Advertise 728x90

Ushul Fiqh: Kaidah Umum dan Khusus

Written By Unknown on Monday, November 4, 2013 | 7:04 PM


1.    Definisi 'Aam dan Khas.
Dalam mendefinisikan kata 'Aam maupun kata yang khas, para pakar Ushul Fiqh menyebutkan berbagai macam redaksi yang berbeda antara satu dan lainnya. Hanya saja menurut saya, definisi yang paling komprehensif adalah definisi yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, disana beliau berkata:
“'Aam adalah kata yang secara asal peletakannya (wadh'u) menunjukkan makna yang komprehensif dan mencakup semua elemen atau bagian-bagiannya yang memang mungkin untuk dicakup, tanpa adanya sebuah pembatasan pada jumlah tertentu[1]
Dari definisi di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan kata 'Aam sebagai berikut:
a.  Cakupan kaidah 'Aam hanyalah pada dalil-dalil yang bersifat verbal atau ucapan, bukan dalil yang bersifat fi'lu atau pekerjaan seseorang. Konsekuensi dari cakupan kaidah ini adalah bahwa setiap dalil—terutama dalil berupa hadis—yang merupakan tindakan atau perbuatan baginda Nabi Muhammad tidaklah bisa dianalisis dengan menggunakan metodologi kaidah 'Aam ini.
b.  Makna yang ditunjukkan oleh kata 'Aam adalah makna yang bersifat universal dan komprehensif, yakni makna yang mencakup setiap elemen atau setiap bagian-bagiannya tanpa terkecuali, bukan hanya secara ijmal[2]. Karena jika kata 'Aam adalah kata yang bersifat ijmal maka tidak diperlukan adanya sebuah takhshish atau upaya untuk mengecualikan sebagian elemen atau bagian dari makna yang dicakup oleh kata 'Aam tersebut. Dalam hal inilah terjadi perbedaan yang sangat nampak sekali antara kata Muthlak dan kata yang 'Aam dalam kajian Ushul Fiqh[3].
Adapun dalam mendefinisikan kata yang Khas, para pakar Ushul pun berbeda-beda antara satu dan lainnya dalam meredaksikannya. Dalam buku sederhana ini saya kembali lagi mengutip definisi yang ditampilkan oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya di atas, disana beliau berkata:
Khas adalah kata yang secara asal peletakannya memang menunjukkan satu elemen atau satu bagian tertentu saja[4]
2. Macam-macam pembagian kata 'Aam.
Setelah dijelaskan masing-masing definisi kata 'Aam dan Khas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa kata-kata 'Aam terbagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
a.     Kata 'Aam yang memang secara pasti menunjukkan makna yang umum dan komprehemsif, karena memang tidak ada Qarinah atau tanda yang memungkinkan kata ‘Aam tipe ini untuk dikhususkan. Contohnya adalah kata 'Aam pada ayat:
وما من دابة في الأرض إلا على الله رزقها
Tidak ada makhluk hidup apapun di dunia ini kecuali Allahlah yang menanggung rizqinya” (QS. Hud: 6).
Pada ayat di atas, kata 'Aam bisa kita temukan pada firman Allah: “دابة” yang tak lain merupakan kata nakirah yang terdapat dalam susunan ayat yang nafi, bukan istbat. Disamping itu, dalam ayat di atas terdapat penetapan sunnatullah yang tidak akan tergantikan dan tidak akan dikhususkan, sehingga keumuman dari ayat di atas memang merupakan sesuatu yang pasti, karena memang secara kontekstual ayat tersebut tidak bisa dikhususkan[5].
b.     Kata 'Aam akan tetapi yang dikehendaki adalah makna yang khusus. Yaitu kata 'Aam yang memang bersamaan dengan sebuah tanda atau Qarinah yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki adalah makna yang khusus, bukan makna keumuman dari kata tersebut. Contoh adalah kata 'Aam pada firman Allah:
ولله على الناس حج البيت
Haji ke Baitullah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada manusia”. (QS. Ali 'Imran: 97)
Pada ayat di atas, kata 'Aam bisa kita temukan pada redaksi ayat: “الناس” yang tak lain merupakan bentuk isim jama' dan kemasukan perangkat berupa “al” yang menunjukkan makna jenis, hanya saja akal kita secara otomatis mengkhususkan bahwa tidak mungkin Allah mewajibkan haji kepada semua manusia, akan tetapi tentunya hanya kepada mereka yang sudah mukallaf saja[6]. Saya katakan dalam poin kedua ini bahwa akal adalah yang mengkhususkan keumuman dari ayat diatas, karena memang tidak ada dalil yang secara spesifik dengan tema yang sama—yaitu tema haji—yang secara eksplisit mengkhususkan keumuman ayat di atas. Akan tetapi yang ada adalah dalil lain—yang mempunyai sisi keumuman juga—akan tetapi dibalik itu ia juga mempunyai sisi kekhususan, yang mana sisi kekhususan inilah bisa menjadi sebuah media takhsish yang mencakup semua bagian atau elemen dalam keumuman dalil di atas. Dalil lain tersebut adalah hadis Nabi yang berbunyi:
رفع القلم عن الصبي حتى يحتلم وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق.
Tidak ada kewajiban bagi seorang anak kecil hingga ia telah ihtilam, bagi orang yang tidur hingga ia bangun dan bagi orang yang gila hingga ia sadar dari kegilaannya”.
Secara eksplisit, dalil hadis yang disebut terakhir ini menjelaskan bahwa anak kecil, orang yang tidur dan orang gila tidak masuk dalam kategori manusia yang terkena beban keagamaan (At-Taklif Ad-Dini) hingga mereka benar-benar mencapai taraf tertentu yang dijadikan Allah sebagai sebab utama dan ukuran bagi mereka untuk dibebani aturan keagamaan yang berupa kondisi tamyiiz atau kesadaran yang ternyata antara satu dan lainnya juga terdapat perbedaan. Perbedaan itu dapat kita dapatkan secara eksplisit pada penjelasan hadis di atas yang menyatakan bahwa anak kecil bisa ditaklif saat dia sudah baligh, orang yang tidur saat dia bangun dan orang yang gila saat kembali lagi kesadarannya. Baik itu baligh, bangunnya orang tidur ataupun kembalinya kesadaran orang gila adalah bentuk dari tamyiiz yang menjadi sebab adanya beban keagamaan seperti ibadah haji misalnya, sebagaimana dijelaskan oleh ayat haji dari surat Ali Imran di atas[7].
c.     Kata 'Aam yang menunjukkan makna umum dan dia bisa menerima adanya takhshis atau spesifikasi, bagian ketiga ini biasa disebut dengan istilah: 'Aam makhshus. Pada dasarnya bagian yang ketiga ini memiliki kesamaan dengan bagian yang pertama, yakni bahwa kata 'Aam disini tetap pada makna aslinya berupa makna umum, hanya saja yang membedakannya dari poin yang pertama adalah adanya tanda yang menunjukkan secara pasti bahwa kata 'Aam pada poin pertama tidak bisa menerima unsur spesifikasi/takhshis, sementara pada poin yang ketiga ini tanda itu tidak ditemukan. Sehingga munculnya adagium yang terkenal dalam ilmu Ushul: “ma min 'Aamin illa wa qad khussha”, tidak ada kata umum atau universal kecuali dia pasti bisa  menerima untuk ditakhshis atau dispesifikasikan, sangat sesuai dengan poin yang ketiga ini. Karena adagium ini tidak akan menemukan relevansinya jika dihubungkan dengan poin pertama yang memang secara pasti makna universalnya terjaga. Nah, pada poin ketiga inilah adagium ini bisa diaplikasikan dan menemukan korelasinya, karena memang poin ketiga ini menerima untuk di takhshis dengan menggunakan dalil lainnya.
Adapun perbedaan antara poin yang ketiga dengan poin kedua ada beberapa macam yang hanya bisa kami sebutkan sebagian saja, diantaranya adalah berikut ini:
pertama: sifat umum pada yang melekat pada kata 'Aam poin ketiga adalah komprehensif (syumul) dan mencakup semua elemen-elemen yang masuk dalam cakupan kata 'Aam itu sendiri, disamping juga keumuman maknanya memang dikehendaki oleh orang yang berkata. Sementara kata 'Aam pada poin kedua sifat umumnya bukan hal yang dikehendaki oleh orang yang mengatakannya, sehingga tidak ada unsur makna komprehensif dalam keumuman dari kata tersebut dan tidak membutuhkan takhshis lagi.
Kedua: yang menjadi takhshis dari kata 'Aam pada poin ketiga adalah dalil yang bersifat verbal baik itu berupa syarat, sifat, istitsna' dan lain sebagainya. Berbeda dengan 'Aam pada poin yang kedua, karena dalil yang menjadi perangkat takhshis lebih bersifat rasional. Dan masih ada beberapa perbedaan lainnya yang akan terlalu panjang dan menyita banyak waktu jika semua diuraikan disini[8].
Dalam menyikapi poin yang ketiga ini para pakar Ushul memperbolehkan untuk mengambil hukum dari keumuman sebuah dalil sampai benar-benar telah ditemukan adanya dalil lain yang mengkhususkan. Jika memang ada dalil yang lebih spesifik dengan konteks yang sama, maka dalil 'Aam tersebut akan ditakhsis dengan dalil khusus tadi dan jika tidak ditemukan dalil khusus seperti kategori di atas, maka yang diambil adalah keumuman hukum dari sebuah teks tersebut[9]. Kita ambil satu contoh agar poin ketiga ini lebih mudah untuk dipahami, semisal ayat ke-228 dari surat al-Baqarah yang berbunyi:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروؤ
Para wanita yang telak dicerai oleh suaminya itu harus menunggu masa 'iddah selama tiga quru'”.
pada ayat diatas terdapat kata umum berupa “المطلقات” yang berarti setiap wanita yang telah dicerai oleh suaminya. Kata tersebut masuk dalam kategori 'Aam karena memang dia menunjukkan makna yang universal, bahwa semua wanita yang telah dicerai suaminya masuk dalam satu lingkaran hukum yang sama yaitu iddahnya 3 quru', baik itu wanita yang sedang dalam kondisi hamil saat dicerai maupun yang tidak. Sekilas jika seorang mujtahid hanya melihat kata umum tersebut, maka secara otomatis dia akan mencetuskan sebuah hukum bahwa semua wanita yang dicerai iddahnya adalah menunggu 3 quru'. Akan tetapi, ternyata disana ada ayat lain dengan konteks yang sama tapi mempunyai hukum yang berbeda, yaitu ayat:
وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن
Para wanita yang sedang hamil mempunyai batas akhir iddah sampai mereka melahirkan anak-anaknya yang ada dalam kandungannya”. (QS. At-Thalaq: )
dalam ayat kedua ini terdapat kata khusus yaitu “ulatul ahmaal” yang berarti wanita-wanita yang sedang hamil dan disertai dengan hukum khusus pula yaitu selesainya masa iddah dengan melahirkan anak yang ada dalam kandungannya. Jika kita komparasikan antara kedua dalil di atas—antara surat al-Baqarah dan surat At-Thalaq—dan hanya melihat secara lahiriah dari kedua teks itu saja maka seakan-akan terdapat jurang perbedaan yang lebar antara kedua teks dalam satu kasus yang sama yakni wanita yang tidak bersuami tapi terdapat hukum yang berbeda antara keduanya. Akan tetapi jika kita menggunakan metode takhshis maka akan kita dapatkan sebuah kesimpulan hukum yang cukup menarik bahwa wanita yang hamil dikecualikan dari aturan hukum wajib iddah selama 3 quru' yang diambil dari surat al-Baqarah, karena mempertimbangkan adanya ayat At-Thalaq yang lebih spesifik, sehingga cakupan ayat al-Baqarah diatas hanya pada wanita-wanita yang dicerai suaminya tapi tidak dalam kondisi hamil.
Dalam kondisi seperti inilah penggunaan metode semisal takhshisul 'Aam menjadi sebuah media yang dapat memberi solusi untuk keluar dari 'kemelut' ambiguitas sebuah teks keagamaan. Karena jika kita tidak menggunakan metode takhsis dan semisalnya, maka kita sendiri akan terperangkap dalam kemelut tersebut yang pada akhirnya akan menimbulkan kesan rancau dan plin plan dari sebuah teks, sehingga kesakralan sebuah teks keagamaan pun akan dipertanyakan dan paling tidak mengalami krisis kepercayaan dari pengikut setianya. Karena memang kerancauan dan kesan ambiguitas sebuah teks keagamaan adalah sebagai satu bukti kelemahan tersendiri bagi keotentikan sebuah teks tersebut dan hal itu tidak mungkin terjadi pada teks keagamaan dalam Islam—baik itu al-Qur'an ataupun Hadis—karena sudah ditiadakan oleh allah sendiri melalui firmannya dalam al-Qur'an sendiri yang berbunyi:
ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا
Andaikan al-Qur'an ini bukan dari Allah (akan tetapi buatan makhluk sendiri) niscaya akan mereka temukan di dalamnya banyak sekali perbedaan”. (QS. An-Nisa': 82).
perbedaan yang dimaksud dalam ayat ini adalah perbedaan yang mengakibatkan munculnya sifat ambigu pada kabar atau makna yang dibawa dan disampaikan oleh teks-teks keagamaan dalam Islam, yang dalam ayat ini adalah al-Qur'an. Tafsir yang demikian ini, sebagaimana disampaikan oleh al-Imam Abus Su'ud Muhammad bin Muhammad Al-Imadi, adalah tafsir yang lebih sesuai dengan runtutan kalimat (siyaq kalam) dari ayat di atas[10]. Adapun perbedaan dalam sisi bahasa semisal Qiraat (bacaan), makna yang ditunjukkan dari redaksi sebuah teks dan lain sebagainya yang berhubungan dengan bahasa sebuah teks al-Qur'an dan semisalnya, maka itu tidak masuk dalam kategori perbedaan yang ditiadakan oleh ayat di atas[11]. Redaksi teks-teks keagamaan dalam Islam—baik al-Qur'an atau Hadis—adalah teks yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dan bisa menerima adanya metode semisal takhshis yang saya sebutkan di atas, sehingga kesan ambiguitas makna sebuah teks-teks keagamaan dalam Islam bisa benar-benar dihindari yang pada akhirnya itu semua adalah bukti bahwa Allah benar-benar menjaga teks-teks Islam agar tidak terjebak dan jatuh dalam perbedaan yang ditiadakan oleh al-Qur'an.
3.     Kaidah-kaidah dalam tema 'Aam dan Khas.
Dalam kajian Ushul Fiqh, baik klasik maupun baru, ada banyak kaidah-kaidah yang dimasukkan dalam ruang lingkup pembahasan 'Aam dan Khas. Dan kaidah-kaidah tersebut akan sangat membantu dalam memahami teks-teks keagamaan dalam Islam, baik dari al-Qur'an maupun Hadis. Sehingga dalam kesempatan ini, saya pun akan menyebutkan beberapa kaidah yang memang menurut saya mempunyai korelasi dengan tema pembahasan dalam buku sederhana ini. Kaidah-kaidah diantaranya sebagai berikut:
a. Keumuman teks dan khususnya sebab.
Teks-teks keagamaan dalam Islam seringnya muncul sebagai jawaban atas peristiwa atau problematika sosial yang terjadi dalam masyarakat muslim pada waktu itu. Walaupun jika ditelusuri dengan lebih teliti dan terperinci, tidaklah semuanya merupakan jawaban atas problematika umat yang ada. Hanya saja teks keagamaan dengan model yang pertama—sebagai respon atas problematika umat—adalah yang paling banya dijumpai. Sehingga dalam literatur kita, terutama dalam ilmu Tafsir dan ilmu Hadis, ada tema khusus yang membahas tentang masalah tersebut dan dikenal dengan ilmu Asbabun Nuzul dalam cabang ilmu Tafsir dan Asbabul Wurud dalam cabang ilmu Hadis. Dalam ilmu Tafsir banyak kita jumpai buku-buku yang membahas secara khusus dan mendetil tentang hal-hal yang manjadi penyebab turunnya ayat al-Qur'an, semisal Lubabun Nuqul-nya As-Suyuthi atau Asbabun Nuzul-nya Al-Wahidi. Sedangkan dalam hadis saya belum mengetahui adanya karya secara khusus tentang hal ini, hanya saja Imam Tajuddin As-Subki menyebutkan bahwa sebagian ulama Mutaakhirin telah menulis karya berkenaan dengan Asbabul Wurud ini[12].
Hanya saja dalam kajian Ushul Fiqh, permasalahan Asbabun Nuzul dan Asbabul Wurud mendapatkan analisa yang berbeda dari analisa seorang pakar Tafsir ataupun pakar Hadis. Karena memang tujuan dari ketiga ilmu ini berbeda antara satu dan lainnya. Pada kesempatan kali ini saya hanya akan mencukupkan pada satu kaidah yang sering dijadikan analisa Ushuli terhadap kedua masalah di atas adalah kaidah yang berbunyi:
هل العبرة بعموم اللفظ أم بخصوص السبب؟
manakah yang lebih diprioritas, apakah keumuman redaksi sebuah teks atau malah penyebab yang melatar belakangi munculnya sebuah teks?”.
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebagian pakar hanya menyebutkan bahwa pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama adalah lebih di prioritaskannya keumuman sebuah teks dari pada kekhususan sebab yang melatar belakangi teks itu muncul. Padahal mestinya harus lebih diperinci, karena memang tidak semuanya dapat dimasukkan dalam lingkaran pendapat mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas[13]. Agar tidak terjatuh dalam kesalahan yang sama dengan sebagian para pakar Ushul seperti yang telah saya sebutkan di atas, saya insya Allah akan lebih memperinci dan menjelaskan lebih detil lagi masalah tersebut sebagai berikut:
1.     kata 'Aam yang merupakan jawaban atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada orang yang berkata. Poin ini pun terbagi lagi menjadi dua bagian lagi. Pertama adalah kata 'Aam yang uk menjadi jawaban untuk sebuah pertanyaan, hanya saja kata tersebut tidak bisa difahami dengan benar jika tidak bersamaan dengan sesuatu yang menjadi penyebab munculnya kata tersebut, baik penyebab itu berupa pertanyaan. Maka hukum yang berkenaan dengan kata 'Aam pada poin pertama ini hanya terkhususkan pada sebab munculnya hukum tersebut. Jika penyebabnya khusus maka kata tersebut dikhususkan bagi sebab tersebut, bagitu juga sebaliknya jika penyebabnya umum, maka kata tersebut pun juga diumumkan sesuai dengan penyebabnya[14]. Kedua adalah kata 'Aam yang menjadi jawaban dari sebuah pertanyaan dan bisa difahami dengan benar maknanya walaupun tidak bersamaan dengan sesuatu yang menjadi penyebab munculnya kata 'Aam tersebut. Pada poin yang kedua ini yang menjadi pertimbangan utama adalah lafadz dari teks itu sendiri, bukan penyebabnya seperti pada poin pertama tadi. Jika redaksi teks tersebut menggunakan kata yang khusus, maka maknanya khusus juga. Akan tetapi jika lafadz dari teks itu umum, maka yang menjadi pertimbangan utama adalah keumuman dari kata tersebut. Disinilah kaidah: “Al-'Ibratu Bi 'Umumil Lafdzi La Bi Khushusis Sabab”, menemukan momentumnya, karena saat orang yang menjawab—dalam hal ini adalah baginda Nabi Muhammad sebagai penyampai syari'at dari Allah—memilih untuk menggunakan redaksi kata umum, sementara pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sesuatu yang lebih spesifik, maka bisa dipahami bahwa yang dikehendaki memang keumumannya, disamping para sahabat dan tabi'in setelahnya juga sepakat untuk menjadikan keumuman sebuah teks sebagai pertimbangan utama dan hal mereka jadikan pegangan, walaupun penyebab munculnya teks-teks tersebut khusus[15]. Untuk lebih memahami penjelasan di atas mari kita perhatikan beberapa contoh di bawah ini:
عن أبي سعيد الخدري أنه قيل لرسول الله: أنتوضأ من بئر بضاعة وهي بئر يطرح فيها الحيض و لحم الكلاب والنتن؟ فقال رسول الله :الماء طهور لا ينجسه شيء
Diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri bahwasanya ada yang bertanya kepada baginda Rasulullah: bolehkah kami berwudhu dari airnya sumur Budha'ah, sementara ia adalah sumur yang mana kain bekas pembersih haid, daging anjing dan segala benda yang menjijikkan serta berbau anyir banyak terbuang dan jatuh di dalamnya? Maka baginda Rasulullah menjawab: air adalah benda yang suci dan bisa mensucikan, tidak akan ada benda lain yang bisa menjadikannya najis”. (HR. Abu Dawud) [16].
Menurut satu pendapat ulama, bahwa yang dijadikan pertimbangan dari hadis di atas adalah keumuman dari jawaban baginda Nabi, yaitu kata “al-ma'” yang berarti air, walaupun pertanyaan yang diajukan kepada beliau adalah khusus yaitu tentang sumur Budha'ah, hal itu karena yang menjadi hujjah adalah ucapan baginda Nabi sendiri, bukan penyebab dari munculnya ucapan baginda Nabi tersebut[17]. Walaupun saya tidak menutup kemungkinan adanya ulama lain yang mengartikan jawaban baginda Nabi di atas sebagai jawaban yang khusus, dengan mempertimbangkan bahwa perangkat “al” pada kata “al-ma'” adalah perangkat yang menunjukkan realitas sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya ('ahdi khariji)[18].
2.     Kata 'Aam yang tidak merupakan jawaban sebuah pertanyaan, akan tetapi dia datang sebagai penjelasan dari sebuah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu selama tidak bersamaan dengan dalil lain yang menunjukkan adanya kekhususan pada hal yang tertentu tersebut. Untuk mempermudah dalam memahami poin yang kedua ini mari lihat contoh berikut ini:
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها
Allah memerintahkan agar kalian semua mengembalikan amanah kepada pemiliknya kembali”. (QS. An-Nisa': 58).
Ayat surat Al-Maidah di atas diturunkan saat Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib mengambil kuci Ka'bah dari Utsman bin Thalhah Al-Hajbi dari turunan Abdid Daar, juru kunci Ka'bah, secara paksa saat baginda Nabi Muhammad datang ke Makkah. Hal itu dilakukan oleh 'Ali karena memang Utsman tidak mau memberikan kunci tersebut dan berkata: “andaikan saya tahu bahwa dia (Muhammad) adalah utusan Allah, niscaya saya akan memberikan kuci ini kepadanya”. Lalu Sayyidina 'Ali terpaksa menarik tangan Utsman dan mengambil kuci Ka'bah darinya untuk kemudian membuka pintu Ka'bah, setelah pintu Ka'bah terbuka, baginda Nabi masuk lalu shalat 2 raka'at di dalam Ka'bah. Setalah selesai baginda Nabi keluar dan bertemu dengan paman beliau yang bernama 'Abbas bin Abdul Mutthalib yang memintanya agar memberikan hak pemegangan kuci Ka'bah kepadanya, sehingga dia bisa mengumpulkan 2 hal sekaligus yaitu juru pemberi minum bagi jama'ah haji dan juru kuci Ka'bah. Lalu Allah pun menurunkan ayat al-Maidah di atas yang memerintahkan agar memberikan amanah kepada pemiliknya—dan dalam konteks asbab nuzul ini adalah pengembalian kunci Ka'bah kepada Utsman—maka Rasulullah pun menyuruh Sayyidina 'Ali agar mengembalikan kunci kepada Utsman dan meminta maaf kepadanya. Sayyidina 'Ali pun melakukan apa yang diperintahkan oleh baginda Nabi, saat 'Ali mengembalikan kunci tersebut, Utsman berkata: “saya telah bersikap kasar dan menyakitkan, akan tetapi kemudian kau datang sikap yang penuh dengan keramahan”, maka 'Ali pun menjawab: “Allah telah menurunkan ayat al-Qur'an berkenaan dengan kasusmu ini”, lalu 'Ali pun membacakan ayat di atas kepada Utsman dan saat mendengar bacaan itu Utsman pun masuk Islam. Pada akhirnya kunci Ka'bah menjadi hak Utsman dan saat dia meninggal diberikan kepada saudaranya, Syaibah, yang kemudian menjadi anak turun Syaibah ini sampai hari kiamat[19].
Jika kita melihat penyebab turunnya ayat di atas, tentunya kewajiban mengembalikan amanah hanya untuk kasus Utsman saja. Akan tetapi karena redaksi ayat tersebut menggunakan kata yang umum, yaitu dhamir “kum” yang merupakan indikasi keumuman sebuah hukum dan disana tidak ada dalil lain yang mentakhshis keumuman ayat tersebut, maka yang menjadi pertimbangan utama dan yang di prioritaskan adalah keumuman sebuah teks, bukan kekhususan sebuah sebab[20].
b. Konteks Dan Keumuman Sebuah Teks.
Selain kaidah yang telah saya sebutkan di atas, masih ada kaidah-kaidah lain yang masuk dalam lingkaran pembahasan 'Aam dan Khas. Diantaranya adalah kaidah yang saya sebutkan berikut ini:
عموم الأشخاص يستلزم عموم الأحوال و الأزمنة و الأمكنة
 keumuman yang menjadi sifat pelaku dalam sebuah teks, mempunyai konsekuensi keumuman kondisi, waktu dan tempat dari peristiwa yang disebutkan dalam teks tersebut[21].
Kaidah ini muncul karena memang pelaku yang menjadi topik pembicaraan dalam sebuah teks tidak mungkin bisa lepas dari tiga hal tersebut, yakni kondisi, waktu dan tempat. Sebagai sebuah contoh adalah ayat:
اقتلوا المشركين
pada ayat ini, perintah untuk membunuh orang yang berpredikat Musyrik—sebagaimana disebutkan dalam ayat ini—tidaklah hanya dibatasi pada orang-orang musyrik yang hidup dan ada pada era baginda Nabi Muhammad saja, akan tetapi secara umum, baik yang hidup pada era Nabi, setelahnya atau di waktu apapun juga. Tanpa ada kekhususan waktu, tempat dan kondisi, kecuali yang memang di khususkan oleh dalil lainnya[22].
Adapun kaidah lain yang juga bisa di masukkan dalam kaidah 'Aam dan Khas ini adalah kaidah yang berbunyi:
ترك الاستفصال في وقائع الأحوال مع قيام الاحتمال ينزل منزلة العموم في المقال
 Tidak adanya perincian dari syari' dalam menjelaskan kejadian tertentu yang bersertaan dengan adanya berbagai macam kemungkinan adalah sama saja dengan makna umum yang ada dalam dalil Qauli[23].
Sebenarnya kaidah ini tidak bisa dimasukkan dalam kelomopok kaidah-kaidah yang masuk dalam bab 'Aam dan khas, karena memang berhubungan dengan dalil yang menjelaskan ucapan baginda Nabi dalam memberikan jawaban atas sebuah kejadian tertentu tanpa ada perincian sama sekali, sedangkan kondisinya menuntut untuk adanya sebuah perincian. Kita ambil satu contoh adalah hadis ucapan baginda Nabi kepada Ghilan bin Salamah Ats-Tsaqafi saat dia masuk Islam sementara dia sendiri sudah memiliki 10 istri. Lalu baginda Nabi berkata:
أمسك أربعا وفارق سائرهن
Ambil saja 4 orang untuk kau jadikan istri, sementara tinggalkan yang lainnya
Pada hadis di atas, baginda Nabi tidak menjelaskan dengan lebih terperinci lagi apakah yang 4 orang tadi adalah istri-istri yang telah dinikahi oleh Ghilan dengan bersamaan atau dinikahi dengan secara berurutan, bahkah beliau memberikan pilihan kepada Ghilan untuk mempertahankan 4 orang dari 10 istrinya. Tidak adanya perincian dari baginda Nabi ini menurut Imam As-Syafi'i menunjukkan bahwa memang ungkapan baginda Nabi tersebut menunjukkan hukum yang umum, karena tentunya akan sangat aneh jika sebagai pemegang otoritas tasyri' secara metafora, baginda Nabi tidak menjelaskan secara lebih terperinci, sementara kondisinya menuntut beliau untuk menjelaskan lebih terperinci lagi[24].


[1] Abdul Wahhab Khallaf (2006), Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Darul Kutub Ilmiah. Hal: 143.
[2] Kata ijmal sebenarnya juga mempunyai makna umum sebagaimana kata “'Aam”, hanya saja keumuman kata 'Aam lebih universal dan komprehensif, karena makna yang dicakup oleh kata ijmal hanya secara global saja, tidak satu persatu bagian dari makna tersebut dicakup dan dikenai hukum yang ditampilkan oleh kata tersebut, berbeda dengan kata 'Aam tadi. Lihat Taqiyyuddin As-Subki (2004), Al-Ibhaaj fi Syarh Minhaaj, Beirut: Darul Kutub Ilmiah. Vol: 2 Hal: 63.
[3] Abdul Wahhab Khallaf (2006), Op. Cit. Hal: 143.
[4] Ibid. Hal: 151.
[5] Ibid. Hal: 146.
[6] Ibid.
[7] Ibid. Hal: 103.
[8] As-Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki (1960), Faidhul Khabir Wa Khulashatut Taqrir 'Ala Nahjit Taisir, Surabaya: Al-Hidayah. Hal: 127-128.
[9] Sebenarnya dalam masalah ini terdapat banyak perbedaan pendapat antara pakar ushul fiqh sendiri, hanya saja disini saya menuturkan apa yang dikuatkan dan dianggap paling sah oleh Syaikh Zakariya Al-Anshari dalam bukunya Ghayatul Wushul. Lihat Zakariya Al-Anshari (tt), Ghayatul Wushul 'Ala Syarhi Lubbul Ushul, Surabaya: Al-Haramain. Hal: 76.

[10] al-Imam Abus Su'ud Muhammad bin Muhammad Al-Imadi (tt), Irsyadul Aqlis Salim ila Mazaayal Qur'anil Karim, Beirut: Ihya'ut Turast Al-Arabi. Vol: 2 Hal: 207-208.
[11] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurthubi (2006), Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, Beirut: Ar-Risalah. Vol: 3 Hal: 477.
[12] Taqiyyuddin As-Subki. Op. Cit. Vol: 2 Hal: 145.
[13] Ibid. Vol: 2 Hal: 141.
[14] Ibid.
[15] Dr. Samir bin Sami Al-Qadhi (2012), Nailus Suul fi Syarhi Luma'il Ushul, Beirut: Syarikah Darul Masyari'. Vol: 1 Hal: 351.
[16] Abi Muhammad Badruddin Mahmud bin Ahmad bin Musa Al-'Aini (1999), Syarhu Sunan Abi Dawud, Ar-Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd. Vol: 1 Hal: 197.
[17] Taqiyyuddin As-Subki. Op. Cit. Vol: 2 Hal: 141.
[18] Khalil Ahmad As-Saharanfuri (tt), Badzlul Majhud Fi Halli Abi Dawud, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah. Vol: 1 Hal: 173.

[19] Ahmad bin Muhammad As-Shawi Al-Maliki (2002), Hasyiyatus Shawi 'Ala Tafsiril Jalalain, Beirut: Darul Fikr. Vol:1 Hal: 298-299.
[20] Jalaluddin As-Suyuthi (1993), Tafsirul Jalalain, Damaskus: Darul Basyair. Vol: 1 Hal: 57.
[21] Zakariya Al-Anshari. Op. Cit. Hal: 70.
[22] Ibid.
[23] Ibid. Hal: 74.
[24]Ahmad bin Abdullathif Al-Khathib (2006), An-Nafahat 'Ala Syarhil Waraqat, Surabaya: Alharamain. Hal: 74.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger