Membicarakan
para ulama bagi saya adalah sama saja dengan membicarakan ilmu yang tentunya
sulit dan tidak akan pernah habis dan membosankan. Apalagi jika yang kita
bicarakan adalah ulama sekaliber KH. Maemoen Zubaer atau lebih akrab dipanggil
dengan Mbah Moen, maka yang muncul bukan hanya sosok ulama dengan keilmuan yang
mendalam, akan tetapi juga sosok yang bisa menjadi representasi dedawuhane
As-Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani sebagai ulama yang mampu mensinergikan antara
tiga komponen pokok syarat seseorang boleh berfatwa, yakni ilmu ulama, siyasah
muluk dan hikmah para bijak, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Manaqib
beliau. Berkumpulnya tiga kreteria ini dalam sosok Mbah Moen menjadikan beliau
berbeda dari yang lainnya dan menjadikan beliau istimewa, terlebih jika yang
mengamati, mengakaji dan ‘membaca’ beliau adalah orang yang masih menjadi
santri beliau, seperti penulis sendiri.
Ada
perasaan yang berbeda dalam hati saat saya ingin menulis tentang beliau. Ada
perasaan segan, bercampur takut, iwuh pekiwuh dan tentunya adalah
perasaan ta’dzim yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Memang sosok
Mbah Moen adalah sosok yang sederhana, humoris dan meneduhkan, akan tetapi pada
waktu yang sama, dalam diri beliau pun terdapat sesuatu yang menjadikan
seseorang merasa segan walaupun hanya sekedar untuk meminta pangestu
atau bertatap muka dengan beliau. Hal ini pulalah yang saya alami saat saya
ingin menorehkan pena guna menulis beberapa patah kata tentang beliau, seakan-akan
beliau ada di depan saya sedang memperhatikan semua gerak-gerik yang saya
lakukan. Ya tentunya semua kawan-kawan santri pernah merasakan dan tahu,
bagaimana seandainya kang santri shalat atau
makan berdekat-dekatan dengan seorang kiai yang sangat sangat di
hormatinya.
Akan
tetapi, dalam kesempatan kali ini saya berusaha mensupport dan memberanikan
diri untuk menulis tentang beliau. Apalagi hal ini bertepatan dengan Ultah
beliau yang ke-85, maka saya berani untuk mengambil resiko yang akan terjadi nantinya
jika saya menulis tentang beliau, apalagi tulisan saya ini hanya menjelaskan
keistimewaan, akhlak dan budi pekerti Mbah Moen yang sebelumnya telah di
kodifikasikan dengan apik, rapi nan indah dalam nadzaman Al-Ussyaq—karya KH.
Ahmad Shiddiq Harits, Lasem—dan saya juga menjadikan puisi indah berbahar Rajaz
tersebut sebagai panduan untuk menelusuri dan mengkaji beberapa keistimewaan
beliau, Mbah Moen.
Secara
garis besar Nadzaman al-Ussyaq—menurut saya pribadi yang tentunya hal ini
sangat subjektif dan sangat mungkin salah—mengelompokkan keistimewaan Mbah Moen
dalam 2 bagian. Pertama adalah keistimewaan yang berkenaan dengan keilmuan
beliau. Kedua adalah keistimewaan yang berkenaan dengan akhlak dan budi pekerti
beliau. Berangkat dari pembagian inilah saya akan membahas sosok beliau Mbah
Moen di bawah nanti, Insya Allah.
b.
Keilmuan
Mbah Moen.
Dalam
salah satu bait Nadzam al-Ussyaq, disebutkan bahwa Mbah Moen adalah Khabrul
Anam[1]
yang secara bebas bisa diterjemahkan dengan orang yang paling jenius di antara
kalangan manusia. Pada bait lain disebutkan juga bahwa Mbah Moen adalah Bahrul
Ulum[2]
yang jika diterjemahkan secara bebas berarti lautan ilmu. Sedang dalam bait
berikutnya, dikatakan bahwa keilmuan Mbah Moen semisal air hujan yang bisa
membawa manfaat bagi siapa pun yang di siraminya, sekaligus juga membawa
kenyamanan dan keteduhan bagi siapapun. Adapun pengetahuan dan pemahaman beliau
akan kitab-kitab karya para ulama adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan
lagi, karena hal itu jelas sekali, sebagaimana jelasnya cahaya yang bersinar di
waktu sahur[3]. Hingga
akhirnya beliau sang penulis puisi ini mempunyai kesimpulan bahwa ilmu Mbah
Moen adalah ilmu Ladunni yang tidak di miliki oleh sembarang orang, hal
ini sebagaimana kita lihat pada bait berikutnya[4].
Apa
yang saya sebutkan di atas kurang lebih adalah beberapa ungkapan dan pujian
yang tertera dalam nadzam al-Ussyaq tersebut. Mungkin sebagian orang akan
mengatakan bahwa apa yang tertulis adalah hal yang berlebihan, tidak realistis,
bersifat subjektif dan masih banyak perkataan lain yang bermacam-macam. Nah,
untuk sedikit mengetahui dan membuktikan apakah memang apa yang tertera dalam
nadzam itu adalah hal yang terlalu berlebihan seperti umumnya bahasa Arab jika
memuji seseorang, atau malah sebaliknya,
bahwa apa yang tertera dalam nadzam itu adalah kenyataan, mari kita baca
beberapa karya dari Mbah Moen yang menggambarkan kepada kita seberapa jauh
pandangan keilmuan beliau dan bagaimanakah karakter beliau dalam menulis.
Dalam
menulis, Mbah Moen adalah tipe ulama yang memiliki karakter Qur’ani. Maksud
dari karakter Qur’ani ini adalah bahwa kebanyakan ayat suci al-Qur’an di
turunkan oleh Allah sebagai jawaban atas peristiwa dan kejadian tertentu yang
sedang menjadi problem di masyarakat pada waktu itu. Hingga akhirnya muncullah
ilmu yang secara khusus membahas tentang penyebab turunnya Al-Qur’an dan biasa
di sebut dengan Ilmu Asbab Nuzul. Begitu juga halnya Mbah Moen, bisa saya
katakan bahwa hampir semua karya-karya beliau merupakan respon dari sebuah
peristiwa atau kejadian tertentu yang sedang menjadi isu Nasional maupun
Internasional.
Coba
saja kita baca dan perhatikan dengan seksama beberapa karya beliau, semisal
buku kecil “Nushusul Akhyar” dan “Risalah Fi Bayani Mauqifina”. Dalam
kata pendahuluan 2 buku kecil tersebut, Mbah Moen menjelaskan secara detil dan
eksplisit bahwa yang mendorong beliau menulis 2 buku kecil ini adalah adanya
perbedaan umat Islam di Indonesia dalam menentukan hari raya Idul Fithri. Pada
buku pertama disebutkan bahwa pada tahun 1418 H terjadi perbedaan di antara
kaum muslimin, sebagaimana sebelumnya pun sering terjadi perbedaan dalam
masalah yang sama pula, yaitu penentuan tanggal pertama bulan Syawal. Perbedaan
yang terjadi pada tahun tersebut tidak hanya sebatas adu argumentasi dalam
sebuah forum saja, akan tetapi sudah sampai pada ranah implementasi di alam
nyata, yaitu dengan membaca takbir di masjid-masjid, mushalla-mushalla dan di
jalan-jalan, bahkan sudah ada kesan saling menyesatkan antara satu pihak
terhadap yang lainnya, sebagaimana di
kisahkan oleh Mbah Moen[5].
Adapun
dalam buku yang kedua dituturkan bahwa kejadian pada tahun 1418 H terulang
kembali, tepatnya pada tahun 1427 H. Dan hal yang pernah terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya terulang kembali pada tahun tersebut dan bahkan ada
sebagian kelompok lagi yang dengan jelas sekali tidak mau mengikuti keputusan
yang telah di tetapkan oleh negara melalui mentri agama[6], sungguh pemandangan yang sangat memilukan,
karena dengan adanya perpecahan dalam masalah penentuan Idul Fithri ini, sulit
rasanya untuk mempersatukan umat Islam di Indonesia.
Karakteristik
beliau dalam berkarya dan menulis dengan model Qur’ani sebagaimana di atas,
juga saya temukan dalam karya-karya beliau lainnya. Misal saja perhatikan buku
beliau yang berjudul “Tsunami Fi Biladina A Huwa ‘Adzabun Aw Mushibatun?”.
Dalam buku kecil ini, beliau Mbah Moen hendak merespon beberapa isu dan
pertanyaan yang berhubungan dengan beberapa musibah yang menimpa mayoritas
negara Islam, khususnya Indonesia. Munculnya beberapa pertanyaan ini adalah
setelah terjadinya persitiwa besar di Indonesia, yaitu peristiwa banjir Tsunami
yang menimpa provinsi Aceh, padahal Aceh adalah salah satu provinsi yang di
perkirakan bahwa hampir semua penduduknya adalah 100% muslim. Lalu apa gerangan
musibah Tsunami itu? Apakah ia merupakan cobaan dari Allah untuk bangsa
Indonesia atau malah merupakan siksa bagi mereka?[7]
Nah, pertanyaan inilah yang ingin di jawab oleh Mbah Moen dalam buku kecilnya
itu.
Saya
kira dari ketiga kitab Mbah Moen di atas, kita sudah mendapatkan sedikit
gambaran tentang bagaimana karakteristik beliau dalam menulis dan berkarya.
Dalam tulisan ini, memang saya sengaja tidak ingin menjelaskan atau meresensi
karya-karya Mbah Moen, akan tetapi saya lebih terfokus ingin mengenalkan bahwa
Mbah Moen memiliki keekhasan tersendiri yang berbeda dari ulama lainnya dalam
berkarya. Tata cara beliau dalam menulis seperti yang saya katakan di atas,
memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa seorang santri harus menjadi
orang yang peka akan fenomena sosial yang berkembang di masyarakatnya, serta
berusaha untuk menjawab dan mencarikan solusinya, guna menanggulangi fenomena sosial
yang sedang berkembang. Beliau tidak membenarkan seorang santri yang hanya
diam, kegiatan sehari-harinya hanya Shalat, I’tikaf di masjid dan berbagai amal
ibadah lainnya, sementara umat sedang dalam kondisi yang memprihatinkan, baik
secara mentalitas, gaya berfikir, gaya hidup yang semakin bernuansa sekular dan
masih banyak problem-problem keumatan lainnya. Karenanya sangat di butuhkan
seorang santri yang mempunyai progresifitas tinggi dalam mengarungi, menghadapi
dan siap untuk menjadi pemenang dalam kehidupan yang kian kapitalis ini.
Di
samping itu, kita sebagai santri juga bisa mengambil pelajaran bahwa cara berfikir
yang kontekstual adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat di pungkiri. Perubahan sekecil apapun pasti akan
terjadi dalam pola pikir seseorang dan pola kehidupannya. Kita katakan saja
santri di pondok yang masih teguh berkutat, bercengkrama dan berdiskusi secara
lebih intensif dengan pemikiran-pemikiran para ulama yang terkodifikasikan
dalam kitab-kitab yang di ajarkan di pesantren. Kalau saya amati, mereka para
santri pun sebenarnya juga melakukan sebuah pembaharuan atau lebih berani lagi
saya katakan bahwa mereka pun melakukan ‘ijtihad’ walaupun dengan prosentase
sangat kecil sekali. Hal itu bisa kita lihat saat mereka dengan beraninya
melakukan Tandzir atau Ilhaq Masa’il yang jika kita fair dan
jujur itulah praktek Qiyas Syabah yang di jelaskan dalam buku-buku Ushul
Fiqh. Di satu sisi mereka tidak mau mengatakan itu sebagai Qiyas, karena tentunya
Qiyas adalah sebuah praktek ijtihad yang hanya bisa di lakukan oleh seseorang
yang sudah mencapai taraf mujtahid saja, akan tetapi di sisi lain realitas yang
timpang menuntut mereka untuk bisa menjawab dan memberikan jawaban, sehingga
mau tidak mau mereka akhirnya menempuh jalan tengah antara berijtihad atau cuek
serta masa bodoh dengan realitas sosial, lalu mereka melakukan Qiyas dengan
cara dan corak lain yang kemudian di sebut dengan Ilhaq atau Tandzir
tadi. Coba saja kita perhatikan buku Al-Asybah Wan Nadzair karya Al-Hafidz As-Suyuthi
itu, lalu perhatikan dengan seksama bagaimana terbentuknya ilmu Qawaid Fiqh,
niscaya akan kita temukan bahwa praktek dalam Asybah adalah murni Qiyas Syabah
dengan berbagai elaborasinya.
Berfikir
secara kontekstual dan progresif inilah—menurut saya—hal yang ingin di
sampaikan oleh Mbah Moen melalui karya-karyanya di atas. Yang tentunya,
progresifitas itu tidak kemudian ngawur dan dengan tanpa
mempertimbangkan kaidah-kaidah keilmuan agama yang ada, tidak serta merta
mengabaikan beberapa pendapat ulama Madzahib yang otoritas keilmuan mereka
dalam memahami teks-teks keagamaan, sudah tidak perlu di ragukan lagi[8].
Karena jika seseorang tidak mau menjadikan apa yang telah di tulis oleh para
ulama dalam berbagai karya mereka sebagai pengantar untuk memahami teks-teks
suci agama Islam, maka secara tidak langsung dia telah mengahancurkan agama itu
sendiri[9].
Jadi kita seharusnya juga berusaha untuk bersikap dan befikir secara moderat
dalam menempatkan posisi literatur ilmu keislaman yang sangat kaya itu, karena
memang sikap moderatlah yang bisa menjadikan kita tidak terlalu radikal kiri,
dengan sama sekali meninggalkan hasil ijtihad para ulama yang telah banyak
terkodifikasikan dalam kitab-kitab yang berjumlah ratusan atau bahkan ribuan
itu, yang sering di gembar gemborkan oleh kaum modernis atau kelompok yang
mengklaim dirinya sebagai pengikut salaf. Tidak pula kita berfikir radikal
kanan, yang tidak mau menerima pembaharuan sama sekali, sehingga yang
muncul adalah stagnansi pemikiran dalam dunia Islam. Lebih-lebih dalam bidang
kajian Fiqh, yang memang secara umum kekuatan dalilnya hanya sebatas Dzonni,
bukan sesuatu yang bersifat Qath’i atau pasti[10].
Karena memang Syariat Islam selalu bisa menerima adanya pembaharuan guna
menjawab berbagai macam problematika kotemporer yang dulu belum pernah di
sentuh oleh para ulama kita. Hanya saja tentunya kita tidak akan bisa menemukan
dalil secara eksplisit guna menjawab berbagai problematika tersebut[11].
Guna
menjawab problematka kontemporer yang sekarang banyak kita temukan di dunia
ini, Mbah Moen memberikan dua cara untuk menanggapinya. Pertama, yaitu
dengan kembali melakukan kajian secara lebih mendalam. Kajian mendalam yang di
tawarkan oleh Mbah Moen adalah dengan kembali mendeskrepsikan secara jelas
problematika kekinian, baik dari sisi substansial ataupun kontekstual melingkupinya. Di
samping juga berusaha mendeskripsikan dengan lebih jelas dan detil lagi
kasus-kasus Fiqh yang telah di tulis oleh para ulama dalam buku-buku mereka,
baik secara substansial maupun secara kontekstual. Baru setelah itu kita juga
berusaha menggali dalil-dalil yang di jadikan acuan dan pijakan para ulama
dalam mencetuskan hukum-hukum yang telah jadi tersebut. Sehingga kita terhindar
dari kesalahan dalam memahami sebuah kasus, sedang sebenarnya kita mengharapkan
kebaikan dengan berupaya menjawab kasus tersebut[12].
Kedua, dengan membaca, memahami dan mengkaji literatur Madzahibul Arba’ah,
tidak hanya berhenti pada satu Madzhab saja. Hal ini di karenakan antara satu
madzhab dan lainnya saling melengkapi. Semisal dalam madzhab Syafi’i yang di
wajibkan zakat hanyalah tumbuhan yang menjadi makanan pokok saja, sementara
yang lain tidak. Sedang dalam madzhab yang lain, sayur-sayuran pun juga wajib
di zakati. Kalau kita berpegang teguh pada madzhab Syafi’i, maka kita tidak
wajib mengeluarkan zakatnya sayur mayur. Padahal pada zaman sekarang, banyak
kita temukan bahwa perdagangan sayur mayur lebih menguntungkan dari pada dagang
makanan pokok. Di sinilah nampak sekali urgenitas dari mempelajari berbagai
madzhab[13].
c.
Akhlak
Mbah Moen.
Dalam kasidah
al-Ussyaq ini, banyak saya temukan bahwa si penulis sering sekali memuji akhlak
dan budi pekerti beliau Mbah Moen, hal ini bisa kita temukan pada bait ke-10
dan ke-11. Pada bait tersebut di katakan bahwa Mbah Moen adalah orang yang
antara sikap manis dan pahitnya sama bisa menjadi obat, hal ini karena dalam
bersikap, beliau tidak memperdulikan apa yang terjadi di dunia ini, baik saat
beliau bersikap pahit ataupun manis[14].
Pada bait selanjutnya di paparkan bahwa Mbah Moen adalah orang yang hatinya di
penuhi hikmah dan orang yang bisa menyesuaikan dengan siapapun saat berkumpul
dengan komunitas lain[15].
Dalam bait lain di gambarkan bahwa beliau adalah orang yang teguh dalam
berpendirian, sebagaimana kokohnya gunung yang tertancap kuat di atas tanah
atau asinnya air laut yang tidak pernah akan berubah dalam suasana apapun[16].
Beliau juga orang yang konsisten dalam mengajar, sehingga beliau tidak pernah
meliburkan pengajiannya walaupun sedang dalam kondisi sakit sekalipun. Kecuali
jika memang tidak mungkin atau sangat sulit beliau untuk mengajar ngaji lagi,
semisal ketika beliau sedang bepergian jauh sekali[17].
Yang terakhir dari akhlak Mbah Moen yang di bicarakan dalam kasidah tersebut
adalah sikap pemaaf Mbah Moen. Pada kasidah tersebut di gambarkan bahwa sifat
pemaaf beliau bagaikan lautan yang sangat luas sekali, sehingga andaikan ada
najis yang di masukkan ke dalamnya sekalipun, niscaya kesuciannya tidak akan
pernah berubah. Begitu juga dengan sikap pemaaf Mbah Moen yang tidak akan
berubah walaupun ada yang berusaha mengotorinya dengan berbagai hal-hal yang
bersifat provokatif[18].
Dari penjelasan
di atas, bisa saya ambil kesimpulan bahwa Mbah Moen adalah sosok ulama yang
sabar, pemaaf, teguh pendirian dan selalu mempertimbangkan kemaslahatan umat
dalam bersikap. Sifat dan pribadi yang indah seperti yang saya sebutkan di
atas, tentunya tidak begitu saja beliau dapatkan, akan tetapi melalui proses
keilmuan, tirakat dan Mujahadatun Nafsi yang hanya Allah sajalah yang
mengetahui waktunya. Karena tentunya Ishtifa’ atau pilihan adalah hak
prerogatif Allah semata, bukan yang lainnya. Beliau Mbah Moen sendiri sering
sekali Ngendikan: “Gusti Allah Kok Arep Di demo”[19].
Ungkapan sederhana ini bagi saya merupakan sebuah pantulan kuatnya Tauhid yang
sudah menancap dengan kokoh dalam hati seorang kekasih Allah. Karena apa yang
beliau katakan tadi—menurut saya—adalah ungkapan Ridha, Tawakkal dan Tawadhu’
seorang hamba kepada Tuhannya, yang kesemuanya bersumber dari tauhid yang benar
dan iman yang kuat menancap dalam jiwa.
Dalam kesempatan kali ini saya
tidak ingin menjelaskan akhlak beliau lebih detil lagi, karena waktu dan sudah
terlalu panjangnya tulisan ini. Akan tetapi saya hanya ingin sedikit menuturkan
beberapa peristiwa dan pengalaman saya yang pernah terjadi di pondok. Dulu saat
acara Ta’aruf santri Al-Anwar. Seperti biasa, sebelum acara Mauidzah di
sampaikan oleh beliau Mbah Moen, ketua pondok memberikan sambutan atas nama
ketua pengurus pondok sekaligus membacakan peraturan dan tata tertib yang
berlaku di pesantren. Alkisah—saya katakan alkisah, karena memang saya tidak
menghadiri acara itu secara langsung, akan tetapi hanya di ceritai oleh teman
sekamar yang lebih senior—saat memberikan sambutan ketua pondok menyanjung,
memuji dan menyebut Mbah Moen dengan “Qudwatuna Wa Imamuna”[20]
sebagaimana umumnya santri lainnya. Setelah bapak ketua pondok memberikan
sambutan dengan tegas dan penuh wibawa, tibalah waktunya Mbah Moen memberikan
mauidzah. Dan yang menarik dan perlu di simak adalah apa yang di sampaikan oleh
Mbah Moen, kurang lebih beliau berkata: “Qudwah Lan Imam Iku Yo Kanjeng Nabi”[21].
Ketika saya di ceritai tentang
kisah ini saya jadi berfikir, kenapa Mbah Moen mengatakan ungkapan yang
demikian? Adakah yang salah dari kata-kata bapak ketua pondok tadi? Lama sekali
saya berfikir mengenai peristiwa ini, hingga akhirnya sekarang saya menemukan
sesuatu yang menurut saya pribadi—entah menurut yang lain—bisa di jadikan bahan
renungan buat kita bersama. Dari ungkapan Mbah Moen di atas bisa di ambil
beberapa kemungkinan yang menurut saya sama kuatnya. Pertama, beliau
menyampaikan ungkapan yang demikian karena sifat Tawadhu’ beliau yang luar
biasa. Bukan berarti haram mengungkapkan kata-kata di atas untuk selain baginda
Nabi. Hanya saja menurut beliau yang layak di sebut “Qudwah” dan “Imam”
yang sebenarnya adalah baginda Nabi. Hal ini hampir mirip dengan apa yang
terjadi pada masa baginda Nabi, ketika ada seorang khatib yang mengatakan:
من يطع الله ورسوله فقد رشد ومن يعصهما فقد
غوى
“Siapa saja yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya maka dia akan mendapatkan petunjuk. Sedang yang durhaka
pada keduanya, maka dia akan tersesat”[22].
Saat mendengar sang khatib
mengumpulkan Allah dan Rasul-Nya dalam satu Dhamir, yaitu pada kata “Ya’shihima”,
maka baginda Nabi pun menegurnya dengan keras dan bersabda: “Bi’sal Kathibu
Anta”, sejelek-jeleknya khatib adalah kamu. Dari hadis ini, tentunya kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa sekecil apapun jika itu adalah kesalahan, maka
seorang muslim harus mengingatkan saudaranya, lebih-lebih adalah santri atau
muridnya sendiri yang notabenenya memang sangat membutuhkan bimbingan dari sang
guru. Saya yakin, bahwa ungkapan yang di sampaikan oleh sang khatib tadi
tidaklah hal yang di haramkan oleh ajaran Islam, bahkan hal yang biasa-biasa
saja dan tidak mendapatkana dosa sama sekali, akan tetapi walaupun demikian
baginda Nabi tetap mengingatkannya. Saya kira begitu pulalah yang di lakukan
Mbah Moen pada waktu itu.
Kedua, beliau ingin
mendidik dan mengajarkan kepada santri-santrinya bahwa kita tidak boleh fanatik
terhadap selain baginda Nabi Muhammad. Karena baginda Nabi adalah Qudwah
serta Imam yang sebenarnya dan hanya baginda Nabi-lah yang tidak pernah
dan tidak mungkin salah, sedang selain baginda Nabi pasti mungkin salah, inilah
keyakinan kita sebagai umat Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dari sini beliau
berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi adanya kultus individu terhadap diri
beliau yang sangat mungkin sekali terjadi pada sebagian santri-santri beliau,
sehingga yang muncul adalah fanatik buta, tanpa tahu ke mana arah dan tujuan
beliau.
Akan tetapi yang perlu di pertegas
dan di jelaskan di sini adalah adanya sikap sebagian yang memanfaatkan sikap
beliau seperti ini sebagai ajang dan kesempatan untuk wani terhadap beliau. Mungkin ada sebagian dari mereka yang
mengatakan bahwa Mbah Moen pun manusia biasa yang juga mungkin salah.
Lebih-lebih jika hal itu berkenaan dengan urusan politik, bahkan santri pun
mungkin bisa saja membelot dari beliau dalam urusan ini, dan lagi-lagi dalih
yang di gunakan adalah sama, bahwa Mbah Moen bukanlah Nabi, sehingga mungkin
sekali salah. Saya pribadi sebagai santri beliau akan dengan tegas mengatakan
bahwa Mbah Moen bukanlah Nabi yang Ma’shum dan inilah ajaran yang pernah di
jelaskan oleh beliau Syaikhina Maimoen dalam beberapa kitab Tauhidnya. Akan
tetapi dengan tegas pula saya akan tetap mengatakan bahwa sebagai murid—saya
selalu berharap di anggap beliau sebagai seorang Tilmidz—saya akan
mengikuti dan selalu menghormati ijtihad beliau, karena saya yakin bahwa dalam
berijtihad beliau selalu mendasarkannya pada dalil Al-Qur’an dan Hadis,
walaupun saya sendiri tidak tahu apa itu dalil sebenarnya.
Adapun dalam masalah politik, saya
lebih suka menggunakan logika yang di pakai oleh menantu beliau KH. Zuhrul Anam
Hisyam, Leler, Banyumas saat ceramah di Jepara dan sebenarnya pun sangat sering
sekali di sampaikan oleh salah satu murid beliau Mbah Moen, yaitu KH. Bahauddin
Nur Salim dalam berbagai kajian Tafsirnya. Saya menyimpulkan dari keduanya
bahwa dalil yang tepat untuk dijadikan dasar dalam mengikuti pilihan politik
Syaikhina Maemoen adalah dalil perasaan. Karena jika kita hanya menggunakan
dalil dari al-Qur’an dan Hadis atau dalil-dalil lainnya, maka yang ada adalah
sesuatu yang Dzanni, yaitu hal yang besifat praduga saja, bukan Qath’i.
Di samping itu juga akan membuka celah adanya politisasi makna Al-Qur’an dan
Hadis, sehingga keduanya akan di jadikan justifikasi oleh oknum-oknum tertentu
guna membenarkan tindakan politik mereka. Di sinilah kita sebagai santri harus
selalu berusaha dalam bersikap dan berkata mempertimbangkan semua aspek yang
ada, tidak hanya asal gruduk tanpa mengetahui asal muasalnya bagaimana. Walaupun
saya pun yakin bahwa dalam berpolitik sekalipun, Mbah Moen pasti menjadikan
kedua pusaka umat Islam tadi sebagai referensi dan pertimbangan utama.
d. Penutup.
Sebagai kesimpulan dari sekelumit
pembahasan tentang Sang Maha Guru Syaikhina KH. Maemoen Zubaer—baik dari sisi
keilmuan ataupun akhlak—saya ingin mengatakan bahwa Manhaj yang beliau
tempuh dan beliau gariskan bagi kita semua adalah ilmu dan amal. Yang di maksud
dengan ilmu di sini adalah ilmu yang berhubungan dengan segala tindakan yang
akan di lakukan seseorang. Beliau mendahulukan ilmu dari amal, karena memang
sebelum orang bergerak, seharusnya dia lebih dulu mengetahui tata cara, aturan
main dan semua hal yang berhubungan dengan pergerakan itu. Adapun yang di
maksud dengan amal di sini bukanlah hanya dengan kita mengamalkan ilmu yang
telah dipelajari dan diketahui saja tanpa berusaha untuk menyampaikannya kepada
yang lain, akan tetapi kedua-duanya, mengamalkan dan mengajarkan. Karena hanya
dengan kedua pondasi inilah Islam dengan umatnya yang moderat (wasath)
bisa kita bangun di atas bumi nusantara Indonesia ini.
Akhirul kalam, saya hanya ingin
menyampaikan ucapan selamat Ulang Tahun kepada Gurunda KH. Maemoen Zubaer
semoga selalu di beri kesehatan oleh Allah dan selalu dalam pertolongan-Nya.
Dan saya pun ingin meminta maaf karena tidak bisa ikut hormat kepada beliau
dengan sowan ke Sarang, karena mungkin saya masih harus menata diri saya
pribadi dan hanya inilah kado yang bisa saya sampaikan pada hari yang
membahagiakan ini. Kesalahan dalam tulisan sederhana ini adalah murni dari saya
yang bodoh dan lemah ini. Dan bagi teman-teman yang membaca tulisan ini,
harapan saya adalah adanya teguran dan kritikan sehingga saya bisa lebih
memahami lagi sosok guru dan bisa menulis lagi dengan lebih baik, sehingga
suatu saat akan ada buku atau entah sekedar tulisan yang membahas secara lebih
khusus dan mendetil tentang Syaikhana Maemoen. Harapan saya, kawan-kawan pun
hendaknya mulai menulis tentang beliau juga. Wa Allahu A’lam Bis Shawab.
Kalisari,
28-oktober-2013 M
Dhiyaul
Haq
[1] Berkenaan
dengan hal ini bisa di lihat dalam KH. Ahmad Shiddiq (1432), Al-Ussyaq Ilas
Syaikh Maimoen Zubaer, Lasem: Matahari Press. Hal: 5 Bait ke-6.
[2] Ibid. Hal: 7.
Bait ke-12.
[3] Ibid. Hal: 7.
Bait ke-13.
[4] Ibid. Hal: 7.
Bait ke-14.
[5] KH. Maimoen
Zubaer (1998), Nushusul Akhyar Fis Shaumi Wal Ifthar, Sarang: Ponpes
Al-Anwar. Hal: 2-3.
[6] KH. Maimoen
Zubaer (tt), Risalah Fi Bayani Mauqifina Haulas Shaumi Wal Ifthar,
Sarang: Ponpes Al-Anwar. Hal: 5-6.
[7] KH. Maimoen
Zubaer (tt), Tsunami Fi Biladina Andonisia A Huwa ‘Adzabun Aw Mushibatun?,
Sarang: ponpes Al-Anwar. Hal: 2-3.
[8] KH. Maimoen
Zubaer (2007), Al-Ulama Al-Mujaddidun Wa Majalu Tajdidihim Waj Tihadihim,
Sarang: Ponpes Al-Anwar. Hal: 40/46.
[9] Hal ini
sebagaimana di jelaskan oleh Al-Kautsari dalam salah satu makalahnya dan di
kutip oleh Mbah Moen dalam karyanya di atas. Ibid. Hal: 42.
[10] KH. Maimoen
Zubaer (2007). Op. Cit. Hal: 45.
[11] Ibid. Hal: 44.
[12] Ibid. Hal: 46.
[13] Ibid. Hal: 51.
[14] KH. Ahmad
Shiddiq (2011). Op. Cit. Hal: 6. Bait ke-10-11.
[15] Ibid. Hal: 7.
Bait ke-15.
[16] Ibid. Hal: 9.
Bait ke-21-22.
[17] Ibid. Hal: 9.
Bait ke-23.
[18] Ibid. Hal: 11.
Bait ke-29.
[19] Artinya:
“Allah Kok Mau Di Demo”.
1 komentar:
Sahe mas... :-)