Menjadi pemimpin itu bukan soal kecerdasan, kharisma,
komunikasi, tampilan, dan segala macam atribut yang biasa dilekatkan pada figur
pemimpin. Disebut pemimpin atau tidak ini adalah soal ada atau tidaknya yang
mengikuti. Hadirnya pengakuan dan kepengikutan itu yang mengubah seseorang jadi
pemimpin. Menjadi pemimpin adalah soal pengakuan dari yang dipimpin, sebuah
rumusan sederhana yang sering terlupakan.
1.
Seseorang diakui sebagai pemimpin bila kepadanya diberikan kepercayaan.
Pemimpin adalah orang yang diikuti kata-kata dan perbuatannya.
Dia
diikuti karena dipercaya. Kepercayaan adalah pilar utama pemimpin. Kepercayaan
adalah kombinasi dari kompetensi, integritas, dan kedekatan. Ketiga faktor itu
meningkatkan tingkat kepercayaan. Tapi ada sebuah faktor yang mampu
memelorotkan kepercayaan memimpin yaitu self-interest dan dalam
menyamakan self-interestnya-nya dengan kepentingan kolektif bisa
membuat pemimpin mengalami erosi kepercayaan. Pemimpin terpercaya bisa selalu
menomorsatukan kepentingan kolektifnya. Kecintaannya pada kepentingan kolektif
itu memberikan efek yang besar. Kini dan kelak bangsa ini selalu membutuhkan
pemimpin yang mencintai bangsanya melebihi cintanya pada dirinya. Kehadiran
pemimpin seperti itu bisa luar biasa dahsyat dalam menggerakkan seluruh bangsa
untuk meraih cita-cita kolektif.
2.
Pemimpin dan pemimpi bedanya di huruf N. N-nya adalah Nyali.
Pemimpin pada dasarnya adalah pemimpi. Pemimpi yang
mimpi-mimpinya dipercaya dan diikuti. Pemimpi yang mampu mengonversi mimpi jadi
realita bisa disebut sebagai pemimpin. Wajar jika pemimpin menitipkan mimpinya
pada imaginasi, dan membiarkan imaginasinya itu terbang amat tinggi lalu ia bekerja
amat cerdas dan keras menggerakkan seluruh daya yang tersedia untuk meraih dan
melampaui mimpinya. Disinilah sebuah huruf N sebenarnya itu mewakili komponen
amat kompleks menyangkut kemampuan meraih mimpi dan melampaui mimpi.
3. Pemimpin selalu disorot.
Pemimpin adalah manusia yang harus selalu menyadari
kemanusiaannya dan sempurna bukanlah atribut yang manusiawi. Karena itu
pemimpin harus selalu sadar bahwa ia berada dalam sorotan di saat ia jauh dari
kesempurnaan. Efeknya simpel, pemimpin itu jadi kotak pos untuk pujian dan
kritikan. Maka itu jika tidak ingin dikritik maka jangan sesekali mau jadi
pemimpin. Pemimpin yang matang itu menjalani perannya dengan menempatkan
cita-cita bersama sebagai rujukan. Karena itu ia matang dan mantap menjalaninya.
Bisa dikatakan bahwa pemimpin yang tulus pada cita-cita kolektifnya itu takkan
terbang bila dipuji dan takkan tumbang bila dicaci.
4.
Pemimpin yang kita ingin lihat adalah yang tidak mengejar penghormatan, tapi ia
menjaga kehormatan.
Penghormatan itu memang bisa dipanggungkan dan bisa dibeli
karenanya mudah didapat. Sementara kehormatan itu tidak untuk diperjualbelikan.
Pemimpin yang gagasan dan langkahnya terhormat, dengan sendirinya akan dapat
kehormatan. Mencari rujukan tentang pemimpin itu sesungguhnya mudah. Ada
terlalu banyak contoh pemimpin di sekitar kita. Di republik ini masih amat
banyak pemimpin yang solid, yang keteladanannya jadi rujukan, yang gagasannya
diikuti, yang langkahnya menginspirasi. Masalahnya adalah banyak dari mereka
justru tidak berada di panggung penting republik ini. Di panggung-panggung
penting justru sering ditemui orang-orang berkuasa tanpa kepemimpinan. Di sisi
lain, banyak pemimpin yang kepemimpinannya solid tapi tanpa kuasa dan otoritas.
Jika kita menengok pada sejarah negeri besar ini maka kita temui catatan gemilang sebuah generasi. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apa pun. Integritas dan keseharian yang apa adanya membuat mereka memesona. Orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya. Mereka jadi cerita teladan di seantero negeri.
5. Hari ini, republik membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas.
Jika kita menengok pada sejarah negeri besar ini maka kita temui catatan gemilang sebuah generasi. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apa pun. Integritas dan keseharian yang apa adanya membuat mereka memesona. Orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya. Mereka jadi cerita teladan di seantero negeri.
5. Hari ini, republik membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas.
Berani perangi “jual-beli” kebijakan dan jabatan, dan
pemimpin yang mau bertindak tegas kepentingan rakyat “dijarah” oleh mereka yang
punya akses. Republik ini butuh pemimpin yang bernyali dan menggerakkan dalam
menebas penyeleweng tanpa pandang posisi atau partai. Bukan pemimpin yang serba
mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Pemimpin yang bisa jadi
bersahabat tampilannya, sopan dan simpel tuturnya, tapi amat besar nyalinya,
dan amat tegas sikapnya. Tidak selalu nyaring, tapi selalu bernyali karena
nyali itu memang beda dengan nyaring.
Republik ini perlu pemimpin yang bisa mengajak semua untuk
mendorong yang macet, membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin
yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran pada keterlambatan.
Pemimpin yang siap untuk “lecet-lecet” melawan status quo yang
merugikan rakyat, berani bertarung untuk melunasi tiap janjinya. Republik ini
perlu pemimpin yang memesona bukan saja saat dilihat dari jauh, tetapi pemimpin
yang justru lebih memesona dari dekat dan saat kerja bersama.
Bukan pemimpin yang selalu enggan memutuskan dan suka
melimpahkan kesalahan. Bukan pemimpin yang diam saat rakyat didera, lembek saat
republik dihardik. Pemimpin yang tak gentar dikatakan mengintervensi karena
mengintervensi adalah bagian dari tugas pemimpin dan pembiaran tidak boleh
masuk dalam daftar tugas seorang pemimpin. Kelugasan, ketegasan,
keberanian, kecepatan, keterbukaan, kewajaran, kemauan buat terobosan, dan
perlindungan kepada anak buah bahkan kesederhanaan dalam keseharian itu semua
bisa menular. Tapi kebimbangan, kehati-hatian berlebih, kelambatan,
ketertutupan, formalitas, kekakuan, pembicaraan masalah, orientasi kepada citra
dan ketaatan buta pada prosedur itu juga menular. Menular jauh lebih cepat dan
sangat sistemik.
6.
Pemimpin bisa menentukan suasana.
Pemimpin adalah dirigen yang menghadirkan energi, nuansa, dan
aurora dalam sebuah orkestra. Setiap pemain memiliki peran, dan tanpa
dirigen-pun instrument musik bisa dijalankan tapi orkestra itu tidak ada
jiwa-nya. Pemimpin hadir membawa suasana. Memberikan arah dan greget. Pemimpin
membawa misi dan menularkannya pada semua. Pemimpin meraup aspirasi dan energi
dari semua yang dipimpinnya, lalu mengkonversinya menjadi cita-cita kolektif
dan energi besar untuk semua bekerja bersama meraihnya. Memang pemimpin
bukan dewa atau superman. Tidak pantas semua masalah dititipkan, ditumpahkan ke
pundak pemimpin.
7. Kita amat membutuhkan pemimpin yang berorientasi pada gerakan.
7. Kita amat membutuhkan pemimpin yang berorientasi pada gerakan.
Pemimpin menjadikan semua merasa ikut memiliki tanggung
jawab, merasa ikut memiliki masalah. Pendekatannya movement bukan programmatic
sehingga semua merasa terpanggil untuk terlibat. Pemimpin yang bisa membuat
semua merasa perlu berhenti lipat tangan, lalu terpanggil untuk gandeng tangan
dan turun tangan. Pemimpin yang menggerakkan. Akhir-akhir ini kita sering
menyaksikan pemimpin hadir untuk “menyelesaikan” tantangan dan masalah.
Menyelesaikan tantangan dan masalah itu baik-baik saja. Tetapi sesungguhnya
yang diperlukan justru bukan itu. Kita memerlukan pemimpin yang kehadirannya bukan
sekadar hadir untuk “menyelesaikan” masalah dan tantangan tapi kehadirannya
untuk “mengajak semua pihak turun-tangan” menyelesaikan masalah dan tantangan.
8. Kita memerlukan pemimpin yang menginspirasi, membukakan perspektif baru, menyodorkan kesadaran baru dan menyalakan harapan jadi lebih terang.
Pemimpin yang membuat semua terpanggil untuk turun tangan,
untuk bekerja bersama meraih cita-cita bersama. Pemimpin yang kata-kata dan
perbuatannya menjadi pesan solid yang dijalankan secara kolosal. Kita
memerlukan pemimpin yang menggerakkan!
Bay: Anis Baswedan.
0 komentar