Makin menjadikan Khidmah (pelayanan) terhadap masyarakat dengan corak seperti di atas—yakni dengan selalu berusaha menghadiri undangan hajatan masyarakat—ini sebagai merk beliau. Dan dengan kerawuhan beliau ini, maka warga yang punya hajat pun sangat bahagia sekali atas kehadiran beliau. Beliau akan selalu berusaha untuk menghadiri undangan, selama tidak ada udzur Syar’i yang mencegah kedatangan beliau.

Disamping menyenangkan pihak pengundang, kedatangan Mbah Makin pun acap kali bisa menjadi sebuah control sosial bagi orang-orang yang ingin mengadakan hajatan, akan tetapi di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Semisal ada yang ingin mengadakan dangdutan untuk acara sunatan anaknya, akan tetapi saat mengundang Mbah Makin, maka beliau mensyaratkan kedatangannya dengan tidak boleh adanya dangdutan dalam acara hajatan tersebut. Atau kalaupun ada, itu bisa di tampilkan setelah beliau pulang. Jadi dengan kehadiran beliau ini, hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sedikit banyak bisa diminimalisir, untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Yang menjadi pertanyaan sekarang: “Apa yang menjadi pendorong kuat bagi Mbah Makin untuk melayani masyarakat dengan cara demikian itu?”.

Pernah dalam satu kesempatan, beliau bercerita kepadaku: “Ya’, Aku Kui Pernah Njaluk Di Baiat Thoriqoh Dining Yai, Tapi Ora Di Wehi Malah Di Dawuhi: Kin, Thoriqohmu Kui Yo Ngrumat Masyarakatmu”, (Ya’, aku pernah meminta kepada Yai [Yai Maemun Zubair] agar di baiat thoriqoh, tapi beliau [Mbah Mun] tidak mengabulkan permintaan itu dan malah dawuh: Kin, thoriqohmu itu ya ngurus masyarakat). Kalau melihat cerita tersebut, minimal ada 2 pelajaran yang bisa kita ambil. 1. Bahwa Thoriqoh (jalan untuk mendekat kepada Allah) itu bermacam-macam, tidaklah satu dan tidak pula  harus yang seperti sekarang ini ada dengan berbagai macam warna dan coraknya. 2. Thoriqoh yang paling pas adalah yang sesuai dengan kondisi yang sedang di hadapi oleh seseorang itu sendiri.
Saat aku mendengar cerita Mbah Makin tersebut, aku langsung saja teringat akan mutiara Hikmah sang maestros sufi terkenal, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandary dalam kumpulan Al-Hikam, beliau berkata:
إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب شهوة خفية وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط من الهمة العالية
Keinginanmu untuk tajrid, sedang allah memposisikan dirimu dalam (berinteraksi dengan) sebab musabab, adalah sebuah syahwat yang samar. Sedang keinginanmu (untuk berinteraksi dengan) sebab musabab, sementara allah memposisikan dirimu untuk tajrid adalah satu bentuk menurunnya cita-cita yang mulia

            Dan nampaknya Mbah Makin telah memahami dari mana wejangan gurunya itu muncul, yang tak lain dan tak bukan adalah berasal dari kemilauan mutiara hikmah Ibnu Athaillah tersebut di atas. Semoga goresan tinta sederhana ini bisa sedikit mengukir kenangan dan kisah teladan beliau, Mbah Yai Makin Mudzakir. Hendaknya kita semua yang masih diberi nikmat hidup oleh Allah bisa berusaha untuk melanjutkan perjuangan beliau, kita jangan sampai larut dalam kesedihan yang berlebihan, karena perjuangan masih panjang dan penuh dengan aral rintangan yang membentang. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan menempatkan beliau di Firdaus Al-A’la.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg Lintasme
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger