Dari dulu saya tidak paham,
kenapa harus ada "Rosm Utsmani" dalam tatacara
penulisan Mushaf al-Qur'an. "Bukankah sama saja makna yang ditimbulkan
dari penulisan Khot tersebut?", begitu batinku dulu. Ya, maklum,
saya ini hanya santri yang ngaji-nya dulu nggak kitab-kitab yang
aneh-aneh, paling-paling ya Sullam Taufiq, Taqrib dan semisalnya. Jadi ya
kurang paham masalah sampai "Rosm Utsmani" segala.
Nah, baru kali ini saya
browsing-browsing dan menemukan kitab bagus. Saya katakan bagus, sebab kitab
tersebut sedikit membuka mata saya yang selama ini buta tentang "Rosm
Utsmani" dan memberikan gambaran kepada saya yang bodoh ini tentang
alasan kenapa al-Qur'an ditulis dengan "Rosm Utsmani".
Sehingga akhirnya saya sedikit tahu, bahwa setiap penulisan al-Qur'an dengan Rosm
Utsmani yang berbeda antara satu dan yang lain itu, ternyata juga memiliki
konsekwensi makna yang berbeda pula. Wow, betapa hebatnya al-Qur'an
ini ya, bahkan dalam sisi cara penulisannya
pun memiliki keistimewaan. Luar biasa.
Saya ingin sedikit mencontohkan
Faidah penulisan al-Qur'an dengan "Rosm Utsmani". Semisal
dalam kata (الكتاب), dalam semua surat bermakna "al-Qur'an" atau
"Lauhu-l-Mahfudz". Oleh karenanya, dalam semua surat, kata (الكتاب) dengan tanpa huruf alif (ا) di antara huruf Ta' (ت) dan Ba' (ب). Kenapa demikian? Sebab al-Qur'an itu merupakan kitab suci
yang amat sangat mudah dipahami oleh manusia dan sangat jelas pula proses turun
(Tanzil)-nya. Pembungan Alif ini salah satu maknanya—menurut
penulis Kitab tersebut—adalah untuk menunjukkan sesuatu yang dekat. Wallahu
A'lam, saya sendiri kurang begitu paham korelasi antara pembuangan Alif dan
mudahnya dipahami. Mungkin teman saya yang juga master dalam bab al-Qur'an dan Rosm
Utsmani, Ustadzuna Ahmad Atho, bisa sedikit
memberikan pencerahan nanti.
Tapi saya menangkap bahwa
tujuan utama pembuangan dan penulisan alif pada kata (الكتاب) adalah sebagai pembeda. Mari kita perhatikan penjelasan
berikut ini. Dalam semua surat al-Qur'an, kata (الكتاب) ditulis
dengan membuang Alif, kecuali di 4 tempat
sebagai berikut ini:
1.
Pada surat Ar-Ro'du ayat ke-38.
{
لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ } [الرعد: 38]
pada ayat tersebut, kata (الكتاب) ditulis dengan Alif, sebab maknanya bukan lagi "al-Qur'an"
atau "Lauhu-l-Mahfudz". Tetapi waktu yang telah ditetapkan.
Setelah potongan ayat, ini sebenarnya ada juga kata (الكتاب) lagi,
tapi ditulis dengan membuang Alif, sebab bermakna "Lauhu-l-Mahfudz".
Tepatnya pada ayat:
{يَمْحُو
اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَبِ } [الرعد: 39]
2.
Pada surat al-Hujr ayat ke-4.
{وَمَا
أَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ إِلَّا وَلَهَا كِتَابٌ مَعْلُومٌ } [الحجر: 4]
pada ayat al-Hujr ini pun, kata
(الكتاب) bermakna
waktu atau tempo atau ajal, bukan bermakna "al-Qur'an" atau
"Lauhu-l-Mahfudz".
3.
Pada surat al-Kahfi ayat ke-27.
{وَاتْلُ
مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ } [الكهف: 27]
Dalam ayat di atas, kata (الكتاب) bermakna
"al-Qur'an". Di tulis dengan tanpa membuang Alif sebab kata (الكتاب) sudah di idhafah (sandar)
kan pada kata (رَبِّكَ) yang secara otomatis
memberikan makna "al-Qur'an". Berbeda dengan dua ayat sebelumnya.
4.
Pada surat an-Naml ayat ke-1.
{طس
تِلْكَ آيَاتُ الْقُرْآنِ وَكِتَابٍ مُبِينٍ } [النمل: 1]
Dalam ayat surat an-Naml ini
pun kata (الكتاب) ditulis
dengan tanpa membuang alif, sebab sudah maklum bahwa maknanya adalah al-Qur'an,
karena dia sudah di 'Athafkan pada kata (الْقُرْآنِ) yang mau tidak mau adalah menunjukkan makna al-Qur'an, bukan
makna lainnya.
Dari keempat ayat di atas, kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan utama pembuangan maupun penulisan Alif
adalah untuk membedakan antara (الكتاب) dengan makan "al-Qur'an dan Lauhu-l-Mahfudz" dengan
kata (الكتاب) yang
menggunakan makna lain. Dan dari sini pula, kita bisa mengambil kesimpulan
bahwasanya para penulis wahyu dan mayoritas sahabat itu amat sangat paham
tentang isi al-Qur'an, sehingga kepahaman mereka ini menuntut mereka untuk
merealisasikannya, termasuk dalam tatacara penulisan al-Qur'an.
Wallahu
A'lam.
Catatan:
Ahmad Atho: Ada
perbedaan pandangan memang antara para ulama, bagi ulama ahli sejarah, Rasm
Utsmani memang tak ada urusan dengan makna, bahkan ada yang mengatakan bahwa
makna2 yg dijelaskan oleh ulama rasm, seperti contoh dalam ts, itu hanya
mengada-ada.
Tapi bagi ulama ahli Rasm Utsmani, mereka meyakini ada makna tersembunyi dari setiap huruf yang tertulis, oleh karena itu wajib mengikuti penulisan Rasm Utsmani, tidak boleh menggunakan Rasm Qiyasi/ imla' 'adiy, karena bisa menghilangkan makna2 itu.
Diantara kitab yg mengulas makna2 isyari atau makna batin dari huruf-huruf yang ditambahkan, dikurangi, diganti, disambung atau dipisah adalah kitab Unwanud Dalil fi Marsumi khottit Tanzil, karya Ibnul Banna.
Tapi bagi ulama ahli Rasm Utsmani, mereka meyakini ada makna tersembunyi dari setiap huruf yang tertulis, oleh karena itu wajib mengikuti penulisan Rasm Utsmani, tidak boleh menggunakan Rasm Qiyasi/ imla' 'adiy, karena bisa menghilangkan makna2 itu.
Diantara kitab yg mengulas makna2 isyari atau makna batin dari huruf-huruf yang ditambahkan, dikurangi, diganti, disambung atau dipisah adalah kitab Unwanud Dalil fi Marsumi khottit Tanzil, karya Ibnul Banna.
Ahmad Nashiih: Nderek
usul sak nyeplose yaa. Hehee
Saya pribadi setuju dg statemen bahwa penulisan dg rosm usmani atau tidak tidak mengubah makna, apalagi tipikal alQur'an adlh hammalatul wujuuh,, hanya saja menghilangkan sirrul i'jaz yg hanya dipahami oleh orang2 khusus.Wallahu a'lam.
Saya pribadi setuju dg statemen bahwa penulisan dg rosm usmani atau tidak tidak mengubah makna, apalagi tipikal alQur'an adlh hammalatul wujuuh,, hanya saja menghilangkan sirrul i'jaz yg hanya dipahami oleh orang2 khusus.Wallahu a'lam.
Ahmad Atho: Ada
ulama yg berkomentar begini. Sebenarnya mengatakan ADA DUA PENDAPAT dalam hal
penulisan Rasm Utsmani itu tidak tepat..Karena dua pendapat ini sangat jauh
kualitasnya..
Pendapat pertama, wajib mengikuti Rasm Utsmani, adalah ijma' para ulama salaf, sejak masa sahabat.
Pendapat pertama, wajib mengikuti Rasm Utsmani, adalah ijma' para ulama salaf, sejak masa sahabat.
Lalu baru pada abad 5 Hijriyah ada pendapat yg
menyelisihinya, dipelopori oleh Al Baqilani, lalu pada abad selanjutnya ada yg
mendukungnya, yaitu Izzuddin bin Abdissalam, lalu beberapa abad setelahnya ada
lagi yg mendukung pendapat ini, meski banyak ulama yg mengatakan bahwa dia
berpendapat pada sesuatu yang bukan bidangnya, yaitu Ibnu Khaldun.
Jadi menyandingkan dua pendapat itu sangat tidak layak, yang pertama adalah ijma', dan yang kedua adalah pendapat segelintir ulama muta-akhirin. Dikatakan segelintir karena lebih banyak yg tetap mengikuti pendapat pertama. (At Tabyin fi Hija-it Tanzil).
Jadi menyandingkan dua pendapat itu sangat tidak layak, yang pertama adalah ijma', dan yang kedua adalah pendapat segelintir ulama muta-akhirin. Dikatakan segelintir karena lebih banyak yg tetap mengikuti pendapat pertama. (At Tabyin fi Hija-it Tanzil).
Ahmad Nashiih: Bukankah Ibn
Abdissalam kurunnya jauh di bawah Abu Dawud sang muallif al-Tabyiin, gih? Kok
nama beliau bisa disebut?
Dhiya Muhammad: cma masalahnya
kalau memang penulisan rosm utsmani itu ijma' apa ulama2 yg menyelisihi itu tdk
tau mas? pdhl mereka hebat2 lo, al baqillani dan Ibn abdissalam. pdhl munkirul
ijma' sendiri jg berat sanksine...
:-) pripun niku mas?

Mengenai apakah
beliau tidak tahu kalau menyalahi ijma', saya lebih suka mengomentari
sebagaimana Sayyid Alawi bin Ahmad Assegaf dalam kitab Majmu'atu Sab'ati
Kutubin Mufidah ketika mengomentari Ibnu Arabi, beliau berkata :
وإنما غايته
أنه أخطأ في الاجتهاد وهو غير قادح في صاحبه إذ كل من العلماء مأخوذ من قوله
ومردود عليه إلا المعصومين
Ahmad Nashiih: Versi
al-Zarkasyi / Al-Suyuthi malah ada 3 pendapat soal keharusan mematuhi rasm. Saya pribadi memilih fair saja, ini masalah khilafiyah,
karena itu kenyataannya.
ليس بعد الواقع مزيد بيان
Tp penjelasan
d alburhan/manahilul irfan yg mengutip pendapat Ibn Abdissalam sedikit
dikritisi oleh ahli ilmu rosm kontemporer dr Irak, Ghanim Qadduri al-Hamad dlm
disertasinya; Rasm alMushaf; Dirasah Luqhawiyyah Tarikhiyyah. Bisa didownload.
0 komentar