Biasanya seorang santri dikenal
Kiainya karena kepandaian atau karena kenakalannya. Seorang santri yang pandai
memang dikenal Kiainya karena kemampuan dan prestasi ilmiahnya, sedang santri
yang nakal dikenal oleh gurunya agar selalu bisa di doakan untuk berubah
menjadi orang yang baik kelak. Begitulah kira-kira ungkapan yang dulu sering
saya dengar di pesantren.
Entah dari mana asal muasal ungkapan
di atas, tapi yang jelas saya pernah merasakan langsung kebenarannya, bukan
karena saya termasuk santri yang pandai, tapi karena saya dan teman-teman
adalah santri-santri yang nakal. Peristiwanya adalah saat kami baru saja
menyelesaikan ujian ke-1 Madrasah yang dislenggarakan pada bulan Muharrom—biasanya
ujian di adakan sebanyak 3 kali. Memang biasanya, pada bulan Muharrom itulah
madrasah kami—Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah atau biasa disingkat dengan
MGS—menylenggarakan ujian umum pertama untuk santrinya. Sehingga bisa
dipastikan bahwa dalam bulan ini, semua santri MGS sibuk dengan Muhafadzohm,
Muroja’ah dan kitab-kitab masing-masing, tak terkecuali pula saya.
Setelah kurang lebih 10 hari lamanya
ujian berlangsung, Kami merasa bahagia karena akhirnya beban berat itu bisa
terlewati tanpa ada kendala yang berarti. Namun pada saat pelajaran Abah Ubab
(panggilan akrab KH. Abdullah Ubab Maemun), kebahagiaan kami seketika sirna
oleh dawuh beliau:
"jal ngomongo cah...kok
nilaine gak iso do apik piye?"
(coba bicaralah nak…kok bisa nilai
kalian tidak ada yang baik itu bagaimana?)
Mendengar dawuh itu, kami
hanya bisa diam dan menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Dengan raut wajah
kecewa dan sedih Abah Ubab dawuhan lagi:
"opo aku seng salah
ngajar...aku gak pecus mulang pean ta piye?"
(apa saya yang tidak bisa mengajar
kalian…saya tidak mampu mengajar anda atau bagaimana?)
Mendengar dawuhan beliau itu,
tak terasa butiran air mata sudah meleleh dipipiku, mataku sembab oleh genangan
air mata yang tak kunjung mau berhenti. Cepat-cepat air mata aku seka dengan
dengan ujung baju, malu kalau terlihat teman-teman. Saat aku menengok ke arah
depan, sosok Abah Ubab sudah tidak ada lagi di tempat duduk guru, nampaknya setelah
dawuhan tadi, beliau langsung keluar ruangan.
Semenjak kejadian itu, saya melihat
teman-teman semakin rajin belajar dan mengikuti semua pelajaran. Dan semenjak
kejadian itu pula, saya tidak pernah mendengar lagi Abah Ubab dawuhan
sesuatu berkenaan dengan kami. Hingga akhirnya, tibalah waktu yang
ditunggu-tunggu oleh semua santri kelas 3 aliyah MGS, yaitu waktunya pembacaan
sanad di kediaman Abah. Saya masih ingat betul, pagi itu, semua santri sudah
berkumpul di ndalem wartel—disebut ndalem wartel karena memang dulu disitu ada
wartel yang ramai dikunjungi santri dan sekarang menjadi ndalemnya Gus Rosyid
Ubab—depan masjid Jin. Pembacaan sanad oleh Abah Ubab dimulai sekitar pukul
09.00 pagi, dimulai dengan sanad kitab hadis Shohih Muslim, lalu kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan sanad kitab Tafsir Munir. Setelah selesai
pembacaan sanad Tafsir Munir karya Mbah Nawawi Banten, Abah Ubab dawuhan lagi:
"konco-konco kabeh...Ubab
njaluk di ngapuro yo nek tau ngomong ora penak karo sampean-sampean kabeh. Ubab
njaluk, nek pean ndonga'ake wong-wong seng sholih, ojo lali, Ubab
slempit-slempitke neng dongamu mau. Nek sampean-sampean donga'ake Mbah Mun, yo
ojo lali, Ubab slempit-slempitke neng dongamu mau. Aku mung iso ndongakke
ilmumu manfaat kabeh ndunyo akherat"
(teman-teman semua…Ubab minta maaf
ya kalau ada kata-kata yang tidak enak dengan anda semua. Ubab minta kalau anda
semua mendoakan orang-orang sholih, maka jangan lupa, berilah ruang walaupun
sedikit saja di doamu untuk Ubab. Kalau anda-anda mendoakan Mbah Mun, ya jangan
lupa, berilah ruang sedikit saja untu Ubab di doamu. Saya hanya bisa mendoakan
agar ilmumu bermanfaat semua di dunia maupun akherat).
Seketika, air mata kami kembali
meleleh mendengarkan dawuhan beliau. Dan tanpa di komando, kami semua serentak berdiri
hendak berjabat tangan dengan beliau, hendak mengecup tangan beliau yang mulia
itu. Namun lagi-lagi beliau menampakkan kasih sayangnya pada kami, beliau tidak
hanya berjabat tangan dengan kami, bahkan beliau memeluk kami satu persatu
dengan pelukan hangat. Sampai sekarang, rasa-rasanya masih ingin diri ini merasakan
hangatnya pelukan itu. Pelukan seorang guru terhadap muridnya, pelukan seorang
ayah terhadap anak-anak didiknya yang pernah mengecewakan beliau. Pelukan yang
semoga bisa membawa pemeluknya bersama sampai di surga nanti. Semoga.
0 komentar