Advertise 728x90

MUTAFAIHIQUN (1)*

Written By Unknown on Monday, September 12, 2016 | 10:01 AM



Saat aku masih belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, aku pernah mengalami kesulitan dalam memahami satu redaksi Fiqh yang membahas tentang masalah Mu'amalat. Dalam kitab tersebut disebutkan redaksi:

ويحرم بيع برَمْبَلولٍ ببَرَمْبلول

Aku merasa janggal dengan redaksi di atas. Dalam hati kecil, aku mengatakan bahwa redaksi di atas dibaca "Wa Yahrumu Bai'u Barambalulin Bi Barambalulin", tetapi aku masih saja merasa janggal, sebab aku tidak pernah mendengar ada kata-kata "Barambalulin" dalam bahasa Arab.

Akhirnya, karena saking penasarannya, aku memulai untuk membuka-buka berbagai macam kitab Syarah (penjelas) atas kitab Fiqh yang aku baca tadi. Tapi hasilnya nihil, tak ada satupun dari kitab-kitab Syarah yang aku baca menjelaskan redaksi yang memusingkan kepalaku di atas. Tak mau putus asa, akhirnya aku pun kembali menyingsingkan lengan baju, "Cancut Tali Wondho", aku pun mulai membuka-buka kitab Hasyiah yang merupakan kitab-kitab penjelas atas kitab Syarah, dan tetunya lebih lebar nan panjang dari kitab-kitab Syarah. Namun aneh, lagi-lagi aku gagal menemukan penjelasan tentang redaksi "Barambalulin" itu, jangankan menemukan penjelasan, menyinggung sedikit pun juga tidak.

"Aneh sekali, masak nggak ada satu pun Ulama yang menjelaskan tentang kata 'Barambalulin' ini. Berarti semua Ulama sepakat dalam kesalahan dong", begitu pikirku pada waktu itu.

Aku tetap tidak mau menyerah, pantang bagiku untuk menyerah sebelum mengerahkan segala daya dan upaya, apalagi guna memahami sebuah redaksi kitab. Dan jalan terakhir yang aku tempuh adalah membuka Kamus. Aku kumpulkan berbagai macam kamus yang ada, mulai dari kamus Lughoh (Bahasa), kamus Fiqh, kamus Istilah dan pelbagai macam kamus lainnya. Lembar demi lembar setiap kamus itu aku teliti dengan sabar, satu persatu sampai berjam-jam pun berlalu, namun hasilnya masih nihil juga. Ya, di sinilah akhirnya aku sampai pada titik putus asa dan jenuh. Akalku sudah tidak mampu lagi untuk mencerna redaksi di atas. Dan akhirnya aku benar-benar menyerah. Dan Kalah.

Dengan wajah lesu tak bergairah, aku berjalan gontai mendatangi salah satu guruku yang nampak sedang asyik mendaras Al-Qur'an di salah satu sudut masjid Al-Azhar. Dengan suara lemah dan wajah yang kelihatan pucat pasi, aku beranikan diri untuk bertanya kepada guruku itu:
"Ya Syaikh, sebenarnya apa makna dari kata برَمْبَلولٍ ببَرَمْبلول (Barambalulin Bi Barambalulin)? Aku telah mencari ke seluruh kitab Syarah yang aku ketahui dan hasilnya nihil. Aku sudah meneliti hampir sebagian besar kitab-kitab Hasyiah atas kitab ini, dan lagi-lagi tak satu pun kata-kata dalam hasyiah tersebut yang mengupas redaksi di atas. Bahkan berpuluh-puluh kamus pun sudah aku buka, tetap saja masih tidak aku temukan. Apakah semua Ulama memang sepakat dalam kesalahan wahai guru? Atau jangan-jangan malah pengarang kitab ini yang salah tulis?"
Mendengar kegusaran dan keluhan muridnya yang masih muda ini, guruku malah hanya tersenyum manis sambil mengangguk-anggukkan kepala. Lalu sejurus kemudian guruku berkata:
"Duhai Hasan anakku...Tidaklah seseorang mengambil ilmu dari kitab—tanpa ada guru yang menuntunnya sama sekali—kecuali dia pasti akan tersesat. Keberadaan seorang guru merupakan sebuah keharusan, agar dia bisa menjelaskan permasalahan-permasalahan yang rumit, memerinci keterangan yang masih global atau pun malah sebaliknya, meringkas sesuatu yang terlalu lebar dan sulit untuk dimengerti. Andaikan kitab saja sudah mencukupi untuk mengantarkan seseorang sebagai Ahlu-l-Ilmi, niscaya Allah tidak perlu untuk mengutus para Nabi dan Rasul bersamaan dengan kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya. Dan tentunya Allah pun tidak  akan susah-susah memberikan ancaman bagi orang-orang yang menyembunyikan Ilmunya setelah sebelumnya Allah mengambil janji dari mereka untuk menjelaskan isi kitab yang telah mereka pelajari"
Mendengar nasehat guruku di atas, aku hanya bisa diam terperangah. Kata-kata singkat yang menusuk ke dalam ulu hati yang  paling dalam, seolah-olah dentuman lonceng yang sangat keras sekali bergaung di samping daun telinga hatiku. Ya, aku hanya diam seribu bahasa, aku larut dalam perasaanku yang bercampur aduk tak menentu, entah kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku dipenuhi guyuran peluh yang sangat deras, aku mandi peluh dan keringat. Rasa malu sedikit demi sedikit merayapi diriku, “ah sesombong itukah aku”, gumamku dalam hati.
"Ehmm..ehmm", suara dehem guruku membuyarkan angan dan bayang-bayang yang menari-nari di benakku. 
"Anakku, Hasan...cara membaca redaksi di atas (ويحرم بيع برَمْبَلولٍ ببَرَمْبلول ) yang benar adalah "Wayahrumu Bai'u Burrin Mablulin Bi Burrin Mablulin" yang artinya adalah: "Haram menjual gandum yang basah (dibayar) dengan (alat pembayaran berupa) gandum yang basah juga"
Mendengar penjelasan guruku di atas aku benar-benar tersadar, bahwa sebenarnya dalam mencari Ilmu agama itu tidaklah hanya dibutuhkan kecerdasan akal saja, kegigihan saja atau bahkan kitab-kitab yang besar dan luas saja, kamus-kamus yang bermacam-macam, tapi paling pertama dan utama adalah kita membutuhkan Tawadhu'. Ya, ketawadhu'-an seorang Tilmidz untuk sekedar duduk menunduk di depan guru-nya, lalu bertanya dengan hati dan perasaan yang memang benar-benar ingin bertanya, bukan malahan menguji gurunya. Na'udzubillah. Semenjak itu, aku tidak pernah melupakan kalam Hikmah yang keluar dari cermin bening guruku di atas, walaupun semua itu tidak lantas menjadikanku kendor dalam membaca atau pun Muthola'ah. Aku jadi teringat sebuah ungkapan indah Imam Syafi’i:
ما ضُحِكَ من خطأ امرئ قط إلاَّ وثبت صوابه في قلبه
Tidaklah seseorang ditertawakan atas kesalahan yang diperbuatnya kecuali kebenaran yang diketahuinya setelah itu akan benar-benar tertancap dalam hatinya







* Kisah ini diceritakan oleh Syaikh Hasan Hitou dalam buku beliau yang berjudul “MUTAFAIHIQUN”. Dan Insya Allah, kisah-kisah unik dan menarik dalam buku tersebut akan saya ceritakan ulang dengan gaya bahasa saya sendiri. Semoga tercapai.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

2 komentar

avatar

Mohon maaf, kejadian ini terjadi pada guru Syekh Hasan, bukan pada beliaunya

avatar

Bisa dilihat lagi di kitab beliau المتفيقهون

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger