Advertise 728x90

Latest Post

GHIBAH MILLENIAL

Written By Unknown on Tuesday, March 19, 2019 | 7:48 AM

Imam An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkâr:

ومنها--أي من الستة التي يجوز فيها الغيبة بل قد تجب-- إذا رأى متفقها يتردد إلى مبتدع أو فاسق يأخذ عنه العلم وخاف أن يتضرر المتفقه بذلك فعليه نصيحته ببيان حاله بشرط أن يقصد النصيحة وهذا مما يغلط فيه وقد يحمل المتكلم بذلك الحسد ويلبس الشيطان عليه ذلك ويخيل إليه أنه نصيحة فليتفطن

"Di antara (6 hal yang di perbolehkan untuk berghibah dan bahkan terkadang wajib) adalah saat 
melihat orang yang akan belajar kepada Ahli Bid'ah atau orang Fasiq, ia ingin belajar ilmu dari mereka dan di khawatirkan seorang yang belajar itu bisa mendapatkan bahaya dari orang tersebut, maka wajib bagi orang yang tahu untuk menjelaskan kondisi gurunya. Tapi (penjelasan tersebut harus) dengan niat murni memberikan nasehat. Nah, di sinilah banyak terjadi kesalahan. Terkadang seseorang memberikan nasehat ini karena terdorong Hasud (dengki pada orang Alim tadi), ia di tipu oleh Syaithan, dan seolah-olah ditampilkan khayalan pada dirinya bahwa ia memberikan nasehat (padahal itu karena dengki) "

Syaikh Muhammad Said Babshil dalam kitab Is'âdur Rofîq menjelaskan:

قوله (يحل عرضه وعقوبته) أي يبيح أن يذكر بين الناس بالمطل وسوء المعاملة لا غيرهما إذ المظلوم لا يجوز أن يذكر ظالمه إلا بالنوع الذي ظلمه به دون غيره

"Dawuh Baginda Nabi (يحل عرضه وعقوبته) artinya adalah di perboleh untuk disebar-sebarkan kreteria orang yang tidak mau membayar hutang padahal dia punya, dengan di sebut sebagai orang yang tukang menunda-nunda bayar hutang dan jelek Muamalahnya. Tidak boleh menyebarkan sifat jelek lain selain keduanya. Karena seseorang yang di Dholimi pun tidak boleh menyebutkan kejelekan orang yang Mendholimi kecuali hanya macam kedzoliman yang dia terima, bukan yang lain"

Dalam kesempatan lain, Syaikh Muhammad Babshil juga menulis:

الخامس أن يتجاهر بفسقه أو بدعته كالمكاسين وشربة الخمر ظاهرا وذي الولايات الباطلة فيجوز ذكرهم به دون غيره فيحرم ذكرهم بعيب آخر إلا أن يكون له سبب آخر مما مر

"No 5 adalah saat seseorang menampakkan kefasikan dirinya/bid'ah seperti para penarik pajak gelap (Makkas) dan para peminum arak secara terang-terangan, juga para pemilik kekuasaan yang batil. Maka boleh menyebutkan mereka dengan kesalahan yang mereka lakukan saja, bukan dengan menyebutkan kesalahan/kejelekan lain (yang tidak ada kaitannya dengan masalahnya). Oleh karenanya, haram menyebarkan kejelekan mereka dengan cacat selain (yang berhubungan di atas) kecuali ada sebab lain sebagaimana telah disebut sebelumnya"

Dalam kesempatan sebelumnya, Syaikh Babshil juga berkata:

الرابع تحذير المسلمين من الشر ونصحهم كجرح الرواة والشهود والمصنفين والمتصدين لإفتاء أو علم أو قراءة مع عدم الأهلية أو مع نحو فسق أو بدعة وهم دعاة إليها ولو سرا فتجوز إجماع بل تجب

"No 4 adalah memperingatkan umat Islam dari kejelekan dan menasehati mereka, seperti halnya Jarh (menjelaskan kekurangan) para periwayat Hadis, para saksi, para penulis buku atau orang-orang yang menampilkan diri sebagai ahli Fatwa, Ahli Ilmu atau ahli membacakan kitab, sedangkan ia sendiri bukan Ahlinya. Atau Ahli tapi dia Fasiq, ahli Bidah yang mengajak pada Bid'ahnya walaupun diam-diam. Maka menyebutkan kekurangan mereka itu boleh, bahkan wajib"

Kesimpulan:

1. Ghibah itu dosa besar. Dan dalam era Teknologi ini, ada yang namanya Ghibah Millenial.

2. Karena hukum awal dan asli dari Ghibah itu Haram, maka Ghibah di perbolehkan hanya dalam beberapa kondisi tertentu saja.

3. Salah satu kondisi Ghibah yang boleh adalah saat kita melihat ada orang yang bukan ahli ilmu tapi dia tampil ke depan dan berfatwa, menyampaikan ilmu, padahal dia bukan Ahli.

Atau dia seorang pemimpin yang kurang adil, pelaku Muamalah (kerja) yang gak amanah, dan beberapa hal yang saya sebutkan di atas. Maka orang-orang model seperti di atas boleh untuk di Ghibah. Tapi dengan syarat:

a. Niat kita menuturkan kejelekannya adalah murni karena menasehati, bukan karena hasud (dengki), bukan karena beda pilihan politik, bukan hanya karena like dan dislike saja atau sebab-sebab lain yang bukan karena Allah swt.

b. Kejelekan yang boleh kita tuturkan hanyalah satu macam kejelekan yang menjadi alasan kita boleh meng-Ghibah. Jadi tidak boleh lantas karena dia salah dalam satu kejelekan, kita menuturkan, mengumbar dan membuka semua kejelekan serta aibnya. Haram hukumnya. Apalagi jikalau di cari-cari kejelekannya, di buat-buatkan, di Framing dan disebar luaskan, itu semua harom.

c. Dalam menuturkan kejelekan orang yang memang boleh di tuturkan kejelekannya itu, kita tidak boleh sampai merasakan kelezatan dan kenikmatan dalam hati (Tafakkuh) dengan menuturkan, membuka dan menyebar kejelekan-kejelekan tersebut.

Jikalau ada yang kurang, salah atau meleset, silahkan di tambahi, di koreksi dan di luruskan dengan niat nasihat.

Wallahu A'lam.



JANGAN MUDAH MENYALAHKAN





Oleh: Dhiya Muhammad

Salah satu adab pesantren yang diajarkan oleh para Kyai dan guru-guru saat ngaji dahulu adalah kita jangan terburu-buru menyalahkan sebuah tulisan dalam kitab, jikalau kita rasa tulisan atau susunan kata dalam kitab tersebut terasa menjanggalkan atau nampak tidak sesuai dengan pemahaman kita. Para Kyai dan guru kita mengajarkan untuk selalu Husnudzan (berbaik sangka) pada Muallif (penulis) kitab, dan mencurigai diri sendiri, jangan-jangan memang kitalah yang minim ilmu sehingga tidak faham. Oleh karenanya para Kyai dan guru kita selalu mengajarkan kita untuk mengatakan "La'alla Shawâb..." Yang artinya "mungkin saja Yang benar adalah demikian.... ".

Kehati-hatian, itulah kira-kira prinsip yang ingin di ajarkan oleh guru-guru kita dahulu saat di pondok. Terlebih lagi jikalau penilian kita tersebut berkenaan dengan orang lain. Karena jangan-jangan tuduhan kita yang sangat tajam itu, tak lain adalah karena kesalah pahaman kita sendiri. Bukan murni kesalahan sesuatu yang kita kritik. Ada sebuah Syair Arab yang dulu saya tulis dalam sampul kitab Al-Amrithi--saya lupa entah dari kitab apa saya ambil--yang mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam menilai orang lain. Di sebutkan:

وكم من عائب قولا صحيحا # وآفته من الفهم السقيم

"Berapa banyak orang yang mencela pendapat yang benar, penyebabnya adalah dari pemahaman yang salah"

Untuk lebih mudahnya, kita ambilkan saja contoh dalam ilmu Bahasa Arab (Arabic Grammer). Bagaimana pendapat anda ketika melihat tarkib (susunan) seperti ini :

أَنَّ زَيْدٌ كَرِيْمٍ

Jika orang yang belum faham dengan susunan di atas atau bagi yang baru faham ilmu Nahwu sedikit saja, pasti akan langsung menyalahkan, karena seharusnya harf (أنّ) me-nashab-kan isim dan me-Rafa'-kan khabar-nya, loh tapi kenapa pada contoh di atas kok malah me-marfu'-kan dan khabar-nya malah majrur (di baca jar). Orang yang tidak open minded pasti akan langsung menyalahkan, tanpa mau mencari tahu kebenarannya. Padahal kalau mau dicari, pasti ketemu jawabannya. Kira-kira apa jawabannya?, begini penjelasannya.

Di sana (أنّ) bukan sebagai huruf taukîd yang berfungsi me-nashab-kan isim dan me-marfu-kan
khabar, melainkan dia adalah fi'il (kata kerja) dari :

أَنَّ - يَئِنُّ

Yang artinya merintih. Sedangkan kata زَيْدٌ dia rafa' karena sebagai fa'il (subjek/pelaku pekerjaan), dan كريم kenapa majrur, karena susunan tersebut terdiri dari dua kata sebenarnya, yang pertama adalah huruf tasybîh ك dan kedua kata ريم yang artinya rusa. Sehingga arti susunan di atas adalah : "Zaid merintih kesakitan seperti rintihan rusa". Menarik bukan? 😅

Begitulah pentingnya kita untuk tidak cepat-cepat menyalahkan orang lain, apalagi dalam masalah agama yang masih bersifat dzan (dugaan) yang potensi Ijtihad dan berbeda pendapat terbuka lebar di sana. Apalagi kalau perbedaan itu masih dalam taraf aplikatif (Tahqîqu-l-Manâth) dari sebuah nilai yang disepakati bersama. Hal Itu adalah sebuah perbedaan ringan yang jangan sampai menjadikan hancurnya nilai yang kita sepakati. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindari. Hanya saja, kita dituntut untuk bisa mengaransemen perbedaan itu menjadi sebuah paduan musik kroncong atau Dangdut yang enak didengarkan, sambil ngopi dan menyantap pisang goreng hangat di pagi hari.

Dan yang paling penting lagi menurut saya adalah kita belajar Tawâdhu' dalam melihat atau menilai pendapat orang lain. Bagaimana caranya? Yakni dengan tidak tergesa-gesa menyalahkan orang lain, menuduh orang lain telah melenceng, dan berbagai macam tuduhan lainnya. Akan tetapi curigailah diri kita sendiri. Jangan-jangan memang kita yang minim informasi atau salah faham. Kalau kita mau bersikap demikian, insya Allah akan ada banyak ilmu yang bisa kita serap dan dapatkan dari orang lain, siapapun orangnya. Apa yang tidak kita ketahui, sejatinya lebih banyak dari apa yang telah kita ketahui.

Wallahu A'lam.


Semoga bermanfaat.

☺️








KEBANGKITAN HAQIQI (AN-NAHDHOH AL-HAQIQIYYAH) DAN KEBANGKITAN JAWA

Oleh: Dhiya Muhammad

Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq Al-Husaini Az-Zabîdî. Atau lebih Masyhur di kenal dengan Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî. Beliau lahir di India, namun memiliki keluarga yang berasal dari Irak. Kemudian beliau tumbuh berkembang di Zabîd, Yaman. Sebagaimana adat kebiasaan para santri dan Ulama pada era dulu, Sayyid Murtadhâ melakukan perjalanan Ilmiah (Rihlah Ilmiah) menuju ke Hijaz (mencakup Makkah-Madinah), lalu Mukim di Mesir, mengajar di sana dan pada akhirya beliau wafat pula di Mesir pada Tahun 1205 H.
Sependek Informasi yang sering saya dengar dari guru kami, KH. Maemoen Zubair, di Mesir inilah pertama kali terjadi pertemuan orang Alim dengan orang Jawa. Dan yang dimaksud dengan orang Alim dalam penjelasan Mbah Moen--panggilan akrab KH. Maemoen Zubair--itu tidak ada lain adalah Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini. Sedang yang dimaksud dengan orang Jawa dalam kisah tersebut adalah Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo, Kakek dari Kiai Mahfudz Termas. Sebab Kiai Mahfudz itu adalah putra dari Kiai Abdullah yang merupakan putra dari Kiai Abdul Mannan ini.

Maulana Syaikh Ali Goma dalam buku beliau yang berjudul "Hikâyatu-l-Irhâb" (kisah-kisah Terorisme) menyebutkan bahwa Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî merupakan salah satu dari penggerak kebangkitan sejati Islam. Beliau berhasil membangkitkan Islam melalui ilmu yang memiliki akar dan pondasi yang sama dengan kebangkitan Islam pada era awal muncul. Menurut Syaikh Ali Goma, Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî melakukan pembaharuan dan pengembangan keilmuan dalam 3 aspek inti, yang dari 3 hal inilah kemudian kebangkitan ilmu secara Umum menjadi terkatrol pula.

Pertama; kebangkitan Bahasa Arab (Nahdhoh Lughah Arabiyyah). Hal itu beliau lakukan dengan cara beliau memberikan Syarah (penjelasan) terhadap sebuah kamus besar bahasa Arab karya Al-Fairuzabadi yang berjudul "Al-Qâmûs Al-Muhîth". Ulasan beliau itu diberi judul "Tâju-l-Arûs Fi Syarhi-l-Qâmûs". Kenapa harus ada kebangkitan Bahasa Arab? Sebab menurut pandangan beliau, baginda Rasulullah datang itu tidak hanya membawa Al-Qur'an dan Hadis saja, akan tetapi juga mengajarkan Manhaj (metode) memahami al-Qur'an, yang mana salah satunya adalah dengan memahami kaidah-kaidah Bahasa Arab secara benar. Tidak sedikit munculnya kelompok-kelompok Radikal itu adalah karena minimnya pemahaman mereka akan bahasa Arab ini. Sehingga mereka terjerembab dalam Faham yang radikal dan ekstrim.

Tidak hanya sampai di situ saja, dengan kemampuan bahasa Arab yang baik, seseorang akan bisa mengakses khazanah peninggalan Islam masa lalu yang begitu kaya. Sehingga dia bisa menjelajah kekayaan Islam yang melimpah itu, untuk kemudian ia bisa mengelaborasi, mengkeskplorasi dan mengkontekstualisasikannya pada era di mana dia hidup. Elaborasi maupun kontekstualisasi ini mustahil bisa dilakukan jikalau seseorang itu tak memahami bahasa Arab dengan benar.

Langkah yang dilakukan oleh Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini sebenarnya adalah kelanjutan dari pekerjaan peradaban (Masyru' Hadhâri) yang jauh hari sebelumnya telah dilakukan oleh Al-Imam Kholîl bin Ahmad Al-Farâhîdî penulis Kamus Al-'Ain yang merupakan guru besar dari Imam Sibawaih. Lalu setelahnya tentunya dilanjutkan oleh sang Murid hingga sampai pada al-Imam Abdul Qadir bin Umar al-Baghdadi (w:1093 h) yang menulis buku "Khazanatu-l-Adab wa Lubbu Lubâbi Lisâni-l-Arab" dan buku-buku bahasa Arab lainnya.

Kedua; kebangkitan Akhlak Karimah. Dalam rangka menjalankan kebangkitan akhlak ini, Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî menulis penjelas (Syarah) atas kitab Tashowuf Babon yang sangat Masyhur dilingkungan Ahlissunnah wal Jamaah. Beliau menulis Syarah kitab Ihyâ' Ulumiddîn karya al-Imam Abu Hamid al-Ghazali. Kitab yang bisa dipastikan sebagai rujukan utama dalam membangun karakteristik manusia dalam sudut pandang Islam. Syarah yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî itu diberi judul "Ithâf Sâdâh al-Muttaqîn Fi Syarhi Ihyâ Ulumiddîn". Dan sependek yang saya tahu, kitab Ithâf ini merupakan satu-satunya Syarah atas masterpiec karya Imam Ghazali tersebut. Entah kalau ternyata ada Kitab penjelas lainnya yang belum saya ketahui.

Dari sini sebenarnya nampak sekali, bahwa langkah Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini pun tak jauh beda dari langkah Al-Ghazali yang kemudian dari tangan beliau, lahirlah pemimpin Islam seperti halnya Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Saya mempunyai dugaan bahwa kebangkitan ilmu keislaman di Jawa ini sedikit banyak karena pengaruh pola kebangkitan Islam ala Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini. Yakni melalui murid beliau yang bernama Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo tadi.

Hanya saja yang menarik adalah perbedaan Madzhab antara kedua guru-murid ini tidak mencegah mereka berdua untuk menjalin hubungan guru-murid. Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî notabenenya adalah seorang bermadzhab Hanafi, sebagaimana umumnya penduduk India. Sedangkan Kiai Abdul Mannan ini nampaknya bermadzhab Syafi'i sebagaimana umumnya penduduk Nusantara. Tapi secara jujur, saya belum menemukan data secara pasti berkenaan dengan madzhab Fiqh yang dianut oleh Kiai Abdul Mannan ini. Hanya saja dari melihat sang cucu, Kiai Mahfudz, saya mengambil kesimpulan bahwa Madzhab sang kakek adalah Syafi'i.

Memang madzhab Fiqh Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini menurut saya merupakan salah satu hal yang menarik untuk di kaji. Bagaimana tidak? Sebagaimana telah saya sebutkan di atas, bahwa Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî itu pun tumbuh berkembang di daerah Zabid, Yaman. Sedang Yaman sendiri notabanenya pun adalah pusat dari madzhab Syafi'i, namun kenapa beliau malah menjadi seorang Hanafi? Unik bukan? Ke-Hanafiyah-an beliau tidaklah hanya sebagai pengikut saja, bahkan beliau menampilkan diri sebagai Ulama Hanafi. Hal itu dibuktikan dengan beliau menulis kitab "'Uqûdu-l-Jawâhir al-Munîfah Fi Adillati Madzhabi-l-Imam Abi Hanifah". Keren bukan?

Ketiga; kebangkitan ilmu verifikasi data (Tautsiqu-l-Khobar). Dikisahkan bahwa Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî sangat perhatian sekali dengan Shahih Al-Bukhari. Bahkan nampaknya beliau Hafal Shahih Al-Bukhari ini. Al-Jabarti--salah satu santri Az-Zabidi--mengisahkan:

وصار يملي على الجماعة بعد قراءة شيء من الصحيح حديثا من المسلسلات أو فضائل الأعمال ويسرد رجال سنده ورواته من حفظه ويتبعه بأبيات من الشعر

"Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî meng-imla' satu Hadis dari Hadis-Hadis Musalsal atau Hadis tentang Keutamaan amal kepada sekelompok santri setelah membaca Shahih Bukhari, lalu beliau mendatangkan Sanad dan para perowinya dari Hafalan beliau. Kemudian di ikuti dengan menyebutkan beberapa bait Syair"

Dan bahkan beliau pun juga membuka kajian kitab Syamâil Muhammadiyah pada waktu yang tidak umum. Sehingga hal itu menarik simpati banyak orang Mesir dan akhirnya banyak berbondong-bondong mereka mendatangi majlis beliau untuk mengaji. Mereka lebih tercengang lagi saat melihat sosok beliau dengan pakaian yang tidak umum dipakai oleh Ulama Mesir.

Akan tetapi nampaknya bagian ketiga ini kurang mendapatkan perhatian dari santri-santri Jawa. Hal itu terbukti dengan minimnya santri Jawa yang ahli dan pakar dalam bidang Hadis Nabawi. Padahal Ilmu Hadis ini merupakan satu keilmuan yang bisa menjadi benteng bagi kita agar terhindar dari serbuan Hoax dan Framing negatif seperti halnya terjadi sekarang ini. Saya belum pernah dengar ada dari kalangan Ulama Jawa atau Ulama Nusantara yang mencapai martabat "Al-Muhaddits" atau bahkan mencapai gelar "Al-Hafidz" dalam bidang Ilmu Hadits. Tentunya gelar-gelar akademik tersebut sesuai dengan ukuran ilmu hadis. Bukan hanya gelar akademik dalam dunia kampus sekarang, semisal seorang doktor dalam ilmu Hadis. Belum tentu lantas kita sebut sebagai "Al-Muhaddits". Saya menemukan definisi dan perbedaan dari masing-masing gelar akademik ilmiah tersebut secara mudah dan menarik diulas oleh Syaikh Mahmud Said Mamduh dalam buku "Al-Ittijâhât al-Hadîtsiyyah". Silahkan bisa dirujuk ke sana biar lebih jelas dan detil.

Ada sebagian yang mencapai tingkatan "Al-Musnid" seperti halnya Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, Syaikh Mahfudz Termas, Al-Habib Jindan bin Jindan, kakek dari Habib Jindan dan Habib Ahmad bin Jindan, Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid dan beberapa yang lain. Dan di era modern ini kita mengenal sosok alm. Kiai Ali Mustofa Ya'qub sebagai pakar Hadits Indonesia. Namun apakah beliau sudah mencapai tingkatan tersebut? Nampaknya memang tidak mudah menaiki tangga ilmiah yang super berat ini. Sehingga dengan 3 hal di atas, agama benar-benar bisa terjaga dan kebangkitan yang sejati bisa terealisasi.

Wallahu A'lam.




AKHLAK MUSLIM

Oleh: Dhiya Muhammad

Suatu hari, Jarir bin Abdullah RadhiyaLlahu 'Anhu, menyuruh pelayannya untuk membelikan kuda baru. Lalu, pergilah si pelayan menuju ke pasar untuk mencari penjual kuda. Akhirnya si pelayan memang menemukan seorang penjual kuda yang menawarkan barang dagangannya itu. Terjadilah saling tawar-menawar antara si penjual kuda dan pelayan itu, hingga akhirnya di sepakati harga 300 dirham. Tp, sebelum si pelayan menyerahkan uang tersebuy, ia mengajak si penjual kuda utk menemui majikannya, Jarir, barang kali sang majikan ingin menawar lagi.

Keduanya berjalan, dan tak beberapa lama, sampailah mereka berdua di kediaman Jarir. Melihat kedatangan pelayan dan penjual kuda, Jarir menyambut:

"Assalamualaikum. Ahlan wa Sahlan wa marhaban...bagaimana kabar anda kawan? Semoga kau baik-baik saja. Oh iya, berapakah anda menjual kuda ini?"

"Waalaikum salam..alhamdulillah, kondisiku baik-baik saja. Oh iya, tadi saya sudah tawar-menawar dengan pelayan anda, dan kami sepakat dengan harga 300 dirham", jawab si penjual kuda.

Jarir berjalan sambil melihat-lihat kuda tersebut, lalu berkomentar:

"Kudamu ini bagus, tidak layak kalau cuma sekedar bernilai 300 dirham. Bagaimana kalau aku beli dg 400 dirham?"

Dengan kebingungan dan rasa senang yang nampak, si penjual kuda berkata:

"Silahkan saja tuan".

Sambil berjalan-jalan dan melihat-lihat, Jarir kembali berkata:

"Ah, nampaknya harga 400 dirham masih terlalu rendah, bagaimana kalau 500 dirham?".

Ya, Jarir menambahi dan menambahi lagi, sampai akhirnya kuda tersebut beliau beli dg harga 900 dirham. Dengan penuh keheranan si penjual kuda bertanya; kenapa Jarir melakukan hal tersebut. Dan dengan mantap Jarir menjawab:

"Sebab aku berbaiat kepada RasuluLlah untuk selalu menginginkan kebaikan pada muslim yang lain (an-Nushu Li Kulli Muslim). Dan tentunya kebaikan paling anda sukai adalah lakunya dagangan anda dengan harga yang tinggi".

Inilah Akhlak seorang Muslim sejati, sudahkah kita demikian? Kalau belum, silahkan praktekkan saat anda membeli dagangan saya di bawah ini ya. 🤣😅😄



Semoga pagi njenengan semua penuh dengan berkah dan kebahagiaan. Jangan ribut Pilpres mulu ya, dan jangan lupa bahagia.

Sang FAQIH dari SARANG

Written By Unknown on Saturday, November 11, 2017 | 3:45 PM



Malam itu, suasana kota Sarang sudah nampak lengang dan sepi, tidak seperti biasanya yang diramaikan oleh suara diskusi ataupun lalaran Muhafadzoh kang-kang Santri seperti biasanya. Dan memang wajar sepi, sebab malam itu adalah malam pertama liburan Mulud atau liburan tengah tahun yang sudah menjadi kebiasaan di Pondok-pondok pada Umumnya. Tapi aku pribadi nampaknya tidak ingin langsung pulang, tapi pengen maen ke rumah temen di Ndawe, Kudus. Tepatnya di rumah neneknya Shobiburrohman Nawawi.
Karena aku mondok di al-Anwar, sedang Shobib di MUS, akhirnya aku pun beranjak menjemput dia di MUS, nanti kita akan naik bis bersama dari gerbang pondok. Memasuki pelataran pondok MUS, hanya suasana lengang dan sepi yang aku temukan. Di tambah lagi gelap banget, ya maklum lah, sudah jam 10 malam. Apa lagi saat itu waktu liburan, jadi benar-benar gelap. Aku berjalan menyusuri setiap inci halaman pondok MUS, tapi sayang, aku tidak tahu di mana kamar kang Shobib. Akhirnya aku mencari-cari kang santri, siapa tahu ada yang masih tersisa di pondok. Alhamdulillah, di pojok Musholla pondok, nampak sosok dengan kaos oblong, peci putih dan terlihat nyala rokok yang sesekali memerah. Aku pun mendekati sosok tersebut:
"Kang, kamare Kang Shobib pundhi nggih?", tanyaku pada sosok dalam temaram gelap tersebut.
"Oh, Shobib Sumatra? Al-Hambran atas. Goleki ae", jawab beliau dengan singkat.
"Suwun",
Aku pun nglonyor sambil menenteng sendal jepit lusuhku menuju ke kamar al-Hambran atas. Dan akhirnya ketemu dengan kang Shobib. Turun bareng-bareng menuju jalan, dan kembali berpapasan dengan sosok dalam temaram gelap tersebut. Tapi kali ini aneh, kang Shobib menghampiri sosok tersebut, merunduk ta'dhim dan mencium tangan beliau. Hatiku mulai bertanya-tanya tentang sosok tersebut. Setelah Shobib menemuiku, aku pun bertanya:
"Kang, kui mau sopo tho?"
"Lhoh, gak ruh tah sampean, niku wau Mbah Said", jawab Shobib sambil cengengesan.
Deg, hatiku pun kalut, aku berbalik dan mendatangi sosok misterius tadi, aku salim dengan beliau, aku cium tangan beliau yang ternyata adalah KH. Said Abdurrahim. Ya, begitulah aku pertama kali mengenal dan secara langsung melihat pasuryan mulia beliau.
Beliau adalah sosok dengan tubuh yang tegap, gagah dan pandangan mata yang tajam menunjukkan kedisiplinan dan kesungguhan beliau dalam segala hal. Sosok "Faqih" yang lebih memilih banyak diam, akan tetapi berbicara melalui karya-karya ilmiah yang lahir dari tangan dingin beliau. Sebut saja kitab "Hilyatut Thullab fi Syarhi Mathlab", "Kifayatul Ashab fi Syarhi Nadzmi Asybah Wan Nadzoir", "I'lamul Munadzimin", "Kasyaf Isthilahatil Fuqoha'" dan masih banyak yang lain.
Berbicara tentang kepakaran beliau dalam "Fiqh", bisa dilihat saat dulu kami belajar kitab Qowaid "Asybah Nadzoir" di MGS. Beliau kalau mengajar itu yang membacakan adalah santri, dan seingatku yang membaca waktu itu adalah Gus Ahmad Syarifuddin Hidayatulloh Misbah (Gus Dayat). Seperti biasa, setelah masuk ruang auditorium, beliau menyuruh santri untuk membaca, beliau mendengarkan sementara kami sibuk memberikan absahan makna. Tetiba beliau keluar ruangan, dan bacaan pun terus berjalan. Satu lempir terlewati, dua, tiga, empat dan seterusnya, hingga berlempir-lempir halaman terlewati. Tapi Yai Said belum juga datang kembali. Sebagian santri sudah mulai ramai, yah begitulah kang santri kalau ditinggal Kiai keluar sebentar saja sudah ramai. Saat sedang ramai-ramainya, tetiba Yai Said masuk. Tanpa Ba Bi Bu, beliau nampak mendengarkan sedikit bacaan Gus Dayat, akhirnya halaman perhalaman kitab "Asybah" sudah beliau buka. Dan tetiba beliau ngethok-ngethok meja:
"Heem...hem",
Deheman beliau ini menunjukkan ada yang salah pada bacaan Gus Dayat, yang akhirnya diulang bacaan yang salah tadi. Adegan tersebut tadi adalah pemandangan yang luar biasa bagi santri-santri seperti kami. Yang mana menunjukkan penguasaan yang luar biasa dari Kiai Said terhadap kitab "Asybah". Dan perlu di catat, kitab "Asybah" yang beliau bawa adalah fotocopyan dari "Asybah" almarhum Kiai Sahal Mahfudz yang sudah ada Ta'liqot (catatan kaki) beliau saat dahulu ngaji pada Kiai Zubair Dahlan, ayahanda Kiai Maemoen.
Kiai Said bukanlah hanya sosok Kiai yang "Faqih", tapi juga sosok yang selalu mengikuti perkembngan zaman, untuk kemudian merespon dengan melahirkan karya ilmiah. Dulu kala saat sedang ramai-ramainya media memberitakan perceraian Ahmad Dani dan Maiya, lalu berlanjut pada saling berebut hak asuh anak, Kiai Said pun juga merespon isu tersebut dengan menulis sebuah kitab dengan judul "Tsamrotul Fuad Fi Hadhonatil Awlaad". Saat rame isu larangan memilih presiden Wanita—yang pada waktu itu adalah Ibu Megawati berpasangan dengan al-marhum KH. Hasyim Muzadi—maka beliau menulis buku dengan judul "al-Intikhob al-'Aam".
Sikap beliau yang selalu merespon kondisi aktual bangsa ini tidaklah mengherankan, sebab beliau selalu mengikuti perkembangan dunia melalui membaca koran, yang memang internet waktu itu tidaklah seperti sekarang ini. Salah satu cerita dari temen, Yusuf Zakaria namanya. Dia pernah sowan bersama dengan pamannya, dan di persilahkan masuk ke kamar pribadi beliau. Ternyata apa yang dilihat di kamar beliau? Tak lain hanyalah kasur tipis yang di atasnya sudah terdapat tumpukan kitab, sebagian terbuka, dan koran yang juga berada di samping beliau. Nampak baru saja di baca. Sangat amat sederhana sekali pemandangan tersebut, yang kesemuanya menunjukkan kecintaan beliau pada ilmu.
Inilah yang sedikit yang aku kenal dari sosok Faqih Sarang, Syaikhuna Said Abdurrahim, Sarang. Mungkin temen-temen saya yang pernah menjadi orang dekat beliau punya cerita lebih banyak lagi. Semisal mas Ahmad Atho Katib beliau, Jamal Lutfi, Patih Muhammad Zaim, dan lain sebagainya.
Semoga bisa meneladani.



 
Powered by Blogger.
Advertise 650 x 90
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger