Advertise 728x90

BAYANI-BURHANI-IRFANI; kongkow bersama Kiai Ajib [1]

Written By Unknown on Sunday, June 5, 2016 | 2:45 PM



            Rasa-rasanya memang sudah lama, saya tidak kongkow-kongkow dan ngobrol ngalor-ngidul bersama guruku yang satu ini, Kiai Muhammad Ajib, Sayung, Demak. Kalau boleh saya hitung, mungkin kurang lebih sudah hampir 2 bulan kami tidak duduk dalam satu majlis bersama. Dan jujur, saya sudah lama dicekam rasa kangen untuk bercengkrama dan berdiskusi dengan ide-ide brilian beliau. Dalam hati, saya berkata: “Hal baru apalagi kah yang akan saya dapat dari beliau?”, begitu dan selalu begitulah kata hatiku saat bertemu dengan beliau. Dan memang, saya menyengaja untuk jarang bertemu dengan beliau, semua itu tak lain agar kerinduan untuk bersua dengan beliau memuncak, sebagaimana dikatakan oleh pepatah Arab: “Zur Ghibban, Tazdad Hubban”. 

            Dan akhirnya, malam itu sehabis sholat Isya’, saya dan teman dari Indramayu sowan ke kediaman sederhana beliau di belakang masjid Jami’ Purwosari, Sayung, Demak. Motor kami parkir di depan rumah beliau yang sederhana. Rumah yang sudah kurang lebih 3 kali ditinggikan, sebab terkena serangan air laut yang naik dan terus naik ke permukaan daratan, hingga akhirnya memakan sebagian rumah warga sekitar (bahasa sininya disebut “Rob”). 

            “Assalamualaikum”, Salam terucap dari mulutku. 

            “Waalaikum Salaam..Oh Dhiya’, monggo-monggo silahkan..!”

            Saya dan teman pun berjalan memasuki rumah sederhana itu menuju ke ruang tamu yang hanya terisi 2 buah kursi yang sudah agak lusuh. Sederhana sekali bukan? Padahal beliau adalah salah satu ketua komisi dakwah MUI Demak, disamping juga menjadi salah satu Katib Syuriah—kalau tidak salah—NU Demak. Tetapi rumah, pola kehidupan dan gaya pakaian beliau ini sangat jauh dari kesan seorang Kiai pada umumnya, sangat apa adanya. Dan contoh nyatanya ya pada malam itu, beliau hanya mengenakan kaos NU biasa yang sudah agak lusuh, tanpa mengenakan peci, dan tentunya ditemani dengan rokok disela-sela jari beliau. 

Monggo-monggo silahkan duduk”, 

Beliau datang dari dalam sambil menenteng kursi plastik berwarna biru dengan tangan kanan beliau, dan digenggaman tangan kirinya ada sebungkus rokok beserta korek, entah, nggak terlalu jelas, apa merk rokok itu. Kami pun duduk pada 2 kursi kusam yang telah tersedia di ruang tamu beliau tersebut. Ah, nyaman juga kursi ini, empuk untuk berlama-lama berdiskusi dan mendengarkan petuah-petuah ilmiah guruku yang satu ini. 

            “Dhiya’, Piye kabare Ya’? Sudah lama nggak ngobrol ya?”, tanya beliau.

            Nggeh De. Sudah hampir 2 bulan lebih”, jawabku.

            Lha Mas ini, namanya siapa? Asalnya dari mana?”, tanya beliau ke temanku.

            Kulo Ainul Yaqin, asal Indramayu”, jawab temanku. 

            “Oh ya ya, nama yang bagus. ‘Ainul Yaqin”

Iya, begitulah salah satu kebiasaan guruku yang satu ini. Beliau sering sekali—bahkan mungkin sangat sering—memuji nama teman-temanku dengan pujian yang bagus-bagus. Pernah suatu hari aku bertanya kepada beliau, kenapa selalu memuji nama-nama yang bagus dan diucapkan dengan lisan yang fashih pula. “Idkholus Surur” itulah jawaban beliau waktu saya bertanya. Dan saya yakin, malam itu beliau memanggil nama temanku dengan fashih, lalu memuji-mujinya, tak lain adalah demi memberikan kebahagiaan kepada temanku itu. Lalu beliau bercerita banyak hal pada kami berdua, dan kami termangu-mangu mendengarkan cerita-cerita menarik beliau. Mulai dari pengalaman dakwah di luar Jawa, beliau pernah ngajar di Hidayatullah, cerita seorang temennya yang pandai berdakwah dan sudah banyak mengajak orang untuk masuk Islam, tapi banyak hutang dan lain sebagainya. Ya, begitulah, setiap kami sowan, pasti kami akan terkagum-kagum dengan pengalaman beliau yang seabrek-abrek dan jarang sekali ada pada diri orang lain. Nah, di sela-sela cerita itu, saya beranikan diri untuk bertanya tentang salah satu hal yang belum saya pahami:

“De, saya pernah membaca dalam salah satu buku karya Abid al-Jabiri tentang pembahasan Bayani-Burhani dan Irfani. Penjelasan hampir serupa, juga saya temukan dalam buku karya Murtadha Muthohhari, yakni tentang Kalam dan Irfan. Jujur saja, kalau pemahaman tentang Bayani dan Burhani, saya sedikit banyak sudah bisa mencerna dan memahami. Tapi kalau tentang Irfani, saya masih buta sama sekali. Kira-kira menurut njenengan itu bagaimana, De?”

Beliau diam sejenak dengan pandangan menerawang ke langit-langit rumah, nampak beliau sedang memikirkan tentang sesuatu. Kepulan asap membumbung tinggi ikut bergoyang-goyang menari menuju langit-langit rumah sederhana itu, sesekali beliau menyedot rokoknya. 

“Ehm...ehmmm”

Beliau berdehem-dehem, mulai membenahi posisi duduk dan wajah beliau nampak mulai serius. Yang pada mulanya dengan kaki kanan yang menumpangi kaki kiri, sekarang beliau duduk dengan lebih sigap. Senyum mulai nampak dari wajah beliau, dengan wajah lurus dan pandangan mata tajam, beliau memandang ke arahku.

“Sebenarnya aku sendiri pun kurang begitu paham dengan mendetil, Ya’. Sudah seringkali aku membaca buku-buku berkenaan dengan Irfani ini, tapi Irfani ini bukanlah hanya sekedar ilmu yang bersifat pemikiran, tapi lebih pada dzauq (intuisi)”.

Beliau duduk lebih sigap dan sekali lagi menyedot rokok yang ada di sela-sela jari beliau, seolah beliau sudah siap untuk memedar apa yang terpendam di dada beliau kepada kami. 

“Jadi, Irfan itu adalah lelakone Nabi Khidhir, sedang Bayani dan Burhani adalah lelakone Nabi Musa...”

“Kaak..niki teh dan kopinya”, panggil istri beliau dari dalam.

Istri beliau masih memanggil beliau dengan panggilan “Kak”. Panggilan yang penuh kasih sayang, kemesraan dan cinta, yang sering kali menjadikan kami yang muda-muda ini iri pada kemesraan beliau berdua. Dan memang, kalau boleh bilang, beliau berdua ini walaupun sudah tua-tua, tapi tak segan-segan untuk menampakkan kemesraan mereka, bahkan di depan kami. Saya memahami bahwa semua itu adalah pendidikan dari beliau kepada kami, seolah beliau ingin menjelaskan kalau menampakkan kemesraan itu adalah salah satu cara untuk menjaga keutuhan biduk rumah tangga. Sering kali setiap beliau dibuatkan kopi oleh sang istri, maka tak segan-segan beliau mengatakan: “Masya Allah, terima kasih ya istriku yang sholihah. Mesti sedep ini buatan istriku”. Dan saya yang mendengar hanya cengengesan saja melihat kemesraan pasangan tua itu. 

Monggo-monggo, ini teh nya diminum dulu”

Kami pun mengambil teh yang telah tersedia di depan kami. 

“Melanjutkan yang tadi. Sering kali orang yang telah mencapai derajat Irfani, prilaku dan sikapnya itu tidak mudah dipahami oleh umumnya orang yang masih bersimpuh pada kedudukan Bayani atau pun Burhani. Apalagi bagi mereka yang tidak paham sama sekali, bahkan mencapai Bayani saja tidak.

Kalau boleh saya katakan; Bayani adalah start awal saat seseorang berusaha untuk memahami sebuah dawuh. Yakni pemahaman sesuai dengan kajian-kajian bahasa yang mana dawuh itu diberikan melalui bahasa itu. Sedang Burhani itu saat seseorang sudah tidak hanya terpaku pada kajian bahasa/teks saja, tetapi sudah merambah pada dimensi rasional. Nah, Irfani itu sudah berada di atas keduanya”, jelas beliau panjang lebar.

Ngapunten, kalau contoh riil-nya gimana De?”, tanyaku penasaran.

“Begini, Nabi Ibrahim—Alahis Salam—pernah mengalami 3 fase pengetahuan ini dalam perjalanan penghambaan (Ubudiyah) beliau, tepatnya adalah saat beliau menerima wahyu untuk menyembelih putra terkasihnya, Ismail Alaihis Salam. Coba baca ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang peristiwa itu, Allah berfirman:

{وَنَبِّئْهُمْ عَنْ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ } {إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ إِنَّا مِنْكُمْ وَجِلُونَ (52) قَالُوا لَا تَوْجَلْ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ } [الحجر: 51, 52، 53]

Dan kabarkanlah kepada mereka tentang tamu-tamu Ibrahim.  Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan, "Salm sejahtera." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya kami merasa takut kepadamu." Mereka berkata, "Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim.

“Dalam ayat di atas, seolah-olah Allah ingin mengisahkan kepada kita bagaimana kondisi psikologi seorang Nabi kekasih Allah, Ibrahim—Alaihis Salam—yang sudah lama sekali tidak memiliki anak sebagai penerus dakwah beliau. Oleh karenanya, tidak mengherankan jikalau saat Allah memberikan kabar gembira (Busyro) melalui Jibril, Nabi Ibrahim terkaget-kaget, seolah tidak percaya. Dan benar, kabar itu menjadi kenyataan dengan lahirnya Nabi Ismail, lalu juga Nabi Ishaq Alaihmas Salam

Beliau kembali menyerutup kopi hitam yang nampaknya sudah agak mulai dingin itu. “srruup”. Lalu beliau melanjutkan lagi:

“Namun setelah Ismail sudah mulai agak dewasa, bisa dimintai tolong membantu orang tua, terutama ayahnya, malahan Allah swt menurunkan ayat yang menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih anak lelakinya itu, Ismail. Allah berfirman:

{فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ } [الصافات: 102]

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu

Dalam berinteraksi dengan perintah Allah di atas, Nabi Ibrahim melewati fase-fase Bayani-Burhani dan Irfani. Coba sampeyan bayangkan, orang tua renta yang sudah lama mendambakan anak, tapi tak kunjung juga diberi karunia anak, namun setelah mendapatkan anak, malah disuruh untuk menyembelih, kira-kira bagaimana perasaan beliau? Kalau sampeyan dalam posisi Nabi Ibrahim, tentunya akan bingung, antara percaya dan tidak percaya. Dan lebih uniknya lagi, perintah penyembelihan Ismail itu tidak melalui perantara Jibril seperti wahyu biasanya, tetapi malah hanya melalui mimpi yang memberikan kesan kurang mantap. Apalagi kalau diukur dengan nalar syariat, bahwa membunuh manusia itu hukumnya haram, apalagi ini anaknya sendiri. Jadi benar-benar membingungkan. Coba saja bayangkan, bagaimana campur aduknya perasaan Nabi Ibrahim pada waktu itu? 

Lagi-lagi, De Ajib melemparkan pandangan sambil menerawang jauh nun di sana, seolah-olah beliau sedang memikirkan sesuatu yang sangat jauh sekali. Beliau ambil lagi cangkir kopi dingin di depannya, lalu disrutup lagi “srrupp”: 

“Kondisi kejiwaan Nabi Ibrahim yang saya ceritakan di atas itulah yang disebut dengan Bayani, Ya’. Nah, dalam satu waktu, Nabi Ibrahim berusaha untuk merasionalkan perintah penyembelihan Ismail, putranya itu. Dalam hati Nabi Ibrahim berkata: “jangan-jangan yang diminta untuk disembelih bukanlah Ismail secara Hakiki dan penyembelihan itu pun juga bukan hal yang sifatnya hakiki, akan tetapi yang harus aku sembelih adalah kecintaanku kepada dunia. “Ismail-ku”—mungkin begitulah pikir Nabi Ibrahim—adalah segala hal yang menghalangiku untuk selalu ingat dan hanya cinta pada Allah”. Ya, Nabi Ibrahim berusaha untuk mencari-cari pemahaman dibalik perintah yang diwahyukan oleh Allah kepada beliau melalui mimpi. Upaya Nabi Ibrahim untuk merasionalkan apa yang telah beliau terima inilah yang disebut dengan Burhani, Ya’”

“Lha terus menawi Irfani seperti apa De?”, sergahku langsung. 

“Saat Nabi Ibrahim mencoba merasionalkan wahyu Ilahiyah tersebut, pada akhirnya beliau menthok dan timbul perasaan khawatir kalau-kalau usaha itu hanya untuk memenuhi keinginan dan kesenangan diri beliau sendiri. Maka akhirnya beliau benar-benar yakin, bahwa perintah penyembelihan Ismail ini adalah murni sebuah ujian yang ditetapkan oleh Allah bagi beliau. Mau tidak mau, beliau harus rela dan pasrah (Islam) atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah itu. Karenanya, beliau akhirnya bertekad untuk benar-benar melaksanakan perintah itu tanpa banyak mencari-cari alasan macam-macam. Dalam al-Qur’an, kondisi Nabi Ibrahim ini dikisahkan dengan apik dalam ayat:

{فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ } [الصافات: 103 - 106]

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim meletakkan pelipis anaknya di atas tanah, (nyatalah kesabaran mereka). Dan Kami panggil dia, "Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu." Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata

Pada kondisi inilah, Nabi Ibrahim telah memahami perintah Ilahiyah menggunakan metode Irfan. Yakni, metode yang merupakah murni pemberian Tuhan (Wahbah Ilahiyah) atau dalam bahasa lain disebut dengan “Ladunni”, dan itu terjadi saat seorang hamba sudah benar-benar terlepas dari belenggu-belenggu keinginan dan kepentingan duniawi, bahkan saat kepentingan itu bersentuhan langsung dengan pribadinya, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim tersebut. Begitulah kurang lebih yang saya pahami dari Bayani- Burhani-Irfani, Ya’”

Mendengar pemaparan De Ajib yang benar-benar ajib tersebut, aku hanya bisa diam terperangah saja. Hatiku terbang, mencoba mengais-ais berbagai pengetahuan yang pernah aku baca dalam berbagai macam kitab-kitab sufi, dalam hati aku hanya mampu bergumam: “Apakah manusia-manusia seperti Nabi Ibrahim inilah yang disebut dengan Insan Kamil, yakni manusia-manusia yang benar-benar sudah merdeka dari segala macam kepentingan pribadi. Manusia yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Wallahu a’lam”, pekikku dalam hati, sambil aku sruput teh yang sudah mulai tidak hangat lagi ini []



Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger