Ramadhan
tahun ini telah menyapa kita dengan belaian
hari-harinya yang penuh dengan keindahan dan keberkahan. Dan tak terasa,
ternyata sudah hampir setengah bulan lamanya kita berpuasa, menahan lapar dan
dahaga di siang hari, dan tentunya melakukan aktifitas-aktifitas Ramadhan
lainnya di malam Hari-nya, semisal Shalat Tarawih, Tadarus Al-Qur'an, Tahajjud,
I'tikaf dan masih banyak praktek ibadah yang lain. Namun, yang masih menjadi
pertanyaan dalam diri kita, apa sebenarnya "Puncak" dari amaliah Ramadhan
yang ingin kita capai, sehingga setelah nanti Ramadhan beranjak berpisah,
meninggalkan kita, kita masih merasakan sentuhan-sentuhan halus Ramadhan dalam
relung-relung jiwa kita?
Memang benar, selama ini umumnya kita—walaupun
tidak semua—memandang Bulan Suci Ramadhan hanya sebagai ajang untuk
berlomba-lomba memasang topeng-topeng kesucian di depan manusia. Dan saat Ramadhan
sudah usai, maka akan kelihatanlah betapa beringas dan menjijikkannya
wajah-wajah asli yang bersembunyi di balik topeng-topeng suci itu. Kenapa semua
itu terjadi? Menurut saya pribadi, semua itu terjadi tak lain karena kita tidak
pernah memposisikan Ramadhan sebagai “Madrasah” guna mendidik Nafsu kita. Atau
kalaupun ada yang menganggap Ramadhan sebagai “Madrasah”, itu pun hanya seperti
sekolahan pada umumnya sekarang ini, yang hanya gila akan formalitas, tanpa
mempertimbangkan esensi dari makna pendidikan itu sendiri. Sehingga yang ada
hanya jasad tanpa nyawa, tubuh tanpa ruh dan jiwa.
Untuk mentahbiskan Ramadhan sebagai Madrasah
yang sebenarnya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu makna-makna yang
tersembunyi di balik puasa di Bulan suci Romadhan ini. Dalam ayat Al-Qur'an
Allah berfirman yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian semua untuk berpuasa, sebagaimana diwajibkan bagi
orang-orang sebelum kalian. Supaya kalian bisa meraih ke-takwaan"
Dalam
kesempatan singkat ini, saya ingin sedikit mengulas makna dari redaksi "Kama
Kutiba 'Alalladzina Min Qoblikum. La'allakum Tattaquun". Dari teks
ayat tersebut, bisa kita pahami bahwa puasa merupakan ibadah yang sebenarnya
sudah pernah ada dan menjadi sebuah amaliah wajib bagi umat-umat terdahulu,
sebelum umat Muhammad Saw. Ini menunjukkan antara lain, bahwa ajaran Islam itu
mempunyai keterkaitan yang cukup erat, dengan ajaran-ajaran umat lainnya.
Walaupun tentunya ada perbedaan-perbedaan krusial yang menjadi ciri khas masing-masing dari umat beragama
dan Islam.
Syaikh Mutawalli Sya'rowi—seorang pakar Tafsir
kontemporer dari Mesir—menjelaskan dalam Tafsir-nya bahwa Puasa merupakan
sebuah metode pendidikan kemanusiaan yang ada dalam setiap agama, walaupun
antara satu agama dan yang lain mempunyai perhitungan hari dan tatacara yang
berbeda-beda. Almarhum Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir Al-Munir menjelaskan
bahwa puasa adalah ajaran yang disepakati oleh semua pemeluk agama. Bahkan
agama pagan (penyembah berhala) pun sudah mengenal ajaran puasa ini.
Orang-orang—dari penuturan Syaikh Wahbah—Mesir
kuno, Yunani, Ramawi dan
India pada era dahulu pun sebenarnya sudah mengenal puasa. Dalam kitab
perjanjian lama (Taurat) pun ditemukan pujian atas puasa dan orang-orang yang
berpuasa, dan juga sudah bisa dipastikan bahwa Nabi Musa pun pernah berpuasa
selama 40 hari lamanya. Sedangkan orang-orang Yahudi sekarang ini juga
melakukan ritual puasa selama 1 minggu full, guna memperingati keruntuhan
Yerussalem. Begitu juga dengan injil-injil modern sekarang ini yang memuji
puasa dan menganggapnya sebagai sebuah ibadah terpuji. Dari sini bisa kita
pahami, bahwa Ibadah puasa merupakan ajaran lintas generasi dan lintas agama
yang kesemuanya mempunyai tujuan satu, yakni meraih ketakwaan.
Lalu, apakah dari pemaparan di atas bisa kita
pahami kalau Islam dalam ajaran puasa ini telah “menjiplak” ajaran umat-umat
terdahulu? Sebagaimana hal itu dituduhkan oleh sebagian kaum orientalis. Oh,
menurut saya pribadi tidak bisa kita katakan demikian. Sebab pada dasarnya
agama-agama yang hidup pada rumpun semitik itu adalah agama Islam, hanya saja
mempunyai Syariat (undang-undang) yang berbeda antara satu dan yang
lain, yang mana undang-undang tersebut berbeda karena adanya konteks dan
kondisi yang berbeda pula. Disamping juga adanya distorsi (Tahrif) dalam
sebagian ajaran agama-agama tersebut. Sebenarnya adanya sedikit kesamaan ajaran
masing-masing agama itu semakin menguatkan kita, bahwa ajaran Islam adalah
ajaran yang mempunyai sanad turun temurun semenjak Nabi-Nabi terdahulu,
sehingga akhirnya sampai pada Nabi penutup, yakni Baginda Rasul Muhammad Saw.
Mestinya pemahaman itu yang kita kembangkan, bukan malah menganggap bahwa
ajaran Islam adalah jiplakan ajaran agama sebelumnya, tapi lebih tepatnya
adalah ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Nah, dari
pemaparan singkat di atas sudah bisa kita ketahui bahwa puasa adalah “Madrasah”
sepanjang masa bagi Nafsu hewani kita. Lalu apakah tujuan dari pendidikan “Madrasah
Ramadhan” ini?
Tujuan utama dari Puasa—sebagaimana kebanyakan
Ibadah pada umumnya—adalah sebagaimana diceritakan sendiri oleh Allah, yaitu
"La'allakum Tattaquun" yang bisa kita artikan dengan
"membentuk pribadi yang bertakwa". Dari redaksi potongan ayat
terakhir ini, yang menggunakan susunan Jumlah Ismiyah—bukan Jumlah
Fi'liyyah—bisa kita pahami bahwa takwa yang dimaksud itu tidaklah bersifat
temporer, tapi lebih bersifat kontinue. Takwa tidak hanya pada bulan Ramadhan
saja, tapi setelah Ramadhan pun, ketakwaan seseorang harus selalu menghiasi
pola pikir, prilaku, tindak tanduk dan tentunya pola interaksi terhadap sesama
manusia.
Lalu, apa itu takwa? Selama ini, kita memahami
takwa sebagai upaya untuk melakukan setiap perintah dan menjauhi larangan Allah
swt. Namun, menurut saya pribadi, gambaran takwa paling menarik adalah apa yang
pernah dipaparkan oleh Sayyidina Ali Karramallahu wajhah saat beliau
mengatakan: "Takwa pada hari ini adalah penjaga dan tameng, sedang pada
esok hari, (takwa) adalah jalan menuju surga". Kenapa saya anggap
paling menarik? Sebab disitu Sayyidina Ali lebih menekankan Takwa pada sisi
ruhiyah, bukan jasmaniyah. Dan penggambaran ini sangat cocok sekali dengan
esensi dari Puasa Ramadhan yang
sedang kita lakukan sekarang ini.
Oke, untuk lebih memudahkan memahami keterkaitan
antara esensi puasa Ramadhan
dan pemaparan Takwa dari Imam Ali, saya akan sedikit memberikan contoh yang
lebih riil. Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya kita akan banyak menemukan
hal-hal yang bisa dikatakan bertentangan dengan Syariat. Banyak kita temukan di
luar sana orang-orang yang dengan bangganya melakukan maksiat, bahkan tak
segan-segan memamerkan prilaku maksiat-nya itu, semisal mengkosumsi minuman
beralkohol, berjudi, mengkonsumsi narkoba, para wanita yang berjalan tanpa
menutup aurat dan masih banyak yang lain. Nah, melihat realitas yang demikian
ini, kalau kita memaknai takwa dengan berusaha mengerjakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, berarti kita harus menghindari dan menjauhi semua orang
yang melakukan prilaku maksiat tersebut, dan itu merupakan hal yang sangat
sulit sekali tentunya. Bahkan kalau kita lihat realitas kehidupan sekarang ini
yang sudah semakin penuh dengan trik dan intrik penipuan, mulai dari instansi
pemerintahan, sampai masyarakat kecil, tentunya sebagai insan yang sedang
meniti jalan ketakwaan akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Hal ini jika
ketakwaan kita artikan sebagai menghindari larangan Allah. Dan mungkin, pada
akhirnya orang hanya akan menemukan ketakwaannya, jika dia hidup di pegunungan
sana atau ada juga yang pada akhirnya bersikap ekstrim guna mengenyahkan
kemaksiatan yang ada dihadapannya. Berat bukan?
Hal ini tentunya akan berbeda, jikalau kita
mengikuti dan mengembangkan konsep ketakwaan ala Imam Ali Radhiyallahu 'Anhu,
yang menyatakan bahwa Takwa adalah kekuatan rohani yang menjadi tameng dan
perisai dalam diri seseorang. Takwa ala Imam Ali ini akan menjadikan seseorang
kebal dalam menghadapi maksiat, sehingga seseorang akan bisa hidup dalam
kondisi apapun dan berinteraksi dengan siapa pun, entah itu orang baik atau pun
orang yang jelek, tanpa seorang muslim harus merasa khawatir akan terkontaminasi
oleh perbuatan maksiat yang ada.
Takwa ala Imam Ali ini akan menjadikan seorang
Muslim memiliki sikap sebagaimana ikan yg hidup di lautan yang luas. Air lautnya asin, tetapi ikan yang di dalamnya—selama
masih hidup—tidak akan ikut terkontaminasi asin pula. Ikan itu bisa berenang
kemanapun ia suka, tanpa harus menghindari satu kawasan ataupun daerah
tertentu, sebab asinnya air laut tidak akan mempengaruhi dirinya sama sekali.
Begitu juga dengan seseorang yang sudah berhias dengan ke-takwa-an Ala Imam Ali
ini. Seorang Muslim bisa bebas berkumpul dan berinteraksi dengan siapapun,
tanpa ia harus khawatir akan terkontaminasi oleh perbuatan maksiat yang
tersebar dengan begitu bebasnya di sekitar masyarakat yang ada.
Dan kalau kita mau jujur, ketakwaan ala Imam
Ali—sebagaimana tersebut di atas—itu benar-benar akan bisa terealisasikan saat
seseorang bisa sukses dan lulus dalam Madrasah Ramadhan.
Iya, puasa Ramadhan tak ubahnya sebuah “Madrasah” kelas elit dengan standar
kompetensi-nya adalah menggapai Derajat Takwa. Sedang siswa-siswa madrasah Ramadhan
tersebut adalah Nafsu-nafsu kita. Madrasah Ramadhan ini adalah sekolahan yang
tidak hanya taraf Nasional ataupun
internasional, tetapi lebih dari itu semua, ia adalah madrasah dengan taraf
kelayakan di Akhirat nanti. Sehingga Tidaklah sembarang orang yang benar-benar
siap untuk berkompetensi dan untuk selanjutnya sukses melewati Madrasah
Romadhan ini, bahkan dalam Al-Qur'an pun yang di Khithobi oleh Allah
hanyalah orang-orang yang beriman (dan tentunya sudah tidak asing lagi bagi
kita, apa dan bagaimana perbedaan orang yang masih dalam taraf Islam saja, dengan
orang yang sudah bertitle Iman).
Dalam
Madrasah Ramadhan
ini, seorang muslim benar-benar diajak oleh Allah swt guna meningkatkan kadar
ketakwaannya. Yang selama ini takwa hanya sebatas menghindari hal-hal yang
dilarang oleh Allah, sekarang ia harus beranjak membangun perisai dan benteng ruhaniyah dalam dirinya sendiri.
Sehingga saat dia berpuasa, dia tidak mudah tergoda oleh berbagai macam
larangan-larangan agama. Dia tidak akan mudah ngiler saat melihat
temannya yang berlainan agama menyantap makanan dengan enaknya, sebagaimana ia
tidak akan seperti anak kecil yang sedang latihan puasa, lalu merengek minta
dibelikan es krim saat melihat adiknya menyantap es krim. Tidak sama sekali.
Puasa adalah sebuah ibadah yang betul-betul rahasia, sehingga yang tau
hanyalah diri hamba itu sendiri dan Allah. Oleh karenanya, pembangunan perisai
dan benteng takwa rohani pun sangatlah cocok dengan puasa ini. Karenanya, mari
kita benar-benar manfaatkan puasa ini tidak hanya dengan sekedar menahan lapar
dan haus, tapi lebih dari itu, adalah dengan terus menerus belajar mendalami
ajaran Islam yang indah ini secara lebih lagi, kemudian mengamalkan semampunya
sebagai ajang penyucian hati kita.
Dan pada akhirnya, saat nanti Idul Fitri datang,
kita memang benar-benar layak untuk disebut sebagai wisudawan Ramadhan yang
sukses dalam mendidik Nafsunya. Tidak hanya sekedar wisudawan abal-abal yang
sekarang marak di dunia pendidikan kita, sudah memegang ijazah, tapi
kualitasnya nol puthul. Dan tentunya kita sebagai siswa-siswa Madrasah Ramadhan
tidak menginginkan hal yang demikian. Bukankah begitu kawan? Wallahu A'lam
bis Showab.
0 komentar