Suatu hari, saya dan pak dhe berkunjung Bp.
Shonhaji, Ngilir, Semarang. Setelah berbasa basi sebentar, Mbah Son—begitulah
biasanya saya memanggil Bp. Shonhaji—bertanya kepadaku:
"Ngaji apa sekolah?"
"Ngaji Mbah", Jawabku.
"Di mana?", tanya beliau lagi.
"Di Mbah Mun"
"Mbah Mun sehat Yo...Dulu, saya itu
menjadi tukang antar beliau kalau di undang pengajian. Dengan naik sepeda motor
merah yang sudah nampak tua. Saya disuruh mengantarkan beliau, sebab waktu itu
yang bisa memperbaiki motor kalau mogok di tengah jalan dan tahu sedikit
tentang ilmu perbengkelan diantara beberapa santri yang masih sedikit ya cuma
saya thok", kata Bp. Shonhaji.
"Apakah selama njenengan ngaji kepada Mbah
Mun menemukan sebuah kejadian yang bisa kita jadikan pelajaran bersama
Lek?", tanya pak Dhe.
"Sering Nif, dulu itu jumlah santri tidak
sebanyak sekarang ini. Mbah Mun masih sering sekali menjenguk para santri yang
sedang asyik di bilik-bilik pesantren. Pernah dalam satu waktu, kami para
santri guyonan rame-rame di bilik bagian kiri Musholla [mungkin sekarang adalah
kamar sebelah samping selatan kantor keamanan]. Saking asyiknya kami guyonan,
kami tidak sadar suara ketawa kami terdengar sampai keluar. Lalu tiba-tiba:
"Son...cung..." [Son....nak], panggil
Mbah Mun.
"geh dalem Mbah" [ya...saya Mbah],
jawabku segera.
"Son...ono opo kok santri do
rame-rame..heh?" [Son...ada apa kok santri rame].
"niki wau, enten rencang santri nembe dugi
saking griyone, Solotigo. piyambake crios-crios lucu Yai". [ini tadi ada
teman santri yang baru datang dari rumahnya di solotigo. Dia bercerita yang
lucu-lucu Kiai].
"Crito opo?" [cerita apa], tanya Mbah
Mun kembali.
"kemarin anak santri tersebut sowan ke
salah seorang Kiai di Magelang. saat sowan, lama sekali Kiainya tidak
keluar-keluar. Lalu semua tamu diberi minuman berupa teh, kecuali santri
tersebut. setelah lama ditunggu sekian lama, tiba-tiba sang Kiai keluar kamar
dengan membawa sebuah baskom yang tertutup. Dan tidak pernah di duga
sebelumnya, ternyata si Kiai melemparkan isi baskom tadi tepat ke arah muka
kang santri. Dan lebih parahnya lagi, isi baskom itu adalah kotoran manusia
yang baru saja keluar, jadi masih panas dan baunya luar biasa menyengat hidung.
Bukan kepalang malunya kang Santri, maka sesegera mungkin si santri keluar ndalem
dan akhirnya pulang tanpa pamit, karena menahan malu yang sangat luar
biasa".
"sopo jenenge santri mau?". [siapa
nama santri tersebut tadi]. tanya Mbah Mun.
"si Fulan", jawab shonhaji kecil
[saya sendiri lupa siapa namanya].
"celukno kon mrene Cung..!" [panggil
dia suruh ke sini nak].
"geh Yai"
Setelah santri tadi datang dan di tanya ke sana
kemari tentang kebenarang cerita Bp. shonhaji tersebut, ternyata memang santri
tadi mengiyakan semua cerita Shon kecil.
"Yo nek ngono, kowe muleh wae Cung. Mbukak
warung wae. Rame warungmu insya Allah koyok ramene telek di krubungi
laler". [Ya kalau demikian, kamu pulang saja nak. buka warung saja. rame
warung kamu nanti insya Allah, seperti ramenya tinja yang dikrubuti lalat].
Dawuh Mbah Mun kepadanya.
Maka si santri menuruti apa dawuh Mbah Mun dan
pulang, Dia memulai berjualan dengan hanya bermodalkan satu bungkus rokok saja.
Tapi sampai sekarang, si santri bisa di bilang menjadi orang kaya.
*************
seorang Mursyid yang Kamil wa Mukammil
mengetahui tepatnya bagaimana seorang salik bisa wushul kepada Allah. Dalam
perang, Ia ibarat seorang jendral yang harus di turuti perintahnya, jika tidak,
maka lawan akan mudah memecah belah dan menghancurkan pasukan perang...
Semoga Mbah Mun sehat dan selalu di beri mudah serta
sukses cita dan harapan beliau...
0 komentar