Advertise 728x90

INDONESIA MILIK ALLAH (Dalam konsep HTI dan IN, manakah yang lebih tepat?)

Written By Unknown on Monday, May 30, 2016 | 8:16 PM


            Beberapa waktu yang lalu, telinga kita sempat mendengar sebuah yel-yel yang berbunyi: “INDONESIA MILIK ALLAH”, yang digembar-gemborkan oleh sebuah organisasi pengusung Khilafah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia atau yang biasa disingkat dengan HTI. Entah, apa sebenarnya maksud sebenarnya dari yel-yel tersebut, namun saya mencium adanya gelagat bahwa yel-yel itu tak lain mereka suarakan sebagai counter discours dari model sistem demokrasi yang selama ini dipraktekkan oleh negara Indonesia. Seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa jika “INDONESIA MILIK ALLAH”, maka sistem yang harus digunakan untuk mengatur Indonesia adalah sistem yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah swt. Apakah sistem yang diturunkan oleh Allah itu? Menurut kelompok HTI, sistem tersebut ya sistem khilafah, bukan sistem Demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. 

            Saya tidak ingin membahas apakah sistem khilafah—sebagaimana pengakuan HTI—itu benar-benar sistem yang diturunkan oleh Allah atau tidak. Dan saya juga tidak ingin membahas apakah sistem Khilafah versi mereka itu benar atau salah. Tapi, saya ingin menunjukkan bahwa yel-yel “INDONESIA MILIK ALLAH” itu dahulu kala sudah pernah disemarakkan oleh orang-orang Nusantara yang mana konsep tersebut sekarang ini menjadi salah satu rujukan NU dengan Islam Nusantara-nya (IN). Sebagaimana hal tersebut diceritakan oleh Babad Joko Tingkir:

            Lemah kang siro ambah; saisine tanah Jawi; pan sadaya duweke kang dadi nata
            Kang rayi alon turira; Allah kang adarba bumi
[Utusan Demak berujar dengan tegas: “Bumi yang anda pijak, beserta segenap isi tanah Jawi ini, semuanya adalah milik raja. Sang adik, Ki Ageng Pengging (Raden Kebo kenanga, ayah Jaka Tingkir) berujar pelan: “Allah-lah yang memiliki tanah ini”][1]

Namun, yang perlu kita perhatikan dengan lebih seksama lagi, apakah interpretasi HTI dan Islam Nusantara terhadap yel-yel “INDONESIA MILIK ALLAH” itu memiliki makna yang sama atau malah bertolak belakang sama sekali? Kalau memang kenyataannya berbeda, lalu interpretasi manakah yang benar diantara keduanya? Sepanjang pengetahuan saya atas konsep Khilafah model HTI, mereka ingin menekankan bahwa umat Islam seluruh dunia haruslah dipimpin oleh satu orang khalifah yang mengatur semua aspek kehidupan umat Islam. Dan itulah—menurut mereka—yang dimaksud dengan “Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah”, sebab jikalau umat Islam dipimpin oleh pemimpin masing-masing negara, maka akan terjadi perpecahan antara sesama Umat Islam. Oleh karenanya, kelompok HTI ini akan selalu mengaitkan setiap kemunduran dan kemerosotan sebuah bangsa dengan tiadanya konsep Khilafah ini, hingga akhirnya tak segan-segan mereka melakukan pemberontakan terhadap seorang pemimpin yang sah, hanya gara-gara pemimpin tersebut telah dianggap dzalim dan bukanlah seorang khalifah atau kalau tidak demikian ya karena model negaranya bukanlah model khilafah, tetapi demokrasi. Maka harus digulingkan dan diganti dengan khalifah yang diharapkan bisa menjadikan sistem Khilafah sebagai model pemerintahannya kelak. Hasilnya bisa kita lihat, kehancuran demi kehancuran negara-negara Arab, mulai dari Tunisia, Iraq, Taliban dan terakhir sekarang ini adalah Syiria, menjadi pemandangan yang sudah biasa. Walaupun secara pribadi, saya tidak mengatakan bahwa penyebab kehancuran tersebut murni dari kelompok HTI saja, tapi kita juga tidak bisa memungkiri bahwa mereka juga berperan. 

Lalu bagaimanakah interpretasi yel-yel “INDONESIA MILIK ALLAH” menurut Islam Nusantara? Sebelum kita mengambil kesimpulan akhir, ada baiknya kita baca dan kaji terlebih dahulu penjelasan dari salah satu pakar kajian Islam Nusantara ini, yakni Kiai Ahmad Baso dalam bukunya, Islam Nusantara. Di sana beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Allah kang adarba bumi [Allah-lah yang memiliki tanah ini]” adalah:

Ia [Ki Ageng Pengging] mendaku dunia kehidupan kaum santri , hidup bertani menggarap sawah, menjadi orang desa, serta—ini yang penting—membawa idiologi kaum santri bahwa; tanah itu bukan milik raja, tapi milik Allah yang diberikan kepada manusia sebagai amanah untuk digarap dengan sebaik-baiknya dan untuk sebesar-besar kemaslahatan bagi umat manusia di dunia ini. Dari sini orang pesantren meracik ide tentang tanah sebagai faktor produksi dalam ekonomo rakyat..[2]

Sebelumnya, pak Ahmad Baso menjelaskan juga:

Salah satu implikasi strategis dari pengakuan kedaulatan rakyat atas tanah ini adalah hancurnya sistem feodalisme dimana sang raja mengklaim sebagai pemilik tanah. Ketika raja-raja dibuat sebagai pedagang, maka tanah kemudian dikembalikan kepada rakyat, menjadi milik bersama...[3]

Penjelasan Pak Ahmad Baso ini mengingatkan dengan interpretasi yang dikemukakan oleh Pak Agus Sunyoto berkenaan dengan makna “Manunggaling Kawulo Ing Gusti”, bahwa statement tersebut bukanlah terjemahan jawa dari Wahdatu-L-Wujud dalam Sufi Falsafi. Tapi merupakan sebuah bentuk perlawanan bahwa antara “Gusti [raja/tuan]” dan “Kawula [rakyat jelata]” adalah mempunyai posisi yang sama (manunggal), yakni masing-masing berhak untuk memiliki tanah dan memanfaatkannya, bukan malah rakyat bekerja menggarap tanah untuk sang memenuhi kebutuhan raja-raja.

Dari pemaparan di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa masing-masing interpretasi kedua kelompok tersebut adalah sebagai berikut:

1.        HTI menyuarakan “INDONESIA MILIK ALLAH” hanya sebagai batu pijakan saja untuk memuluskan jalan mereka, yang tak lain adalah merebut tampuk kekuasaan sebuah negara. Karena menurut mereka, sistem selain khilafah adalah salah dan menjadi penyebab utama kehancuran serta kemunduran sebuah bangsa, oleh karenanya haruslah diganti dengan khilafah. Slogan tersebut di atas lebih bernilai politik kekuasaan ansich, tidak lebih. Jadi, makna “INDONESIA MILIK ALLAH” menurut HTI adalah Indonesia merupakan milik orang-orang yang mendirikan Khilafah, sebab sistem yang diturunkan Allah adalah sistem Khilafah. 

2.        ISLAM NUSANTARA—sebagaimana yang diwakili oleh Ki Ageng Pengging—lebih menitik beratkan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat/lebih luasnya mengangkat kesejahteraan rakyat, tanpa memandang sama sekali apa sistem kekuasaan yang digunakan. Slogan “INDONESIA MILIK ALLAH” disuarakan oleh Ki Ageng Pengging sebagai bentuk perlawanan atas sistem tuan tanah yang diterapkan oleh raja-raja zaman dahulu. Jadi makna “INDONESIA MILIK ALLAH” menurut pandangan Islam Nusantara adalah Indonesia milik rakyat, jadi kembalikan kedaulatan bumi dengan berbagai macam isinya kepada rakyat kembali. 

Nah, sekarang permasalahannya adalah manakah diantara kedua interpretasi tersebut yang memiliki landasan teoritis dari pemikiran para ulama kita? Oke, kita akan sedikit senam otak guna menjawab pertanyaan tersebut. Banyak kita temukan dalam ayat-ayat al-Qur’an teks-teks yang menyatakan bahwa kepemilikan atas benda tertentu itu haruslah diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Semisal ayat-ayat berikut ini: 

Ayat Ghonimah

Salah  satu dari ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan kepemilikan terhadap sebuah barang/benda itu dikembalikan kepada Allah adalah ayat yang menjelaskan tentang Ghonimah, yakni surat al-Anfal ayat ke-41, yang bunyinya:

{وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ } [الأنفال: 41]

Ketahuilah, sesungguhnya setiap harta rampasan perang yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima harta itu untuk Allah dan Rasul-Nya

Lalu apakah yang dimaksud dengan “Allah dan Rasul-nya” pada ayat di atas? al-Imam Fakhruddin Ar-Rozi dalam tafsirnya yang berjudul “Mafatihu-l-Ghoib” menyatakan[4]:

وأما بعد وفاة الرسول صلى الله عليه وسلّم ، فعند الشافعي رحمه الله : أنه يقسم على خمسة أسهم ، سهم لرسول الله ، يصرف إلى ما كان يصرفه إليه من مصالح المسلمين ، كعدة الغزاة من الكراع والسلاح—إلى قوله—واعلم أن ظاهر الآية مطابق لقول الشافعي رحمه الله وصريح فيه ، فلا يجوز العدول عنه إلا لدليل منفصل أقوى منها ، 

Ada pun setelah wafatnya Rasulullah, maka menurut Imam Syafi’i ghonimah itu harus lah dibagi menjadi seperlima bagian. Satu bagian untuk Rasulullah digunakan untuk kemaslahatan Umat Islam, semisal memberikan persiapan untuk tentara, baik berupa baju perang atau pedang—sampai pada perkataan beliau—ketahuilah bahwa teks dari ayat di atas itu sesuai dengan pendapat As-Syafi’i—rahimahuLlah—secara eksplisit. Maka tidaklah boleh berpindah dari pendapat Syafi’i di atas kecuali ada dalil lain (yang terpisah) dan lebih kuat

Senada dengan Ar-Razi adalah pendapat yang ditampilkan oleh al-Imam Abu Hayyan al-andalusy dalam tafsirnya “Al-Bahru-l-Mukhith”, di sana beliau menyatakan[5]:

فأما قوله فإن لله خمسه فالظاهر أن ما نسب إلى الله يصرف في الطاعات كالصدقة على فقراء المسلمين وعمارة الكعبة ونحوهما ، وقال بذلك فرقة 

Adapun firman Allah (فإن لله خمسه), maka yang tersurat dari ayat itu adalah bahwa apa yang dinisbatkan kepada Allah itu haruslah digunakan untuk berbagai macam ketaatan, semisal bersedekah kepada umat islam yang fakir, meng-‘imarah Ka’bah dan semisal keduanya. Pendapat ini disampaikan oleh sekelompok ulama”. 

Berbeda dari keduanya adalah pendapat Imam Malik bin Anas yang diceritakan oleh Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir-nya “At-Tafsir Al-Munir”. Di sana beliau menyatakan[6]:

وقال مالك رحمه اللّه: الأمر في الخمس مفوض إلى رأي الإمام، ويجعل في بيت المال، إن رأى قسمته على هؤلاء المذكورين في الآية فعل، وإن رأى إعطاء بعضهم دون بعض، فله ذلك.

Imam Malik—Rahimahullah—berkata: masalah seperlima ini diserahkan kepada pendapat Imam (pemimpin) dan diserahkan pada Baitu-l-Mal. Jika Imam berpendapat untuk dibagi kepada mereka yang disebut dalam ayat, maka dia boleh melakukannya. Jika Imam berpendapat memberikan sebagian, bukan sebagian yang lain, maka dia juga mempunyai kebebasan melakukan hal tersebut

Dari semua data di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa makna “dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” adalah:
a.      Dikembalikan kepada kemaslahatan umat Islam.
b.      Dikembalikan kepada Imam (pemimpin)—walaupun bukan seorang khalifah—untuk kemudian dibelanjakan sesuai dengan kemaslahatan umat Islam.
Jadi, inti dari penjelasan di atas adalah bahwa kemaslahatan umat Islam—secara umum, terlebih lagi dalam bidang ekonomi dan keamanan mereka—menjadi interpretasi paling dekat terhadap teks di atas.

Ayat Fai’

Teks suci lain yang di dalamnya terdapat redaksi “Allah dan Rasul-Nya” adalah ayat yang berbicara tentang harta Fai’, sebagaimana berikut ini:

{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ } [الحشر: 7]

Setiap harta rampasan (fay') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota itu adalah untuk Allah dan Rasul-Nya

Sebelum kita mengambil kesimpulan sepihak, ada baiknya kita menengok terlebih dahulu bagaimana ulama-ulama kita dahulu menginterpretasi redaksi “Allah dan Rasul-Nya” di atas. Al-imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Bin Abi Bakar al-Qurthubi dalam tafsir-nya menyatakan[7]:

وأما بعد وفاة رسول الله صلى الله عليه وسلم، فالذي كان من الفئ لرسول الله صلى الله عليه وسلم يصرف عند الشافعي في قول إلى المجاهدين المترصدين للقتال في الثغور، لانهم القائمون مقام الرسول عليه الصلاة والسلام. وفي قول آخر له: يصرف إلى مصالح المسلمين من سد الثغور وحفر الانهار وبناء القناطر، يقدم الاهم فالاهم، وهذا في أربعة أخماس الفئ. فأما السهم الذي كان له من خمس الفئ والغنيمة فهو لمصالح المسلمين بعد موته صلى الله عليه وسلم بلا خلاف، كما قال عليه الصلاة والسلام: (ليس لي من غنائمكم إلا الخمس والخمس مردود فيكم).
 
Adapun setelah wafatnya baginda Rasulullah saw, maka menurut Imam As-Syafi’i—dalam salah satu pendapat beliau—bahwa harta Fai’ itu diserahkan kepada orang-orang yang berjihad menjaga benteng-benteng perbatasan, karena merekalah orang-orang yang menempati posisi baginda Rasul saw. Dalam pendapat Syafi’i yang lain, bagian Rasul itu diserahkan untuk kemaslahatan umat Islam yang berupa memperkuat benteng pertahanan, mengeduk beberapa sungai, membangung badan ekonomi hingga akhirnya didahulukan yang paling penting. Inilah pembagian 4 dari seperlima harta Fai’. Adapun bagian baginda Nabi yang dari seperlima harta Fai’ dan Ghonimah, maka setelah beliau wafat, semuanya diserahkan untuk kemaslahatan umat Islam tanpa ada perkhilafan sama sekali, sebagaimana hal itu disabdakan oleh baginda Rasul sendiri; tidak ada bagian untukku dari Ghonimah kalian kecuali seperlima. Bahkan yang seperlima itu pun dikembalikan kepada kalian juga

Sama dengan penjelasan dari at-Thobari di atas adalah pemaparan al-Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam “Mafatihu-l-Ghaib”, beliau menyatakan[8]:

قال الواحدي كان الفيء في زمان رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) مقسوماً على خمسة أسهم أربعة منها لرسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) خاصة وكان الخمس الباقي يقسم على خمسة أسهم سهم منها لرسول الله أيضاً والأسهم الأربعة لذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل وأما بعد وفاة الرسول عليه الصلاة والسلام فللشافعي فيما كان من الفيء لرسول الله قولان أحدهما أنه للمجاهدين المرصدين للقتال في الثغور لأنهم قاموا مقام رسول الله في رباط الثغور والقول الثاني أنه يصرف إلى مصالح المسلمين من سد الثغور وحفر الأنهار وبناء القناطر يبدأ بالأهم فالأهم هذا في الأربعة أخماس التي كانت لرسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) وأما السهم الذي كان له من خمس الفيء فإنه لمصالح المسلمين بلا خلاف
 
Saya hanya akan menerjemahkan pemaparan ar-razi di atas pada bagian yang telah saya garis bawahi saja, kurang lebih adalah berikut:

Adapun setelah baginda Rasul saw wafat, maka (berkenaan dengan seperlima harta fai’) Imam Syafi’i mempunyai 2 pendapat. Pertama; itu diperuntukkan bagi para mujahidin yang disiapkan untuk berperang menjaga benteng-benteng perbatasan, sebab mereka adalah orang-orang yang menempati posisi baginda Rasul saw dalam menjaga benteng. Kedua; harta itu diberikan untuk kemaslahatan umat Islam, baik yang berupa membenahi benteng-benteng, mengeduk beberapa sungai, membangun badan-badan ekonomi. Dan tentunya dimulai dari yang paling penting. Ini ada pada bagian yang empat perlima Fai’ yang merupakan hak Rasulullah saw. Adapun bagian seperlima yang merupakan milik Rasulullah, maka harus diserahkan untuk kemaslahatan umat Islam, tanpa ada khilaf sama sekali

Saya kira, dua ayat di atas sudah cukup mewakili apa yang ingin saya paparkan dalam kajian sederhana ini bahwa dalam memahami “Allah dan Rasul-Nya” dalam al-Qur’an saja, para Mufassir kita sering kali memberikan interprestasi yang bersifat Majazi, bukan dipahami dengan makna apa adanya. Nah, begitu juga dalam memahami statement “INDONESIA MILIK ALLAH”. Kalau kita artikan sesuai lahiriah teks tersebut, maka sudah jelas, bukan hanya Indonesia saja yang milik Allah, bahkan dunia seisinya pun juga milik Allah. Lalu kenapa statement tersebut di atas dimunculkan oleh kawan-kawan HTI? Apakah mereka tidak paham bahwa semuanya memang milik Allah? Kalau masalah begini saja mereka tidak paham, lalu khilafah model apa yang ingin mereka dirikan? Kalau paham, kenapa statement lucu di atas ditampilkan? Jujur saja, saya khawatir statement di atas ini masuk dalam lingkaran ungkapan Imam Ali saat menanggapi slogan kaum Khowarij yang mengatakan “La Hukma Illa LiLlah”, yakni “Kalimatu Haqqin Urida Bi Ha-l-Bathil”, sebuah statement yang benar, tetapi diselewengkan untuk tujuan yang salah. 

Walhasil, saya menemukan bahwa interpretasi yang ditawarkan oleh Islam Nusantara dalam memahami statement “INDONESIA MILIK ALLAH” lebih tepat, lebih bersifat populis dan kontekstual. Saya katakan lebih tepat, sebab lebih cocok dengan pemaparan para Mufassir klasik sebagaimana telah saya paparkan dengan singkat tadi. saya katakan lebih populis, sebab inti dari statement di atas tidak hanya berujung pada politik kekuasaan saja, yang seringkali hanya menjadi ajang bagi orang-orang tertentu yang berduit dan kuat. Tetapi lebih menitik beratkan pada kesejahteraan rakyat umum, bukan kesejahteraan rakyat elit dan khusus saja. Dan lebih kontekstual, sebab rakyat Indonesia telah memiliki wadah sendiri yang sudah disepakati oleh semua rakyat Indonesia dari berbagai macam kalangan. Dan tentunya sebagai muslim yang baik akan memahami bahwa “Al-Muslimuuna ‘Ala Syuruthihim”, setiap orang Islam haruslah berkomitment terhadap janji dan kesepatakan yang telah mereka buat sendiri. Wallahu A’lam []



[1] Ahmad Baso (2015), Islam Nusantara; Ijtihad jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, Jakarta: Pustaka Afid. Vol: 1. Hal: 201.
[2] Ibid.
[3] Ibid. Hal: 200.
[4] Al-Imam Fakhruddin Muhammad bin Amar Ar-Razi (tt), Mafatihu-l-Ghoib, Lebanon: Dar Ihya’ Turats. Hal: 2146.
[5] Abu Hayyan Al-Andalusy (tt), Al-Bahru-l-Muhith, Lebanon: Dar El-Fikr. Vol: 4. Hal: 405.
[6] Dr. Wahbah Zuhaily (), At-Tafsir Al-Munir, Vol: 8. Hal: 10.
[7] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Bin Abi Bakar al-Qurthubi (1405), Tafsir al-Qurthubi, Lebanon: Dar Ihya’ Turats. Vol: 18. Hal: 12-13.
[8] Al-Imam Fakhruddin Muhammad bin Amr Ar-Razi (tt), Mafatihu-l-Ghoib. Vol: 29 . Hal:  247.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger