Malam itu,
semilir angin sepoi-sepoi berkejaran dilangit-langit desa kecil yang masih
ramai dengan gerongan suara motor yang menjenuhkan itu. Rumah-rumah
sudah mulai menutup daun pintunya, karena memang malam memang sudah mulai
memasuki sepertiga awalnya. Desa yang dulunya tentram, damai dan bahkan
terkenal dengan desa santri itu, nampaknya kini telah berubah. Dulu, suara
anak-anak tadarus Al-Qur’an masih menggema disetiap rumah-rumah penduduknya setiap
habis maghrib. Masjid-masjid maupun musholla-musholla masih ramai dengan
pengajian-pengajian Safinah, Sullam Taufiq dan beberapa kitab-kitab
agama lainnya. Tapi, nampaknya globalisasi dan modernisasi pun telah berhasil
mencengkramkan cakar-cakarnya disetiap jengkal tanah di desa tersebut.
Malam memang
semakin larut, dan aktivitas orang-orang dijalanan depan rumahku pun semakin
berkurang, karena mungkin sebagian orang sudah terbuai dalam mimpinya yang
indah. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi para remaja. Larutnya malam bagi
mereka adalah pertanda awal dimulainya kehidupan mereka yang serba hura-hura.
Di setiap sudut desa itu terdapat gerombol-gerombol remaja yang tongkrong-tongkrong.
Bahkan disebagian sudut desa itu, beberapa kali mata ini melihat langsung
sebagian dari mereka mabuk sempoyongan dengan menenteng botol congyang…miris
sekali hati ini saat melihat kondisi yang demikian itu adanya. Dan yang lebih
miris lagi, nampaknya aparat desa sudah acuh tak acuh akan kondisi warganya
yang sedemikian ruwet dan rusaknya, entah karena sebab apa bisa demikian.
Malam itu,
disamping rumahku—tepatnya disebuah warung nasi kucing—sudah bergerombol
beberapa remaja dari berbagai desa. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan tanpa
sopan santun, dan sama sekali tidak memperdulikan kenyamanan warga sekitarnya
yang telah kelelahan karena berkerja sepanjang siang hari. Bahkan tak jarang
mereka menarik gas sepeda motornya dengan keras, sehingga memunculkan suara
yang cempreng dan keras mengganggu kenyamanan telinga, dan tak jarang
pula aku bangun dalam kondisi terkaget-kaget gara-gara suara cempreng
itu.
Namun, saat
disetiap ujung desa banyak remaja-remaja yang grudak-gruduk tidak
jelas apa yang mereka lakukan. Mata ini menangkap secercah cahaya harapan yang
memancar dari sebuah ruangan kecil nan pengap dan hanya disejukkan oleh kipas
angin yang kecil pula. Dalam ruangan itu, terdapat beberapa anak yang sebagian
besar masih dalam jenjang sekolah setingkat Aliyah, sementara beberapa gelintir
lainnya masih sekolah tingkat menengah dan bahkan ada yang masih tingkat SD.
Mereka duduk melingkar dengan ada dua orang yang duduk diujung paling depan
menghadap kepada yang lain. Dihadapan dua anak tadi terdapat dua meja kecil
yang di atas punggung kedua meja itu terdapat kitab berukuran kecil dan
disampul bagian atasnya tertulis “Matn Sullam Taufiq”.
“Lo gimana tadi
jawaban pertanyaanku?”, tanya Qomar mengejar kepada si Qori’.
“Coba diulangi
lagi mas Qomar…!”, kata Wafi sebagai moderator.
“Coba dengerin
lagi dengan seksama mas Wafi…! Dalam kitab sullam taufiq kan di sebutkan:
ويجب على ولاة الأمر قتل تارك الصلاة كسلا إن لم يتب وحكمه مسلم
Nah,
pertanyaanku, bagaimana dengan pemerintahan Indonesia sekarang ini? Kan tidak
menerapkan hukum islam didalamnya??”, kata Qomar dengan tegas dan senyum
mengembang.
“Ya, silahkan
mas Jabuk…jawaban anda gimana?”, kata Wafi sambil pringas pringis.
Karena memang jika dibanding dengannya, Jabuk masih terlalu kecil, dia masih
kelas 6 SD sedang Wafi 2 MA.
“Tetap harus
ikut pemerintah yang sah dong”, jawab Jabuk dengan nada serius.
“Lalu bagaimana
dengan Aceh, kemarin saya lihat di TV mereka mencambuk orang yang meminum
arak”, kembali Qomar berargumen.
“Wah yo berarti
mereka Bughot itu, kayak ceritane kartosuro itu lo”, celetuk Burhan
cengengesan.
“Huss…Kartosuro
jare, Kartosono”, Anam menimpali.
Aku mendengar
celoteh mereka yang lugu-lugu itu tersenyum sendiri. Aku paham bahwa yang
mereka maksud adalah pemberontakan Darul Islam yang diprakarsai oleh Kartosuwiryo.
Tapi karena mereka salah sebut, maka jadinya Kartosuro yang ada di Solo atau malah
Kartosono, hehe..dasar anak-anak kamso.
“Tapi kan hukum
Islam harus diterapkan to Han?”, Isykalan Anas kepada Burhan.
“Ya iya to mas
Qomar…tapi sekarang ini apa nggak sulit? Yang penting sekarang kita itu ngaji,
paham dan mendakwahkannya”, jawaban Burhan dengan tegas.
“Ya udah, kita
mauqufkan dulu saja. Ini kan butuh banyak kitab, la kita Sullam Taufiq disuruh
menghapal saja bolong-bolong”, jelas Wafi.
“Halah…kui
kan kowe Waf (itu kan kamu Waf)”,
timpal Dur.
Dan Wafi hanya
cengengesan saja mendengar cletukan teman seperguruannya itu. Biasanya, setelah
berdiskusi, mereka pun langsung mayoran bersama, walaupun hanya dengan beberapa
potong terong dan tempe. Mayoran di dunia pesantren memang hal biasa—dan saya
sendiri dulu juga menganggap hal itu adalah hal yang sangat biasa-biasa
saja—akan tetapi jika hal itu dilakukan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang
kurang mengenal pesantren, ternyata mayoran menjadi hal yang berbeda dan sangat
istimewa. Beberapa remaja yang tongkrong disamping rumah pun ternyata
juga sedikit malu, pekewuh dan akhirnya dengan sendirinya mereka pergi.
Atau kalau tidak pergi ya minimal mereka tidak berbuat gaduh, tertawa
terbahak-bahak ataupun membuat keonaran lainnya.
Aku terharu mendengar sebuah diskusi yang
berlangsung setiap malam minggu itu. Diskusi itu hanya diikuti oleh beberapa
gelintir anak saja—karena memang yang kebanyakan ABG lebih suka hura hura.
Ditengah kondisi bangsa yang sedang diterkam globalisasi dan terserang penyakit
kronis “wahn” ini, ternyata masih ada anak-anak yang bersemangat untuk
sekedar mendiskusikan Sullam Taufiq. Andaikata mereka berada disebuah Pesantren
dengan sebuah sistem yang sudah berjalan puluhan atau bahkan ratusan tahu, maka
hal itu menurut saya wajar-wajar saja. Tapi mereka hanya anak-anak rakyat
biasa, anak-anak kamso—meminjam istilahnya Kiai Maimoen—dan miskin pula.
Orang tua mereka tidak mampu untuk sekedar memberangkatkan mereka ke salah satu
pesantren belajar agama lebih dalam lagi.
Setiap mereka bangun
tidur dan membuka mata, yang ada di depan mereka hanyalah Hp butut atau TV dengan
tayangan yang semakin lama tak jelas ke mana arahnya. Saat mereka bertemu
dengan orang tuanya, maka tema pembahasan yang pertama kali mereka dengar
adalah masalah iuran sekolah, uang saku untuk jajan atau uang untuk kegiatan
ekstra. Tidak pernah mereka ditanya bagaimana pelajarannya. Sudah sampai mana
ngajinya atau sudah sampai mana pelajaran membaca Al-Qur’an-nya. Bahkan ada
sebagian dari mereka yang harus belajar Al-Fatihah lagi dengan benar, karena
ternyata dia sendiri tak hapal surat yang menjadi bacaan wajib dalam sholat
tersebut. Dan anehnya lagi, semua mengaku sebagai seorang muslim yang mengikuti
organisasi NU.
Namun,
lagi-lagi aku masih bisa tersenyum saat melihat mereka kini bisa bertukar
pendapat tentang berbagai permasalahan agama mereka dengan nyaman dan detil.
Iya, mereka tidak sepandai santri-santri pesantren yang tangkas memaknai kitab
gandul, akan tetapi kehadiran dan kegiatan yang mereka lakukan dalam sebuah
lingkungan yang sudah mulai kekeringan nilai-nilai Islami ini, merupakan sebuah
oase yang bisa sedikit menyegarkan jiwa-jiwa yang sedang kehausan. Aku jadi
teringat sebuah penjelasan guruku saat mengaji kitab Shohih Bukhori dulu.
Kurang lebih beliau pernah berkata:
“Sebuah amal
ibadah yang hanya dilakukan oleh sedikit orang saja, itu mempunyai nilai yang
berbeda dari sebuah amal ibadah yang sudah dilakukan oleh orang banyak.
Karenanya, nilai keimanan sahabat yang pertama-tama (As-Sabiqunal Awwalun)
masuk Islam tentunya lebih bagus dari pada yang masuk Islam terakhir. Karena
pada awalnya, hanya beberapa gelintir saja orang muslim. Begitu juga orang yang
melakukan sholat Tahajjud”.
Lalu
pertanyaannya adalah bisakah mereka menjadi bagian
dari orang-orang yang sedikit ini?
Semoga…Wallahu A’lam.
0 komentar