Suatu hari, seorang santri di salah satu pesantren
terlihat berjalan mondar mandir, gurat-gurat kebingungan nampak jelas
diwajahnya. Sebatang rokok samsoe yang dijepit jari telunjuk dan jari
tengah tangan kirinya mengepulkan asap yang membumbung tinggi ke
atas. Setiap detik waktu berjalan dengan lamban, asap-asap rokok
keluar diantara kedua bibir mulutnya yang masih nampak merah muda,
sebagai tanda bahwa pemiliknya bukanlah seorang perokok. Tanpa ia
sadari, aku mendekat disampingnya dengan membawa secangkir kopi
hangat dengan asap yang mengepul pula, tak kalah dengan asap rokok
temanku tadi, aku sodorkan kepadanya: “minumlah, mungkin kehangatan
kopi ini bisa sedikit meringankan beban dalam hatimu”, dengan mata
tajam ia memandangiku, seniornya yang menjadi teman diskusi serta
curhatnya dalam berbagai macam kajian di pesantren. Sruupp...suara
sruputan kopi yang diminum dengan pelan dan penuh perasaan aku dengar
muncul dari bibirnya. Tapi anehnya, setelah ia meminum satu sruputan
kopi tadi, air mata meleleh dari kedua pelupuk matanya, semakin lama
tambah deras saja air mata itu mengalir, lalu dengan nada yang tinggi
dia berkata: “kang, saya baru saja dipukul pak guru di kelas tadi”,
aku pun bertanya: “memangnya kenapa sampeyan kok dipukul pak
guru? Sampeyan nakal to atau sampeyan tidak hapal
pelajaran dikelas?”, “bukan karena itu semua kang, akan tetapi
hanya gara-gara saya lupa memberi tanda silang (X) pada absensi yang
menjadi tanggung jawab saya”, mendengar jawaban yang sedemikian
rupanya, terbersit sebuah pertanyaan dalam hatiku: “manakah yang
lebih bermanfaat bagi siswa, apakah sistem pembelajaran dengan
kekerasan itu lebih bermanfaat atau sebaliknya? Yakni dengan
kelembutan dan penuh kebijaksanaan”.
Yah, tentunya kita semua sudah mengetahui serta
menyadari bahwa kemampuan dan karakter manusia itu berbeda antara
satu dan yang lainnya. Dalam dunia pendidikan, perbedaan karakter dan
kemampuan itu sangat nampak sekali pada diri para siswa dan siswi.
Ada beberapa karakter anak didik dalam bergaul, baik dengan guru
maupun teman lainnya dan disertai pula dengan kemampuan yang berbeda
juga. Antara lain sebagai berikut:
- Kelompok siswa dengan kecerdasan yang super, bahkan bisa dikategorikan dalam tingkatan jenius, disertai dengan semangat yang tinggi untuk belajar dan berdiskusi, sehingga seorang guru tidak perlu untuk bersusah payah mengajarinya ataupun mengajaknya untuk mengikuti kegiatan yang ada, karena memang dia sudah aktif tanpa ada dorongan dari luar dirinya.
- Kelompok siswa dengan kecerdasan dan kemampuan akal yang sama, akan tetapi dia malas untuk belajar, mengikuti kegiatan dengan berbagai macamnya ataupun berdiskusi dengan teman-temannya. Karakter siswa yang demikian adalah bagaikan macan yang tertidur, seorang pendidik hanya perlu membangunkannya serta memberikan dorongan dan semangat agar dia rajin belajar dan aktif mengikuti berbagai kegiatan pembelajaran yang ada.
- Ada juga jenis siswa yang cerdas, hanya saja sikap kritis dalam dirinya menjadikan dia suka membangkang tarhadap aturan ataupun perintah gurunya. Murid dengan karakter seperti ini pun jangan kemudian disikapi dengan kekerasan, akan tetapi sikap kritis tadi kita arahkan pada hal yang benar dan seorang guru harus selalu berusaha agar siswa dengan karakter seperti ini menjadi manusia yang lembut dengan dihiasi akhlak yang terpuji.
- Kadang kita temui jenis anak didik yang rajin, lembut serta penurut, akan tetapi kemampuan akal yang dimilikinya biasa-biasa saja atau bahkan seringnya mereka masuk dalam kategori siswa yang lemah kamampuan akal dan lamban dalam berfikir, siswa dengan karakter seperti ini membutuhkan perhatian yang lebih, motivasi, dorongan semangat dan uluran tangan dari seorang guru.
- Ada juga jenis murid yang lemah kemampuan akalnya dan lamban dalam berfikir—dengan kata lain dia telmi atau telat mikir—ditambah lagi dia orangnya pemalas, tidak mau belajar ataupun mengikuti berbagai kegiatan yang ada. Jika seorang pendidik atau guru bertemu dengan siswa dengan karakter terakhir ini, maka dia harus punya jiwa yang super sabar dan selalu berdoa agar siswanya yang berkarakter seperti ini bisa baik serta sukses dikemudian harinya. Jangan kemudian dia dicaci, dihina atau sampai dipukuli, karena kadang-kadang siswa dengan karakter seperti ini bisa sukses dikemudian harinya, semua itu tidak lepas dari kegigihan, kesabaran serta keikhlasan dan ketulusan seorang guru.
- Dan yang lebih menantang lagi adalah jika seorang guru bertemu dengan jenis siswa yang telmi dan bodoh, ditambah lagi dengan akhlak yang tidak terpuji, dia suka membangkang dan tidak taat aturan. Bagi saya pribadi jika kita bertemu dengan siswa model seperti ini, yang pertama kali kita tanamkan dalam hati adalah jangan sampai kita merasa benci atau tidak suka terlebih dahulu atau negative thingking dulu, jangan pula kita putus asa lalu menjadikan kenakalannya sebagai dalih bagi guru agar boleh melakukan tindakan pemukulan atau kekerasan lainnya. Akan tetapi, kita ajak siswa dengan tipe seperti ini untuk berbicara dari hati ke hati, sebenarnya apa problem yang terjadi dengan diriya? Kenapa ia membangkang sedemikian rupa?
Demikian
adalah sedikit ulasan tentang berbagai macam karakter dan jenis anak
didik dalam dunia pendidikan, serta bagaiamana semestinya seorang
guru menyikapi beda-bedanya karakter yang ada. Saya pribadi tidak
memasukkan pemukulan dalam metode pendidikan. Karena bagi saya,
sebesar apapun kerusakan yang terjadi, maka kerusakan itu hanya bisa
diperbaiki dengan cara-cara yang penuh kebijaksanaan dan cara-cara
yang damai, bukan dengan kekerasan. Kalaupun harus bersikap
keras—dalam hal ini dengan pemukulan dan semisalnya—maka
hendaknya seorang guru memperhatikan lagi niat dan tujuan dari dia
memukul muridnya tadi. Jangan sampai kekerasan tadi muncul dari rasa
benci, memusuhi atau bahkan dendam, karena hal yang demikian pun akan
hanya meninggalkan perasaan dendam dan benci dalam hati si murid
tersebut. Sehingga tidak aneh kalau kadang kita temukan si murid yang
menjadi korban kekerasan tadi pun akan melampiaskan rasa sakit
hatinya pada muridnya lagi, saat kelak dia menjadi seorang guru,
yah...semua ini muncul dari kesalahan niat dalam bertindak. Disamping
juga hanya akan menimbulkan sikap tunduk jika murid didepan gurunya,
akan tetapi berani membantah, melawan dan bahkan tidak segan-segan
untuk mencaci gurunya saat tidak ada didepannya. Tentunya hal seperti
itu tidak kita inginkan. Seperti kasus teman saya di atas adalah hal
yang tidak kita inginkan, lebih-lebih teman saya adalah orang yang
cerdas, penurut dan aktif dalam berbagai kegiatan pendidikan, baik
kegiatan intra pesantren maupun ektra pesantren, bahkan saking
cerdasnya dia mampu menghapalkan kitab sebesar Fathul Qarib. Akan
tetapi hanya karena adanya problem ringan yang bersentuhan langsung
dengan gurunya seperti itu akhirnya ada keinginan dari dia untuk
keluar pesantren setelah sebelumnya dia menghisap hampir 4 batang
rokok, padahal saya kenal bahwa dia bukanlah perokok.
Semua
hal diatas adalah karena mempertimbangkan bahwa mestinya seorang dai
ila-llah—khususnya
guru dalam bidang agama—adalah orang yang memiliki sifat welas
asih
dan memperhatikan kemaslahatan umat Islam, tanpa memperdulikan apakah
umat tersebut adalah orang yang shalih ataupun pelaku ma'siat. Bahkan
dikisahkan bahwa seorang Abu Muslim Al-Khaulani ketika melewati suatu
kaum tertentu dia tidak mau mengucapkan salam pada kaumnya itu, saat
ditanya kenapa beliau tidak mau mengucapkan salam, beliau jawab
karena dia khawatir kaum tersebut tidak menjawab salamnya dan mereka
mendapatkan dosa disebabkan oleh beliau. Semua ini dilakukan pada
dasarnya adalah karena sangat welas
asihnya
beliau terhadap kaumnya tadi. Begitu juga Ma'ruf Al-Karkhi, saat
beliau melewati sekelompok manusia yang sedang berkumpul-kumpul untuk
minum arak, lalu ada yang berkata kepada beliau: “hendaknya anda
mendoakan jelek kepada umat yang ahli ma'siat ini!”, maka seketika
beliau mengangkat tangan dan berdoa: “ya Allah, sebagaimana engkau
bahagiakan mereka dengan dunia, maka bahagiakanlah mereka dengan
akhirat”, mendengar doa Ma'ruf tadi, nampak raut muka
keheran-heranan pada wajah orang yang memintanya untuk berdoa tadi,
lalu mereka berkata: “kami meminta agar anda mendoakan jelek untuk
mereka, tapi kenapa malah anda mendoakan baik kepada mereka”,
beliau pun menjawab: “siapa saja yang tidak melihat orang-orang
yang durhaka itu dengan pandangan rahmat atau welas
asih,
maka dia sebenarnya telah keluar dari Thariqah
kami”1,
dan masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang tertulis dalam
buku-buku agama yang kesemuanya menunjukkan bahwa seorang dai
haruslah punya jiwa yang welas
asih,
bukan pemarah. Sehingga benar-benar bisa mempraktekkan ucapan baginda
Nabi Muhammad: “berilah kabar kembira, janganlah jadikan
orang-orang itu lari”. Kalau hal ini dipraktekkan terhadap umat
Islam secara umum, lalu bagaimana dengan murid mereka sendiri,
tentunya hal itu lebih lagi.
Dalam
kondisi seperti inilah ungkapan syair Arab yang dikutip oleh Sayyid
Ahmad Al-Hasyimi dalam bukunya Uslubul Hakim, menemukan momentumnya.
Di sana dikatakan:
وعلاج
الأبدان أيسر خطبا #
حين
تعتل من علاج العقول
“mengobati
tubuh manusia yang sakit itu lebih mudah dari pada mengobati
hati yang sakit”
Begitu juga pepatah yang mengatakan: “guru adalah
dokter bagi muridnya”, karenanya dia harus mengetahui kondisi
kejiwaan seorang murid untuk kemudian mengobatinya, sebagaimana
seorang dokter harus mengetahui penyakit dari pasiennya. Jangan
sampai pasien yang sakit kepala diberi obat promag yang gunanya untuk
obat sakit perut. Jangan pula pasien yang mual-mual sakit perut dan
mencret diberi obat sakit kepala atau malah dioperasi. Memang jika
dilihat, sekilas problem seperti ini ringan dan biasa-biasa saja,
akan tetapi jika dibiarkan tanpa ada penanggulangan yang tepat maka
bisa-bisa menjadi penyakit yang kronis dan berbahaya dalam tubuh
sebuah lembaga pendidikan, pelan tak terasa akan tetapi mematikan dan
bisa membunuh secara tiba-tiba, sungguh tragis sekali hal seperti
itu. Guru yang ditunggu-tunggu adalah guru yang memahami penyakit
muridnya, memahami kejiwaan muridnya serta bisa mengobatinya, inilah
guru yang sekaligus menjadi seorang psikiater dan dokter.
Lebih tragis lagi adalah sikap para guru yang hanya
datang masuk kelas, menyuruh anak muridnya untuk membaca buku sendiri
atau mengerjakan buku tugas atau hanya menjelaskan saja tanpa ada
sebuah kelanjutan apakah si murid sudah benar-benar faham atau belum?
Sudahkah si murid benar-benar bisa mencerna dan bahkan hapal terhadap
materi yang dia sampaikan atau belum? Yah mendidik yang sebenarnya
adalah sebuah tindakan mulia, sekarang hanya tinggal profesi belaka.
Guru yang seharusnya selalu berusaha tulus dalam mengajar, sekarang
kebanyakan—kalau tidak semua—bermental fulus. Jika para gurunya
bermental yang demikian, lalu bagaimana nasib pemuda bangsa kita
nantinya? Banyak orang yang mengira bahwa beribadah khusyu' di
masjid itu lebih baik dari pada bekerja, sehingga pada tahun-tahun
terakhir ini kita melihat banyak orang yang mencari uang dengan jalan
menjadi para juru dai yang manggung ke sana dan ke mari. Padahal hal
itu tidak benar, karena bagaiamanapun orang yang menjadikan agama
sebagai bahan ataupun media untuk mencari duit maka dia telah berbuat
kesalahan, karena agama adalah medan berjuang kita, bukan media untuk
mencari duit dan kedudukan dimata masyarakat, akan tetapi untuk
mencari kedudukan di akhirat nanti, bukan di dunia yang sebentar ini.
Para ulama terdahulu lebih mementingkan bekerja untuk
mencukupi dirinya serta orang-orang yang menjadi tanggungan
kewajibannya atau dengan tujuan agar tidak meminta-minta kepada orang
lain, dari pada melakukan ibadah-ibadah fardhu yang waktunya masih
lebar (muwassa'), lebih-lebih ibadah sunnah yang sama sekali
bukan merupakan kewajiban. Banyak orang sekarang yang mengira hanya
dengan mengikuti kumpulan dzikir Thariqah lalu dia bisa
menjadi orang yang tinggi derajatnya di akhirat nanti, sementara
keluarganya masih butuh nafakah yang menuntut dia untuk bekerja lebih
giat lagi, semisal untuk anaknya yang belajar agar memahami
pokok-pokok ajaran Islam yang benar atau agar bisa mencapai tingkatan
seorang mufti dan bahkan kalau bisa mencapai tingkatan seorang
Mujtahid dengan berbagai kreterianya. Bukankah
Al-Imam An-Nawawi berkata dalam mukaddimah kitab Minhajut Thalibin:
“belajar ilmu agama adalah sebaik-baiknya ketaatan dan kegiatan
paling utama yang dilakukan seseorang untuk memanfaatkan waktunya
yang paling berharga”?2,
begitu juga dengan kerja, bahkan seorang Amirul Mu'minin Umar ibnul
Khattab pun berkata: “janganlah kalian hanya duduk-duduk saja di
masjid dan tidak bekerja untuk mencari rizqi, lalu dengan pongahnya
berkata: ya Allah, berilah saya rizqi. Ini adalah tindakan yang
bertentangan dengan sunnah dan kalian sudah tahu sendiri bahwa langit
tidak mungkin menurunkan hujan emas ataupun perak”. Imam Ahmad bin
Hanbal pun ketika ditanya tentang seseorang yang hanya duduk rumah
atau di masjid saja tanpa mau bekerja lalu berkata: “saya tidak
akan bekerja sama sekali sampai Allah sendiri yang akan memberikan
rizqinya padaku”, maka Imam Ahmad berkata: “ini adalah orang yang
tidak paham ilmu. Apakah dia tidak pernah mendengar bahwa baginda
Nabi Muhammad berkata: Allah menjadikan rizqiku dibawah bayang-bayang
pedangku”3.
Bukankah mereka ini adalah ulama-ulama yang punya kapasitas tinggi
dan sangat layak kita ikuti? Kalau bukan mereka yang kita ikuti, lalu
siapa?
Sayung, 29-Syawal-1434 H
1Abdul
Wahhab As-Sya'rani (tt), Tanbihul Mughtarrin, Surabaya:
Syarikah Nur Asia. Hal: 47.
2
Yahya bin Syaraf An-Nawawi (tt), Minhajut Thalibin, Surabaya:
Syarikah Al-Haramain. Vol: 1 Hal: 8-9. dalam menjelaskan hal ini,
Al-Mahalli yang merupakan komentator atas kitab Minhaj berkata:
“perkataan An-Nawawi itu karena memang amal taat itu ada yang
fardhu dan ada yang sunnah, dan tentunya yang fardhu lebih utama
dari pada yanag sunnah, sedang belajar dan menyibukkan diri dengan
ilmu agama masuk dalam kategori fardhu kifayah”. Bahkan ada yang
sampai fardhu 'Ain.
3Abdul
Wahhab As-Sya'rani, Op. Cit. Hal: 126.
1 komentar:
menarik sekali kang..... !! amazing ae lah...