Rasa-rasanya
memang sudah lama, saya tidak kongkow-kongkow dan ngobrol ngalor-ngidul
bersama guruku yang satu ini, Kiai Muhammad Ajib, Sayung, Demak. Kalau boleh
saya hitung, mungkin kurang lebih sudah hampir 2 bulan kami tidak duduk dalam
satu majlis bersama. Dan jujur, saya sudah lama dicekam rasa kangen untuk
bercengkrama dan berdiskusi dengan ide-ide brilian beliau. Dalam hati, saya
berkata: “Hal baru apalagi kah yang akan saya dapat dari beliau?”, begitu dan
selalu begitulah kata hatiku saat bertemu dengan beliau. Dan memang, saya
menyengaja untuk jarang bertemu dengan beliau, semua itu tak lain agar
kerinduan untuk bersua dengan beliau memuncak, sebagaimana dikatakan oleh
pepatah Arab: “Zur Ghibban, Tazdad Hubban”.
Dan
akhirnya, malam itu sehabis sholat Isya’, saya dan teman dari Indramayu sowan
ke kediaman sederhana beliau di belakang masjid Jami’ Purwosari, Sayung, Demak.
Motor kami parkir di depan rumah beliau yang sederhana. Rumah yang sudah kurang
lebih 3 kali ditinggikan, sebab terkena serangan air laut yang naik dan terus naik
ke permukaan daratan, hingga akhirnya memakan sebagian rumah warga sekitar
(bahasa sininya disebut “Rob”).
“Assalamualaikum”,
Salam terucap dari mulutku.
“Waalaikum
Salaam..Oh Dhiya’, monggo-monggo silahkan..!”
Saya
dan teman pun berjalan memasuki rumah sederhana itu menuju ke ruang tamu yang
hanya terisi 2 buah kursi yang sudah agak lusuh. Sederhana sekali bukan?
Padahal beliau adalah salah satu ketua komisi dakwah MUI Demak, disamping juga
menjadi salah satu Katib Syuriah—kalau tidak salah—NU Demak. Tetapi rumah, pola
kehidupan dan gaya pakaian beliau ini sangat jauh dari kesan seorang Kiai pada
umumnya, sangat apa adanya. Dan contoh nyatanya ya pada malam itu, beliau hanya
mengenakan kaos NU biasa yang sudah agak lusuh, tanpa mengenakan peci, dan
tentunya ditemani dengan rokok disela-sela jari beliau.
“Monggo-monggo
silahkan duduk”,
Beliau datang dari dalam sambil
menenteng kursi plastik berwarna biru dengan tangan kanan beliau, dan
digenggaman tangan kirinya ada sebungkus rokok beserta korek, entah, nggak
terlalu jelas, apa merk rokok itu. Kami pun duduk pada 2 kursi kusam yang telah
tersedia di ruang tamu beliau tersebut. Ah, nyaman juga kursi ini, empuk untuk
berlama-lama berdiskusi dan mendengarkan petuah-petuah ilmiah guruku yang satu
ini.
“Dhiya’,
Piye kabare Ya’? Sudah lama nggak ngobrol ya?”, tanya beliau.
“Nggeh
De. Sudah hampir 2 bulan lebih”, jawabku.
“Lha
Mas ini, namanya siapa? Asalnya dari mana?”, tanya beliau ke temanku.
“Kulo
Ainul Yaqin, asal Indramayu”, jawab temanku.
“Oh
ya ya, nama yang bagus. ‘Ainul Yaqin”
Iya,
begitulah salah satu kebiasaan guruku yang satu ini. Beliau sering sekali—bahkan
mungkin sangat sering—memuji nama teman-temanku dengan pujian yang bagus-bagus.
Pernah suatu hari aku bertanya kepada beliau, kenapa selalu memuji nama-nama
yang bagus dan diucapkan dengan lisan yang fashih pula. “Idkholus
Surur” itulah jawaban beliau waktu saya bertanya. Dan saya yakin, malam itu
beliau memanggil nama temanku dengan fashih, lalu memuji-mujinya, tak
lain adalah demi memberikan kebahagiaan kepada temanku itu. Lalu beliau bercerita
banyak hal pada kami berdua, dan kami termangu-mangu mendengarkan cerita-cerita
menarik beliau. Mulai dari pengalaman dakwah di luar Jawa, beliau pernah ngajar
di Hidayatullah, cerita seorang temennya yang pandai berdakwah dan sudah banyak
mengajak orang untuk masuk Islam, tapi banyak hutang dan lain sebagainya. Ya,
begitulah, setiap kami sowan, pasti kami akan terkagum-kagum dengan pengalaman
beliau yang seabrek-abrek dan jarang sekali ada pada diri orang lain. Nah, di
sela-sela cerita itu, saya beranikan diri untuk bertanya tentang salah satu hal
yang belum saya pahami:
“De, saya
pernah membaca dalam salah satu buku karya Abid al-Jabiri tentang pembahasan
Bayani-Burhani dan Irfani. Penjelasan hampir serupa, juga saya temukan dalam
buku karya Murtadha Muthohhari, yakni tentang Kalam dan Irfan. Jujur saja,
kalau pemahaman tentang Bayani dan Burhani, saya sedikit banyak sudah bisa
mencerna dan memahami. Tapi kalau tentang Irfani, saya masih buta sama sekali.
Kira-kira menurut njenengan itu bagaimana, De?”
Beliau diam
sejenak dengan pandangan menerawang ke langit-langit rumah, nampak beliau
sedang memikirkan tentang sesuatu. Kepulan asap membumbung tinggi ikut
bergoyang-goyang menari menuju langit-langit rumah sederhana itu, sesekali
beliau menyedot rokoknya.
“Ehm...ehmmm”
Beliau
berdehem-dehem, mulai membenahi posisi duduk dan wajah beliau nampak mulai
serius. Yang pada mulanya dengan kaki kanan yang menumpangi kaki kiri, sekarang
beliau duduk dengan lebih sigap. Senyum mulai nampak dari wajah beliau, dengan
wajah lurus dan pandangan mata tajam, beliau memandang ke arahku.
“Sebenarnya
aku sendiri pun kurang begitu paham dengan mendetil, Ya’. Sudah seringkali aku
membaca buku-buku berkenaan dengan Irfani ini, tapi Irfani ini bukanlah hanya
sekedar ilmu yang bersifat pemikiran, tapi lebih pada dzauq (intuisi)”.
Beliau
duduk lebih sigap dan sekali lagi menyedot rokok yang ada di sela-sela jari
beliau, seolah beliau sudah siap untuk memedar apa yang terpendam di dada
beliau kepada kami.
“Jadi, Irfan
itu adalah lelakone Nabi Khidhir, sedang Bayani dan Burhani adalah
lelakone Nabi Musa...”
“Kaak..niki
teh dan kopinya”, panggil istri beliau dari dalam.
Istri beliau
masih memanggil beliau dengan panggilan “Kak”. Panggilan yang penuh kasih
sayang, kemesraan dan cinta, yang sering kali menjadikan kami yang muda-muda
ini iri pada kemesraan beliau berdua. Dan memang, kalau boleh bilang, beliau
berdua ini walaupun sudah tua-tua, tapi tak segan-segan untuk menampakkan
kemesraan mereka, bahkan di depan kami. Saya memahami bahwa semua itu adalah
pendidikan dari beliau kepada kami, seolah beliau ingin menjelaskan kalau menampakkan
kemesraan itu adalah salah satu cara untuk menjaga keutuhan biduk rumah tangga.
Sering kali setiap beliau dibuatkan kopi oleh sang istri, maka tak segan-segan
beliau mengatakan: “Masya Allah, terima kasih ya istriku yang sholihah.
Mesti sedep ini buatan istriku”. Dan saya yang mendengar hanya
cengengesan saja melihat kemesraan pasangan tua itu.
“Monggo-monggo,
ini teh nya diminum dulu”
Kami pun mengambil teh yang telah
tersedia di depan kami.
“Melanjutkan
yang tadi. Sering kali orang yang telah mencapai derajat Irfani, prilaku dan
sikapnya itu tidak mudah dipahami oleh umumnya orang yang masih bersimpuh pada
kedudukan Bayani atau pun Burhani. Apalagi bagi mereka yang tidak paham sama
sekali, bahkan mencapai Bayani saja tidak.
Kalau boleh
saya katakan; Bayani adalah start awal saat seseorang berusaha untuk memahami
sebuah dawuh. Yakni pemahaman sesuai dengan kajian-kajian bahasa yang
mana dawuh itu diberikan melalui bahasa itu. Sedang Burhani itu saat
seseorang sudah tidak hanya terpaku pada kajian bahasa/teks saja, tetapi sudah
merambah pada dimensi rasional. Nah, Irfani itu sudah berada di atas keduanya”,
jelas beliau panjang lebar.
“Ngapunten,
kalau contoh riil-nya gimana De?”, tanyaku penasaran.
“Begini, Nabi
Ibrahim—Alahis Salam—pernah mengalami 3 fase pengetahuan ini dalam
perjalanan penghambaan (Ubudiyah) beliau, tepatnya adalah saat beliau
menerima wahyu untuk menyembelih putra terkasihnya, Ismail Alaihis Salam.
Coba baca ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang peristiwa itu, Allah
berfirman:
{وَنَبِّئْهُمْ عَنْ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ } {إِذْ دَخَلُوا
عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ إِنَّا مِنْكُمْ وَجِلُونَ (52) قَالُوا لَا
تَوْجَلْ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ } [الحجر: 51, 52، 53]
“Dan
kabarkanlah kepada mereka tentang tamu-tamu Ibrahim. Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka
mengucapkan, "Salm sejahtera." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya
kami merasa takut kepadamu." Mereka berkata, "Janganlah kamu merasa
takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran
seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim.”
“Dalam ayat di
atas, seolah-olah Allah ingin mengisahkan kepada kita bagaimana kondisi
psikologi seorang Nabi kekasih Allah, Ibrahim—Alaihis Salam—yang sudah
lama sekali tidak memiliki anak sebagai penerus dakwah beliau. Oleh karenanya,
tidak mengherankan jikalau saat Allah memberikan kabar gembira (Busyro)
melalui Jibril, Nabi Ibrahim terkaget-kaget, seolah tidak percaya. Dan benar,
kabar itu menjadi kenyataan dengan lahirnya Nabi Ismail, lalu juga Nabi Ishaq Alaihmas
Salam”
Beliau kembali menyerutup kopi hitam
yang nampaknya sudah agak mulai dingin itu. “srruup”. Lalu beliau melanjutkan
lagi:
“Namun setelah
Ismail sudah mulai agak dewasa, bisa dimintai tolong membantu orang tua,
terutama ayahnya, malahan Allah swt menurunkan ayat yang menyuruh Nabi Ibrahim
menyembelih anak lelakinya itu, Ismail. Allah berfirman:
{فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى
فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ } [الصافات: 102]
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai anakku, sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu”
Dalam
berinteraksi dengan perintah Allah di atas, Nabi Ibrahim melewati fase-fase
Bayani-Burhani dan Irfani. Coba sampeyan bayangkan, orang tua renta yang
sudah lama mendambakan anak, tapi tak kunjung juga diberi karunia anak, namun
setelah mendapatkan anak, malah disuruh untuk menyembelih, kira-kira bagaimana
perasaan beliau? Kalau sampeyan dalam posisi Nabi Ibrahim, tentunya akan
bingung, antara percaya dan tidak percaya. Dan lebih uniknya lagi, perintah
penyembelihan Ismail itu tidak melalui perantara Jibril seperti wahyu biasanya,
tetapi malah hanya melalui mimpi yang memberikan kesan kurang mantap. Apalagi
kalau diukur dengan nalar syariat, bahwa membunuh manusia itu hukumnya haram,
apalagi ini anaknya sendiri. Jadi benar-benar membingungkan. Coba saja
bayangkan, bagaimana campur aduknya perasaan Nabi Ibrahim pada waktu itu?
Lagi-lagi,
De Ajib melemparkan pandangan sambil menerawang jauh nun di sana, seolah-olah
beliau sedang memikirkan sesuatu yang sangat jauh sekali. Beliau ambil lagi cangkir
kopi dingin di depannya, lalu disrutup lagi “srrupp”:
“Kondisi
kejiwaan Nabi Ibrahim yang saya ceritakan di atas itulah yang disebut dengan
Bayani, Ya’. Nah, dalam satu waktu, Nabi Ibrahim berusaha untuk merasionalkan
perintah penyembelihan Ismail, putranya itu. Dalam hati Nabi Ibrahim berkata:
“jangan-jangan yang diminta untuk disembelih bukanlah Ismail secara Hakiki dan
penyembelihan itu pun juga bukan hal yang sifatnya hakiki, akan tetapi yang
harus aku sembelih adalah kecintaanku kepada dunia. “Ismail-ku”—mungkin
begitulah pikir Nabi Ibrahim—adalah segala hal yang menghalangiku untuk selalu
ingat dan hanya cinta pada Allah”. Ya, Nabi Ibrahim berusaha untuk mencari-cari
pemahaman dibalik perintah yang diwahyukan oleh Allah kepada beliau melalui mimpi.
Upaya Nabi Ibrahim untuk merasionalkan apa yang telah beliau terima inilah yang
disebut dengan Burhani, Ya’”
“Lha terus
menawi Irfani seperti apa De?”, sergahku langsung.
“Saat Nabi
Ibrahim mencoba merasionalkan wahyu Ilahiyah tersebut, pada akhirnya
beliau menthok dan timbul perasaan khawatir kalau-kalau usaha itu hanya
untuk memenuhi keinginan dan kesenangan diri beliau sendiri. Maka akhirnya
beliau benar-benar yakin, bahwa perintah penyembelihan Ismail ini adalah murni
sebuah ujian yang ditetapkan oleh Allah bagi beliau. Mau tidak mau, beliau
harus rela dan pasrah (Islam) atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah
itu. Karenanya, beliau akhirnya bertekad untuk benar-benar melaksanakan
perintah itu tanpa banyak mencari-cari alasan macam-macam. Dalam al-Qur’an,
kondisi Nabi Ibrahim ini dikisahkan dengan apik dalam ayat:
{فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ
أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ } [الصافات: 103 -
106]
“Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim meletakkan pelipis anaknya di atas
tanah, (nyatalah kesabaran mereka). Dan Kami panggil dia, "Hai Ibrahim.
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu." Sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata”
Pada kondisi
inilah, Nabi Ibrahim telah memahami perintah Ilahiyah menggunakan metode Irfan.
Yakni, metode yang merupakah murni pemberian Tuhan (Wahbah Ilahiyah)
atau dalam bahasa lain disebut dengan “Ladunni”, dan itu terjadi saat
seorang hamba sudah benar-benar terlepas dari belenggu-belenggu keinginan dan
kepentingan duniawi, bahkan saat kepentingan itu bersentuhan langsung dengan
pribadinya, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim tersebut. Begitulah
kurang lebih yang saya pahami dari Bayani- Burhani-Irfani, Ya’”
Mendengar
pemaparan De Ajib yang benar-benar ajib tersebut, aku hanya bisa diam
terperangah saja. Hatiku terbang, mencoba mengais-ais berbagai pengetahuan yang
pernah aku baca dalam berbagai macam kitab-kitab sufi, dalam hati aku hanya
mampu bergumam: “Apakah manusia-manusia seperti Nabi Ibrahim inilah yang
disebut dengan Insan Kamil, yakni manusia-manusia yang benar-benar sudah
merdeka dari segala macam kepentingan pribadi. Manusia yang telah selesai
dengan dirinya sendiri. Wallahu a’lam”, pekikku dalam hati, sambil aku sruput
teh yang sudah mulai tidak hangat lagi ini []
0 komentar