Saat aku masih belajar di
Universitas Al-Azhar, Mesir, aku pernah mengalami kesulitan dalam memahami satu
redaksi Fiqh yang membahas tentang masalah Mu'amalat. Dalam kitab tersebut
disebutkan redaksi:
ويحرم بيع
برَمْبَلولٍ ببَرَمْبلول
Aku merasa janggal dengan redaksi di
atas. Dalam hati kecil, aku mengatakan bahwa redaksi di atas dibaca "Wa
Yahrumu Bai'u Barambalulin Bi Barambalulin", tetapi aku masih saja
merasa janggal, sebab aku tidak pernah mendengar ada kata-kata
"Barambalulin" dalam bahasa Arab.
Akhirnya, karena saking
penasarannya, aku memulai untuk membuka-buka berbagai macam kitab Syarah
(penjelas) atas kitab Fiqh yang aku baca tadi. Tapi hasilnya nihil, tak ada
satupun dari kitab-kitab Syarah yang aku baca menjelaskan redaksi yang
memusingkan kepalaku di atas. Tak mau putus asa, akhirnya aku pun kembali
menyingsingkan lengan baju, "Cancut Tali Wondho", aku pun
mulai membuka-buka kitab Hasyiah yang merupakan kitab-kitab penjelas atas kitab
Syarah, dan tetunya lebih lebar nan panjang dari kitab-kitab Syarah. Namun
aneh, lagi-lagi aku gagal menemukan penjelasan tentang redaksi "Barambalulin"
itu, jangankan menemukan penjelasan, menyinggung sedikit pun juga tidak.
"Aneh
sekali, masak nggak ada satu pun Ulama yang menjelaskan tentang kata 'Barambalulin'
ini. Berarti semua Ulama sepakat dalam kesalahan dong", begitu
pikirku pada waktu itu.
Aku tetap tidak mau menyerah,
pantang bagiku untuk menyerah sebelum mengerahkan segala daya dan upaya,
apalagi guna memahami sebuah redaksi kitab. Dan jalan terakhir yang aku tempuh
adalah membuka Kamus. Aku kumpulkan berbagai macam kamus yang ada, mulai dari
kamus Lughoh (Bahasa), kamus Fiqh, kamus Istilah dan pelbagai macam
kamus lainnya. Lembar demi lembar setiap kamus itu aku teliti dengan sabar,
satu persatu sampai berjam-jam pun berlalu, namun hasilnya masih nihil juga.
Ya, di sinilah akhirnya aku sampai pada titik putus asa dan jenuh. Akalku sudah
tidak mampu lagi untuk mencerna redaksi di atas. Dan akhirnya aku benar-benar
menyerah. Dan Kalah.
Dengan wajah lesu tak bergairah, aku
berjalan gontai mendatangi salah satu guruku yang nampak sedang asyik mendaras
Al-Qur'an di salah satu sudut masjid Al-Azhar. Dengan suara lemah dan wajah
yang kelihatan pucat pasi, aku beranikan diri untuk bertanya kepada guruku itu:
"Ya
Syaikh, sebenarnya apa makna dari kata برَمْبَلولٍ
ببَرَمْبلول (Barambalulin
Bi Barambalulin)? Aku telah mencari ke seluruh kitab Syarah yang aku
ketahui dan hasilnya nihil. Aku sudah meneliti hampir sebagian besar
kitab-kitab Hasyiah atas kitab ini, dan lagi-lagi tak satu pun kata-kata dalam
hasyiah tersebut yang mengupas redaksi di atas. Bahkan berpuluh-puluh kamus pun
sudah aku buka, tetap saja masih tidak aku temukan. Apakah semua Ulama memang
sepakat dalam kesalahan wahai guru? Atau jangan-jangan malah pengarang kitab
ini yang salah tulis?"
Mendengar kegusaran dan keluhan
muridnya yang masih muda ini, guruku malah hanya tersenyum manis sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Lalu sejurus kemudian guruku berkata:
"Duhai
Hasan anakku...Tidaklah seseorang mengambil ilmu dari kitab—tanpa ada guru yang
menuntunnya sama sekali—kecuali dia pasti akan tersesat. Keberadaan seorang
guru merupakan sebuah keharusan, agar dia bisa menjelaskan
permasalahan-permasalahan yang rumit, memerinci keterangan yang masih global
atau pun malah sebaliknya, meringkas sesuatu yang terlalu lebar dan sulit untuk
dimengerti. Andaikan kitab saja sudah mencukupi untuk mengantarkan seseorang
sebagai Ahlu-l-Ilmi, niscaya Allah tidak perlu untuk mengutus para Nabi
dan Rasul bersamaan dengan kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya. Dan tentunya
Allah pun tidak akan susah-susah memberikan
ancaman bagi orang-orang yang menyembunyikan Ilmunya setelah sebelumnya Allah
mengambil janji dari mereka untuk menjelaskan isi kitab yang telah mereka
pelajari"
Mendengar nasehat guruku di atas,
aku hanya bisa diam terperangah. Kata-kata singkat yang menusuk ke dalam ulu
hati yang paling dalam, seolah-olah
dentuman lonceng yang sangat keras sekali bergaung di samping daun telinga
hatiku. Ya, aku hanya diam seribu bahasa, aku larut dalam perasaanku yang
bercampur aduk tak menentu, entah kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku dipenuhi
guyuran peluh yang sangat deras, aku mandi peluh dan keringat. Rasa malu
sedikit demi sedikit merayapi diriku, “ah sesombong itukah aku”, gumamku dalam
hati.
"Ehmm..ehmm", suara dehem
guruku membuyarkan angan dan bayang-bayang yang menari-nari di benakku.
"Anakku,
Hasan...cara membaca redaksi di atas (ويحرم بيع
برَمْبَلولٍ ببَرَمْبلول ) yang
benar adalah "Wayahrumu Bai'u Burrin Mablulin Bi Burrin Mablulin"
yang artinya adalah: "Haram menjual gandum yang basah (dibayar) dengan
(alat pembayaran berupa) gandum yang basah juga"
Mendengar penjelasan guruku di atas aku benar-benar
tersadar, bahwa sebenarnya dalam mencari Ilmu agama itu tidaklah hanya
dibutuhkan kecerdasan akal saja, kegigihan saja atau bahkan kitab-kitab yang
besar dan luas saja, kamus-kamus yang bermacam-macam, tapi paling pertama dan
utama adalah kita membutuhkan Tawadhu'. Ya, ketawadhu'-an seorang Tilmidz untuk
sekedar duduk menunduk di depan guru-nya, lalu bertanya dengan hati dan
perasaan yang memang benar-benar ingin bertanya, bukan malahan menguji gurunya.
Na'udzubillah. Semenjak itu, aku tidak pernah melupakan kalam Hikmah
yang keluar dari cermin bening guruku di atas, walaupun semua itu tidak lantas
menjadikanku kendor dalam membaca atau pun Muthola'ah. Aku jadi teringat sebuah
ungkapan indah Imam Syafi’i:
ما
ضُحِكَ من خطأ امرئ قط إلاَّ وثبت صوابه في قلبه
“Tidaklah seseorang
ditertawakan atas kesalahan yang diperbuatnya kecuali kebenaran yang
diketahuinya setelah itu akan benar-benar tertancap dalam hatinya”
* Kisah
ini diceritakan oleh Syaikh Hasan Hitou dalam buku beliau yang berjudul “MUTAFAIHIQUN”.
Dan Insya Allah, kisah-kisah unik dan menarik dalam buku tersebut akan saya
ceritakan ulang dengan gaya bahasa saya sendiri. Semoga tercapai.
2 komentar
Mohon maaf, kejadian ini terjadi pada guru Syekh Hasan, bukan pada beliaunya
Bisa dilihat lagi di kitab beliau المتفيقهون