Advertise 728x90

Selamat Ultah Mbah Moen

Written By Unknown on Monday, October 28, 2013 | 7:46 AM






a.    Pendahuluan.

Membicarakan para ulama bagi saya adalah sama saja dengan membicarakan ilmu yang tentunya sulit dan tidak akan pernah habis dan membosankan. Apalagi jika yang kita bicarakan adalah ulama sekaliber KH. Maemoen Zubaer atau lebih akrab dipanggil dengan Mbah Moen, maka yang muncul bukan hanya sosok ulama dengan keilmuan yang mendalam, akan tetapi juga sosok yang bisa menjadi representasi dedawuhane As-Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani sebagai ulama yang mampu mensinergikan antara tiga komponen pokok syarat seseorang boleh berfatwa, yakni ilmu ulama, siyasah muluk dan hikmah para bijak, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Manaqib beliau. Berkumpulnya tiga kreteria ini dalam sosok Mbah Moen menjadikan beliau berbeda dari yang lainnya dan menjadikan beliau istimewa, terlebih jika yang mengamati, mengakaji dan ‘membaca’ beliau adalah orang yang masih menjadi santri beliau, seperti penulis sendiri.

Ada perasaan yang berbeda dalam hati saat saya ingin menulis tentang beliau. Ada perasaan segan, bercampur takut, iwuh pekiwuh dan tentunya adalah perasaan ta’dzim yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Memang sosok Mbah Moen adalah sosok yang sederhana, humoris dan meneduhkan, akan tetapi pada waktu yang sama, dalam diri beliau pun terdapat sesuatu yang menjadikan seseorang merasa segan walaupun hanya sekedar untuk meminta pangestu atau bertatap muka dengan beliau. Hal ini pulalah yang saya alami saat saya ingin menorehkan pena guna menulis beberapa patah kata tentang beliau, seakan-akan beliau ada di depan saya sedang memperhatikan semua gerak-gerik yang saya lakukan. Ya tentunya semua kawan-kawan santri pernah merasakan dan tahu, bagaimana seandainya kang santri shalat atau makan berdekat-dekatan dengan seorang kiai yang sangat sangat di hormatinya.

Akan tetapi, dalam kesempatan kali ini saya berusaha mensupport dan memberanikan diri untuk menulis tentang beliau. Apalagi hal ini bertepatan dengan Ultah beliau yang ke-85, maka saya berani untuk mengambil resiko yang akan terjadi nantinya jika saya menulis tentang beliau, apalagi tulisan saya ini hanya menjelaskan keistimewaan, akhlak dan budi pekerti Mbah Moen yang sebelumnya telah di kodifikasikan dengan apik, rapi nan indah dalam nadzaman Al-Ussyaq—karya KH. Ahmad Shiddiq Harits, Lasem—dan saya juga menjadikan puisi indah berbahar Rajaz tersebut sebagai panduan untuk menelusuri dan mengkaji beberapa keistimewaan beliau, Mbah Moen.

Secara garis besar Nadzaman al-Ussyaq—menurut saya pribadi yang tentunya hal ini sangat subjektif dan sangat mungkin salah—mengelompokkan keistimewaan Mbah Moen dalam 2 bagian. Pertama adalah keistimewaan yang berkenaan dengan keilmuan beliau. Kedua adalah keistimewaan yang berkenaan dengan akhlak dan budi pekerti beliau. Berangkat dari pembagian inilah saya akan membahas sosok beliau Mbah Moen di bawah nanti, Insya Allah.

b.    Keilmuan Mbah Moen.

Dalam salah satu bait Nadzam al-Ussyaq, disebutkan bahwa Mbah Moen adalah Khabrul Anam[1] yang secara bebas bisa diterjemahkan dengan orang yang paling jenius di antara kalangan manusia. Pada bait lain disebutkan juga bahwa Mbah Moen adalah Bahrul Ulum[2] yang jika diterjemahkan secara bebas berarti lautan ilmu. Sedang dalam bait berikutnya, dikatakan bahwa keilmuan Mbah Moen semisal air hujan yang bisa membawa manfaat bagi siapa pun yang di siraminya, sekaligus juga membawa kenyamanan dan keteduhan bagi siapapun. Adapun pengetahuan dan pemahaman beliau akan kitab-kitab karya para ulama adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi, karena hal itu jelas sekali, sebagaimana jelasnya cahaya yang bersinar di waktu sahur[3]. Hingga akhirnya beliau sang penulis puisi ini mempunyai kesimpulan bahwa ilmu Mbah Moen adalah ilmu Ladunni yang tidak di miliki oleh sembarang orang, hal ini sebagaimana kita lihat pada bait berikutnya[4].
Apa yang saya sebutkan di atas kurang lebih adalah beberapa ungkapan dan pujian yang tertera dalam nadzam al-Ussyaq tersebut. Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa apa yang tertulis adalah hal yang berlebihan, tidak realistis, bersifat subjektif dan masih banyak perkataan lain yang bermacam-macam. Nah, untuk sedikit mengetahui dan membuktikan apakah memang apa yang tertera dalam nadzam itu adalah hal yang terlalu berlebihan seperti umumnya bahasa Arab jika memuji seseorang,  atau malah sebaliknya, bahwa apa yang tertera dalam nadzam itu adalah kenyataan, mari kita baca beberapa karya dari Mbah Moen yang menggambarkan kepada kita seberapa jauh pandangan keilmuan beliau dan bagaimanakah karakter beliau dalam menulis.
Dalam menulis, Mbah Moen adalah tipe ulama yang memiliki karakter Qur’ani. Maksud dari karakter Qur’ani ini adalah bahwa kebanyakan ayat suci al-Qur’an di turunkan oleh Allah sebagai jawaban atas peristiwa dan kejadian tertentu yang sedang menjadi problem di masyarakat pada waktu itu. Hingga akhirnya muncullah ilmu yang secara khusus membahas tentang penyebab turunnya Al-Qur’an dan biasa di sebut dengan Ilmu Asbab Nuzul. Begitu juga halnya Mbah Moen, bisa saya katakan bahwa hampir semua karya-karya beliau merupakan respon dari sebuah peristiwa atau kejadian tertentu yang sedang menjadi isu Nasional maupun Internasional.

Coba saja kita baca dan perhatikan dengan seksama beberapa karya beliau, semisal buku kecil “Nushusul Akhyar” dan “Risalah Fi Bayani Mauqifina”. Dalam kata pendahuluan 2 buku kecil tersebut, Mbah Moen menjelaskan secara detil dan eksplisit bahwa yang mendorong beliau menulis 2 buku kecil ini adalah adanya perbedaan umat Islam di Indonesia dalam menentukan hari raya Idul Fithri. Pada buku pertama disebutkan bahwa pada tahun 1418 H terjadi perbedaan di antara kaum muslimin, sebagaimana sebelumnya pun sering terjadi perbedaan dalam masalah yang sama pula, yaitu penentuan tanggal pertama bulan Syawal. Perbedaan yang terjadi pada tahun tersebut tidak hanya sebatas adu argumentasi dalam sebuah forum saja, akan tetapi sudah sampai pada ranah implementasi di alam nyata, yaitu dengan membaca takbir di masjid-masjid, mushalla-mushalla dan di jalan-jalan, bahkan sudah ada kesan saling menyesatkan antara satu pihak terhadap yang lainnya,  sebagaimana di kisahkan oleh Mbah Moen[5].

Adapun dalam buku yang kedua dituturkan bahwa kejadian pada tahun 1418 H terulang kembali, tepatnya pada tahun 1427 H. Dan hal yang pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya terulang kembali pada tahun tersebut dan bahkan ada sebagian kelompok lagi yang dengan jelas sekali tidak mau mengikuti keputusan yang telah di tetapkan oleh negara melalui mentri agama[6],  sungguh pemandangan yang sangat memilukan, karena dengan adanya perpecahan dalam masalah penentuan Idul Fithri ini, sulit rasanya untuk mempersatukan umat Islam di Indonesia.

Karakteristik beliau dalam berkarya dan menulis dengan model Qur’ani sebagaimana di atas, juga saya temukan dalam karya-karya beliau lainnya. Misal saja perhatikan buku beliau yang berjudul “Tsunami Fi Biladina A Huwa ‘Adzabun Aw Mushibatun?”. Dalam buku kecil ini, beliau Mbah Moen hendak merespon beberapa isu dan pertanyaan yang berhubungan dengan beberapa musibah yang menimpa mayoritas negara Islam, khususnya Indonesia. Munculnya beberapa pertanyaan ini adalah setelah terjadinya persitiwa besar di Indonesia, yaitu peristiwa banjir Tsunami yang menimpa provinsi Aceh, padahal Aceh adalah salah satu provinsi yang di perkirakan bahwa hampir semua penduduknya adalah 100% muslim. Lalu apa gerangan musibah Tsunami itu? Apakah ia merupakan cobaan dari Allah untuk bangsa Indonesia atau malah merupakan siksa bagi mereka?[7] Nah, pertanyaan inilah yang ingin di jawab oleh Mbah Moen dalam buku kecilnya itu.

Saya kira dari ketiga kitab Mbah Moen di atas, kita sudah mendapatkan sedikit gambaran tentang bagaimana karakteristik beliau dalam menulis dan berkarya. Dalam tulisan ini, memang saya sengaja tidak ingin menjelaskan atau meresensi karya-karya Mbah Moen, akan tetapi saya lebih terfokus ingin mengenalkan bahwa Mbah Moen memiliki keekhasan tersendiri yang berbeda dari ulama lainnya dalam berkarya. Tata cara beliau dalam menulis seperti yang saya katakan di atas, memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa seorang santri harus menjadi orang yang peka akan fenomena sosial yang berkembang di masyarakatnya, serta berusaha untuk menjawab dan mencarikan solusinya, guna menanggulangi fenomena sosial yang sedang berkembang. Beliau tidak membenarkan seorang santri yang hanya diam, kegiatan sehari-harinya hanya Shalat, I’tikaf di masjid dan berbagai amal ibadah lainnya, sementara umat sedang dalam kondisi yang memprihatinkan, baik secara mentalitas, gaya berfikir, gaya hidup yang semakin bernuansa sekular dan masih banyak problem-problem keumatan lainnya. Karenanya sangat di butuhkan seorang santri yang mempunyai progresifitas tinggi dalam mengarungi, menghadapi dan siap untuk menjadi pemenang dalam kehidupan yang kian kapitalis ini.

Di samping itu, kita sebagai santri juga bisa mengambil pelajaran bahwa cara berfikir yang  kontekstual adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat di pungkiri. Perubahan sekecil apapun pasti akan terjadi dalam pola pikir seseorang dan pola kehidupannya. Kita katakan saja santri di pondok yang masih teguh berkutat, bercengkrama dan berdiskusi secara lebih intensif dengan pemikiran-pemikiran para ulama yang terkodifikasikan dalam kitab-kitab yang di ajarkan di pesantren. Kalau saya amati, mereka para santri pun sebenarnya juga melakukan sebuah pembaharuan atau lebih berani lagi saya katakan bahwa mereka pun melakukan ‘ijtihad’ walaupun dengan prosentase sangat kecil sekali. Hal itu bisa kita lihat saat mereka dengan beraninya melakukan Tandzir atau Ilhaq Masa’il yang jika kita fair dan jujur itulah praktek Qiyas Syabah yang di jelaskan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Di satu sisi mereka tidak mau mengatakan itu sebagai Qiyas, karena tentunya Qiyas adalah sebuah praktek ijtihad yang hanya bisa di lakukan oleh seseorang yang sudah mencapai taraf mujtahid saja, akan tetapi di sisi lain realitas yang timpang menuntut mereka untuk bisa menjawab dan memberikan jawaban, sehingga mau tidak mau mereka akhirnya menempuh jalan tengah antara berijtihad atau cuek serta masa bodoh dengan realitas sosial, lalu mereka melakukan Qiyas dengan cara dan corak lain yang kemudian di sebut dengan Ilhaq atau Tandzir tadi. Coba saja kita perhatikan buku Al-Asybah Wan Nadzair karya Al-Hafidz As-Suyuthi itu, lalu perhatikan dengan seksama bagaimana terbentuknya ilmu Qawaid Fiqh, niscaya akan kita temukan bahwa praktek dalam Asybah adalah murni Qiyas Syabah dengan berbagai elaborasinya.

Berfikir secara kontekstual dan progresif inilah—menurut saya—hal yang ingin di sampaikan oleh Mbah Moen melalui karya-karyanya di atas. Yang tentunya, progresifitas itu tidak kemudian ngawur dan dengan tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah keilmuan agama yang ada, tidak serta merta mengabaikan beberapa pendapat ulama Madzahib yang otoritas keilmuan mereka dalam memahami teks-teks keagamaan, sudah tidak perlu di ragukan lagi[8]. Karena jika seseorang tidak mau menjadikan apa yang telah di tulis oleh para ulama dalam berbagai karya mereka sebagai pengantar untuk memahami teks-teks suci agama Islam, maka secara tidak langsung dia telah mengahancurkan agama itu sendiri[9]. Jadi kita seharusnya juga berusaha untuk bersikap dan befikir secara moderat dalam menempatkan posisi literatur ilmu keislaman yang sangat kaya itu, karena memang sikap moderatlah yang bisa menjadikan kita tidak terlalu radikal kiri, dengan sama sekali meninggalkan hasil ijtihad para ulama yang telah banyak terkodifikasikan dalam kitab-kitab yang berjumlah ratusan atau bahkan ribuan itu, yang sering di gembar gemborkan oleh kaum modernis atau kelompok yang mengklaim dirinya sebagai pengikut salaf. Tidak pula kita berfikir radikal kanan, yang tidak mau menerima pembaharuan sama sekali, sehingga yang muncul adalah stagnansi pemikiran dalam dunia Islam. Lebih-lebih dalam bidang kajian Fiqh, yang memang secara umum kekuatan dalilnya hanya sebatas Dzonni, bukan sesuatu yang bersifat Qath’i atau pasti[10]. Karena memang Syariat Islam selalu bisa menerima adanya pembaharuan guna menjawab berbagai macam problematika kotemporer yang dulu belum pernah di sentuh oleh para ulama kita. Hanya saja tentunya kita tidak akan bisa menemukan dalil secara eksplisit guna menjawab berbagai problematika tersebut[11].

Guna menjawab problematka kontemporer yang sekarang banyak kita temukan di dunia ini, Mbah Moen memberikan dua cara untuk menanggapinya. Pertama, yaitu dengan kembali melakukan kajian secara lebih mendalam. Kajian mendalam yang di tawarkan oleh Mbah Moen adalah dengan kembali mendeskrepsikan secara jelas problematika kekinian, baik dari sisi substansial ataupun kontekstual melingkupinya. Di samping juga berusaha mendeskripsikan dengan lebih jelas dan detil lagi kasus-kasus Fiqh yang telah di tulis oleh para ulama dalam buku-buku mereka, baik secara substansial maupun secara kontekstual. Baru setelah itu kita juga berusaha menggali dalil-dalil yang di jadikan acuan dan pijakan para ulama dalam mencetuskan hukum-hukum yang telah jadi tersebut. Sehingga kita terhindar dari kesalahan dalam memahami sebuah kasus, sedang sebenarnya kita mengharapkan kebaikan dengan berupaya menjawab kasus tersebut[12]. Kedua, dengan membaca, memahami dan mengkaji literatur Madzahibul Arba’ah, tidak hanya berhenti pada satu Madzhab saja. Hal ini di karenakan antara satu madzhab dan lainnya saling melengkapi. Semisal dalam madzhab Syafi’i yang di wajibkan zakat hanyalah tumbuhan yang menjadi makanan pokok saja, sementara yang lain tidak. Sedang dalam madzhab yang lain, sayur-sayuran pun juga wajib di zakati. Kalau kita berpegang teguh pada madzhab Syafi’i, maka kita tidak wajib mengeluarkan zakatnya sayur mayur. Padahal pada zaman sekarang, banyak kita temukan bahwa perdagangan sayur mayur lebih menguntungkan dari pada dagang makanan pokok. Di sinilah nampak sekali urgenitas dari mempelajari berbagai madzhab[13].

c.    Akhlak Mbah Moen.

              Dalam kasidah al-Ussyaq ini, banyak saya temukan bahwa si penulis sering sekali memuji akhlak dan budi pekerti beliau Mbah Moen, hal ini bisa kita temukan pada bait ke-10 dan ke-11. Pada bait tersebut di katakan bahwa Mbah Moen adalah orang yang antara sikap manis dan pahitnya sama bisa menjadi obat, hal ini karena dalam bersikap, beliau tidak memperdulikan apa yang terjadi di dunia ini, baik saat beliau bersikap pahit ataupun manis[14]. Pada bait selanjutnya di paparkan bahwa Mbah Moen adalah orang yang hatinya di penuhi hikmah dan orang yang bisa menyesuaikan dengan siapapun saat berkumpul dengan komunitas lain[15]. Dalam bait lain di gambarkan bahwa beliau adalah orang yang teguh dalam berpendirian, sebagaimana kokohnya gunung yang tertancap kuat di atas tanah atau asinnya air laut yang tidak pernah akan berubah dalam suasana apapun[16]. Beliau juga orang yang konsisten dalam mengajar, sehingga beliau tidak pernah meliburkan pengajiannya walaupun sedang dalam kondisi sakit sekalipun. Kecuali jika memang tidak mungkin atau sangat sulit beliau untuk mengajar ngaji lagi, semisal ketika beliau sedang bepergian jauh sekali[17]. Yang terakhir dari akhlak Mbah Moen yang di bicarakan dalam kasidah tersebut adalah sikap pemaaf Mbah Moen. Pada kasidah tersebut di gambarkan bahwa sifat pemaaf beliau bagaikan lautan yang sangat luas sekali, sehingga andaikan ada najis yang di masukkan ke dalamnya sekalipun, niscaya kesuciannya tidak akan pernah berubah. Begitu juga dengan sikap pemaaf Mbah Moen yang tidak akan berubah walaupun ada yang berusaha mengotorinya dengan berbagai hal-hal yang bersifat provokatif[18].

              Dari penjelasan di atas, bisa saya ambil kesimpulan bahwa Mbah Moen adalah sosok ulama yang sabar, pemaaf, teguh pendirian dan selalu mempertimbangkan kemaslahatan umat dalam bersikap. Sifat dan pribadi yang indah seperti yang saya sebutkan di atas, tentunya tidak begitu saja beliau dapatkan, akan tetapi melalui proses keilmuan, tirakat dan Mujahadatun Nafsi yang hanya Allah sajalah yang mengetahui waktunya. Karena tentunya Ishtifa’ atau pilihan adalah hak prerogatif Allah semata, bukan yang lainnya. Beliau Mbah Moen sendiri sering sekali Ngendikan: “Gusti Allah Kok Arep Di demo[19]. Ungkapan sederhana ini bagi saya merupakan sebuah pantulan kuatnya Tauhid yang sudah menancap dengan kokoh dalam hati seorang kekasih Allah. Karena apa yang beliau katakan tadi—menurut saya—adalah ungkapan Ridha, Tawakkal dan Tawadhu’ seorang hamba kepada Tuhannya, yang kesemuanya bersumber dari tauhid yang benar dan iman yang kuat menancap dalam jiwa.

              Dalam kesempatan kali ini saya tidak ingin menjelaskan akhlak beliau lebih detil lagi, karena waktu dan sudah terlalu panjangnya tulisan ini. Akan tetapi saya hanya ingin sedikit menuturkan beberapa peristiwa dan pengalaman saya yang pernah terjadi di pondok. Dulu saat acara Ta’aruf santri Al-Anwar. Seperti biasa, sebelum acara Mauidzah di sampaikan oleh beliau Mbah Moen, ketua pondok memberikan sambutan atas nama ketua pengurus pondok sekaligus membacakan peraturan dan tata tertib yang berlaku di pesantren. Alkisah—saya katakan alkisah, karena memang saya tidak menghadiri acara itu secara langsung, akan tetapi hanya di ceritai oleh teman sekamar yang lebih senior—saat memberikan sambutan ketua pondok menyanjung, memuji dan menyebut Mbah Moen dengan “Qudwatuna Wa Imamuna[20] sebagaimana umumnya santri lainnya. Setelah bapak ketua pondok memberikan sambutan dengan tegas dan penuh wibawa, tibalah waktunya Mbah Moen memberikan mauidzah. Dan yang menarik dan perlu di simak adalah apa yang di sampaikan oleh Mbah Moen, kurang lebih beliau berkata: “Qudwah Lan Imam Iku Yo Kanjeng Nabi[21].

              Ketika saya di ceritai tentang kisah ini saya jadi berfikir, kenapa Mbah Moen mengatakan ungkapan yang demikian? Adakah yang salah dari kata-kata bapak ketua pondok tadi? Lama sekali saya berfikir mengenai peristiwa ini, hingga akhirnya sekarang saya menemukan sesuatu yang menurut saya pribadi—entah menurut yang lain—bisa di jadikan bahan renungan buat kita bersama. Dari ungkapan Mbah Moen di atas bisa di ambil beberapa kemungkinan yang menurut saya sama kuatnya. Pertama, beliau menyampaikan ungkapan yang demikian karena sifat Tawadhu’ beliau yang luar biasa. Bukan berarti haram mengungkapkan kata-kata di atas untuk selain baginda Nabi. Hanya saja menurut beliau yang layak di sebut “Qudwah” dan “Imam” yang sebenarnya adalah baginda Nabi. Hal ini hampir mirip dengan apa yang terjadi pada masa baginda Nabi, ketika ada seorang khatib yang mengatakan:
من يطع الله ورسوله فقد رشد ومن يعصهما فقد غوى
Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka dia akan mendapatkan petunjuk. Sedang yang durhaka pada keduanya, maka dia akan tersesat[22].

              Saat mendengar sang khatib mengumpulkan Allah dan Rasul-Nya dalam satu Dhamir, yaitu pada kata “Ya’shihima”, maka baginda Nabi pun menegurnya dengan keras dan bersabda: “Bi’sal Kathibu Anta”, sejelek-jeleknya khatib adalah kamu. Dari hadis ini, tentunya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sekecil apapun jika itu adalah kesalahan, maka seorang muslim harus mengingatkan saudaranya, lebih-lebih adalah santri atau muridnya sendiri yang notabenenya memang sangat membutuhkan bimbingan dari sang guru. Saya yakin, bahwa ungkapan yang di sampaikan oleh sang khatib tadi tidaklah hal yang di haramkan oleh ajaran Islam, bahkan hal yang biasa-biasa saja dan tidak mendapatkana dosa sama sekali, akan tetapi walaupun demikian baginda Nabi tetap mengingatkannya. Saya kira begitu pulalah yang di lakukan Mbah Moen pada waktu itu.

              Kedua, beliau ingin mendidik dan mengajarkan kepada santri-santrinya bahwa kita tidak boleh fanatik terhadap selain baginda Nabi Muhammad. Karena baginda Nabi adalah Qudwah serta Imam yang sebenarnya dan hanya baginda Nabi-lah yang tidak pernah dan tidak mungkin salah, sedang selain baginda Nabi pasti mungkin salah, inilah keyakinan kita sebagai umat Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dari sini beliau berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi adanya kultus individu terhadap diri beliau yang sangat mungkin sekali terjadi pada sebagian santri-santri beliau, sehingga yang muncul adalah fanatik buta, tanpa tahu ke mana arah dan tujuan beliau.

              Akan tetapi yang perlu di pertegas dan di jelaskan di sini adalah adanya sikap sebagian yang memanfaatkan sikap beliau seperti ini sebagai ajang dan kesempatan untuk wani terhadap  beliau. Mungkin ada sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa Mbah Moen pun manusia biasa yang juga mungkin salah. Lebih-lebih jika hal itu berkenaan dengan urusan politik, bahkan santri pun mungkin bisa saja membelot dari beliau dalam urusan ini, dan lagi-lagi dalih yang di gunakan adalah sama, bahwa Mbah Moen bukanlah Nabi, sehingga mungkin sekali salah. Saya pribadi sebagai santri beliau akan dengan tegas mengatakan bahwa Mbah Moen bukanlah Nabi yang Ma’shum dan inilah ajaran yang pernah di jelaskan oleh beliau Syaikhina Maimoen dalam beberapa kitab Tauhidnya. Akan tetapi dengan tegas pula saya akan tetap mengatakan bahwa sebagai murid—saya selalu berharap di anggap beliau sebagai seorang Tilmidz—saya akan mengikuti dan selalu menghormati ijtihad beliau, karena saya yakin bahwa dalam berijtihad beliau selalu mendasarkannya pada dalil Al-Qur’an dan Hadis, walaupun saya sendiri tidak tahu apa itu dalil sebenarnya.

              Adapun dalam masalah politik, saya lebih suka menggunakan logika yang di pakai oleh menantu beliau KH. Zuhrul Anam Hisyam, Leler, Banyumas saat ceramah di Jepara dan sebenarnya pun sangat sering sekali di sampaikan oleh salah satu murid beliau Mbah Moen, yaitu KH. Bahauddin Nur Salim dalam berbagai kajian Tafsirnya. Saya menyimpulkan dari keduanya bahwa dalil yang tepat untuk dijadikan dasar dalam mengikuti pilihan politik Syaikhina Maemoen adalah dalil perasaan. Karena jika kita hanya menggunakan dalil dari al-Qur’an dan Hadis atau dalil-dalil lainnya, maka yang ada adalah sesuatu yang Dzanni, yaitu hal yang besifat praduga saja, bukan Qath’i. Di samping itu juga akan membuka celah adanya politisasi makna Al-Qur’an dan Hadis, sehingga keduanya akan di jadikan justifikasi oleh oknum-oknum tertentu guna membenarkan tindakan politik mereka. Di sinilah kita sebagai santri harus selalu berusaha dalam bersikap dan berkata mempertimbangkan semua aspek yang ada, tidak hanya asal gruduk tanpa mengetahui asal muasalnya bagaimana. Walaupun saya pun yakin bahwa dalam berpolitik sekalipun, Mbah Moen pasti menjadikan kedua pusaka umat Islam tadi sebagai referensi dan pertimbangan utama.

d.   Penutup.

              Sebagai kesimpulan dari sekelumit pembahasan tentang Sang Maha Guru Syaikhina KH. Maemoen Zubaer—baik dari sisi keilmuan ataupun akhlak—saya ingin mengatakan bahwa Manhaj yang beliau tempuh dan beliau gariskan bagi kita semua adalah ilmu dan amal. Yang di maksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang berhubungan dengan segala tindakan yang akan di lakukan seseorang. Beliau mendahulukan ilmu dari amal, karena memang sebelum orang bergerak, seharusnya dia lebih dulu mengetahui tata cara, aturan main dan semua hal yang berhubungan dengan pergerakan itu. Adapun yang di maksud dengan amal di sini bukanlah hanya dengan kita mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dan diketahui saja tanpa berusaha untuk menyampaikannya kepada yang lain, akan tetapi kedua-duanya, mengamalkan dan mengajarkan. Karena hanya dengan kedua pondasi inilah Islam dengan umatnya yang moderat (wasath) bisa kita bangun di atas bumi nusantara Indonesia ini.

              Akhirul kalam, saya hanya ingin menyampaikan ucapan selamat Ulang Tahun kepada Gurunda KH. Maemoen Zubaer semoga selalu di beri kesehatan oleh Allah dan selalu dalam pertolongan-Nya. Dan saya pun ingin meminta maaf karena tidak bisa ikut hormat kepada beliau dengan sowan ke Sarang, karena mungkin saya masih harus menata diri saya pribadi dan hanya inilah kado yang bisa saya sampaikan pada hari yang membahagiakan ini. Kesalahan dalam tulisan sederhana ini adalah murni dari saya yang bodoh dan lemah ini. Dan bagi teman-teman yang membaca tulisan ini, harapan saya adalah adanya teguran dan kritikan sehingga saya bisa lebih memahami lagi sosok guru dan bisa menulis lagi dengan lebih baik, sehingga suatu saat akan ada buku atau entah sekedar tulisan yang membahas secara lebih khusus dan mendetil tentang Syaikhana Maemoen. Harapan saya, kawan-kawan pun hendaknya mulai menulis tentang beliau juga. Wa Allahu A’lam Bis Shawab.



                                                                                              Kalisari, 28-oktober-2013 M
                                                                                              Dhiyaul Haq



[1] Berkenaan dengan hal ini bisa di lihat dalam KH. Ahmad Shiddiq (1432), Al-Ussyaq Ilas Syaikh Maimoen Zubaer, Lasem: Matahari Press. Hal: 5 Bait ke-6.
[2] Ibid. Hal: 7. Bait ke-12.
[3] Ibid. Hal: 7. Bait ke-13.
[4] Ibid. Hal: 7. Bait ke-14.
[5] KH. Maimoen Zubaer (1998), Nushusul Akhyar Fis Shaumi Wal Ifthar, Sarang: Ponpes Al-Anwar. Hal: 2-3.
[6] KH. Maimoen Zubaer (tt), Risalah Fi Bayani Mauqifina Haulas Shaumi Wal Ifthar, Sarang: Ponpes Al-Anwar. Hal: 5-6.
[7] KH. Maimoen Zubaer (tt), Tsunami Fi Biladina Andonisia A Huwa ‘Adzabun Aw Mushibatun?, Sarang: ponpes Al-Anwar. Hal: 2-3.
[8] KH. Maimoen Zubaer (2007), Al-Ulama Al-Mujaddidun Wa Majalu Tajdidihim Waj Tihadihim, Sarang: Ponpes Al-Anwar. Hal: 40/46.
[9] Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh Al-Kautsari dalam salah satu makalahnya dan di kutip oleh Mbah Moen dalam karyanya di atas. Ibid. Hal: 42.
[10] KH. Maimoen Zubaer (2007). Op. Cit. Hal: 45.
[11] Ibid. Hal: 44.
[12] Ibid. Hal: 46.
[13] Ibid. Hal: 51.
[14] KH. Ahmad Shiddiq (2011). Op. Cit. Hal: 6. Bait ke-10-11.
[15] Ibid. Hal: 7. Bait ke-15.
[16] Ibid. Hal: 9. Bait ke-21-22.
[17] Ibid. Hal: 9. Bait ke-23.
[18] Ibid. Hal: 11. Bait ke-29.
[19] Artinya: “Allah Kok Mau Di Demo”.
[20] Artinya: “Panutan Dan Imam Kami”.
[21] Artinya: “Yang Jadi Panutan Dan Imam Itu Ya Baginda Nabi Muhammad”.
[22] HR. Ahmad Bin Hanbal (tt), Musnad Ahmad. Vol: 4. Hal: 256.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

1 komentar:

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger