Advertise 728x90

Madrasah Ramadhan

Written By Unknown on Tuesday, July 4, 2017 | 9:32 PM



Ramadhan tahun ini telah menyapa kita dengan belaian hari-harinya yang penuh dengan keindahan dan keberkahan. Dan tak terasa, ternyata sudah hampir setengah bulan lamanya kita berpuasa, menahan lapar dan dahaga di siang hari, dan tentunya melakukan aktifitas-aktifitas Ramadhan lainnya di malam Hari-nya, semisal Shalat Tarawih, Tadarus Al-Qur'an, Tahajjud, I'tikaf dan masih banyak praktek ibadah yang lain. Namun, yang masih menjadi pertanyaan dalam diri kita, apa sebenarnya "Puncak" dari amaliah Ramadhan yang ingin kita capai, sehingga setelah nanti Ramadhan beranjak berpisah, meninggalkan kita, kita masih merasakan sentuhan-sentuhan halus Ramadhan dalam relung-relung jiwa kita?
Memang benar, selama ini umumnya kita—walaupun tidak semua—memandang Bulan Suci Ramadhan hanya sebagai ajang untuk berlomba-lomba memasang topeng-topeng kesucian di depan manusia. Dan saat Ramadhan sudah usai, maka akan kelihatanlah betapa beringas dan menjijikkannya wajah-wajah asli yang bersembunyi di balik topeng-topeng suci itu. Kenapa semua itu terjadi? Menurut saya pribadi, semua itu terjadi tak lain karena kita tidak pernah memposisikan Ramadhan sebagai “Madrasah” guna mendidik Nafsu kita. Atau kalaupun ada yang menganggap Ramadhan sebagai “Madrasah”, itu pun hanya seperti sekolahan pada umumnya sekarang ini, yang hanya gila akan formalitas, tanpa mempertimbangkan esensi dari makna pendidikan itu sendiri. Sehingga yang ada hanya jasad tanpa nyawa, tubuh tanpa ruh dan jiwa.
Untuk mentahbiskan Ramadhan sebagai Madrasah yang sebenarnya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu makna-makna yang tersembunyi di balik puasa di Bulan suci Romadhan ini. Dalam ayat Al-Qur'an Allah berfirman yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian semua untuk berpuasa, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian. Supaya kalian bisa meraih ke-takwaan"
Dalam kesempatan singkat ini, saya ingin sedikit mengulas makna dari redaksi "Kama Kutiba 'Alalladzina Min Qoblikum. La'allakum Tattaquun". Dari teks ayat tersebut, bisa kita pahami bahwa puasa merupakan ibadah yang sebenarnya sudah pernah ada dan menjadi sebuah amaliah wajib bagi umat-umat terdahulu, sebelum umat Muhammad Saw. Ini menunjukkan antara lain, bahwa ajaran Islam itu mempunyai keterkaitan yang cukup erat, dengan ajaran-ajaran umat lainnya. Walaupun tentunya ada perbedaan-perbedaan krusial yang menjadi ciri khas masing-masing dari umat beragama dan Islam.
Syaikh Mutawalli Sya'rowi—seorang pakar Tafsir kontemporer dari Mesir—menjelaskan dalam Tafsir-nya bahwa Puasa merupakan sebuah metode pendidikan kemanusiaan yang ada dalam setiap agama, walaupun antara satu agama dan yang lain mempunyai perhitungan hari dan tatacara yang berbeda-beda. Almarhum Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa puasa adalah ajaran yang disepakati oleh semua pemeluk agama. Bahkan agama pagan (penyembah berhala) pun sudah mengenal ajaran puasa ini.
Orang-orang—dari penuturan Syaikh Wahbah—Mesir kuno, Yunani, Ramawi dan India pada era dahulu pun sebenarnya sudah mengenal puasa. Dalam kitab perjanjian lama (Taurat) pun ditemukan pujian atas puasa dan orang-orang yang berpuasa, dan juga sudah bisa dipastikan bahwa Nabi Musa pun pernah berpuasa selama 40 hari lamanya. Sedangkan orang-orang Yahudi sekarang ini juga melakukan ritual puasa selama 1 minggu full, guna memperingati keruntuhan Yerussalem. Begitu juga dengan injil-injil modern sekarang ini yang memuji puasa dan menganggapnya sebagai sebuah ibadah terpuji. Dari sini bisa kita pahami, bahwa Ibadah puasa merupakan ajaran lintas generasi dan lintas agama yang kesemuanya mempunyai tujuan satu, yakni meraih ketakwaan.
Lalu, apakah dari pemaparan di atas bisa kita pahami kalau Islam dalam ajaran puasa ini telah “menjiplak” ajaran umat-umat terdahulu? Sebagaimana hal itu dituduhkan oleh sebagian kaum orientalis. Oh, menurut saya pribadi tidak bisa kita katakan demikian. Sebab pada dasarnya agama-agama yang hidup pada rumpun semitik itu adalah agama Islam, hanya saja mempunyai Syariat (undang-undang) yang berbeda antara satu dan yang lain, yang mana undang-undang tersebut berbeda karena adanya konteks dan kondisi yang berbeda pula. Disamping juga adanya distorsi (Tahrif) dalam sebagian ajaran agama-agama tersebut. Sebenarnya adanya sedikit kesamaan ajaran masing-masing agama itu semakin menguatkan kita, bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang mempunyai sanad turun temurun semenjak Nabi-Nabi terdahulu, sehingga akhirnya sampai pada Nabi penutup, yakni Baginda Rasul Muhammad Saw. Mestinya pemahaman itu yang kita kembangkan, bukan malah menganggap bahwa ajaran Islam adalah jiplakan ajaran agama sebelumnya, tapi lebih tepatnya adalah ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Nah, dari pemaparan singkat di atas sudah bisa kita ketahui bahwa puasa adalah “Madrasah” sepanjang masa bagi Nafsu hewani kita. Lalu apakah tujuan dari pendidikan Madrasah Ramadhan ini?
Tujuan utama dari Puasa—sebagaimana kebanyakan Ibadah pada umumnya—adalah sebagaimana diceritakan sendiri oleh Allah, yaitu "La'allakum Tattaquun" yang bisa kita artikan dengan "membentuk pribadi yang bertakwa". Dari redaksi potongan ayat terakhir ini, yang menggunakan susunan Jumlah Ismiyah—bukan Jumlah Fi'liyyah—bisa kita pahami bahwa takwa yang dimaksud itu tidaklah bersifat temporer, tapi lebih bersifat kontinue. Takwa tidak hanya pada bulan Ramadhan saja, tapi setelah Ramadhan pun, ketakwaan seseorang harus selalu menghiasi pola pikir, prilaku, tindak tanduk dan tentunya pola interaksi terhadap sesama manusia.
Lalu, apa itu takwa? Selama ini, kita memahami takwa sebagai upaya untuk melakukan setiap perintah dan menjauhi larangan Allah swt. Namun, menurut saya pribadi, gambaran takwa paling menarik adalah apa yang pernah dipaparkan oleh Sayyidina Ali Karramallahu wajhah saat beliau mengatakan: "Takwa pada hari ini adalah penjaga dan tameng, sedang pada esok hari, (takwa) adalah jalan menuju surga". Kenapa saya anggap paling menarik? Sebab disitu Sayyidina Ali lebih menekankan Takwa pada sisi ruhiyah, bukan jasmaniyah. Dan penggambaran ini sangat cocok sekali dengan esensi dari Puasa Ramadhan yang sedang kita lakukan sekarang ini.
Oke, untuk lebih memudahkan memahami keterkaitan antara esensi puasa Ramadhan dan pemaparan Takwa dari Imam Ali, saya akan sedikit memberikan contoh yang lebih riil. Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya kita akan banyak menemukan hal-hal yang bisa dikatakan bertentangan dengan Syariat. Banyak kita temukan di luar sana orang-orang yang dengan bangganya melakukan maksiat, bahkan tak segan-segan memamerkan prilaku maksiat-nya itu, semisal mengkosumsi minuman beralkohol, berjudi, mengkonsumsi narkoba, para wanita yang berjalan tanpa menutup aurat dan masih banyak yang lain. Nah, melihat realitas yang demikian ini, kalau kita memaknai takwa dengan berusaha mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, berarti kita harus menghindari dan menjauhi semua orang yang melakukan prilaku maksiat tersebut, dan itu merupakan hal yang sangat sulit sekali tentunya. Bahkan kalau kita lihat realitas kehidupan sekarang ini yang sudah semakin penuh dengan trik dan intrik penipuan, mulai dari instansi pemerintahan, sampai masyarakat kecil, tentunya sebagai insan yang sedang meniti jalan ketakwaan akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Hal ini jika ketakwaan kita artikan sebagai menghindari larangan Allah. Dan mungkin, pada akhirnya orang hanya akan menemukan ketakwaannya, jika dia hidup di pegunungan sana atau ada juga yang pada akhirnya bersikap ekstrim guna mengenyahkan kemaksiatan yang ada dihadapannya. Berat bukan?
Hal ini tentunya akan berbeda, jikalau kita mengikuti dan mengembangkan konsep ketakwaan ala Imam Ali Radhiyallahu 'Anhu, yang menyatakan bahwa Takwa adalah kekuatan rohani yang menjadi tameng dan perisai dalam diri seseorang. Takwa ala Imam Ali ini akan menjadikan seseorang kebal dalam menghadapi maksiat, sehingga seseorang akan bisa hidup dalam kondisi apapun dan berinteraksi dengan siapa pun, entah itu orang baik atau pun orang yang jelek, tanpa seorang muslim harus merasa khawatir akan terkontaminasi oleh perbuatan maksiat yang ada.
Takwa ala Imam Ali ini akan menjadikan seorang Muslim memiliki sikap sebagaimana ikan yg hidup di lautan yang luas. Air lautnya asin, tetapi ikan yang di dalamnya—selama masih hidup—tidak akan ikut terkontaminasi asin pula. Ikan itu bisa berenang kemanapun ia suka, tanpa harus menghindari satu kawasan ataupun daerah tertentu, sebab asinnya air laut tidak akan mempengaruhi dirinya sama sekali. Begitu juga dengan seseorang yang sudah berhias dengan ke-takwa-an Ala Imam Ali ini. Seorang Muslim bisa bebas berkumpul dan berinteraksi dengan siapapun, tanpa ia harus khawatir akan terkontaminasi oleh perbuatan maksiat yang tersebar dengan begitu bebasnya di sekitar masyarakat yang ada.
Dan kalau kita mau jujur, ketakwaan ala Imam Ali—sebagaimana tersebut di atas—itu benar-benar akan bisa terealisasikan saat seseorang bisa sukses dan lulus dalam Madrasah Ramadhan. Iya, puasa Ramadhan tak ubahnya sebuah “Madrasah” kelas elit dengan standar kompetensi-nya adalah menggapai Derajat Takwa. Sedang siswa-siswa madrasah Ramadhan tersebut adalah Nafsu-nafsu kita. Madrasah Ramadhan ini adalah sekolahan yang tidak hanya taraf  Nasional ataupun internasional, tetapi lebih dari itu semua, ia adalah madrasah dengan taraf kelayakan di Akhirat nanti. Sehingga Tidaklah sembarang orang yang benar-benar siap untuk berkompetensi dan untuk selanjutnya sukses melewati Madrasah Romadhan ini, bahkan dalam Al-Qur'an pun yang di Khithobi oleh Allah hanyalah orang-orang yang beriman (dan tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, apa dan bagaimana perbedaan orang yang masih dalam taraf Islam saja, dengan orang yang sudah bertitle Iman).
Dalam Madrasah Ramadhan ini, seorang muslim benar-benar diajak oleh Allah swt guna meningkatkan kadar ketakwaannya. Yang selama ini takwa hanya sebatas menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah, sekarang ia harus beranjak membangun perisai dan benteng ruhaniyah dalam dirinya sendiri. Sehingga saat dia berpuasa, dia tidak mudah tergoda oleh berbagai macam larangan-larangan agama. Dia tidak akan mudah ngiler saat melihat temannya yang berlainan agama menyantap makanan dengan enaknya, sebagaimana ia tidak akan seperti anak kecil yang sedang latihan puasa, lalu merengek minta dibelikan es krim saat melihat adiknya menyantap es krim. Tidak sama sekali.
Puasa adalah sebuah ibadah yang betul-betul rahasia, sehingga yang tau hanyalah diri hamba itu sendiri dan Allah. Oleh karenanya, pembangunan perisai dan benteng takwa rohani pun sangatlah cocok dengan puasa ini. Karenanya, mari kita benar-benar manfaatkan puasa ini tidak hanya dengan sekedar menahan lapar dan haus, tapi lebih dari itu, adalah dengan terus menerus belajar mendalami ajaran Islam yang indah ini secara lebih lagi, kemudian mengamalkan semampunya sebagai ajang penyucian hati kita.
Dan pada akhirnya, saat nanti Idul Fitri datang, kita memang benar-benar layak untuk disebut sebagai wisudawan Ramadhan yang sukses dalam mendidik Nafsunya. Tidak hanya sekedar wisudawan abal-abal yang sekarang marak di dunia pendidikan kita, sudah memegang ijazah, tapi kualitasnya nol puthul. Dan tentunya kita sebagai siswa-siswa Madrasah Ramadhan tidak menginginkan hal yang demikian. Bukankah begitu kawan? Wallahu A'lam bis Showab.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger