Tenggelam perlahan ke dalam ufuk alam
Menitipkan cahaya merahnya pada langit malam
Guna ucapkan salam perpisahan
Pada tanah Beirut yang indah nan nyaman
Suasana pagi yang indah, di iringi hembusan angin
lembut
Berhembus di antara bangunan-bangunan yang tinggi
Seakan menjadi saksi bisu, akan kehangatan kebersamaan
Dan keindahan persatuan di antara kita
Pergantian musim menambah indahnya canda dan tawa
Yang kita rangkai menjadi butiran-butiran mutiara
kenangan
Kita tulis dan kita susun dalam album kenangan
Yang tak akan hilang, tak akan lekang oleh
Perputaran zaman dan gelombang kehidupan
Canda, tawa dan kebersamaan itu seakan baru tadi pagi
Menghiasi hari kita, mengisi lubuk hati kita dengan
Rasa cinta dan damai
Namun kala senja itu datang, kala mentari berpamitan
Meninggalkan alam, seolah canda, tawa dan kebersamaan
Tak ikut tenggelam ke dalam ufuk alam
Wahai kawan, bukanlah kami meninggalkan kalian
Namun, kita hanya berpisah sementara waktu
Janganlah kalian jadikan perpisahan ini akhir
pertemuan kita
Melainkan jadikan perpisahan ini sebagai jembatan akan
Kelanjutan hubungan kita
Kawan, meskipun raga dan tubuh kita berpisah
Yakinlah jiwa dan hati kita tidak akan terbelah
Namun akan selalu tertanam di sana rasa cinta
Yang selalu tumbuh merekah
Kiranya beberapa bait-bait di atas sebagai pengantar
akan kepulangan para teman-teman, terlebih kepada kedua sahabat
dekatku, kang Dhiya' dan Gus Farid.
Suara merdu adzan yang berkumandang di menara masjid
Burj Abi Haidar akan selalu mengingatkanku kepada kang Dhiya', di
mana kita selalu bersama belajar, melantunkan ayat-ayat ilahi dengan
dengan penuh rasa nyaman dan damai. Tak lupa, kita juga selalu
bersama melantunkan matn-matn dari
kitab ulama-ulama terdahulu. Meskipun waktu kebersamaan kami
sangatlah terbatas, sangatlah sebentar, namun kebersamaan tersebut
membawa pengaruh yang sangat positif dan peningkatan yang sangat
signifikan bagi diri saya pribadi.
Perpisahan memang
sesuatu yang tidak mungkin terelakkan kedatangannya, mau atau tidak
pasti hal tersebut akan datang menghampiri kita. Perpisahan itu
sangatlah menyakitkan terlebih dengan orang yang kita rasa dia telah
memberikan arti penting terhadap hidup kita. Meskipun hal itu terasa
berat bagi kita, namun kita harus tabah dan rela melepaskannya,
mungkin barangkali perpisahan itulah membawa sisi positif yang lebih
baik dari sebelumnya.
Banyak sekali
kenangan-kenangan yang tertuang dalam secarik kertas bersama kang
Dhiya', namun dari kenangan-kenangan manis tersebut, satu yang akan
selalu terkenang bagi diri saya pribadi adalah ketika beliau dengan
tulus dan ikhlas mengantarkanku dari bumi Beirut, Lebanon menuju ke
kota suci Makkah melalui perantara “Lathaiful
Isyarat”, sebuah kitab
Ushul Fiqh karangan As-Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds,
penjelasan dari Nadzam “Tashilut
Thuruqat Li Nadzmil Waraqat”.
Begitu indahnya perjalanan dari Beirut ke Makkah mengarungi bentangan
samudera Ushul Fiqh, menyelami dalamnya samudera tersebut guna
menemukan mutiara dalil-dalil Fiqh yang bersifat kolektif, meskipun
banyak ombak-ombak yang menghalangi, menerjang dan menghampiri
perjalanan kami yang pada akhirnya kami mampu melabuh sampai ke
tepian dari samudera “Lathaiful
Isyarat” ini dengan di
bantu oleh kang Dhiya' dengan rasa ikhlas dan tanpa pamrih.
Sebelum mengarungi
samudera “Lathaiful
Isyarat” beliau juga
sudah mengantarkanku berkunjung menikmati kejelian dan kedalaman pola
berfikir As-Syaikh Abdurrahman Al-Akhdhari melalui karyanya yang
berjudul “Sullamul
Munawwaraq”, bagaimana
beliau menguntai kumpulan-kumpulan pola berfikir yang sangat jeli dan
dalam. Setelah merasa cukup atas kunjungan ini, barulah beliau
mengajakku mengarungi samudera tersebut.
Pada akhirnya,
datanglah waktu perpisahan antara kami, memori-memori ketika saat
suka maupun duka secara perlahan akan tertuang dalam beberapa lembar
kertas, hingga akhirnya lembaran-lembaran itulah yang akan menjadi
obat penawar rindu di antara kami.
Ketika beliau
memintaku untuk menulis suatu tulisan yang berisi nasehat atau
kata-kata mutiara, rasanya hal itu sangatlah tak layak di tujukan
untukku, apalagi melihat kapasitas diriku yang masih belum dikatakan
mencapai kata maksimal. Namun, aku tetap berusaha membalas jasa
beliau selama ini. Dengan susah payah aku berfikir, mungkin inilah
nasehat atau harapan seorang adik pada kakaknya: “Kang, jaga diri
sampean baik-baik. Jangan lupa doakan aku supaya apa yang aku
cita-citakan bisa tercapai, perjalanan 4 tahun kedepan ini sangatlah
berat tanpa keberadaan sampean di tempat ini. Jangan lupa doakan aku
agar hafalan al-Qur'anku segera selesai dengan hafalan yang memuaskan
dan kuat. Berusahalah merawat diri sampean dengan baik, karena cepat
atau lambat sampean akan segera menempuh hidup baru bersama
belahan tulang rusuk sampean. Kiranya hanya itu yang saya bisa
sampaikan, mohon maaf kalau selama ini aku selalu menyusahkan dan
merepoti sampean. Salamku untuk semua keluarga di Indonesia”.
Akhirul kalam.
أستودعكم
الله الذي لا يضيع ودائعه
Beirut,
27-Juli-2013 M
M.
Muthahar. H.A.
0 komentar