Dalam mendefinisikan kata 'Aam
maupun kata yang khas, para pakar Ushul Fiqh menyebutkan berbagai macam redaksi
yang berbeda antara satu dan lainnya. Hanya saja menurut saya, definisi yang
paling komprehensif adalah definisi yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Wahhab
Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, disana beliau berkata:
“'Aam
adalah kata yang secara asal peletakannya (wadh'u) menunjukkan makna
yang komprehensif dan mencakup semua elemen atau bagian-bagiannya yang memang
mungkin untuk dicakup, tanpa adanya sebuah pembatasan pada jumlah tertentu”[1]
Dari
definisi di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan yang berhubungan
dengan kata 'Aam sebagai berikut:
a. Cakupan
kaidah 'Aam hanyalah pada dalil-dalil yang bersifat verbal atau ucapan, bukan
dalil yang bersifat fi'lu atau pekerjaan seseorang. Konsekuensi dari
cakupan kaidah ini adalah bahwa setiap dalil—terutama dalil berupa hadis—yang
merupakan tindakan atau perbuatan baginda Nabi Muhammad tidaklah bisa dianalisis
dengan menggunakan metodologi kaidah 'Aam ini.
b. Makna yang
ditunjukkan oleh kata 'Aam adalah makna yang bersifat universal dan
komprehensif, yakni makna yang mencakup setiap elemen atau setiap
bagian-bagiannya tanpa terkecuali, bukan hanya secara ijmal[2].
Karena jika kata 'Aam adalah kata yang bersifat ijmal maka tidak
diperlukan adanya sebuah takhshish atau upaya untuk mengecualikan
sebagian elemen atau bagian dari makna yang dicakup oleh kata 'Aam tersebut.
Dalam hal inilah terjadi perbedaan yang sangat nampak sekali antara kata Muthlak
dan kata yang 'Aam dalam kajian Ushul Fiqh[3].
Adapun dalam mendefinisikan
kata yang Khas, para pakar Ushul pun berbeda-beda antara satu dan lainnya dalam
meredaksikannya. Dalam buku sederhana ini saya kembali lagi mengutip definisi
yang ditampilkan oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya di atas, disana beliau
berkata:
“Khas
adalah kata yang secara asal peletakannya memang menunjukkan satu elemen atau
satu bagian tertentu saja”[4]
2.
Macam-macam pembagian kata 'Aam.
Setelah
dijelaskan masing-masing definisi kata 'Aam dan Khas, maka bisa diambil
kesimpulan bahwa kata-kata 'Aam terbagi menjadi beberapa bagian sebagai
berikut:
a. Kata 'Aam
yang memang secara pasti menunjukkan makna yang umum dan komprehemsif, karena
memang tidak ada Qarinah atau tanda yang memungkinkan kata ‘Aam tipe ini
untuk dikhususkan. Contohnya adalah kata 'Aam pada ayat:
وما
من دابة في الأرض
إلا على الله رزقها
“Tidak
ada makhluk hidup apapun di dunia
ini kecuali Allahlah yang menanggung rizqinya” (QS. Hud: 6).
Pada
ayat di atas, kata 'Aam bisa kita temukan pada firman Allah: “دابة” yang tak lain merupakan kata nakirah yang terdapat
dalam susunan ayat yang nafi, bukan istbat. Disamping itu, dalam
ayat di atas terdapat penetapan sunnatullah yang tidak akan tergantikan
dan tidak akan dikhususkan, sehingga keumuman dari ayat di atas memang merupakan
sesuatu yang pasti, karena memang secara kontekstual ayat tersebut tidak bisa
dikhususkan[5].
b. Kata 'Aam
akan tetapi yang dikehendaki adalah makna yang khusus. Yaitu kata 'Aam yang
memang bersamaan dengan sebuah tanda atau Qarinah yang menunjukkan bahwa
yang dikehendaki adalah makna yang khusus, bukan makna keumuman dari kata
tersebut. Contoh adalah kata 'Aam pada firman Allah:
ولله
على الناس حج البيت
“Haji
ke Baitullah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada
manusia”. (QS. Ali 'Imran: 97)
Pada
ayat di atas, kata 'Aam bisa kita temukan pada redaksi ayat: “الناس” yang tak lain merupakan bentuk isim jama' dan kemasukan
perangkat berupa “al” yang menunjukkan makna jenis, hanya saja akal kita
secara otomatis mengkhususkan bahwa tidak mungkin Allah mewajibkan haji kepada
semua manusia, akan tetapi tentunya hanya kepada mereka yang sudah mukallaf
saja[6]. Saya
katakan dalam poin kedua ini bahwa akal adalah yang mengkhususkan keumuman dari
ayat diatas, karena memang tidak ada dalil yang secara spesifik dengan tema yang
sama—yaitu tema haji—yang secara eksplisit mengkhususkan keumuman ayat di atas.
Akan tetapi yang ada adalah dalil lain—yang mempunyai sisi keumuman juga—akan
tetapi dibalik itu ia juga mempunyai sisi kekhususan, yang mana sisi kekhususan
inilah bisa menjadi sebuah media takhsish yang mencakup semua bagian
atau elemen dalam keumuman dalil di atas. Dalil lain tersebut adalah hadis Nabi
yang berbunyi:
رفع
القلم عن الصبي حتى
يحتلم وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون
حتى يفيق.
“Tidak
ada kewajiban bagi seorang anak kecil hingga ia telah ihtilam, bagi orang yang
tidur hingga ia bangun dan bagi orang yang gila hingga ia sadar dari kegilaannya”.
Secara
eksplisit, dalil hadis yang disebut terakhir ini menjelaskan bahwa anak kecil,
orang yang tidur dan orang gila tidak masuk dalam kategori manusia yang terkena
beban keagamaan (At-Taklif Ad-Dini) hingga mereka benar-benar mencapai
taraf tertentu yang dijadikan Allah sebagai sebab utama dan ukuran bagi mereka
untuk dibebani aturan keagamaan yang berupa kondisi tamyiiz atau
kesadaran yang ternyata antara satu dan lainnya juga terdapat perbedaan. Perbedaan
itu dapat kita dapatkan secara eksplisit pada penjelasan hadis di atas yang
menyatakan bahwa anak kecil bisa ditaklif saat dia sudah baligh, orang
yang tidur saat dia bangun dan orang yang gila saat kembali lagi kesadarannya.
Baik itu baligh, bangunnya orang tidur ataupun kembalinya kesadaran orang gila
adalah bentuk dari tamyiiz yang menjadi sebab adanya beban keagamaan
seperti ibadah haji misalnya, sebagaimana dijelaskan oleh ayat haji dari surat
Ali Imran di atas[7].
c. Kata 'Aam
yang menunjukkan makna umum dan dia bisa menerima adanya takhshis atau
spesifikasi, bagian ketiga ini biasa disebut dengan istilah: 'Aam makhshus.
Pada dasarnya bagian yang ketiga ini memiliki kesamaan dengan bagian yang
pertama, yakni bahwa kata 'Aam disini tetap pada makna aslinya berupa makna
umum, hanya saja yang membedakannya dari poin yang pertama adalah adanya tanda
yang menunjukkan secara pasti bahwa kata 'Aam pada poin pertama tidak bisa
menerima unsur spesifikasi/takhshis, sementara pada poin yang ketiga ini
tanda itu tidak ditemukan. Sehingga munculnya adagium yang terkenal dalam ilmu
Ushul: “ma min 'Aamin illa wa qad khussha”, tidak ada kata umum atau
universal kecuali dia pasti bisa menerima untuk ditakhshis atau
dispesifikasikan, sangat sesuai dengan poin yang ketiga ini. Karena adagium ini
tidak akan menemukan relevansinya jika dihubungkan dengan poin pertama yang
memang secara pasti makna universalnya terjaga. Nah, pada poin ketiga inilah
adagium ini bisa diaplikasikan dan menemukan korelasinya, karena memang poin
ketiga ini menerima untuk di takhshis dengan menggunakan dalil lainnya.
Adapun
perbedaan antara poin yang ketiga dengan poin kedua ada beberapa macam yang
hanya bisa kami sebutkan sebagian saja, diantaranya adalah berikut ini:
pertama: sifat umum pada yang melekat
pada kata 'Aam poin ketiga adalah komprehensif (syumul) dan mencakup
semua elemen-elemen yang masuk dalam cakupan kata 'Aam itu sendiri, disamping
juga keumuman maknanya memang dikehendaki oleh orang yang berkata. Sementara
kata 'Aam pada poin kedua sifat umumnya bukan hal yang dikehendaki oleh orang
yang mengatakannya, sehingga tidak ada unsur makna komprehensif dalam keumuman
dari kata tersebut dan tidak membutuhkan takhshis lagi.
Kedua: yang menjadi takhshis dari
kata 'Aam pada poin ketiga adalah dalil yang bersifat verbal baik itu berupa syarat,
sifat, istitsna' dan lain sebagainya. Berbeda dengan 'Aam pada
poin yang kedua, karena dalil yang menjadi perangkat takhshis lebih
bersifat rasional. Dan masih ada beberapa perbedaan lainnya yang akan terlalu
panjang dan menyita banyak waktu jika semua diuraikan disini[8].
Dalam
menyikapi poin yang ketiga ini para pakar Ushul memperbolehkan untuk mengambil
hukum dari keumuman sebuah dalil sampai benar-benar telah ditemukan adanya
dalil lain yang mengkhususkan. Jika memang ada dalil yang lebih spesifik dengan
konteks yang sama, maka dalil 'Aam tersebut akan ditakhsis dengan dalil khusus
tadi dan jika tidak ditemukan dalil khusus seperti kategori di atas, maka yang
diambil adalah keumuman hukum dari sebuah teks tersebut[9]. Kita
ambil satu contoh agar poin ketiga ini lebih mudah untuk dipahami, semisal ayat
ke-228 dari surat al-Baqarah yang berbunyi:
والمطلقات
يتربصن بأنفسهن
ثلاثة قروؤ
“Para
wanita yang telak dicerai oleh suaminya itu harus menunggu masa 'iddah selama
tiga quru'”.
pada
ayat diatas terdapat kata umum berupa “المطلقات” yang berarti setiap wanita yang telah dicerai oleh suaminya.
Kata tersebut masuk dalam kategori 'Aam karena memang dia menunjukkan makna
yang universal, bahwa semua wanita yang telah dicerai suaminya masuk dalam satu
lingkaran hukum yang sama yaitu iddahnya 3 quru', baik itu wanita
yang sedang dalam kondisi hamil saat dicerai maupun yang tidak. Sekilas jika
seorang mujtahid hanya melihat kata umum tersebut, maka secara otomatis dia
akan mencetuskan sebuah hukum bahwa semua wanita yang dicerai iddahnya adalah
menunggu 3 quru'. Akan tetapi, ternyata disana ada ayat lain dengan
konteks yang sama tapi mempunyai hukum yang berbeda, yaitu ayat:
وأولات
الأحمال أجلهن
أن يضعن حملهن
“Para wanita yang sedang hamil mempunyai batas akhir iddah sampai mereka
melahirkan anak-anaknya yang ada dalam kandungannya”. (QS.
At-Thalaq: )
dalam ayat kedua ini terdapat kata khusus yaitu “ulatul
ahmaal” yang berarti wanita-wanita yang sedang hamil dan disertai dengan
hukum khusus pula yaitu selesainya masa iddah dengan melahirkan anak yang ada
dalam kandungannya. Jika kita komparasikan antara kedua dalil di atas—antara
surat al-Baqarah dan surat At-Thalaq—dan hanya melihat secara lahiriah dari
kedua teks itu saja maka seakan-akan terdapat jurang perbedaan yang lebar
antara kedua teks dalam satu kasus yang sama yakni wanita yang tidak bersuami
tapi terdapat hukum yang berbeda antara keduanya. Akan tetapi jika kita
menggunakan metode takhshis maka akan kita dapatkan sebuah kesimpulan
hukum yang cukup menarik bahwa wanita yang hamil dikecualikan dari aturan hukum
wajib iddah selama 3 quru' yang diambil dari surat al-Baqarah, karena
mempertimbangkan adanya ayat At-Thalaq yang lebih spesifik, sehingga cakupan
ayat al-Baqarah diatas hanya pada wanita-wanita yang dicerai suaminya tapi
tidak dalam kondisi hamil.
Dalam kondisi seperti inilah penggunaan metode semisal
takhshisul 'Aam menjadi sebuah media yang dapat memberi solusi untuk
keluar dari 'kemelut' ambiguitas sebuah teks keagamaan. Karena jika kita tidak
menggunakan metode takhsis dan semisalnya, maka kita sendiri akan terperangkap
dalam kemelut tersebut yang pada akhirnya akan menimbulkan kesan rancau dan plin
plan dari sebuah teks, sehingga kesakralan sebuah teks keagamaan pun akan dipertanyakan dan paling tidak mengalami krisis kepercayaan dari pengikut setianya. Karena memang
kerancauan dan kesan ambiguitas sebuah teks keagamaan adalah sebagai satu bukti
kelemahan tersendiri bagi keotentikan sebuah teks tersebut dan hal itu tidak
mungkin terjadi pada teks keagamaan dalam Islam—baik itu al-Qur'an ataupun Hadis—karena
sudah ditiadakan oleh allah
sendiri melalui firmannya dalam al-Qur'an sendiri yang berbunyi:
ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا
“Andaikan
al-Qur'an ini bukan dari Allah (akan tetapi buatan makhluk sendiri) niscaya
akan mereka temukan di dalamnya
banyak sekali perbedaan”.
(QS. An-Nisa': 82).
perbedaan
yang dimaksud dalam ayat ini adalah perbedaan yang mengakibatkan munculnya
sifat ambigu pada kabar atau makna yang dibawa dan disampaikan oleh teks-teks
keagamaan dalam Islam, yang dalam ayat ini adalah al-Qur'an. Tafsir yang
demikian ini, sebagaimana disampaikan oleh al-Imam Abus Su'ud Muhammad bin
Muhammad Al-Imadi, adalah tafsir yang lebih sesuai dengan runtutan kalimat (siyaq
kalam) dari ayat di atas[10].
Adapun perbedaan dalam sisi bahasa semisal Qiraat (bacaan), makna yang
ditunjukkan dari redaksi sebuah teks dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan bahasa sebuah teks al-Qur'an dan semisalnya, maka itu tidak masuk dalam
kategori perbedaan yang ditiadakan oleh ayat di atas[11].
Redaksi teks-teks keagamaan dalam Islam—baik al-Qur'an atau Hadis—adalah teks yang
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dan bisa menerima adanya
metode semisal takhshis yang saya sebutkan di atas, sehingga kesan ambiguitas
makna sebuah teks-teks keagamaan dalam Islam bisa benar-benar dihindari yang
pada akhirnya itu semua adalah bukti bahwa Allah benar-benar menjaga teks-teks
Islam agar tidak terjebak dan jatuh dalam perbedaan yang ditiadakan oleh
al-Qur'an.
3. Kaidah-kaidah
dalam tema 'Aam dan Khas.
Dalam kajian Ushul Fiqh, baik
klasik maupun baru, ada banyak kaidah-kaidah yang dimasukkan dalam ruang
lingkup pembahasan 'Aam dan Khas. Dan kaidah-kaidah tersebut akan sangat
membantu dalam memahami teks-teks keagamaan dalam Islam, baik dari al-Qur'an
maupun Hadis. Sehingga dalam kesempatan ini, saya pun akan menyebutkan beberapa
kaidah yang memang menurut saya mempunyai korelasi dengan tema pembahasan dalam
buku sederhana ini. Kaidah-kaidah diantaranya sebagai berikut:
a.
Keumuman teks dan khususnya sebab.
Teks-teks keagamaan dalam Islam
seringnya muncul sebagai jawaban atas peristiwa atau problematika sosial yang
terjadi dalam masyarakat muslim pada waktu itu. Walaupun jika ditelusuri dengan
lebih teliti dan terperinci, tidaklah semuanya merupakan jawaban atas
problematika umat yang ada. Hanya saja teks keagamaan dengan model yang
pertama—sebagai respon atas problematika umat—adalah yang paling banya
dijumpai. Sehingga dalam literatur kita, terutama dalam ilmu Tafsir dan ilmu
Hadis, ada tema khusus yang membahas tentang masalah tersebut dan dikenal
dengan ilmu Asbabun Nuzul dalam cabang ilmu Tafsir dan Asbabul Wurud
dalam cabang ilmu Hadis. Dalam ilmu Tafsir banyak kita jumpai buku-buku yang
membahas secara khusus dan mendetil tentang hal-hal yang manjadi penyebab
turunnya ayat al-Qur'an, semisal Lubabun Nuqul-nya As-Suyuthi atau Asbabun
Nuzul-nya Al-Wahidi. Sedangkan dalam hadis saya belum mengetahui adanya
karya secara khusus tentang hal ini, hanya saja Imam Tajuddin As-Subki
menyebutkan bahwa sebagian ulama Mutaakhirin telah menulis karya
berkenaan dengan Asbabul Wurud ini[12].
Hanya saja dalam kajian Ushul
Fiqh, permasalahan Asbabun Nuzul dan Asbabul Wurud mendapatkan
analisa yang berbeda dari analisa seorang pakar Tafsir ataupun pakar Hadis.
Karena memang tujuan dari ketiga ilmu ini berbeda antara satu dan lainnya. Pada
kesempatan kali ini saya hanya akan mencukupkan pada satu kaidah yang sering
dijadikan analisa Ushuli terhadap kedua masalah di atas adalah kaidah yang
berbunyi:
هل
العبرة بعموم اللفظ
أم بخصوص السبب؟
“manakah
yang lebih diprioritas, apakah keumuman redaksi sebuah teks atau malah penyebab
yang melatar belakangi munculnya sebuah teks?”.
Untuk menjawab pertanyaan ini,
sebagian pakar hanya menyebutkan bahwa pendapat yang diikuti oleh mayoritas
ulama adalah lebih di prioritaskannya keumuman sebuah teks dari pada kekhususan
sebab yang melatar belakangi teks itu muncul. Padahal mestinya harus lebih
diperinci, karena memang tidak semuanya dapat dimasukkan dalam lingkaran
pendapat mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas[13].
Agar tidak terjatuh dalam kesalahan yang sama dengan sebagian para pakar Ushul
seperti yang telah saya sebutkan di atas, saya insya Allah akan lebih
memperinci dan menjelaskan lebih detil lagi masalah tersebut sebagai berikut:
1. kata 'Aam
yang merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada orang yang
berkata. Poin ini pun terbagi lagi menjadi dua bagian lagi. Pertama
adalah kata 'Aam yang uk menjadi jawaban untuk sebuah pertanyaan, hanya saja
kata tersebut tidak bisa difahami dengan benar jika tidak bersamaan dengan
sesuatu yang menjadi penyebab munculnya kata tersebut, baik penyebab itu berupa
pertanyaan. Maka hukum yang berkenaan dengan kata 'Aam pada poin pertama ini
hanya terkhususkan pada sebab munculnya hukum tersebut. Jika penyebabnya khusus
maka kata tersebut dikhususkan bagi sebab tersebut, bagitu juga sebaliknya jika
penyebabnya umum, maka kata tersebut pun juga diumumkan sesuai dengan
penyebabnya[14].
Kedua adalah kata 'Aam yang menjadi jawaban dari sebuah pertanyaan dan
bisa difahami dengan benar maknanya walaupun tidak bersamaan dengan sesuatu
yang menjadi penyebab munculnya kata 'Aam tersebut. Pada poin yang kedua ini
yang menjadi pertimbangan utama adalah lafadz dari teks itu sendiri,
bukan penyebabnya seperti pada poin pertama tadi. Jika redaksi teks tersebut
menggunakan kata yang khusus, maka maknanya khusus juga. Akan tetapi jika lafadz
dari teks itu umum, maka yang menjadi pertimbangan utama adalah keumuman dari
kata tersebut. Disinilah kaidah: “Al-'Ibratu Bi 'Umumil Lafdzi La Bi
Khushusis Sabab”, menemukan momentumnya, karena saat orang yang
menjawab—dalam hal ini adalah baginda Nabi Muhammad sebagai penyampai syari'at
dari Allah—memilih untuk menggunakan redaksi kata umum, sementara pertanyaan
yang diajukan kepadanya adalah sesuatu yang lebih spesifik, maka bisa dipahami
bahwa yang dikehendaki memang keumumannya, disamping para sahabat dan tabi'in
setelahnya juga sepakat untuk menjadikan keumuman sebuah teks sebagai
pertimbangan utama dan hal mereka jadikan pegangan, walaupun penyebab munculnya
teks-teks tersebut khusus[15].
Untuk lebih memahami penjelasan di atas mari kita perhatikan beberapa contoh di
bawah ini:
عن
أبي سعيد الخدري أنه
قيل لرسول الله: أنتوضأ من بئر بضاعة وهي
بئر يطرح فيها الحيض و لحم
الكلاب والنتن؟ فقال رسول الله :الماء طهور لا ينجسه
شيء
“Diriwayatkan
oleh Abu Sa'id Al-Khudri bahwasanya ada yang bertanya kepada baginda
Rasulullah: bolehkah kami berwudhu dari airnya sumur Budha'ah, sementara ia
adalah sumur yang mana kain bekas pembersih haid, daging anjing dan segala
benda yang menjijikkan serta berbau anyir banyak terbuang dan jatuh di
dalamnya? Maka baginda Rasulullah menjawab: air adalah benda yang suci dan bisa
mensucikan, tidak akan ada benda lain yang bisa menjadikannya najis”. (HR.
Abu Dawud) [16].
Menurut
satu pendapat ulama, bahwa yang dijadikan pertimbangan dari hadis di atas
adalah keumuman dari jawaban baginda Nabi, yaitu kata “al-ma'” yang
berarti air, walaupun pertanyaan yang diajukan kepada beliau adalah khusus
yaitu tentang sumur Budha'ah, hal itu karena yang menjadi hujjah adalah
ucapan baginda Nabi sendiri, bukan penyebab dari munculnya ucapan baginda Nabi
tersebut[17].
Walaupun saya tidak menutup kemungkinan adanya ulama lain yang mengartikan
jawaban baginda Nabi di atas sebagai jawaban yang khusus, dengan
mempertimbangkan bahwa perangkat “al” pada kata “al-ma'” adalah
perangkat yang menunjukkan realitas sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya ('ahdi
khariji)[18].
2. Kata 'Aam
yang tidak merupakan jawaban sebuah pertanyaan, akan tetapi dia datang sebagai
penjelasan dari sebuah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu selama tidak
bersamaan dengan dalil lain yang menunjukkan adanya kekhususan pada hal yang
tertentu tersebut. Untuk mempermudah dalam memahami poin yang kedua ini mari
lihat contoh berikut ini:
إن
الله يأمركم أن تؤدوا
الأمانات إلى أهلها
“Allah
memerintahkan agar kalian semua mengembalikan amanah kepada pemiliknya kembali”.
(QS. An-Nisa': 58).
Ayat
surat Al-Maidah di atas diturunkan saat Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib mengambil
kuci Ka'bah dari Utsman bin Thalhah Al-Hajbi dari turunan Abdid Daar, juru
kunci Ka'bah, secara paksa saat baginda Nabi Muhammad datang ke Makkah. Hal itu
dilakukan oleh 'Ali karena memang Utsman tidak mau memberikan kunci tersebut
dan berkata: “andaikan saya tahu bahwa dia (Muhammad) adalah utusan Allah,
niscaya saya akan memberikan kuci ini kepadanya”. Lalu Sayyidina 'Ali terpaksa
menarik tangan Utsman dan mengambil kuci Ka'bah darinya untuk kemudian membuka
pintu Ka'bah, setelah pintu Ka'bah terbuka, baginda Nabi masuk lalu shalat 2
raka'at di dalam Ka'bah. Setalah selesai baginda Nabi keluar dan bertemu dengan
paman beliau yang bernama 'Abbas bin Abdul Mutthalib yang memintanya agar
memberikan hak pemegangan kuci Ka'bah kepadanya, sehingga dia bisa mengumpulkan
2 hal sekaligus yaitu juru pemberi minum bagi jama'ah haji dan juru kuci
Ka'bah. Lalu Allah pun menurunkan ayat al-Maidah di atas yang memerintahkan
agar memberikan amanah kepada pemiliknya—dan dalam konteks asbab nuzul ini
adalah pengembalian kunci Ka'bah kepada Utsman—maka Rasulullah pun menyuruh
Sayyidina 'Ali agar mengembalikan kunci kepada Utsman dan meminta maaf
kepadanya. Sayyidina 'Ali pun melakukan apa yang diperintahkan oleh baginda
Nabi, saat 'Ali mengembalikan kunci tersebut, Utsman berkata: “saya telah
bersikap kasar dan menyakitkan, akan tetapi kemudian kau datang sikap yang
penuh dengan keramahan”, maka 'Ali pun menjawab: “Allah telah menurunkan ayat
al-Qur'an berkenaan dengan kasusmu ini”, lalu 'Ali pun membacakan ayat di atas
kepada Utsman dan saat mendengar bacaan itu Utsman pun masuk Islam. Pada
akhirnya kunci Ka'bah menjadi hak Utsman dan saat dia meninggal diberikan
kepada saudaranya, Syaibah, yang kemudian menjadi anak turun Syaibah ini sampai
hari kiamat[19].
Jika
kita melihat penyebab turunnya ayat di atas, tentunya kewajiban mengembalikan
amanah hanya untuk kasus Utsman saja. Akan tetapi karena redaksi ayat tersebut
menggunakan kata yang umum, yaitu dhamir “kum” yang merupakan indikasi
keumuman sebuah hukum dan disana tidak ada dalil lain yang mentakhshis keumuman
ayat tersebut, maka yang menjadi pertimbangan utama dan yang di prioritaskan
adalah keumuman sebuah teks, bukan kekhususan sebuah sebab[20].
b.
Konteks Dan Keumuman Sebuah Teks.
Selain kaidah yang telah saya
sebutkan di atas, masih ada kaidah-kaidah lain yang masuk dalam lingkaran
pembahasan 'Aam dan Khas. Diantaranya adalah kaidah yang saya sebutkan berikut
ini:
عموم الأشخاص
يستلزم عموم الأحوال و الأزمنة و الأمكنة
“keumuman yang menjadi sifat pelaku dalam
sebuah teks, mempunyai konsekuensi keumuman kondisi, waktu dan tempat dari
peristiwa yang disebutkan dalam teks tersebut”[21].
Kaidah
ini muncul karena memang pelaku yang menjadi topik pembicaraan dalam sebuah
teks tidak mungkin bisa lepas dari tiga hal tersebut, yakni kondisi, waktu dan
tempat. Sebagai sebuah contoh adalah ayat:
اقتلوا المشركين
pada ayat ini, perintah untuk
membunuh orang yang berpredikat Musyrik—sebagaimana disebutkan dalam ayat
ini—tidaklah hanya dibatasi pada orang-orang musyrik yang hidup dan ada pada
era baginda Nabi Muhammad saja, akan tetapi secara umum, baik yang hidup pada
era Nabi, setelahnya atau di waktu apapun juga. Tanpa
ada kekhususan waktu, tempat dan kondisi, kecuali yang memang di khususkan oleh
dalil lainnya[22].
Adapun kaidah lain yang juga bisa di masukkan dalam kaidah 'Aam dan Khas
ini adalah kaidah yang berbunyi:
ترك
الاستفصال في وقائع الأحوال مع قيام الاحتمال ينزل منزلة العموم في المقال
“Tidak
adanya perincian dari syari' dalam menjelaskan kejadian tertentu yang
bersertaan dengan adanya berbagai macam kemungkinan adalah sama saja dengan
makna umum yang ada dalam dalil Qauli”[23].
Sebenarnya
kaidah ini tidak bisa dimasukkan dalam kelomopok kaidah-kaidah yang masuk dalam
bab 'Aam dan khas, karena memang berhubungan dengan dalil yang menjelaskan
ucapan baginda Nabi dalam memberikan jawaban atas sebuah kejadian tertentu
tanpa ada perincian sama sekali, sedangkan kondisinya menuntut untuk adanya
sebuah perincian. Kita ambil satu contoh adalah hadis ucapan baginda Nabi
kepada Ghilan bin Salamah Ats-Tsaqafi saat dia masuk Islam sementara dia
sendiri sudah memiliki 10 istri. Lalu baginda Nabi berkata:
أمسك
أربعا وفارق سائرهن
“Ambil
saja 4 orang untuk kau jadikan istri, sementara tinggalkan yang lainnya”
Pada hadis di atas, baginda
Nabi tidak menjelaskan dengan lebih terperinci lagi apakah yang 4 orang tadi
adalah istri-istri yang telah dinikahi oleh Ghilan dengan bersamaan atau
dinikahi dengan secara berurutan, bahkah beliau memberikan pilihan kepada Ghilan
untuk mempertahankan 4 orang dari 10 istrinya. Tidak adanya perincian dari
baginda Nabi ini menurut Imam As-Syafi'i menunjukkan bahwa memang ungkapan
baginda Nabi tersebut menunjukkan hukum yang umum, karena tentunya akan sangat aneh jika
sebagai pemegang otoritas tasyri' secara metafora, baginda Nabi tidak
menjelaskan secara lebih terperinci, sementara kondisinya menuntut beliau untuk
menjelaskan lebih terperinci lagi[24].
[1] Abdul
Wahhab Khallaf (2006), Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Darul Kutub
Ilmiah. Hal: 143.
[2] Kata ijmal
sebenarnya juga mempunyai makna umum sebagaimana kata “'Aam”, hanya saja
keumuman kata 'Aam lebih universal dan komprehensif, karena makna yang dicakup
oleh kata ijmal hanya secara global saja, tidak satu persatu bagian dari
makna tersebut dicakup dan dikenai hukum yang ditampilkan oleh kata tersebut,
berbeda dengan kata 'Aam tadi. Lihat Taqiyyuddin As-Subki (2004), Al-Ibhaaj
fi Syarh Minhaaj, Beirut: Darul Kutub Ilmiah. Vol: 2 Hal: 63.
[3] Abdul
Wahhab Khallaf (2006), Op. Cit. Hal: 143.
[4] Ibid. Hal: 151.
[5] Ibid. Hal: 146.
[7]
Ibid. Hal: 103.
[8] As-Sayyid Alawi
bin Abbas Al-Maliki (1960), Faidhul Khabir Wa Khulashatut Taqrir 'Ala
Nahjit Taisir, Surabaya: Al-Hidayah. Hal: 127-128.
[9] Sebenarnya dalam masalah ini terdapat banyak perbedaan
pendapat antara pakar ushul fiqh sendiri, hanya saja disini saya menuturkan apa
yang dikuatkan dan dianggap paling sah oleh Syaikh Zakariya Al-Anshari dalam
bukunya Ghayatul Wushul. Lihat Zakariya Al-Anshari (tt), Ghayatul Wushul
'Ala Syarhi Lubbul Ushul, Surabaya: Al-Haramain. Hal: 76.
[10] al-Imam Abus Su'ud Muhammad bin Muhammad Al-Imadi
(tt), Irsyadul Aqlis Salim ila Mazaayal Qur'anil Karim, Beirut:
Ihya'ut Turast Al-Arabi. Vol: 2 Hal: 207-208.
[11] Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurthubi (2006), Al-Jami' li
Ahkamil Qur'an, Beirut: Ar-Risalah. Vol: 3 Hal: 477.
[12]
Taqiyyuddin As-Subki. Op. Cit. Vol: 2 Hal: 145.
[14]
Ibid.
[15] Dr.
Samir bin Sami Al-Qadhi (2012), Nailus Suul fi Syarhi Luma'il Ushul,
Beirut: Syarikah Darul Masyari'. Vol: 1 Hal: 351.
[16] Abi Muhammad Badruddin Mahmud bin Ahmad bin Musa
Al-'Aini (1999), Syarhu Sunan Abi Dawud, Ar-Riyadh: Maktabah
Ar-Rusyd. Vol: 1 Hal: 197.
[18] Khalil Ahmad As-Saharanfuri (tt), Badzlul Majhud
Fi Halli Abi Dawud, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah. Vol: 1 Hal: 173.
[19] Ahmad bin Muhammad As-Shawi Al-Maliki (2002), Hasyiyatus
Shawi 'Ala Tafsiril Jalalain, Beirut: Darul Fikr. Vol:1 Hal: 298-299.
[20]
Jalaluddin As-Suyuthi (1993), Tafsirul Jalalain, Damaskus: Darul
Basyair. Vol: 1 Hal: 57.
[21]
Zakariya Al-Anshari. Op. Cit. Hal: 70.
[22]
Ibid.
[24]Ahmad bin Abdullathif Al-Khathib (2006), An-Nafahat
'Ala Syarhil Waraqat, Surabaya: Alharamain. Hal: 74.
0 komentar