Advertise 728x90

KEBANGKITAN HAQIQI (AN-NAHDHOH AL-HAQIQIYYAH) DAN KEBANGKITAN JAWA

Written By Unknown on Tuesday, March 19, 2019 | 7:27 AM

Oleh: Dhiya Muhammad

Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq Al-Husaini Az-Zabîdî. Atau lebih Masyhur di kenal dengan Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî. Beliau lahir di India, namun memiliki keluarga yang berasal dari Irak. Kemudian beliau tumbuh berkembang di Zabîd, Yaman. Sebagaimana adat kebiasaan para santri dan Ulama pada era dulu, Sayyid Murtadhâ melakukan perjalanan Ilmiah (Rihlah Ilmiah) menuju ke Hijaz (mencakup Makkah-Madinah), lalu Mukim di Mesir, mengajar di sana dan pada akhirya beliau wafat pula di Mesir pada Tahun 1205 H.
Sependek Informasi yang sering saya dengar dari guru kami, KH. Maemoen Zubair, di Mesir inilah pertama kali terjadi pertemuan orang Alim dengan orang Jawa. Dan yang dimaksud dengan orang Alim dalam penjelasan Mbah Moen--panggilan akrab KH. Maemoen Zubair--itu tidak ada lain adalah Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini. Sedang yang dimaksud dengan orang Jawa dalam kisah tersebut adalah Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo, Kakek dari Kiai Mahfudz Termas. Sebab Kiai Mahfudz itu adalah putra dari Kiai Abdullah yang merupakan putra dari Kiai Abdul Mannan ini.

Maulana Syaikh Ali Goma dalam buku beliau yang berjudul "Hikâyatu-l-Irhâb" (kisah-kisah Terorisme) menyebutkan bahwa Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî merupakan salah satu dari penggerak kebangkitan sejati Islam. Beliau berhasil membangkitkan Islam melalui ilmu yang memiliki akar dan pondasi yang sama dengan kebangkitan Islam pada era awal muncul. Menurut Syaikh Ali Goma, Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî melakukan pembaharuan dan pengembangan keilmuan dalam 3 aspek inti, yang dari 3 hal inilah kemudian kebangkitan ilmu secara Umum menjadi terkatrol pula.

Pertama; kebangkitan Bahasa Arab (Nahdhoh Lughah Arabiyyah). Hal itu beliau lakukan dengan cara beliau memberikan Syarah (penjelasan) terhadap sebuah kamus besar bahasa Arab karya Al-Fairuzabadi yang berjudul "Al-Qâmûs Al-Muhîth". Ulasan beliau itu diberi judul "Tâju-l-Arûs Fi Syarhi-l-Qâmûs". Kenapa harus ada kebangkitan Bahasa Arab? Sebab menurut pandangan beliau, baginda Rasulullah datang itu tidak hanya membawa Al-Qur'an dan Hadis saja, akan tetapi juga mengajarkan Manhaj (metode) memahami al-Qur'an, yang mana salah satunya adalah dengan memahami kaidah-kaidah Bahasa Arab secara benar. Tidak sedikit munculnya kelompok-kelompok Radikal itu adalah karena minimnya pemahaman mereka akan bahasa Arab ini. Sehingga mereka terjerembab dalam Faham yang radikal dan ekstrim.

Tidak hanya sampai di situ saja, dengan kemampuan bahasa Arab yang baik, seseorang akan bisa mengakses khazanah peninggalan Islam masa lalu yang begitu kaya. Sehingga dia bisa menjelajah kekayaan Islam yang melimpah itu, untuk kemudian ia bisa mengelaborasi, mengkeskplorasi dan mengkontekstualisasikannya pada era di mana dia hidup. Elaborasi maupun kontekstualisasi ini mustahil bisa dilakukan jikalau seseorang itu tak memahami bahasa Arab dengan benar.

Langkah yang dilakukan oleh Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini sebenarnya adalah kelanjutan dari pekerjaan peradaban (Masyru' Hadhâri) yang jauh hari sebelumnya telah dilakukan oleh Al-Imam Kholîl bin Ahmad Al-Farâhîdî penulis Kamus Al-'Ain yang merupakan guru besar dari Imam Sibawaih. Lalu setelahnya tentunya dilanjutkan oleh sang Murid hingga sampai pada al-Imam Abdul Qadir bin Umar al-Baghdadi (w:1093 h) yang menulis buku "Khazanatu-l-Adab wa Lubbu Lubâbi Lisâni-l-Arab" dan buku-buku bahasa Arab lainnya.

Kedua; kebangkitan Akhlak Karimah. Dalam rangka menjalankan kebangkitan akhlak ini, Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî menulis penjelas (Syarah) atas kitab Tashowuf Babon yang sangat Masyhur dilingkungan Ahlissunnah wal Jamaah. Beliau menulis Syarah kitab Ihyâ' Ulumiddîn karya al-Imam Abu Hamid al-Ghazali. Kitab yang bisa dipastikan sebagai rujukan utama dalam membangun karakteristik manusia dalam sudut pandang Islam. Syarah yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî itu diberi judul "Ithâf Sâdâh al-Muttaqîn Fi Syarhi Ihyâ Ulumiddîn". Dan sependek yang saya tahu, kitab Ithâf ini merupakan satu-satunya Syarah atas masterpiec karya Imam Ghazali tersebut. Entah kalau ternyata ada Kitab penjelas lainnya yang belum saya ketahui.

Dari sini sebenarnya nampak sekali, bahwa langkah Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini pun tak jauh beda dari langkah Al-Ghazali yang kemudian dari tangan beliau, lahirlah pemimpin Islam seperti halnya Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Saya mempunyai dugaan bahwa kebangkitan ilmu keislaman di Jawa ini sedikit banyak karena pengaruh pola kebangkitan Islam ala Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini. Yakni melalui murid beliau yang bernama Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo tadi.

Hanya saja yang menarik adalah perbedaan Madzhab antara kedua guru-murid ini tidak mencegah mereka berdua untuk menjalin hubungan guru-murid. Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî notabenenya adalah seorang bermadzhab Hanafi, sebagaimana umumnya penduduk India. Sedangkan Kiai Abdul Mannan ini nampaknya bermadzhab Syafi'i sebagaimana umumnya penduduk Nusantara. Tapi secara jujur, saya belum menemukan data secara pasti berkenaan dengan madzhab Fiqh yang dianut oleh Kiai Abdul Mannan ini. Hanya saja dari melihat sang cucu, Kiai Mahfudz, saya mengambil kesimpulan bahwa Madzhab sang kakek adalah Syafi'i.

Memang madzhab Fiqh Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî ini menurut saya merupakan salah satu hal yang menarik untuk di kaji. Bagaimana tidak? Sebagaimana telah saya sebutkan di atas, bahwa Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî itu pun tumbuh berkembang di daerah Zabid, Yaman. Sedang Yaman sendiri notabanenya pun adalah pusat dari madzhab Syafi'i, namun kenapa beliau malah menjadi seorang Hanafi? Unik bukan? Ke-Hanafiyah-an beliau tidaklah hanya sebagai pengikut saja, bahkan beliau menampilkan diri sebagai Ulama Hanafi. Hal itu dibuktikan dengan beliau menulis kitab "'Uqûdu-l-Jawâhir al-Munîfah Fi Adillati Madzhabi-l-Imam Abi Hanifah". Keren bukan?

Ketiga; kebangkitan ilmu verifikasi data (Tautsiqu-l-Khobar). Dikisahkan bahwa Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî sangat perhatian sekali dengan Shahih Al-Bukhari. Bahkan nampaknya beliau Hafal Shahih Al-Bukhari ini. Al-Jabarti--salah satu santri Az-Zabidi--mengisahkan:

وصار يملي على الجماعة بعد قراءة شيء من الصحيح حديثا من المسلسلات أو فضائل الأعمال ويسرد رجال سنده ورواته من حفظه ويتبعه بأبيات من الشعر

"Sayyid Muhammad Murtadhâ Az-Zabîdî meng-imla' satu Hadis dari Hadis-Hadis Musalsal atau Hadis tentang Keutamaan amal kepada sekelompok santri setelah membaca Shahih Bukhari, lalu beliau mendatangkan Sanad dan para perowinya dari Hafalan beliau. Kemudian di ikuti dengan menyebutkan beberapa bait Syair"

Dan bahkan beliau pun juga membuka kajian kitab Syamâil Muhammadiyah pada waktu yang tidak umum. Sehingga hal itu menarik simpati banyak orang Mesir dan akhirnya banyak berbondong-bondong mereka mendatangi majlis beliau untuk mengaji. Mereka lebih tercengang lagi saat melihat sosok beliau dengan pakaian yang tidak umum dipakai oleh Ulama Mesir.

Akan tetapi nampaknya bagian ketiga ini kurang mendapatkan perhatian dari santri-santri Jawa. Hal itu terbukti dengan minimnya santri Jawa yang ahli dan pakar dalam bidang Hadis Nabawi. Padahal Ilmu Hadis ini merupakan satu keilmuan yang bisa menjadi benteng bagi kita agar terhindar dari serbuan Hoax dan Framing negatif seperti halnya terjadi sekarang ini. Saya belum pernah dengar ada dari kalangan Ulama Jawa atau Ulama Nusantara yang mencapai martabat "Al-Muhaddits" atau bahkan mencapai gelar "Al-Hafidz" dalam bidang Ilmu Hadits. Tentunya gelar-gelar akademik tersebut sesuai dengan ukuran ilmu hadis. Bukan hanya gelar akademik dalam dunia kampus sekarang, semisal seorang doktor dalam ilmu Hadis. Belum tentu lantas kita sebut sebagai "Al-Muhaddits". Saya menemukan definisi dan perbedaan dari masing-masing gelar akademik ilmiah tersebut secara mudah dan menarik diulas oleh Syaikh Mahmud Said Mamduh dalam buku "Al-Ittijâhât al-Hadîtsiyyah". Silahkan bisa dirujuk ke sana biar lebih jelas dan detil.

Ada sebagian yang mencapai tingkatan "Al-Musnid" seperti halnya Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, Syaikh Mahfudz Termas, Al-Habib Jindan bin Jindan, kakek dari Habib Jindan dan Habib Ahmad bin Jindan, Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid dan beberapa yang lain. Dan di era modern ini kita mengenal sosok alm. Kiai Ali Mustofa Ya'qub sebagai pakar Hadits Indonesia. Namun apakah beliau sudah mencapai tingkatan tersebut? Nampaknya memang tidak mudah menaiki tangga ilmiah yang super berat ini. Sehingga dengan 3 hal di atas, agama benar-benar bisa terjaga dan kebangkitan yang sejati bisa terealisasi.

Wallahu A'lam.




Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger