Advertise 728x90

Kasih Sayang Guruku, Abah Ubab (KH. Ubab Maimoen Zubair)

Written By Unknown on Tuesday, November 11, 2014 | 6:11 PM



          Biasanya seorang santri dikenal Kiainya karena kepandaian atau karena kenakalannya. Seorang santri yang pandai memang dikenal Kiainya karena kemampuan dan prestasi ilmiahnya, sedang santri yang nakal dikenal oleh gurunya agar selalu bisa di doakan untuk berubah menjadi orang yang baik kelak. Begitulah kira-kira ungkapan yang dulu sering saya dengar di pesantren.
          
Entah dari mana asal muasal ungkapan di atas, tapi yang jelas saya pernah merasakan langsung kebenarannya, bukan karena saya termasuk santri yang pandai, tapi karena saya dan teman-teman adalah santri-santri yang nakal. Peristiwanya adalah saat kami baru saja menyelesaikan ujian ke-1 Madrasah yang dislenggarakan pada bulan Muharrom—biasanya ujian di adakan sebanyak 3 kali. Memang biasanya, pada bulan Muharrom itulah madrasah kami—Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah atau biasa disingkat dengan MGS—menylenggarakan ujian umum pertama untuk santrinya. Sehingga bisa dipastikan bahwa dalam bulan ini, semua santri MGS sibuk dengan Muhafadzohm, Muroja’ah dan kitab-kitab masing-masing, tak terkecuali pula saya.

Setelah kurang lebih 10 hari lamanya ujian berlangsung, Kami merasa bahagia karena akhirnya beban berat itu bisa terlewati tanpa ada kendala yang berarti. Namun pada saat pelajaran Abah Ubab (panggilan akrab KH. Abdullah Ubab Maemun), kebahagiaan kami seketika sirna oleh dawuh beliau:

"jal ngomongo cah...kok nilaine gak iso do apik piye?"
(coba bicaralah nak…kok bisa nilai kalian tidak ada yang baik itu bagaimana?)
Mendengar dawuh itu, kami hanya bisa diam dan menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Dengan raut wajah kecewa dan sedih Abah Ubab dawuhan lagi:
"opo aku seng salah ngajar...aku gak pecus mulang pean ta piye?"
(apa saya yang tidak bisa mengajar kalian…saya tidak mampu mengajar anda atau bagaimana?)

Mendengar dawuhan beliau itu, tak terasa butiran air mata sudah meleleh dipipiku, mataku sembab oleh genangan air mata yang tak kunjung mau berhenti. Cepat-cepat air mata aku seka dengan dengan ujung baju, malu kalau terlihat teman-teman. Saat aku menengok ke arah depan, sosok Abah Ubab sudah tidak ada lagi di tempat duduk guru, nampaknya setelah dawuhan tadi, beliau langsung keluar ruangan.

Semenjak kejadian itu, saya melihat teman-teman semakin rajin belajar dan mengikuti semua pelajaran. Dan semenjak kejadian itu pula, saya tidak pernah mendengar lagi Abah Ubab dawuhan sesuatu berkenaan dengan kami. Hingga akhirnya, tibalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh semua santri kelas 3 aliyah MGS, yaitu waktunya pembacaan sanad di kediaman Abah. Saya masih ingat betul, pagi itu, semua santri sudah berkumpul di ndalem wartel—disebut ndalem wartel karena memang dulu disitu ada wartel yang ramai dikunjungi santri dan sekarang menjadi ndalemnya Gus Rosyid Ubab—depan masjid Jin. Pembacaan sanad oleh Abah Ubab dimulai sekitar pukul 09.00 pagi, dimulai dengan sanad kitab hadis Shohih Muslim, lalu kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sanad kitab Tafsir Munir. Setelah selesai pembacaan sanad Tafsir Munir karya Mbah Nawawi Banten, Abah Ubab dawuhan lagi:

"konco-konco kabeh...Ubab njaluk di ngapuro yo nek tau ngomong ora penak karo sampean-sampean kabeh. Ubab njaluk, nek pean ndonga'ake wong-wong seng sholih, ojo lali, Ubab slempit-slempitke neng dongamu mau. Nek sampean-sampean donga'ake Mbah Mun, yo ojo lali, Ubab slempit-slempitke neng dongamu mau. Aku mung iso ndongakke ilmumu manfaat kabeh ndunyo akherat"

(teman-teman semua…Ubab minta maaf ya kalau ada kata-kata yang tidak enak dengan anda semua. Ubab minta kalau anda semua mendoakan orang-orang sholih, maka jangan lupa, berilah ruang walaupun sedikit saja di doamu untuk Ubab. Kalau anda-anda mendoakan Mbah Mun, ya jangan lupa, berilah ruang sedikit saja untu Ubab di doamu. Saya hanya bisa mendoakan agar ilmumu bermanfaat semua di dunia maupun akherat).

Seketika, air mata kami kembali meleleh mendengarkan dawuhan beliau. Dan tanpa di komando, kami semua serentak berdiri hendak berjabat tangan dengan beliau, hendak mengecup tangan beliau yang mulia itu. Namun lagi-lagi beliau menampakkan kasih sayangnya pada kami, beliau tidak hanya berjabat tangan dengan kami, bahkan beliau memeluk kami satu persatu dengan pelukan hangat. Sampai sekarang, rasa-rasanya masih ingin diri ini merasakan hangatnya pelukan itu. Pelukan seorang guru terhadap muridnya, pelukan seorang ayah terhadap anak-anak didiknya yang pernah mengecewakan beliau. Pelukan yang semoga bisa membawa pemeluknya bersama sampai di surga nanti. Semoga.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger