Advertise 728x90

Sullamut Taufiq, Buku Peradaban Dan Kemanusiaan

Written By Unknown on Monday, December 9, 2013 | 8:58 AM


Judul buku      : Sullam Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq (Tangga pertolongan untuk menggapai cinta Allah sebenar-benarnya).
Penulis             : Al-Allamah Syaikh Abdullah Bin Al-Husain Bin Thahir Ba Alawi, Hadramaut.
Cetakan           : Karya Thoha Putra Semarang.
Peresensi         : Dhiyaul Haq (santri di Ma’had Syaikh Maemon).





A.  Pendahuluan.
Islam sebagai sebuah agama, telah ikut serta membangun peradaban yang tinggi di tengah-tengah kehidupan manusia di muka bumi. Dalam lanskap sejarah yang telah di catat dengan rapi dan indah oleh sentuhan-sentuhan halus jari jemari para sejarawan kita, banyak kita temukan beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu fakta yang menjadi artefak dan saksi bisu akan keberhasilan Islam dengan umatnya dalam ikut serta mewarnai kehidupan di alam semesta ini.
Coba saja kita perhatikan, bagaimana masyarakat Arab—yang dahulu terkenal dengan kejahiliahannya—bisa menjadi umat yang berperadaban tinggi dan bahkan bisa memimpin serta menuntun umat-umat lainnya untuk menuju ke arah gerbang kemajuan dalam kehidupan. Umat-umat lain menggelar permadani merah di hampir seluruh pelosok dunia, untuk menyambut kedatangan sang umat pembaharu ini. Mercusuar-mercusuar keimanan menjulang dengan tingginya di mana-mana. Institut-institut keilmuan pun banyak kita temukan di setiap jengkal tanah di atas muka bumi ini, bak jamur yang muncul bertebaran saat-saat musim hujan. Perpustakaan-perpustakaan serta pusat kajian keislaman atau Ma’ahid Islamiyah pun tak kalah banyak, hingga dengan mudah orang dapat mengakses pendidikan, disamping ada rasa bangga bagi seseorang yang belajar atau ngangsu kaweruh di dalamnya. Ya dengan senyum mengembang, semua seakan-akan berkata kepada dunia: “Lihatlah Islam yang menjadikan hidup manusia lebih hidup dan bergairah”.
Sayangnya, ratusan atau bahkan ribuan fakta sejarah itu hanya menjadi kisah masa lalu yang terasa manis jika dibaca ulang, akan tetapi akan menimbulkan kegetiran serta rasa pahit jika kemudian kita melihat realitas kehidupan umat Islam sekarang. Fakta-fakta sejarah itu hanya memunculkan ‘romantisme klasik’ saja dalam jiwa umat Islam. Bagaimana tidak? Coba kita lihat dan perhatikan bagaimana fakta-fakta sejarah itu diajarkan dalam institusi-institusi pendidikan yang notabenenya Islam sekarang ini! Hanya diulang-ulang dengan rasa bangga yang kecut. Anak-anak didik merasa senang dan bangga akan kisah itu, tapi mereka tidak mampu untuk berbuat apa-apa dan bahkan tidak tahu harus memulai dari mana. Maka jangan heran jika kita temukan banyak siswa yang mudah terlena akan propaganda-propaganda kebangkitan Islam, kembali pada Kitab dan Sunnah serta masih banyak propaganda-propaganda lainnya dengan cara-cara yang sampai sekarang saya sendiri tidak tahu menahu apakah Islam membenarkannya atau tidak.
Seperti inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam, yaitu umat Islam hanya bisa berangan-angan, umat Islam hanya bisa bernostalgia...dst hingga akhirnya banyak dari kalangan umat Islam yang menggunakan jalan pintas untuk mengembalikan kejayaan itu. Romantisme klasik dalam satu kondisi tertentu juga memunculkan sikap yang terkesan eksklusif dan tertutup dalam diri umat Islam. Dan bahkan dalam kondisi tertentu juga menimbulkan sikap arogan serta radikal. Ya,  umat Islam tidak lagi tahu atau memang tidak mau tahu Apakah Ruh dan rahasia di balik keberhasilan bangsa Arab dahulu, sehingga mereka menjadi pemimpin di dunia ini. Bahkan banyak dari umat Islam sendiri yang tidak tahu atau tidak kenal akan ajaran Islam sendiri, lalu bagaimana mau bangkit? Dalam kondisi umat yang seperti inilah, buku kecil seperti Sullam Taufiq menemukan momentumnya. Bagaimanakah dan kenapa? Pertanyaan singkat inilah yang ingin sedikit saya jawab dan ungkap dalam makalah atau resensi singkat ini.
B.  Biografi penulis Sullam Taufiq.
Penulis buku kecil ini adalah Al-Imam Al-Allamah Syaikh Abdullah Bin Al-Husain Bin Thahir Bin Muhammad Bin Hasyim Ba Alawi Al-Hadhrami. Beliau hidup diantara tahun 1191-1272 H atau bertepatan dengan tahun 1778-1855 M. Lahir di kota Hadhramaut, Tarim, Yaman. Akan tetapi pernah bertahun-tahun tinggal di Makkah dan Madinah serta belajar kepada ulama-ulama yang bermukim di kedua daerah Islam tersebut. Beliau adalah seorang pakar ilmu Fiqh sekaligus pakar grammer Arab (Nahwu Shorof), hal ini bisa dibutikan dengan banyaknya karya-karya ilmiah yang telah beliau hasilkan. Hanya saja karya-karya beliau yang sampai kepada kita tidaklah banyak, Az-Zirikli dalam bukunya Al-A’lam hanya mencatat sekitar 3 buah nama buku saja yang menjadi karya Syaikh Abdullah ini, yaitu Sullamut Taufiq yang sedang kita bicarakan ini, Miftahul I’rab (kunci I’rab) dan Majmu’tur Rasail[1](kumpulan surat).
Di samping sebagai seorang intelektual yang pakar dan pandai dalam bidang keilmuan, ternyata beliau juga seorang organisatoris yang mampu menggerakkan masa. Hal itu bisa di lihat saat beliau mampu menjadi salah satu pemimpin dari Tsaurah atau pemberontakan di Yaman dalam rangka melawan kekuasaan Yafi’iyyin pada tahun: 1265 H. Sehingga beliau dan beberapa pemimpin pemberontakan itu diasingkan dari Tarim, Sewun dan Taris. Beliau juga ikut andil dalam upaya mendirikan kekuasaan Al-Katsiri yang di pimpin oleh sultan Ghalib bin Muhsin di Tarim[2].
Karya Syaikh Abdullah nampaknya menjadi salah satu buku yang best seller pada masanya dan mungkin juga pada masa sekarang, terlebih adalah buku Sullam Taufiq. Hal itu bisa di buktikan dengan adanya beberapa buku lain yang memberi komentar, menadzamkan dan meringkas sekaligus mengkritisi. Sullam Taufiq sendiri kemudian di beri komentar oleh Syaikh KH. Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani Al-Jawi dengan nama Mirqatu Shu’udit Tashdiq (tangga untuk naik menggapai pembenaran). Ada juga komentar dari Syaikh Muhammad Bin Salim Bin Sa’id Ba Bashil Asy-Syafi’i yang tak lain adalah seorang mufti madzhab Syafi’i di makkah pada masanya. Beliau memberi komentar atas Sullam Taufiq dalam bukunya yang berjudul Is’adur  Rafiiq Wa Bughyatus Shiddiq (membantu teman dan bekal bagi orang yang jujur) yang terdiri dari 2 juz dalam 1 jilid.
Di samping komentar akan kitab Sullam Taufiq ini, saya juga menemukan adanya upaya merubah susunannya, yang asalnya dari karya yang bersifat prosa ke dalam karya puisi atau nadzaman. Karya berupa puisi itu di tulis oleh KH. Abdul Hamid Pasuruan yang sampai sekarang sudah di cetak oleh badan percetakan pondok pesantren Salafiyah, Pasuruan dengan judul Mandzumah Sullamut Taufiq. Nadzaman itu terdiri dari 500 bait puisi atau bahkan lebih. Ada juga karya yang merupakan ringkasan dari Sullam Taufiq, yaitu buku Mukhtashar Abdullah Al-Harori Fi Ilmid Diin Adh-Dharuri yang tak lain adalah karya yang meringkas Sullam Taufiq dan di tulis oleh Syaikh Abdullah Al-Harori Al-Abdari dari Lebanon.
Karya beliau lainnya yang mendapatkan perhatian adalah buku Miftahul I’rab yang kemudian diberi komentar atau Syarh oleh Asy-Syaikh As-Sayyid Muhammad Bin Husain Al-Habsyi wafat tahun: 1316 H yang tak lain adalah murid dari penulis sendiri yang menjadi mufti di Makkah, komentar itu dengan judul As-Salisul Khithab Fi Syarhi Miftahil I’rab. Demikian sedikit uraian berkenaan dengan biografi penulis buku Sullam Taufiq ini dan saya kira sudah cukup jelas serta bisa memberikan sedikit gambaran tentang beliau.
C.  Selayang Pandang Isi Sullam Taufiq.
Secara umum, buku Sullam Taufiq ini membahas tentang trilogi keilmuan pokok Islam yang selama ini banyak mendapat kajian, pembahasan dan pembacaan oleh hampir seluruh pesantren Tradisional yang ada di negeri ini. Trilogi keilmuan itu adalah Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawwuf. Lebih-lebih buku yang kita bicarakan pada kesempatan kali ini hanya mencakup ilmu-ilmu pokok yang mau tidak mau setiap muslim harus mengetahui dan mempelajarinya. Jadi tidak heran jika telah saya sebutkan di atas bahwa buku ini adalah buku yang best seller pada masanya.
Dalam pendahuluan buku ini, Syaikh Abdullah Al-Hadhrami menyebutkan bahwa karyanya  ini merupakan buku yang mengetangahkan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari, diajarkan dan diamalkan, baik oleh orang alim maupun orang awam[3]. Baru setelah mereka mampu untuk memahami dan melakukan hal-hal yang wajib, mereka akan dengan senang hati melakukan hal-hal yang bersifat sunnah, sehingga akhirnya mereka mampu benar-benar menggapai cinta Allah dan mendapatkan pertolongan-Nya[4].
1.    Tauhid Sullam Taufiq.
Tauhid adalah satu cabang keilmuan dalam dunia keilmuan Islam yang mempunyai peran penting dalam membangun peradaban, bahkan bisa saya katakan sebagai ilmu yang paling penting,  karena dengan ilmu inilah salah satu pilar peradaban yang paling pokok akan dibangun dengan baik dan kokoh, yaitu manusia. Tauhid yang dibawa oleh penulis buku ini adalah Tauhid ala Sunni umumnya, hanya saja buku ini memiliki beberapa keunikan dan keistimewaan yang membedakannya dengan yang lain. Diantara keunikan dan keistimewaan itu adalah kaidah-kaidah Tauhid yang disajikan dengan mudah, padat dan bisa langsung dijadikan pedoman. Untuk lebih memperjelas hal itu akan saya ambilkan beberapa contoh seperti di bawah ini:
ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن
Apa yang dikehendaki oleh allah pasti akan terjadi, sedang apa yang tidak maka tidak akan terjadi
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Tidak ada sesuatu apapun dari makhluknya yang menyerupai Allah. Dialah dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat
وهو القديم وما سواه حادث وهو الخالق وما سواه مخلوق
Hanya Dia (Allah) yang Qadim, sedang selain-Nya adalah baru. Hanya Dialah sang Pencipta, sedang yang lain adalah makhluk [5]
Dengan kaidah yang pertama di atas, sang penulis ingin menjelaskan sikap kaum Sunni dalam problematika takdir Allah, yang memang masalah satu ini telah memunculkan perbedaan pendapat diantara mereka dan kelompok Qadariyah. Secara simpelnya, beliau ingin menyatakan bahwa apa pun yang terjadi di alam raya ini, baik itu kejelekan ataupun kebaikan, baik itu keindahan maupun kerusakan, semuanya adalah atas kehendak dan takdir Allah, bukan yang lain. Berbeda dengan kelompok Qadariyah yang menyatakan bahwa Allah hanyalah menciptakan hal-hal yang baik dan indah, adapaun kejelekan dan kerusakan adalah murni kreasi dan ciptaan manusia atau jin itu sendiri.
Adapun kaidah yang kedua adalah bantahan terhadap kaum Musyabbihah dan Mujassimah atau kelompok asimilasi yang menghayalkan dan membayangkan Allah sehingga mereka akhirnya mengqiyaskan Allah dengan selain-Nya. Kaidah yang merupakan ayat suci al-Qur’an ini adalah bantahan yang mematikan bagi mereka, karena memang secara eksplisit menyatakan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluknya dari semua sisi. Adapun kaidah yang terakhir adalah bantahan bagi kelompok filsafat yang menyatakan bahwa alam adalah Qadim, yang secara otomatis memberikan pemahaman bahwa dia tidak diciptakan oleh Allah. Jadi ada pencipta selain Allah yang pada dasarnya juga menyatakan ada tuhan selain Allah. Nah, pemahaman seperti inilah yang kemudian ingin dijawab oleh penulis buku ini, ya tentunya dengan kecenderungan beliau sebagai seorang tokoh Sunni dengan berbagai pemahamannya.
Jadi, tauhid yang diketengahkan oleh penulis Sullam Taufiq adalah tauhid yang mudah, padat dan jelas, yang memang sesuai dengan tujuan disusunnya buku ini, yakni bisa menjadi pedoman secara umum, baik bagi orang alim maupun orang awam. Semua kajian tauhid yang beliau sajikan merupakan pemaknaan dan pengertian dari dua kalimat syahadat yang menjadi pondasi Islam paling pokok. Adapun kecenderungan beliau dengan model Tauhid Sunni adalah hal yang sangat wajar, karena memang beliau adalah salah satu intelektual dari kalangan Sunni dan pemimpinnya.
2.    Fiqh Sullam Taufiq.
Fiqh adalah salah satu cabang keilmuan dalam Islam yang secara spesifik membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan secara langsung dengan tingkah laku manusia. Ranah garapan ilmu fiqh lebih kepada Amaliah, bukan pada ranah keyakinan, sebagaimana Tauhid. Pengertian seperti ini bisa kita temukan dengan mudah dalam buku-buku yang ditulis oleh para Juridis Islam berkenaan dengan ilmu ini. Semisal dalam buku fiqh Fathul Mu’in yang sangat masyhur di dunia pendidikan Islam, disana beliau menjelaskan bahwa fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum yang berhubungan secara langsung dengan kreativitas (Amaliah) manusia yang digali dari dalil-dalil yang bersifat terperinci[6].
Penulis buku ini, sebagaimana telah saya sebutkan di atas, telah memberikan gambaran dengan jelas kemana arah tujuan penulisan, pembelajaran dan pengajaran buku ini. Yaitu untuk mempelajari, mengajari dan mengamalkan hal-hal yang bersifat wajib bagi setiap orang Islam. Karena alasan itulah, penulis akhirnya tidak perlu bersusah payah dan ngoyo woro untuk menjelaskan cabang-cabang masalah Fiqh yang banyak, panjang serta njelimet itu. Dengan santainya beliau hanya menjelaskan hal-hal yang pokok-pokok saja, baik dalam masalah Ubudiyah maupun Mu’amalah. Jadi fiqh yang ditampilkan pun adalah fiqh singkat dan ringkas.
Cakupan buku ini akan masalah-masalah yang pokok saja bisa kita lihat dengan jelas dalam beberapa tema yang Mushonnif ketengahkan. Coba saja kita perhatikan kajian beliau dalam masalah shalat yang hanya mencukupkan pada masalah Syarat, Rukun serta hal-hal yang membatalkan shalat saja. Beliau sama sekali tidak menyinggung masalah kesunnahan shalat, karena memang hal itu keluar dari tema pokok pembahasan buku kecil ini. Hal yang semisalnya juga akan kita temukan dalam bab-bab lain dalam buku ini, misal dalam bab Zakat yang secara jelas beliau menyebutkan:
ثم إن زادت ماشيته على ذلك ففي ذلك الزائد ويجب عليه أن يتعلم ما أوجبه الله تعالى عليه فيها
Kemudian, jika hewan piaraannya melebihi batas Nishab yang telah disebutkan di muka, maka kelebihan itu pun juga wajib dizakati. Dia pun juga wajib mempelajari segala sesuatu yang di wajibkan oleh Allah dalam masalah hewan piaraan tambahan itu
Dari penjelasan di atas, penulis buku ini hanya menjelaskan hal pertama yang paling diwajibkan bagi seorang muslim saat awal-awal memiliki hewan piaraan, baik berupa Onta, Sapi maupun Kambing. Berbeda dengan misalnya kitab Taqrib—yang walaupun sama-sama Matan—akan tetapi si Mushannif-nya memang bertujuan untuk menjelaskan masing-masing bab Fiqh secara ringkas akan tetapi terperinci, sehingga dengan mudahnya kita temukan macam-macam bab fiqh di dalamnya dengan penjelasan yang singkat, padat, tapi lengkap.
Kesederhanaan inilah yang mungkin juga menjadikan buku Sullam Taufiq ini lebih digemari oleh masyarakat pedesaan pada umumnya, sehingga banyak kita temukan para kiai-kiai desa yang  mengajarkan buku ini terlebih dahulu kepada anak didik mereka yang kebanyakan adalah pemula atau orang awam. Melalui Sullam Taufiq ini pulalah mereka membumikan ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin dalam kehidupan masyarakat akar rumput, yang mana hal ini tidak bisa atau mungkin sulit dilakukan oleh kaum intelektual Islam perkotaan dengan masyarakat mereka yang cenderung lebih komplek dan plural.
3.    Tasawwuf Sullam Taufiq.
Setelah seseorang mempunyai keyakinan yang benar, kuat dan kokoh. Maka dengan sendirinya dia akan menindaklanjuti keyakinan itu dengan selalu berusaha melakukan berbagai macam perintah sang Pencipta—baik perintah yang bersinggungan dengan hal-hal lahiriah dan kesemuanya telah dijelaskan secara terperinci dan gamblang dalam fiqh sebagai pengemban amanat ini—maupun hal-hal yang bersifat batiniyah dan menjadi tugas bagi tasawwuf untuk melaksanakan amanat ini. Ya, tasawwuf adalah pelengkap dari trilogi keilmuan Islam yang dalam bahasa hadis Jibril disebut dengan Ihsan. Memang hadis Jibril tidak menjelaskan secara ekplisit dengan nama atau istilah yang gamblang tentang tasawwuf itu sendiri, akan tetapi hanya memberi isyarat saja. Karena memang pada dasarnya tasawwuf adalah satu cabang ilmu keislaman yang membahas tentang bagaimana mensucikan jiwa agar dapat selalu mendekat dan ingat kepada Allah, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Al-Muhaddits Abdullah Bin Shiddiq Al-Ghummari[7].
Telah saya paparkan di atas, bahwa penulis Sullam Taufiq memang telah menetapkan kalau bukunya ini adalah spesialis membahas tentang ilmu-ilmu yang pokok. Begitu juga dalam kajian tasawwuf, sangat nampak sekali bahwa hal yang diketengahkan adalah yang pokok-pokok saja. Pokok tasawwuf yang saya maksud di sini adalah penjelasan tentang sifat-sifat terpuji, sifat-sifat tercela, penyakit-penyakit hati serta bagaimana kita harus mengobatinya. Ilmu yang membahas hal ini—menurut Al-Ghazali—adalah ilmu yang juga harus diketahui dan dipelajari oleh setiap muslim. Karena mempunyai hubungan yang erat dengan olah hati yang merupakan bagian tubuh manusia paling pokok, bahkan bisa saya katakan bahwa central dari seluruh tubuh manusia adalah hati itu sendiri[8].
Tasawwuf yang demikian itu bisa kita temukan dengan mudah pada pembahasan yang tertulis dengan rapi pada sepertiga akhir buku Sullam Taufiq ini sendiri. Pada bagian akhir dari buku tersebut, banyak diuraikan dengan singkat, padat dan jelas berkenaan dengan beberapa maksiat, baik maksiat yang berhubungan denan hati ataupun anggota tubuh yang lainnya. Di sana banyak kita temukan kata-kata: “Wamin Ma’ashil Qalbi, Wamin Ma’ashil Yad, Wamin Ma’ashir Rijli...” dan lain sebagainya, yang kesemuanya menjelaskan kepada pembaca secara ringkas tentang hal-hal yang harus dihindari oleh anggota tubuh tersebut serta bagaimana definisinya.
Hanya saja, hal yang paling nampak adalah kesan tasawwuf Ala Thoriqah Alawiyah yang disajikan penulis. Hal itu saya simpulkan dengan sederhana saja, saat penulis buku ini mengutip ungkapan Al-Imam Abdullah Bin Alawi Al-Haddad dalam bukunya yang berjudul An-Nashaih Ad-Diniyyah tentang penjelasan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap mukmin[9]. Memang kita tidak bisa memfonis dan memastikan secara langsung bahwa orang yang mengutip ungkapan-ungkapan Al-Haddad sebagai pengikut Thariqah Alawiyah, walaupun memang kebanyakan para Dzurriyaah baginda Rasul yang hidup di Tarim, Hadhramaut, Yaman kebanyakan adalah pengikut Thariqah tersebut.
D.  Sullam Taufiq Dan Peradaban.
Mungkin saat membaca judul resensi yang saya tulis di atas, terbersit dalam angan-angan pembaca sebuah pertanyaan: “Apa hubungan Sullam Taufiq, kemanusiaan dan peradaban?”. Yah, memang secara lahir seakan-akan tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya, akan tetapi jika kita renungi dan kaji lebih dalam lagi tentang apa itu peradaban sendiri, lalu bagaimana sebuah peradaban bisa terbentuk? Lalu kita juga merenungi tentang bagaimanakah Islam dan kaum muslimin dulu membangun peradabannya? Hingga akhirnya menjadi kebanggaan bagi umat manusia dihampir seluruh dunia. Maka akan kita temukan bahwa Sullam Taufiq mengandung salah satu hal yang menjadi Ruh dan motor dari peradaban Islam yang tinggi (Al-Hadharah Al-Islamiyah Al-Mutsla) itu sendiri. Bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Uraian singkat di bawah ini semoga menjelaskan apa yang saya maksud di atas.

E.   Peradaban Dan Unsur-Unsur Yang Membangunnya.
Sudah banyak buku-buku, tulisan-tulisan dan berbagai macam diskusi yang ditulis dan diselenggarakan guna membahas tentang peradaban. Tapi pada intinya, peradaban adalah pembicaraan tentang tiga hal pokok, yaitu manusia, kehidupan dan alam semesta serta bagaimana bisa mensinergikan ketiga hal tersebut dalam rangka membangun masyarakat Madani yang maju dan berkembang. Penjelasan seperti di atas sebagaimana disampaikan oleh DR. Said Ramadhan Al-Buthi dalam buku beliau yang berjudul “Manhajul Hadharah Al-Insaniyyah Fil Qur’an[10]. Dari ketiga hal pokok yang telah saya sebutkan di atas, manusia adalah unsur peradaban yang paling pokok, karena dialah unsur peradaban yang aktif, sementara dua lainnya adalah hal yang pasif. Jika manusianya aktif, maka kehidupan dan alam semesta disekitarnya pun akan ikut pro aktif juga. Manusia adalah sepertiga dari unsur peradaban, sedang dua pertiganya lagi adalah kehidupan/umur dan alam semesta.
Posisi manusia sebagai komponen dari peradaban yang aktif inilah—selama pemahaman saya—yang menjadi perhatian utama dari Al-Qur’an, sehingga tidak heran jika kemudian banyak sekali kita temukan dalam Al-Qur’an pembicaraan tentang manusia dan hakekat dirinya. Al-Qur’an dalam berbagai ayatnya mengajak manusia untuk lebih mengenal dirinya sendiri dan selalu mencari hakekat tentang siapakah manusia sebenarnya? Dalam Al-Qur’an sendiri, manusia digambarkan sebagai makhluk yang diberi oleh Allah dua karakteristik yang kontradiktif. Satu sisi manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah sebagai pemimpin dan khalifah untuk membangun peradaban dimuka bumi ini. Namun, kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah ini seringnya disalah pahami oleh manusianya, dan pada akhirnya salah paham ini menimbulkan sifat sombong, congkak, berkuasa dan pada puncaknya adalah pengakuan sebagai tuhan. Akan tetapi disisi lain, manusia adalah makhluk yang terbuat dari sesuatu yang hina, yaitu sperma. Karenanya tidak heran jika ada manusia yang merasa hina, bersikap merendah, tidakberdaya, malas, selalu tertindas, fatalistik dan berbagai sifat rendahan lainnya yang semuanya berimbas pada perbudakan manusia itu sendiri dan menjadikan dirinya tak lebih dari hewan. Penjelasan tentang dua karakter yang berkesan kontradiktif dalam diri manusia ini dapat kita temukan semisal pada ayat:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا  [الإسراء/70 [
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami utamakan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
”.
Ayat di atas bercerita kepada kita bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang telah diberi kemuliaan oleh Allah dan diberi keunggulan serta keistimewaan melebihi makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Sedang dalam ayat lain dijelaskan bahwa manusia adalah:
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ [يس/77 [
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata”.
Jika kita telaan dua ayat di atas, maka akan nampak sekali dua karakter yang kontradiktif dalam diri manusia sebagaimana telah saya paparkan di atas. Hanya saja yang menjadi problem—setelah kita mengetahui dengan jelas kontradiktif karakter manusia—adalah bagaimana kita mengaharmonisasikan dua karakter itu? Nah, disinilah keberadaan kitab Sullam Taufiq dan kitab-kitab lain yang semisalnya akan terasa sangat penting, karena memang kitab-kitab keagamaan di atas akan memberikan jalan dan petunjuk secara mudah bagi manusia untuk mengaharmonisasikan dua karakternya yang berlawanan dan terkesan kontradiktif ini.
Harmonisasi yang saya maksud bisa dimulai dengan kembali mempelajari trilogi keilmuan Islam yang dahulu telah ditransmisikan oleh para sesepuh kita dengan benar dan apik, sehingga manfaat dari transmisi ilmu itu bisa benar-benar kita lihat sebagai sebuah hadiah yang indah dan luar biasa dari para sesepuh kita, yakni peradaban Islam Nusantara. hanya saja akhir-akhir ini, nampaknya proses transmisi ketiga ilmu di atas mulai ditinggalkan dan dicampakkan oleh masyarakat Islam pada umumnya, baik oleh tokoh agama dan lebih-lebih masyarakat awamnya. Trilogi keilmuan Islam yang saya maksud di atas adalah ilmu Tauhid, ilmu Fiqh dan ilmu tasawwuf atau budi pekerti.
Jika kita tidak mulai melakukan gerakan dan upaya harmonisasi antara dua karakteristik manusia yang kontradiktif tersebut, maka yang terjadi adalah kerusakan dan kehancuran yang melanda umat manusia di bumi ini. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi untuk menganggap dirinya sebagai ‘Tuhan’ ataupun ‘budak’, dan itulah yang kita lihat sekarang ini banyak mewarnai panggung kehidupan mayoritas umat manusia.
Manusia—yang karena merasa istimewa, merasa sebagai makhluk mulia, superhero, sempurna, paling kuat, paling pandai dan sebagai khalifah—bisa saja mengaku atau merasa sebagai tuhan, karena pada dasarnya semua sifat-sifat tersebut adalah hanya milik dan hak Allah semata sebagai tuhan seru alam. Sebaliknya, manusia—yang merasa rendah, hina, lemah, tak punya daya dan kekuatan—bisa saja merasa bahwa dirinya tak ubahnya seperti hewan, sehingga dia tidak merasa susah atau canggung sama sekali jika kemudian menghamba dan diperbudak oleh manusia lain yang lebih kuat. Jika sebuah masyarakat diisi oleh manusia-manusia dengan dua karakter yang saya sebut tadi, maka jangan heran andaikan yang muncul adalah kerusakan yang berupa tidak normalnya sistem kehidupan, banyak terjadi penjajahan, dinodainya kemanusiaan, sikap otoriter dan masih banyak lagi kerusakan serta kehancuran yang tersebar dimana-mana. Sedang manusianya sendiri tidak merasa bahwa mereka sedang berjalan atau bahkan berlari menuju kerusakan dan kehancuran. Kisah Fir’aun dan Bani Israel adalah contoh nyata dari kehidupan masyarakat yang telah hancur dan rusak, karena tidak adanya keseimbangan antara dua karakteristik manusia itu, hingga akhirnya datanglah Nabi Musa sebagai juru selamat yang menghapus perbudakan atas manusia.
Lalu bagaimana kita menghambat laju roda kehancuran yang nampaknya sudah menggelinding dengan cepat itu? Dan mungkinkah hal itu bisa kita lakukan? Yah, solusi satu-satunya untuk sementara ini adalah dengan berusaha kembali mentransmisikan trilogi keilmuan Islam yang telah saya sebutkan di atas dengan benar, terutama adalah ilmu Tauhid, karena ia merupakan pondasi dari pandangan hidup (worldview) kaum muslimin dalam rangka membangun kembali peradaban yang humanisme di dunia ini. Dan kita harus selalu optimis, karena yang namanya kesulitan dan hambatan pasti ada, hanya saja setiap satu kesulitan pasti selalu bersamaan dengan dua kemudahan, itu pasti.
Mungkin ada yang bertanya: “kenapa Tauhid harus didahulukan?”, jawabannya adalah karena Tauhid ala Islam lah yang bisa menyeimbangkan dan mensinergikan dua karakteristik manusia yang kontradiktif tadi. Karena Tauhid Islam adalah tauhid yang memanusiakan manusia, ia tidak mengangkat derajat dan kedudukan manusia setinggi-tingginya, sehingga manusia tidak akan merasa sebagai tuhan, tidak pula ia merendahakan manusia serendah-rendahnya sehingga tidak ada manusia bertauhid yang menganggap dirinya tak ubahnya hewan. Tauhid Islam adalah tauhid yang moderat, ia adalah tauhid yang humanis. Ia adalah keyakinan yang mengajak manusia untuk memanusiakan manusia, bukan menganggapnya sebagai tuhan yang berhak di sembah, ditunduki secara total dan berkuasa semena-menanya tanpa ada yang berani untuk mengingatkan ataupun melawannya. Bukan pula menganggap manusia sebagai hewan yang berhak untuk disembelih, di adu domba, di rampas kebebasan dan haknya. Yah, tauhid Islamah yang memang benar-benar memanusiakan manusia. Kira-kira demikianlah makna yang tersirat dari ayat:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ [آل عمران/64 [
Katakanlah, "Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Sedangkan dua unsur peradaban yang lain—yaitu kehidupan dan alam semesta—bukanlah merupakan garapan dari buku-buku semisal Sullam Taufiq. Dan dalam kesempatan kali ini tidak perlu saya singgung terlalu banyak karena tulisan ini sudah terlalu panjang.
F.   Penutup.
Walhasil, dapat saya simpulkan bahwa buku Sullam Taufiq—begitu juga semisalnya—adalah buku pokok yang seharusnya menjadi bacaan dan kajian wajib bagi setiap muslim, bahkan mungkin setiap manusia yang masih perduli akan kemanusiaan itu sendiri. Sullam Taufiq adalah buku yang mencakup trilogi keilmuan pokok dalam Islam, yaitu ilmu Tauhid, ilmu Fiqh dan ilmu Tasawwuf. Hanya saja pembahasan yang disuguhkan oleh penulis buku tersebut adalah hal-hal yang bersifat pokok saja, karena memang sasaran utama dari buku itu sendiri adalah pembaca dari masyarakat muslim pada umumnya, bukan hanya kaum terpelajar ataupun cerdik cendekia.
Sullam Taufiq adalah buku peradaban. Dalam artian bahwa apa saja yang tertera didalamnya merupakan sumber-sumber pokok dari pondasi peradaban Islam yang tinggi dan mulia itu. Disamping ia juga buku kemanusiaan yang bisa menjadikan pembacanya untuk menghargai arti pentingnya kemanusiaan itu sendiri. Sekian. Wallahu A’lam Bis Showab.


Bibliografi.
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, Manhajul Hadharah Al-Insaniyyah Fil Qur’an”, Beirut: Darul Fikr.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Ihya’ Ulumid Diin, Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah.
Al-Ghummari, Abdullah bin Shiddiq, Al-I’lam Bi Annat Tasawwuf Minal Islam, Palestina: Jam’iyyah Ahlul Bait Lil Ulum Wat Turats.
Al-Malibari, Zainuddin Bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in Bi Syarhi Qurratil ‘Ain Bi Muhimmatid Diin, Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan.
Az-Zirkili, Khoiruddin,  Al-A’laam Qamus Tarajim Li Asyharir Rijal Wan Nisa’ Minal Arab Wal Musta’ribin Wal Mustasyriqin, Beirut: Darul Ilmi Lil Malayiin. 2002.
Ba ‘Alawi, Abdullah bin Husain, Sullamut Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq, Semarang: Karya Thoha Putra.













[1] Khoiruddin Az-Zirikli (2002), Al-A’laam Qamus Tarajim Li Asyharir Rijal Wan Nisa’ Minal Arab Wal Musta’ribin Wal Mustasyriqin, Beirut: Darul Ilmi Lil Malayiin. Vol: 4 hal: 81.
[2] Ibid.
[3] Lihat Abdullah Bin Husain Ba Alawi (tt), Sullamut Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq, Semarang: Karya Thoha Putra. Hal: 2.
[4] Ibid. Hal: 3.
[5] Ketiga kaidah di atas dapat anda temukan dan baca dalam hal: 3-4.
[6] Zainuddin Bin Abdul ‘Aziz Al-Malibari (tt),  Fathul Mu’in Bi Syarhi Qurratil ‘Ain Bi Muhimmatid Diin, Surabaya: Maktabah Muhammad Nabhan. Hal: 2.
[7] Al-Muhaddits Abdullah Bin Shiddiq Al-Ghummari (tt), Al-I’lam Bi Annat Tasawwuf Minal Islam, Palestina: Jam’iyyah Ahlul Bait Lil Ulum Wat Turats. Hal: 10.
[8] Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali (tt), Ihya’ Ulumid Diin, Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah. Vol: 1/Hal: 15-16.
[9] Abdullah Bin Husain Ba Alawi (tt), Sullamut Taufiq Ila Mahabbatillah ‘Alat Tahqiq, hal: 42-44.
[10] Dr. Said Ramadhan Al-Buthi (tt), Manhajul Hadharah Al-Insaniyyah Fil Qur’an”, Beirut: Darul Fikr. Hal: 19.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

1 komentar:

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger