“Awakmu iso moco kitab tenan kui nek
wes iso moco kitab seng durung tau pok ngerteni, pengarange sopo yo durung
ngerti lan during tau pok ngajeni. Nek wes iso moco kitab seng model ngono kui,
lagi awakmu tak percoyo iso moco kitab tenan, nek ora yo durung”
(kamu bisa benar-benar membaca kitab
[kuning yang gundul tanpa makna dan harokat] itu kalau sudah bisa membaca kitab
yang kamu sendiri belum pernah tau kitab itu sebelumnya, belum tau siapa
penulisnya dan kamu pun belum pernah ngaji kitab itu. Kalau kamu sudah bisa
membaca kitab yang seperti itu, baru aku percaya kalau kamu benar-benar bisa
membaca kitab, kalau tidak [bisa membaca kitab model yang demikian] ya berarti
belum bisa [baca kitab])
Ungkapan
singkat di atas merupakan salah satu pesan yang disampaikan oleh guru, kakek dan
saudaraku, Al-Maghfur Lahu Mbah Yai Makin Mudzakir sekitar 9 tahun yang
lalu. Dan seingatku, pesan ini beliau sampaikan saat pertama kali aku belajar
ilmu Nahwu Shorof pada beliau, dan diulang kembali saat aku hendak berangkat
mondok ke Lamongan, hingga akhirnya pindah ke pondok Sarang, Rembang. Entah, aku
sendiri tidak tahu, apakah ungkapan itu hanya ditujukan kepadaku saja atau kepada
yang lain juga. tapi yang jelas, ungkapan di atas telah memberikan suntikan dan
support yang luar biasa bagi aku yang pada waktu masih ingusan, karena kalau
tidak salah, umurku waktu itu kurang lebih masih 11/12 tahun. Jadi masih umbelen
dan unyil-unyil sekali..he..he.
Dulu,
di gedung Madrasah Salafiyah pernah di adakan pengajian nahwu shorof dengan
materi kitab Matan Jurumiyah dan Amtsilah Tashrifiyah, dan sebagai pengampu
adalah beliau Mbah Makin sendiri. Saat itu aku baru saja lulus SD dan masuk jenjang
pertama sekolah Menengah. Sebenarnya aku enggan ikut pengajian ini, karena aku
menduga bahwa pesertanya banyak dan rata-rata mereka jauh lebih tua dariku,
jadi aku males karena gak bisa fokus. Akan tetapi atas desakan dan dorongan
dari guru dan pak dheku, Ust. Hanif Faishal, akhirnya aku pun ikut pengajian
itu.
Dan ternyata
dugaanku benar, pada malam pertama aku berangkat mengaji, yang hadir kurang
lebih sekitar 25 orang dan rata-rata umur mereka lebih tua dariku. Bahkan bisa
di katakana aku adalah siswa paling kecil di antara mereka, hanya saja keakrabanku
dengan mereka bisa sedikit mencairkan
suasana, karena ternyata kebanyakan mereka adalah murid dari bapak dan tentunya
mengenalku dengan baik. Aku pun masuk ruangan dan memilih duduk paling
belakang, karena aku takut kalau-kalau nanti di Tanya ini dan itu oleh Mbah
Makin.
Berselang
kemudian, beliau masuk ke dalam ruangan dan memulai ngaji dengan memimpin kami
membaca surat Al-Fatihah bersama. Setelah itu mulailah kami bersama-sama
membaca Tashrif Mazid Istilahi yang terdengar sayup-sayup dengan irama
dan melodi yang indah nan teratur dan suara yang kompak melafalkan:
Fa’ala-Yufa’ilu-Taf’ilan-Taf’ilatan-Taf’alan-Tif’alan-Mufa’alan-Fa
Huwa- Mufa’ilun-Wa Dzaka-Mufa’alun-Fa’il-Laa Tufa’il –Mufa’alun-Mufa’alun…dst
Setelah itu beliau memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menguji kemampuan dan pemahaman anak-anak pada malam itu.
“Bah,
nek lafald Nashoro diikutkan wazan Istaf’ala isim fa’ile piye?”,
kata beliau pada Lek Misbah, seniorku dan sekarang ketua Banser.
“Muf’ilun
pak”, jawab lek Bah dengan mimik wajah kurang PD.
“Salah
Bah, la nek kowe Ham, piye?”, beliau melempar pertanyaan pada lek Adham.
“Mustaf’ilun
pak”, jawab lek Ham dengan cengengesan bangga.
“La
nek di ikutkan wazan Tafa’ala, Fi’il Nahi-ne piye?”, pertanyaan
kejaran Mbah Makin kepada lek Ham dan akhirnya membuat dia klepek-klepek.
“Nek
kowe Mam, Fi, piye?”, ganti beliau bertanya kepada kedua keponakan beliau, lek
Himam dan lek Shofi.
“Laa
Tunasshir, dhe”, jawab keduanya serentak.
“Jal
Tashrif Lughowi..!”
Yah,
begitulah kurang lebih cara beliau mengajar. Beliau berusaha untuk menerapkan
pola interaktif dengan murid-muridnya, tidak hanya beliau saja yang memberi
akan tetapi murid juga harus bekerja untuk bisa memahami dan menancapkan ilmu
dalam jiwa mereka. Sehingga yang menjadi pinter tidak hanya beliau saja, tapi
juga menular kepada murid-muridnya.
Sosok
Pelayan Umat
Di
antara beberapa keistimewaan Mbah Makin adalah beliau selalu berusaha untuk melayani
umat, dan pelayan terhadap umat ini beliau ejawantahkan dengan selalu berusaha mengahadiri
undangan warga desa yang ditujukan kepada beliau. Kesan ini sangat nampak kuat dan
melekat sekali dalam diri beliau. Setiap ada warga desa yang hajatan, baik itu
berupa sunatan anaknya, orang tua/kerabatnya meninggal, orang mau menikah dan
masih banyak tetek bengek hajat yang lain, maka bisa di pastikan kalau Mbah
Makin ada dalam acara tersebut atau bahkan beliau sendirilah yang memimpin
berjalannya acara itu.
Nampaknya
memang Mbah Makin menjadikan Khidmah (pelayanan) terhadap masyarakat
dengan corak seperti di atas—yakni dengan selalu berusaha menghadiri undangan
hajatan masyarakat—ini sebagai merk beliau. Dan dengan kerawuhan beliau
ini, maka warga yang punya hajat pun sangat bahagia sekali atas kehadiran
beliau. Beliau akan selalu berusaha untuk menghadiri undangan, selama tidak ada
udzur Syar’i yang mencegah kedatangan beliau.
Disamping
menyenangkan pihak pengundang, kedatangan Mbah Makin pun acap kali bisa menjadi
sebuah control sosial bagi orang-orang yang ingin mengadakan hajatan, akan
tetapi di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran
Islam. Semisal ada yang ingin mengadakan dangdutan untuk acara sunatan anaknya,
akan tetapi saat mengundang Mbah Makin, maka beliau mensyaratkan kedatangannya
dengan tidak boleh adanya dangdutan dalam acara hajatan tersebut. Atau kalaupun
ada, itu bisa di tampilkan setelah beliau pulang. Jadi dengan kehadiran beliau
ini, hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sedikit banyak bisa diminimalisir,
untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Yang menjadi pertanyaan sekarang:
“Apa yang menjadi pendorong kuat bagi Mbah Makin untuk melayani masyarakat
dengan cara demikian itu?”.
Pernah
dalam satu kesempatan, beliau bercerita kepadaku: “Ya’, Aku Kui Pernah
Njaluk Di Baiat Thoriqoh Dining Yai, Tapi Ora Di Wehi Malah Di Dawuhi: Kin,
Thoriqohmu Kui Yo Ngrumat Masyarakatmu”, (Ya’, aku pernah meminta kepada
Yai [Yai Maemun Zubair] agar di baiat thoriqoh, tapi beliau [Mbah Mun] tidak mengabulkan
permintaan itu dan malah dawuh: Kin, thoriqohmu itu ya ngurus masyarakat). Kalau
melihat cerita tersebut, minimal ada 2 pelajaran yang bisa kita ambil. 1. Bahwa
Thoriqoh (jalan untuk mendekat kepada Allah) itu bermacam-macam, tidaklah satu
dan tidak pula harus yang seperti
sekarang ini ada dengan berbagai macam warna dan coraknya. 2. Thoriqoh yang
paling pas adalah yang sesuai dengan kondisi yang sedang di hadapi oleh
seseorang itu sendiri.
Saat
aku mendengar cerita Mbah Makin tersebut, aku langsung saja teringat akan
mutiara Hikmah sang maestros sufi terkenal, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandary dalam
kumpulan Al-Hikam, beliau berkata:
إرادتك
التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب شهوة خفية وإرادتك الأسباب مع إقامة الله
إياك في التجريد انحطاط من الهمة العالية
‘Keinginanmu untuk tajrid, sedang allah memposisikan dirimu
dalam (berinteraksi dengan) sebab musabab, adalah sebuah syahwat yang samar.
Sedang keinginanmu (untuk berinteraksi dengan) sebab musabab, sementara allah
memposisikan dirimu untuk tajrid adalah satu bentuk menurunnya cita-cita yang
mulia”
Dan nampaknya Mbah Makin telah
memahami dari mana wejangan gurunya itu muncul, yang tak lain dan tak bukan
adalah berasal dari kemilauan mutiara hikmah Ibnu Athaillah tersebut di atas.
Semoga goresan tinta sederhana ini bisa sedikit mengukir kenangan dan kisah
teladan beliau, Mbah Yai Makin Mudzakir. Hendaknya kita semua yang masih diberi
nikmat hidup oleh Allah bisa berusaha untuk melanjutkan perjuangan beliau, kita
jangan sampai larut dalam kesedihan yang berlebihan, karena perjuangan masih
panjang dan penuh dengan aral rintangan yang membentang. Semoga Allah
mengampuni dosa-dosa beliau dan menempatkan beliau di Firdaus Al-A’la.
0 komentar