Judul
buku : Sullam Taufiq Ila
Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq (Tangga pertolongan untuk menggapai cinta Allah sebenar-benarnya).
Penulis : Al-Allamah Syaikh Abdullah Bin Al-Husain Bin Thahir Ba
Alawi, Hadramaut.
Cetakan : Karya Thoha Putra Semarang.
Peresensi : Dhiyaul Haq (santri di Ma’had Syaikh Maemon).
Islam sebagai sebuah agama, telah ikut serta membangun peradaban
yang tinggi di tengah-tengah kehidupan manusia di muka bumi. Dalam lanskap
sejarah yang telah di catat dengan rapi dan indah oleh sentuhan-sentuhan halus
jari jemari para sejarawan kita, banyak kita temukan beratus-ratus atau bahkan
beribu-ribu fakta yang menjadi artefak dan saksi bisu akan keberhasilan Islam
dengan umatnya dalam ikut serta mewarnai kehidupan di alam semesta ini.
Coba saja kita perhatikan, bagaimana masyarakat Arab—yang dahulu
terkenal dengan kejahiliahannya—bisa menjadi umat yang berperadaban tinggi dan
bahkan bisa memimpin serta menuntun umat-umat lainnya untuk menuju ke arah
gerbang kemajuan dalam kehidupan. Umat-umat lain menggelar permadani merah di
hampir seluruh pelosok dunia, untuk menyambut kedatangan sang umat pembaharu
ini. Mercusuar-mercusuar keimanan menjulang dengan tingginya di mana-mana.
Institut-institut keilmuan pun banyak kita temukan di setiap jengkal tanah di
atas muka bumi ini, bak jamur yang muncul bertebaran saat-saat musim hujan. Perpustakaan-perpustakaan
serta pusat kajian keislaman atau Ma’ahid Islamiyah pun tak kalah
banyak, hingga dengan mudah orang dapat mengakses pendidikan, disamping ada
rasa bangga bagi seseorang yang belajar atau ngangsu kaweruh di
dalamnya. Ya dengan senyum mengembang, semua seakan-akan berkata kepada dunia:
“Lihatlah Islam yang menjadikan hidup manusia lebih hidup dan bergairah”.
Sayangnya, ratusan atau bahkan ribuan fakta sejarah itu hanya
menjadi kisah masa lalu yang terasa manis jika dibaca ulang, akan tetapi akan
menimbulkan kegetiran serta rasa pahit jika kemudian kita melihat realitas
kehidupan umat Islam sekarang. Fakta-fakta sejarah itu hanya memunculkan
‘romantisme klasik’ saja dalam jiwa umat Islam. Bagaimana tidak? Coba kita
lihat dan perhatikan bagaimana fakta-fakta sejarah itu diajarkan dalam
institusi-institusi pendidikan yang notabenenya Islam sekarang ini! Hanya diulang-ulang
dengan rasa bangga yang kecut. Anak-anak didik merasa senang dan bangga akan
kisah itu, tapi mereka tidak mampu untuk berbuat apa-apa dan bahkan tidak tahu
harus memulai dari mana. Maka jangan heran jika kita temukan banyak siswa yang
mudah terlena akan propaganda-propaganda kebangkitan Islam, kembali pada Kitab
dan Sunnah serta masih banyak propaganda-propaganda lainnya dengan cara-cara
yang sampai sekarang saya sendiri tidak tahu menahu apakah Islam membenarkannya
atau tidak.
Seperti inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam, yaitu umat
Islam hanya bisa berangan-angan, umat Islam hanya bisa bernostalgia...dst hingga
akhirnya banyak dari kalangan umat Islam yang menggunakan jalan pintas untuk
mengembalikan kejayaan itu. Romantisme klasik dalam satu kondisi tertentu juga
memunculkan sikap yang terkesan eksklusif dan tertutup dalam diri umat Islam.
Dan bahkan dalam kondisi tertentu juga menimbulkan sikap arogan serta radikal.
Ya, umat Islam tidak lagi tahu atau memang
tidak mau tahu Apakah Ruh dan rahasia di balik keberhasilan bangsa Arab
dahulu, sehingga mereka menjadi pemimpin di dunia ini. Bahkan banyak dari umat
Islam sendiri yang tidak tahu atau tidak kenal akan ajaran Islam sendiri, lalu
bagaimana mau bangkit? Dalam kondisi umat yang seperti inilah, buku kecil
seperti Sullam Taufiq menemukan momentumnya. Bagaimanakah dan kenapa?
Pertanyaan singkat inilah yang ingin sedikit saya jawab dan ungkap dalam makalah
atau resensi singkat ini.
B.
Biografi
penulis Sullam Taufiq.
Penulis buku kecil ini adalah Al-Imam Al-Allamah Syaikh Abdullah
Bin Al-Husain Bin Thahir Bin Muhammad Bin Hasyim Ba Alawi Al-Hadhrami. Beliau
hidup diantara tahun 1191-1272 H atau bertepatan dengan tahun 1778-1855 M.
Lahir di kota Hadhramaut, Tarim, Yaman. Akan tetapi pernah bertahun-tahun
tinggal di Makkah dan Madinah serta belajar kepada ulama-ulama yang bermukim di
kedua daerah Islam tersebut. Beliau adalah seorang pakar ilmu Fiqh sekaligus
pakar grammer Arab (Nahwu Shorof), hal ini bisa dibutikan dengan banyaknya
karya-karya ilmiah yang telah beliau hasilkan. Hanya saja karya-karya beliau
yang sampai kepada kita tidaklah banyak, Az-Zirikli dalam bukunya Al-A’lam
hanya mencatat sekitar 3 buah nama buku saja yang menjadi karya Syaikh Abdullah
ini, yaitu Sullamut Taufiq yang sedang kita bicarakan ini, Miftahul
I’rab (kunci I’rab) dan Majmu’tur Rasail[1](kumpulan
surat).
Di samping sebagai seorang intelektual yang pakar dan pandai dalam
bidang keilmuan, ternyata beliau juga seorang organisatoris yang mampu
menggerakkan masa. Hal itu bisa di lihat saat beliau mampu menjadi salah satu
pemimpin dari Tsaurah atau pemberontakan di Yaman dalam rangka melawan
kekuasaan Yafi’iyyin pada tahun: 1265 H. Sehingga beliau dan beberapa pemimpin
pemberontakan itu diasingkan dari Tarim, Sewun dan Taris. Beliau juga ikut
andil dalam upaya mendirikan kekuasaan Al-Katsiri yang di pimpin oleh sultan
Ghalib bin Muhsin di Tarim[2].
Karya Syaikh Abdullah nampaknya menjadi salah satu buku yang best
seller pada masanya dan mungkin juga pada masa sekarang, terlebih adalah buku
Sullam Taufiq. Hal itu bisa di buktikan dengan adanya beberapa buku lain yang
memberi komentar, menadzamkan dan meringkas sekaligus mengkritisi. Sullam
Taufiq sendiri kemudian di beri komentar oleh Syaikh KH. Muhammad Nawawi bin
Umar Al-Bantani Al-Jawi dengan nama Mirqatu Shu’udit Tashdiq (tangga
untuk naik menggapai pembenaran). Ada juga komentar dari Syaikh Muhammad Bin
Salim Bin Sa’id Ba Bashil Asy-Syafi’i yang tak lain adalah seorang mufti
madzhab Syafi’i di makkah pada masanya. Beliau memberi komentar atas Sullam
Taufiq dalam bukunya yang berjudul Is’adur
Rafiiq Wa Bughyatus Shiddiq (membantu teman dan bekal bagi
orang yang jujur) yang terdiri dari 2 juz dalam 1 jilid.
Di samping komentar akan kitab Sullam Taufiq ini, saya juga menemukan
adanya upaya merubah susunannya, yang asalnya dari karya yang bersifat prosa ke
dalam karya puisi atau nadzaman. Karya berupa puisi itu di tulis oleh KH. Abdul
Hamid Pasuruan yang sampai sekarang sudah di cetak oleh badan percetakan pondok
pesantren Salafiyah, Pasuruan dengan judul Mandzumah Sullamut Taufiq.
Nadzaman itu terdiri dari 500 bait puisi atau bahkan lebih. Ada juga karya yang
merupakan ringkasan dari Sullam Taufiq, yaitu buku Mukhtashar Abdullah
Al-Harori Fi Ilmid Diin Adh-Dharuri yang tak lain adalah karya yang
meringkas Sullam Taufiq dan di tulis oleh Syaikh Abdullah Al-Harori Al-Abdari
dari Lebanon.
Karya beliau lainnya yang mendapatkan perhatian adalah buku Miftahul
I’rab yang kemudian diberi komentar atau Syarh oleh Asy-Syaikh As-Sayyid
Muhammad Bin Husain Al-Habsyi wafat tahun: 1316 H yang tak lain adalah murid dari
penulis sendiri yang menjadi mufti di Makkah, komentar itu dengan judul As-Salisul
Khithab Fi Syarhi Miftahil I’rab. Demikian sedikit uraian berkenaan dengan
biografi penulis buku Sullam Taufiq ini dan saya kira sudah cukup jelas serta
bisa memberikan sedikit gambaran tentang beliau.
C.
Selayang
Pandang Isi Sullam Taufiq.
Secara umum, buku Sullam Taufiq ini membahas tentang trilogi
keilmuan pokok Islam yang selama ini banyak mendapat kajian, pembahasan dan pembacaan
oleh hampir seluruh pesantren Tradisional yang ada di negeri ini. Trilogi
keilmuan itu adalah Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawwuf. Lebih-lebih buku
yang kita bicarakan pada kesempatan kali ini hanya mencakup ilmu-ilmu pokok
yang mau tidak mau setiap muslim harus mengetahui dan mempelajarinya. Jadi
tidak heran jika telah saya sebutkan di atas bahwa buku ini adalah buku yang
best seller pada masanya.
Dalam pendahuluan buku ini, Syaikh Abdullah Al-Hadhrami menyebutkan
bahwa karyanya ini merupakan buku yang
mengetangahkan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari, diajarkan dan diamalkan, baik
oleh orang alim maupun orang awam[3].
Baru setelah mereka mampu untuk memahami dan melakukan hal-hal yang wajib,
mereka akan dengan senang hati melakukan hal-hal yang bersifat sunnah, sehingga
akhirnya mereka mampu benar-benar menggapai cinta Allah dan mendapatkan
pertolongan-Nya[4].
1.
Tauhid Sullam Taufiq.
Tauhid adalah satu cabang keilmuan dalam dunia keilmuan Islam yang
mempunyai peran penting dalam membangun peradaban, bahkan bisa saya katakan
sebagai ilmu yang paling penting, karena
dengan ilmu inilah salah satu pilar peradaban yang paling pokok akan dibangun
dengan baik dan kokoh, yaitu manusia. Tauhid yang dibawa oleh penulis buku ini
adalah Tauhid ala Sunni umumnya, hanya saja buku ini memiliki beberapa keunikan
dan keistimewaan yang membedakannya dengan yang lain. Diantara keunikan dan
keistimewaan itu adalah kaidah-kaidah Tauhid yang disajikan dengan mudah, padat
dan bisa langsung dijadikan pedoman. Untuk lebih memperjelas hal itu akan saya
ambilkan beberapa contoh seperti di bawah ini:
ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن
“Apa yang dikehendaki oleh allah pasti akan
terjadi, sedang apa yang tidak maka tidak akan terjadi”
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
“Tidak ada sesuatu apapun dari makhluknya yang
menyerupai Allah. Dialah dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
وهو القديم وما سواه حادث وهو الخالق وما سواه مخلوق
“Hanya Dia (Allah) yang Qadim, sedang selain-Nya
adalah baru. Hanya Dialah sang Pencipta, sedang yang lain adalah makhluk” [5]
Dengan
kaidah yang pertama di atas, sang penulis ingin menjelaskan sikap kaum Sunni
dalam problematika takdir Allah, yang memang masalah
satu ini telah memunculkan perbedaan pendapat diantara mereka dan kelompok Qadariyah. Secara simpelnya, beliau ingin menyatakan bahwa apa pun yang terjadi di alam raya ini,
baik itu kejelekan ataupun kebaikan, baik itu keindahan maupun kerusakan,
semuanya adalah atas kehendak dan takdir Allah, bukan yang lain. Berbeda dengan
kelompok Qadariyah yang menyatakan bahwa Allah hanyalah menciptakan hal-hal
yang baik dan indah, adapaun kejelekan dan kerusakan adalah murni kreasi dan
ciptaan manusia atau jin itu sendiri.
Adapun
kaidah yang kedua adalah bantahan terhadap kaum Musyabbihah dan Mujassimah
atau kelompok asimilasi yang menghayalkan dan membayangkan Allah sehingga mereka akhirnya mengqiyaskan Allah dengan selain-Nya. Kaidah yang merupakan ayat suci al-Qur’an
ini adalah bantahan yang mematikan bagi mereka, karena memang secara eksplisit
menyatakan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluknya dari semua sisi. Adapun
kaidah yang terakhir adalah bantahan bagi kelompok filsafat yang menyatakan
bahwa alam adalah Qadim, yang secara otomatis memberikan pemahaman
bahwa dia tidak diciptakan oleh Allah. Jadi ada pencipta
selain Allah yang pada dasarnya juga menyatakan ada tuhan selain Allah. Nah,
pemahaman seperti inilah yang kemudian ingin dijawab oleh penulis buku ini, ya
tentunya dengan kecenderungan beliau sebagai seorang tokoh Sunni dengan berbagai
pemahamannya.
Jadi, tauhid yang diketengahkan oleh penulis Sullam Taufiq adalah tauhid
yang mudah, padat dan jelas, yang memang sesuai dengan tujuan
disusunnya buku ini, yakni bisa menjadi pedoman secara umum, baik bagi orang
alim maupun orang awam. Semua kajian tauhid yang beliau sajikan merupakan
pemaknaan dan pengertian dari dua kalimat syahadat yang menjadi pondasi Islam
paling pokok. Adapun kecenderungan beliau dengan model Tauhid Sunni adalah hal
yang sangat wajar, karena memang beliau adalah salah satu intelektual dari kalangan Sunni dan pemimpinnya.
2. Fiqh Sullam Taufiq.
Fiqh adalah salah satu cabang keilmuan dalam Islam yang secara
spesifik membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan secara langsung dengan
tingkah laku manusia. Ranah garapan ilmu fiqh lebih kepada Amaliah,
bukan pada ranah keyakinan, sebagaimana Tauhid. Pengertian seperti ini bisa
kita temukan dengan mudah dalam buku-buku yang ditulis oleh para Juridis Islam
berkenaan dengan ilmu ini. Semisal dalam buku fiqh Fathul Mu’in yang sangat
masyhur di dunia pendidikan Islam, disana beliau menjelaskan bahwa fiqh adalah
ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum yang berhubungan secara langsung dengan
kreativitas (Amaliah) manusia yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
terperinci[6].
Penulis buku
ini, sebagaimana telah saya sebutkan di atas, telah memberikan gambaran dengan
jelas kemana arah tujuan penulisan, pembelajaran dan pengajaran buku ini. Yaitu
untuk mempelajari, mengajari dan mengamalkan hal-hal yang bersifat wajib bagi
setiap orang Islam. Karena alasan itulah, penulis akhirnya tidak perlu bersusah
payah dan ngoyo woro untuk menjelaskan cabang-cabang masalah Fiqh yang banyak, panjang serta njelimet
itu. Dengan santainya beliau hanya menjelaskan hal-hal yang pokok-pokok saja,
baik dalam masalah Ubudiyah maupun Mu’amalah. Jadi fiqh yang ditampilkan pun adalah fiqh singkat dan ringkas.
Cakupan buku ini akan masalah-masalah yang pokok saja bisa kita
lihat dengan jelas dalam beberapa tema yang Mushonnif ketengahkan. Coba
saja kita perhatikan kajian beliau dalam masalah shalat yang hanya mencukupkan
pada masalah Syarat, Rukun serta hal-hal yang membatalkan shalat saja. Beliau
sama sekali tidak menyinggung masalah kesunnahan shalat, karena memang hal itu
keluar dari tema pokok pembahasan buku kecil ini. Hal yang semisalnya juga akan
kita temukan dalam bab-bab lain dalam buku ini, misal dalam bab Zakat
yang secara jelas beliau menyebutkan:
ثم إن زادت ماشيته على ذلك ففي ذلك الزائد ويجب عليه أن يتعلم ما
أوجبه الله تعالى عليه فيها
“Kemudian, jika
hewan piaraannya melebihi batas Nishab yang telah disebutkan di muka, maka
kelebihan itu pun juga wajib dizakati. Dia pun juga wajib mempelajari segala
sesuatu yang di wajibkan oleh Allah dalam masalah hewan piaraan tambahan itu”
Dari
penjelasan di atas, penulis buku ini hanya menjelaskan hal pertama yang paling
diwajibkan bagi seorang muslim saat awal-awal memiliki hewan piaraan, baik
berupa Onta, Sapi maupun Kambing. Berbeda
dengan misalnya kitab Taqrib—yang walaupun sama-sama Matan—akan tetapi
si Mushannif-nya memang bertujuan untuk menjelaskan masing-masing bab Fiqh
secara ringkas akan tetapi terperinci, sehingga dengan mudahnya kita temukan
macam-macam bab fiqh di dalamnya dengan penjelasan yang singkat, padat, tapi
lengkap.
Kesederhanaan inilah yang mungkin juga menjadikan buku Sullam
Taufiq ini lebih digemari oleh masyarakat pedesaan pada umumnya, sehingga
banyak kita temukan para kiai-kiai desa yang mengajarkan buku ini terlebih dahulu kepada
anak didik mereka yang kebanyakan adalah pemula atau orang awam. Melalui Sullam
Taufiq ini pulalah mereka membumikan ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin
dalam kehidupan masyarakat akar rumput, yang mana hal ini tidak bisa atau
mungkin sulit dilakukan oleh kaum intelektual Islam perkotaan dengan masyarakat
mereka yang cenderung lebih komplek dan plural.
3.
Tasawwuf
Sullam Taufiq.
Setelah seseorang mempunyai keyakinan yang benar, kuat dan kokoh.
Maka dengan sendirinya dia akan menindaklanjuti keyakinan itu dengan selalu berusaha
melakukan berbagai macam perintah sang Pencipta—baik perintah yang
bersinggungan dengan hal-hal lahiriah dan kesemuanya telah dijelaskan secara
terperinci dan gamblang dalam fiqh sebagai pengemban amanat ini—maupun hal-hal
yang bersifat batiniyah dan menjadi tugas bagi tasawwuf untuk melaksanakan
amanat ini. Ya, tasawwuf adalah pelengkap dari trilogi keilmuan Islam yang
dalam bahasa hadis Jibril disebut dengan Ihsan. Memang hadis Jibril tidak
menjelaskan secara ekplisit dengan nama atau istilah yang gamblang tentang
tasawwuf itu sendiri, akan tetapi hanya memberi isyarat saja. Karena memang
pada dasarnya tasawwuf adalah satu cabang ilmu keislaman yang membahas tentang
bagaimana mensucikan jiwa agar dapat selalu mendekat dan ingat kepada Allah, sebagaimana
hal ini dijelaskan oleh Al-Muhaddits Abdullah Bin Shiddiq Al-Ghummari[7].
Telah saya paparkan di atas, bahwa penulis Sullam Taufiq memang
telah menetapkan kalau bukunya ini adalah spesialis membahas tentang ilmu-ilmu
yang pokok. Begitu juga dalam kajian tasawwuf, sangat nampak sekali bahwa hal
yang diketengahkan adalah yang pokok-pokok saja. Pokok tasawwuf yang saya
maksud di sini adalah penjelasan tentang sifat-sifat terpuji, sifat-sifat
tercela, penyakit-penyakit hati serta bagaimana kita harus mengobatinya. Ilmu yang
membahas hal ini—menurut Al-Ghazali—adalah ilmu yang juga harus diketahui dan
dipelajari oleh setiap muslim. Karena mempunyai hubungan yang erat dengan olah
hati yang merupakan bagian tubuh manusia paling pokok, bahkan bisa saya katakan
bahwa central dari seluruh tubuh manusia adalah hati itu sendiri[8].
Tasawwuf yang demikian itu bisa kita temukan dengan mudah pada
pembahasan yang tertulis dengan rapi pada sepertiga akhir buku Sullam Taufiq ini
sendiri. Pada bagian akhir dari buku tersebut, banyak diuraikan dengan singkat,
padat dan jelas berkenaan dengan beberapa maksiat, baik maksiat yang
berhubungan denan hati ataupun anggota tubuh yang lainnya. Di sana banyak kita
temukan kata-kata: “Wamin Ma’ashil Qalbi, Wamin Ma’ashil Yad, Wamin Ma’ashir
Rijli...” dan lain sebagainya, yang kesemuanya menjelaskan kepada pembaca
secara ringkas tentang hal-hal yang harus dihindari oleh anggota tubuh tersebut
serta bagaimana definisinya.
Hanya saja, hal yang paling nampak adalah kesan tasawwuf Ala
Thoriqah Alawiyah yang disajikan penulis. Hal itu saya simpulkan dengan
sederhana saja, saat penulis buku ini mengutip ungkapan Al-Imam Abdullah Bin
Alawi Al-Haddad dalam bukunya yang berjudul An-Nashaih Ad-Diniyyah tentang
penjelasan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap mukmin[9].
Memang kita tidak bisa memfonis dan memastikan secara langsung bahwa orang yang
mengutip ungkapan-ungkapan Al-Haddad sebagai pengikut Thariqah Alawiyah,
walaupun memang kebanyakan para Dzurriyaah baginda Rasul yang hidup di
Tarim, Hadhramaut, Yaman kebanyakan adalah pengikut Thariqah tersebut.
D.
Sullam
Taufiq Dan Peradaban.
Mungkin saat membaca judul resensi yang saya tulis di atas,
terbersit dalam angan-angan pembaca sebuah pertanyaan: “Apa hubungan Sullam
Taufiq, kemanusiaan dan peradaban?”. Yah, memang secara lahir seakan-akan
tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya, akan tetapi jika kita renungi
dan kaji lebih dalam lagi tentang apa itu peradaban sendiri, lalu bagaimana sebuah
peradaban bisa terbentuk? Lalu kita juga merenungi tentang bagaimanakah Islam
dan kaum muslimin dulu membangun peradabannya? Hingga akhirnya menjadi
kebanggaan bagi umat manusia dihampir seluruh dunia. Maka akan kita temukan
bahwa Sullam Taufiq mengandung salah satu hal yang menjadi Ruh dan motor
dari peradaban Islam yang tinggi (Al-Hadharah Al-Islamiyah Al-Mutsla) itu
sendiri. Bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Uraian singkat di bawah ini semoga
menjelaskan apa yang saya maksud di atas.
E.
Peradaban
Dan Unsur-Unsur Yang Membangunnya.
Sudah banyak buku-buku, tulisan-tulisan dan berbagai macam diskusi
yang ditulis dan diselenggarakan guna membahas tentang peradaban. Tapi pada
intinya, peradaban adalah pembicaraan tentang tiga hal pokok, yaitu manusia,
kehidupan dan alam semesta serta bagaimana bisa mensinergikan ketiga hal
tersebut dalam rangka membangun masyarakat Madani yang maju dan
berkembang. Penjelasan seperti di atas sebagaimana disampaikan oleh DR. Said
Ramadhan Al-Buthi dalam buku beliau yang berjudul “Manhajul Hadharah
Al-Insaniyyah Fil Qur’an”[10].
Dari ketiga hal pokok yang telah saya sebutkan di atas, manusia adalah unsur
peradaban yang paling pokok, karena dialah unsur peradaban yang aktif,
sementara dua lainnya adalah hal yang pasif. Jika manusianya aktif, maka
kehidupan dan alam semesta disekitarnya pun akan ikut pro aktif juga. Manusia
adalah sepertiga dari unsur peradaban, sedang dua pertiganya lagi adalah
kehidupan/umur dan alam semesta.
Posisi manusia sebagai komponen dari peradaban yang aktif
inilah—selama pemahaman saya—yang menjadi perhatian utama dari Al-Qur’an,
sehingga tidak heran jika kemudian banyak sekali kita temukan dalam Al-Qur’an
pembicaraan tentang manusia dan hakekat dirinya. Al-Qur’an dalam berbagai ayatnya
mengajak manusia untuk lebih mengenal dirinya sendiri dan selalu mencari
hakekat tentang siapakah manusia sebenarnya? Dalam Al-Qur’an sendiri, manusia
digambarkan sebagai makhluk yang diberi oleh Allah dua karakteristik yang
kontradiktif. Satu sisi manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah
sebagai pemimpin dan khalifah untuk membangun peradaban dimuka bumi ini. Namun,
kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah ini seringnya disalah pahami oleh
manusianya, dan pada akhirnya salah paham ini menimbulkan sifat sombong,
congkak, berkuasa dan pada puncaknya adalah pengakuan sebagai tuhan. Akan
tetapi disisi lain, manusia adalah makhluk yang terbuat dari sesuatu yang hina,
yaitu sperma. Karenanya tidak heran jika ada manusia yang merasa hina, bersikap
merendah, tidakberdaya, malas, selalu tertindas, fatalistik dan berbagai sifat
rendahan lainnya yang semuanya berimbas pada perbudakan manusia itu sendiri dan
menjadikan dirinya tak lebih dari hewan. Penjelasan tentang dua karakter yang
berkesan kontradiktif dalam diri manusia ini dapat kita temukan semisal pada
ayat:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ
فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى
كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا [الإسراء/70
[
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik, dan Kami utamakan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Ayat di atas bercerita kepada kita bahwa manusia adalah
satu-satunya makhluk yang telah diberi kemuliaan oleh Allah dan diberi
keunggulan serta keistimewaan melebihi makhluk-makhluk Allah yang lainnya.
Sedang dalam ayat lain dijelaskan bahwa manusia adalah:
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ
مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ [يس/77 [
“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang
yang nyata”.
Jika kita telaan dua ayat di atas, maka akan nampak sekali dua
karakter yang kontradiktif dalam diri manusia sebagaimana telah saya paparkan
di atas. Hanya saja yang menjadi problem—setelah kita mengetahui dengan jelas
kontradiktif karakter manusia—adalah bagaimana kita mengaharmonisasikan dua
karakter itu? Nah, disinilah keberadaan kitab Sullam Taufiq dan kitab-kitab lain
yang semisalnya akan terasa sangat penting, karena memang kitab-kitab keagamaan
di atas akan memberikan jalan dan petunjuk secara mudah bagi manusia untuk mengaharmonisasikan
dua karakternya yang berlawanan dan terkesan kontradiktif ini.
Harmonisasi yang saya maksud bisa dimulai dengan kembali mempelajari
trilogi keilmuan Islam yang dahulu telah ditransmisikan oleh para sesepuh kita
dengan benar dan apik, sehingga manfaat dari transmisi ilmu itu bisa
benar-benar kita lihat sebagai sebuah hadiah yang indah dan luar biasa dari
para sesepuh kita, yakni peradaban Islam Nusantara. hanya saja akhir-akhir ini,
nampaknya proses transmisi ketiga ilmu di atas mulai ditinggalkan dan
dicampakkan oleh masyarakat Islam pada umumnya, baik oleh tokoh agama dan
lebih-lebih masyarakat awamnya. Trilogi keilmuan Islam yang saya maksud di atas
adalah ilmu Tauhid, ilmu Fiqh dan ilmu tasawwuf atau budi pekerti.
Jika kita tidak mulai melakukan gerakan dan upaya harmonisasi
antara dua karakteristik manusia yang kontradiktif tersebut, maka yang terjadi
adalah kerusakan dan kehancuran yang melanda umat manusia di bumi ini. Karena
pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi untuk menganggap dirinya sebagai
‘Tuhan’ ataupun ‘budak’, dan itulah yang kita lihat sekarang ini banyak
mewarnai panggung kehidupan mayoritas umat manusia.
Manusia—yang karena merasa istimewa, merasa sebagai makhluk mulia,
superhero, sempurna, paling kuat, paling pandai dan sebagai khalifah—bisa saja
mengaku atau merasa sebagai tuhan, karena pada dasarnya semua sifat-sifat
tersebut adalah hanya milik dan hak Allah semata sebagai tuhan seru alam.
Sebaliknya, manusia—yang merasa rendah, hina, lemah, tak punya daya dan
kekuatan—bisa saja merasa bahwa dirinya tak ubahnya seperti hewan, sehingga dia
tidak merasa susah atau canggung sama sekali jika kemudian menghamba dan
diperbudak oleh manusia lain yang lebih kuat. Jika sebuah masyarakat diisi oleh
manusia-manusia dengan dua karakter yang saya sebut tadi, maka jangan heran
andaikan yang muncul adalah kerusakan yang berupa tidak normalnya sistem
kehidupan, banyak terjadi penjajahan, dinodainya kemanusiaan, sikap otoriter
dan masih banyak lagi kerusakan serta kehancuran yang tersebar dimana-mana.
Sedang manusianya sendiri tidak merasa bahwa mereka sedang berjalan atau bahkan
berlari menuju kerusakan dan kehancuran. Kisah Fir’aun dan Bani Israel adalah contoh
nyata dari kehidupan masyarakat yang telah hancur dan rusak, karena tidak
adanya keseimbangan antara dua karakteristik manusia itu, hingga akhirnya
datanglah Nabi Musa sebagai juru selamat yang menghapus perbudakan atas
manusia.
Lalu bagaimana kita menghambat laju roda kehancuran yang nampaknya
sudah menggelinding dengan cepat itu? Dan mungkinkah hal itu bisa kita lakukan?
Yah, solusi satu-satunya untuk sementara ini adalah dengan berusaha kembali
mentransmisikan trilogi keilmuan Islam yang telah saya sebutkan di atas dengan
benar, terutama adalah ilmu Tauhid, karena ia merupakan pondasi dari pandangan
hidup (worldview) kaum muslimin dalam rangka membangun kembali peradaban
yang humanisme di dunia ini. Dan kita harus selalu optimis, karena yang namanya
kesulitan dan hambatan pasti ada, hanya saja setiap satu kesulitan pasti selalu
bersamaan dengan dua kemudahan, itu pasti.
Mungkin ada yang bertanya: “kenapa Tauhid harus didahulukan?”,
jawabannya adalah karena Tauhid ala Islam lah yang bisa menyeimbangkan dan mensinergikan
dua karakteristik manusia yang kontradiktif tadi. Karena Tauhid Islam adalah
tauhid yang memanusiakan manusia, ia tidak mengangkat derajat dan kedudukan
manusia setinggi-tingginya, sehingga manusia tidak akan merasa sebagai tuhan,
tidak pula ia merendahakan manusia serendah-rendahnya sehingga tidak ada
manusia bertauhid yang menganggap dirinya tak ubahnya hewan. Tauhid Islam
adalah tauhid yang moderat, ia adalah tauhid yang humanis. Ia adalah keyakinan
yang mengajak manusia untuk memanusiakan manusia, bukan menganggapnya sebagai
tuhan yang berhak di sembah, ditunduki secara total dan berkuasa semena-menanya
tanpa ada yang berani untuk mengingatkan ataupun melawannya. Bukan pula
menganggap manusia sebagai hewan yang berhak untuk disembelih, di adu domba, di
rampas kebebasan dan haknya. Yah, tauhid Islamah yang memang benar-benar
memanusiakan manusia. Kira-kira demikianlah makna yang tersirat dari ayat:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا
إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا
نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ [آل عمران/64
[
“Katakanlah, "Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh)
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada
mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)”.
Sedangkan dua unsur peradaban yang lain—yaitu kehidupan dan alam
semesta—bukanlah merupakan garapan dari buku-buku semisal Sullam Taufiq. Dan
dalam kesempatan kali ini tidak perlu saya singgung terlalu banyak karena
tulisan ini sudah terlalu panjang.
F.
Penutup.
Walhasil, dapat saya simpulkan bahwa buku Sullam Taufiq—begitu juga
semisalnya—adalah buku pokok yang seharusnya menjadi bacaan dan kajian wajib
bagi setiap muslim, bahkan mungkin setiap manusia yang masih perduli akan
kemanusiaan itu sendiri. Sullam Taufiq adalah buku yang mencakup trilogi
keilmuan pokok dalam Islam, yaitu ilmu Tauhid, ilmu Fiqh dan ilmu Tasawwuf.
Hanya saja pembahasan yang disuguhkan oleh penulis buku tersebut adalah hal-hal
yang bersifat pokok saja, karena memang sasaran utama dari buku itu sendiri
adalah pembaca dari masyarakat muslim pada umumnya, bukan hanya kaum terpelajar
ataupun cerdik cendekia.
Sullam Taufiq adalah buku peradaban. Dalam artian bahwa apa saja
yang tertera didalamnya merupakan sumber-sumber pokok dari pondasi peradaban
Islam yang tinggi dan mulia itu. Disamping ia juga buku kemanusiaan yang bisa
menjadikan pembacanya untuk menghargai arti pentingnya kemanusiaan itu sendiri.
Sekian. Wallahu A’lam Bis Showab.
Bibliografi.
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, Manhajul
Hadharah Al-Insaniyyah Fil Qur’an”, Beirut: Darul Fikr.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad Ihya’ Ulumid Diin, Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah.
Al-Ghummari, Abdullah bin Shiddiq, Al-I’lam
Bi Annat Tasawwuf Minal Islam, Palestina: Jam’iyyah Ahlul Bait Lil Ulum
Wat Turats.
Al-Malibari, Zainuddin Bin Abdul
Aziz, Fathul Mu’in Bi Syarhi Qurratil ‘Ain Bi Muhimmatid Diin,
Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan.
Az-Zirkili, Khoiruddin, Al-A’laam
Qamus Tarajim Li Asyharir Rijal Wan Nisa’ Minal Arab Wal Musta’ribin Wal
Mustasyriqin, Beirut: Darul
Ilmi Lil Malayiin. 2002.
Ba ‘Alawi, Abdullah bin Husain, Sullamut
Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq, Semarang: Karya Thoha Putra.
[1] Khoiruddin
Az-Zirikli (2002), Al-A’laam Qamus Tarajim Li Asyharir Rijal Wan Nisa’
Minal Arab Wal Musta’ribin Wal Mustasyriqin, Beirut: Darul Ilmi Lil
Malayiin. Vol: 4 hal: 81.
[2] Ibid.
[3] Lihat Abdullah
Bin Husain Ba Alawi (tt), Sullamut Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq,
Semarang: Karya Thoha Putra. Hal: 2.
[4] Ibid. Hal: 3.
[6] Zainuddin Bin
Abdul ‘Aziz Al-Malibari (tt), Fathul
Mu’in Bi Syarhi Qurratil ‘Ain Bi Muhimmatid Diin, Surabaya: Maktabah
Muhammad Nabhan. Hal: 2.
[7] Al-Muhaddits
Abdullah Bin Shiddiq Al-Ghummari (tt), Al-I’lam Bi Annat Tasawwuf Minal
Islam, Palestina: Jam’iyyah Ahlul Bait Lil Ulum Wat Turats. Hal: 10.
[8] Abu Hamid
Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali (tt), Ihya’ Ulumid Diin,
Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah. Vol: 1/Hal: 15-16.
[9] Abdullah Bin
Husain Ba Alawi (tt), Sullamut Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq,
hal: 42-44.
[10] Dr. Said
Ramadhan Al-Buthi (tt), Manhajul Hadharah Al-Insaniyyah Fil Qur’an”,
Beirut: Darul Fikr. Hal: 19.
1 komentar:
mohon ijin untuk mengcopy materi