Telingaku menangkap sayup-sayup alunan
indah suara yang sudah tak asing lagi baginya. Alunan merdu suara
Adzan yang mengingatkanku akan masjid kecil nan tua di kampung halamanku, di
mana aku memulai petualangan ilmiah dari tempat itu. Masjid itu nampak
kelihatan tua dan penuh wibawa. Entah
kenapa?? aku pun sampai sekarang tidak tahu menahu, apa gerangan yang
menjadikan masjid tua di kampungku itu nampak sekali wibawanya. Apakah karena memang di bangun oleh seorang
wali yang benar-benar ikhlas dan tanpa
pamrih atau malah karena bangunannya yang sudah kuno dan belum ada upaya
renovasi? Atau mungkin juga karena masjid itu merupakan satu-satunya masjid desa yang di dalamnya masih terjadi proses transmisi ilmiah melalui
metodologi ulama-ulama kuno? Wallahu A’lam, aku pun tidak tahu apa makna
di balik semua itu.
Dulu sekali,
aku masih ingat bagaimana kakek mengajakku berangkat ke masjid untuk melakukan
jama’ah shalat Maghrib, yah karena memang waktu itu aku adalah cucu pertama laki-laki
yang lahir di lingkungan keluarga besar kami, sehingga kakek benar-benar
mencurahkan perhatiannya kepada cucu laki-lakinya yang satu ini, walaupun
sebenarnya, kakek pun sudah punya cucu laki-laki yang lebih dulu dariku, yaitu anak
dari bude, kakaknya bapaku. Hanya saja mereka tinggal di Jakarta yang sangat
jauh dari beliau, kakek. Setelah selesai
Shalat, biasanya aku bermain bersama kawan-kawan di halaman depan masjid, yang
waktu itu masih diselimuti oleh rumput-rumput hijau nan indah. Kami bermain-main
dengan riang, kadang bermain petak umpet, kadang gobak sodor,
main klereng dan lain sebagainya.
Permainan
sederhana anak kampung seperti itu tak terasa telah mengukir sebuah mentalitas
kesederhanaan yang sangat tertanam dalam jiwaku—entah apakah teman-temanku juga
merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan atau tidak—hanya saja hal
itu benar-benar aku rasakan sekali saat ini. Apalagi jika di bandingkan dengan
permainan anak-anak sekarang yang secara tidak langsung telah mendidik seorang
bocah untuk bermental materialis, anak-anak sekarang sudah tidak kenal lagi
yang namanya main klereng, gobak sodor, petak umpet, dakonan dan
lain sebagainya, mereka di sibukkan dengan mainan semisal HP, facebook, twitter
dan permainan lainnya yang nampak molek dan mewah dimata orang-orang ‘modern’
sekarang. Sungguh aku kangen pada suasana itu, aku kangen pada kalian kawan-kawan,
ada kang Lukman, ada kang Mun, ada kang Sinin, kang Limin, lek himam dan yang
lainnya. Ah..mereka mungkin sekarang udah sibuk dengan segala
aktivitasnya masing-masing, karena memang mereka kebanyakan sudah berkeluarga,
paling yang belum hanya aku dan lek Himam...hehehe...memang kami berdua dari
dulu adalah rival dalam segala hal, mungkin dia pun sekarang akan menjadi rival
abadi dalam menjaga ke-joko-an...hahaha.
Tapi di antara
permainan sederhana itu, gobak sodor adalah permainan yang menempati
peringkat pertama dari sekian permainan yang aku sukai. Nama gobak sodor
mungkin hanya di kenal di tanah jawa, adapun di daerah lain seperti di Riau
permainan ini lebih di kenal dengan nama Galah Panjang, sedang di Riau
Daratan lebih di kenal dengan main Cak Bur atau Main Belon. Sementara
di daerah Jawa Barat, permainan ini lebih di kenal dengan Galah Asin
atau Galasin. Di negara Taiwan, permainan ini di lakukan di kelas Physical
Education untuk anak usia dini. Ada kemungkinan juga nama permainan ini berasal
dari kata “Go Back To The Door” yang berarti kembali kembali ke pintu.
Permainan yang terdiri dua kelompok, yang masing-masing kelompok
terdiri dari sekitar 5 orang itu terlihat sangat indah dan rapi sekali. Kedua
kelompok ini masing-masing adalah sebagai penjaga dan pemain secara bergantian.
Pemain yang menjadi penjaga
diharuskan menjaga satu orang pemain lawan, dan yang bertugas pada garis tengah
area permaian mengatur semua pergerakan lawan (mengepung lawan). permainan
dinyatakan selesai atau berganti jaga pada saat pemain yang menjaga menyentuh
anggota tubuh pemain lawan atau sebaliknya. pemaian
dinyatakan menang apa bila meraik kemenangan terbanyak pada waktu permainan
yang ditentukan.
Di sana, kita
diajari bagaimana untuk menjadikan persatuan, kekompakan dan saling pengertian
antara satu orang dan yang lainnya sebagai kunci dari sebuah keberhasilan. Di samping
kita juga belajar untuk selalu optimis bahwa jalan untuk menuai kesuksesan
pasti ada. Bagaimana tidak? Karena kita di latih untuk melihat bahwa celah
sekecil apa pun bisa kita manfaatkan untuk masuk, lepas dari cengkraman musuh
dan menuai kesuksesan. Aku yang waktu itu tergolong anak yang paling kecil
saja—karena memang waktu itu umurku di bawah teman-teman yang rata-rata sudah
berumur 14/15 tahun, sementara aku mungkin baru berumur sekitar 10/11
tahun—sering memenangkan permainan, karena adanya bantuan dari teman-temanku
itu. Memang aku tidak benar-benar memahami bagaimana sebenarnya teknis permainan
itu yang benar, aku hanya lari kalo di suruh lari dan keluar dari kotakan jika
di suruh keluar. Kotakan itu maksudnya adalah garis-garis berbentuk kotak-kotak
yang kami buat di atas tanah yang sedikit berpasir, kami menggunakan kayu untuk
membuat garis-garis itu di atas tanah. Biasanya permainan itu di mulai setelah
pengajian di masjid selesai di laksanakan atau bisa juga kami lakukan langsung
setelah shalat Maghrib jika kami memilih tempat di belakang pesantren yang
berlokasi di samping masjid.
Memang dulu masih
banyak anak-anak muda di kampung kami yang rajin ngaji kitab klasik atau
biasa juga di sebut dengan kitab kuning. Di mulai semenjak Ashar, Maghrib
hingga setelah shalat Subuh, di masjid dan pesantren nampak berjejalan
orang-orang yang ngaji, dari yang hanya ngaji al-Qur’an, hanya ngaji
kitab kuning yang kecil-kecil saja, hingga yang ngaji Nahwu, Sharaf dan
kitab-kitab fiqh besar lainnya. Susunan kultural masyarakat semacam ini, secara
tidak langsung pun mencerdaskan kami anak-anak kecil, sehingga jangan aneh jika
saya yang walaupun masih kecil pun sudah mengenal dan akrab dengan berbagai
literatur Islam semacam Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Amrithi, Alfiah, Tafsir
Jalalain dan lain sebagainya, karena memang kultur budaya di kampungku secara
tidak langsung telah menayangkan dan memperkenalkan kitab-kitab ‘sakral’ itu
kepada kami. Aku masih ingat bagaimana aku dulu setelah shalat Isya’ belajar
Nahwu dan Sharaf dengan menggunakan Matan Jurumiyah dan Amtsilah
Tashrifiyyah sebagai kitab Nahwu dan Sharaf pertama yang kukenal. Aku pun
masih ingat bagaimana sulitnya men-tathbiq[1]-kan
wazan-wazan[2] sharaf
pada kata-kata lain yang tidak tertera pada kitab Amtsilah, semisal kata “Wafaqa”
yang diikutkan wazan “Fa’ala” yang dulu masya Allah dengan susah payah
aku hapalkan, dan akhirnya hapal juga.
Akan tetapi
setelah aku teliti dan amati dengan seksama, budaya dan tradisi ‘ngaji’
seperti dulu nampaknya sudah tidak digemari oleh masyarakat kampungku lagi.
Budaya dan tradisi itu telah ditinggalkan oleh fans-fansnya, coba lihat saja,
sekarang pondok yang sudah di bangun dengan megah itu pun hanya nganggur,
tidak ada yang mengisinya dengan ngaji-ngaji seperti dulu semasa aku
masih kecil. Masjid yang dulunya menjadi tempat dan pusat trasmisi ilmiah itu
pun hanya ramai di saat-saat hari besar umat Islam saja, semisal hari Jum’at,
hari raya—baik Idul Fitri atau Idul Adha—dan untuk hari-hari yang lain, masjid
itu nampak sepi dan lengang, tidak ada aktivitas ilmiah yang terprogram dengan
baik di dalamnya. Ya Alhamdulillah, setelah shalat Maghrib masih ada beberapa
kegiatan di Masjid dan Pesantren itu, ya walaupun hanya setelah Maghrib saja,
akan tetapi lumayan di banding jika
tidak ada sama sekali.
“Asyhadu
Anna Amiral Mu’minina ‘Aliyyan Hujjatullah”[3],
suara aneh ini menyadarkanku dari mimpi panjang akan kampung halaman yang indah
nan menyenangkan itu. Aku pun tersentak dan kaget lalu bangun, oh ternyata aku
masih di bumi bidadari ini, bumi Lebanon yang sangat eksotik dengan berbagai
pernak pernik kehidupannya yang memamerkan kemolekkan dan keanggunan dirinya,
sekaligus sebagai pernyataan bahwa ialah satu-satunya anak kandung Eropa di Tim
Teng ini. Yah, suara aneh tadi berasal dari masjid-masjid orang-orang Syiah
yang banyak aku temukan di Lebanon, dan memang
merekalah yang menjadi mayoritas di tanah Lebanon ini. Biasanya Adzan
orang-orang Syiah itu dikumandangkan setelah Adzan kaum Sunni di kumandangkan,
bahkan Adzan itu seringnya dikumandangkan di saat orang-orang Sunni tengah
melakukan shalat Subuh berjama’ah di Masjid atau di Mushalla sekitar rumah
mereka, baru kemudian Adzan kaum Syiah itu terdengar di kumandangkan. Ya memang
ada beberapa perbedaan antara praktek Adzan dari kelompok Sunni dan Syiah ini,
di antaranya adalah apa yang telah aku tuturkan di atas. Ada juga yang lain
semisal dengan menyebut kalimat “Hayya ‘Ala Kharil Amal”[4]
setelah membaca “Hayya ‘Alal Falaah”[5]
yang juga sama-sama di ucapkan oleh orang-orang Sunni saat Adzan.
Memang Lebanon
adalah negara yang unik sekaligus membingungkan. Diantara keunikan Lebanon
adalah adanya beberapa sekte yang tumbuh berkembang dengan subur dalam denyut
nadi kehidupan masyarakatnya, baik itu sekte yang berkembang dalam tubuh umat
Islam sendiri maupun yang non muslim
seperti kristen misalnya. Dalam tubuh umat Islam saja, kita kenal ada Sunni,
Wahhabi dan Syiah yang kesemuanya pun berkembang dengan subur di sana dengan
disertai dakwah-dakwah yang sangat militan, sehingga sangat terasa sekali persaingan
antar kelompok. Syiah sendiri ada yang Alawite, Ja’fari, Islma’ili dan lain
sebagainya. Wahhabi sendiri ada yang sudah berafiliasi dengan semisal Jama’ah
Islamiyah, Ikhwanul Muslimin dan kelompok-kelompok garis keras lainnya dan ada
pula yang bersikeras tidak mau dengan pemerintahan yang sah, mereka ingin
mendirikan kekhilafahan sendiri di negara Lebanon, akan tetapi sampai sekarang
mereka pun belum berhasil. Ada juga kelompok seperti Hizbut Tahrir dan bahkan
Lebanon lah kampung halaman dari kelompok ini, hanya saja mereka pun juga
nampak kurang berhasil di sana.
Aku pun
bergegas bangun menuju kamar mandi untuk wudhu, walaupun cuaca dingin yang
menusuk tulang menghalangiku. Kemudian aku pun ikut jama’ah bareng bersama
teman-teman yang lain, lebih-lebih ini adalah Subuh hari jum’at yang biasanya
Imam Abdul Hakim adalah orang yang bertugas sebagai Imam. Beliau adalah seorang
berkulit hitam asal Habasyah atau Etiopia, akan tetapi bacaan Qur’annya sangat
menyentuh dan nikmat sekali untuk di dengarkan. Ya..dia memang hapal Al-Qur’an
30 juz dan asyiknya lagi, saat dia menjadi Imam pada hari jum’at, dia selalu
membaca surat Alif Lam Mim Tanzil yang memang di sunnahkan untuk di baca
saat shalat Subuh[6].
Selesai shalat
aku duduk di samping jendela kamar sambil menunggu air yang kupanaskan
mendidih, aku pun berusaha mengumpulkan bayang-bayang kejadian tadi malam yang
sempat mengusik kenyamanan tidurku yang nyenyak. Aku masih bingung plus
linglung, apakah kejadian tadi malam itu nyata atau hanya hayalan yang merupakan
kembang tidurku saja? Tiba-tiba lamunanku buyar oleh panggilan dari arah
belakangku, suara itu sudah tak asing lagi kudengar, “Din, ngopi sek,
isuk-isuk kok wes nglamun, ati-ati lo kesambet cewek lubnan kowe...hehehe, iki
lo godhok banyu kok di tinggal nglamun, untung ono aku seng ngangkat banyumu
seng wes mateng iki”[7].
Ia adalah Majid, kawanku asal Pati, ia datang sambil menyodorkan segelas kopi Nescafe
dengan asap yang masih mengepul kepadaku. Sruuppp...sruuppp...dua sruputan dari
mulutku menjawab tawaran Majid.
“Gimana malam
tahun barumu Din?”, tanya Majid kepadaku.
“Yah gitulah Jid,
molor di atas ranjang adalah pilihanku”, jawabku sekenanya sambil sedikit
cengengesan.
“Wah, mestinya
kita jalan-jalan ke Down Town, di sana rame, orang-orang Lebanon sendiri pun
biasanya merayakan tahun baru di sana”.
“Ah...gak usah
dengerin Majid Din, ini lo ada berita menarik”, potong Hilman yang
sekonyong-konyong datang sambil memberikan sebendel koran Nidaul Wathan
kepadaku.
“Berita apa tho
Man”, timpalku.
“Udah baca
aja...! nanti tahu sendiri”, koran pun aku ambil lalu ku baca halaman pertama
dan di situ terpampang sebuah berita yang hampir saja menjadikan denyut nadiku
berhenti, dengan jelas di sana tertulis:
“GADIS MUDA DI ANIAYA PADA MALAM
TAHUN BARU. Dua orang polisi menemukan 3 orang pria yang sedang memukuli dan
hampir saja membunuh seorang gadis muda dengan nama Nada, berumur 21 tahun. Akhirnya
1 di antara 3 orang pelaku penganiayaan itu di tangkap oleh polisi setelah di
lumpuhkan dengan timah panas, sedang 2 orang lainnya melarikan diri. Setelah di
lakukan penyelidikan dengan lebih lanjut, di ketahui berdasarkan pengakuan
korban bahwa penyebab utama penyiksaan yang menimpa dirinya adalah karena dia
mengikuti perayaan tahun baru dan tidak mau memakai Jilbab. Hal itu
menyebabkan ketiga pria tadi—yang tak lain dan tak bukan adalah ayah, kakak dan
paman sang gadis—memvonisnya dirinya kafir, karena di anggap menyerupai
orang-orang Nashrani dan menentang hukum Islam dengan tidak mau memakai Jilbab,
sehingga berkonsekwensi harus di bunuh. Sampai sekarang polisi masih melacak
keberadaan 2 orang pelaku lainnya”.
Aku hanya
bisa mengelus dada dan beristighfar setelah membaca berita menyedihkan pagi
ini, seribu pertanyaan berjubel di benakku: “Benarkah islam mengajarkan
tindakan kekerasan seperti hal di atas? Bukankah yang di wajibkan mengenakan Jilbab[8]
hanya Ummahatul Mu’minin saja, sementara yang selain mereka hanya di wajibkan
menutup Aurat saja?” Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang
bersileweran di benakku yang entah dari mana datangnya, saat-saat semua pertanyaan
itu menjadikan kepalaku pusing, tiba-tiba suara Fahd kembali menyegarkan otakku
lagi.
“Din,
sekarang tugas kita ke pasar untuk belanja bahan makanan. Kita sudah hampir
kehabisan bahan makanan sekalian nanti mampir dulu di PCINU Lebanon dulu
sebelum pulang. Aku ingin ketemu mas Kamil, katanya ada berita dan kabar
terbaru yang bagus tentang kegiatan ke-NU-an di Lebanon ini”. Aku hanya
bisa mengangguk isyarat “iya”. (Bersambung ke bagian 3).
[1] Mempraktekkan.
[2] Wazan adalah
bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab yang di jadikan timbangan dan ukuran benar
tidaknya Syakal atau harakat sebuah kata. Makna seperti ini mungkin
karena menyesuaikan dengan arti dari kata wazan sendiri secara bahasa yang
berarti timbangan.
[3] Artinya adalah
saya bersaksi bahwa Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib adalah hujjah Allah atau
lambang argumentasi Allah di muka bumi ini.
[4] Artinya adalah
marilah kita semua melakukan amal ibadah paling baik, yaitu Shalat.
[5] Artinya adalah
marilah menuju kepada keberuntungan, yaitu Shalat.
[6] Tentang
kesunnahan ini sebagaimana keterangan Hadis riwayat Abu Hurairah bahwa
Rasulullah selalu membaca Surat Alif Lam Mim Tanzil dan Ad-Dahr pada saat
Shalat Subuh hari Jum’at. Lihat Al-Hafidz Ibnu Hajar (tt), Bulughul Maram Min
Adillatil Ahkam, Semarang: Pustaka Alawiyah. Hal: 58. Hadis nomer: 310.
[7] Artinya: “Din
minum kopi dulu, pagi-pagi kok udah melamun, nanti kesambet oleh cewek Lebanon lo..hehehe,
ini lo, masak air kok di tinggal melamun, untung ada aku yang mengangkat air
yang sudah mendidih ini”.
[8] Jilbab yang di
maksud adalah pakaian luar yang di pakai oleh wanita dan pakaian ini menutup
semua tubuh seorang wanita dari kepala sampai ujung kaki, bukan jilbab yang
mempunyai arti kerudung sebagaimana di kenal oleh masyarakat indonesia sekarang
pada umumnya. Lihat saja Majduddin Al-Fairuz Abadi (2005), Al-Qamus
Al-Muhith, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. Hal: 68. Maddah: Jim Lam Ba’.
1 komentar:
ayo kawan2 di komentari dan di kritik, biar terus belajar.