Beberapa
waktu yang lalu, telinga kita sempat mendengar sebuah yel-yel yang berbunyi:
“INDONESIA MILIK ALLAH”, yang digembar-gemborkan oleh sebuah organisasi
pengusung Khilafah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia atau yang biasa disingkat
dengan HTI. Entah, apa sebenarnya maksud sebenarnya dari yel-yel tersebut,
namun saya mencium adanya gelagat bahwa yel-yel itu tak lain mereka suarakan
sebagai counter discours dari model sistem demokrasi yang selama ini
dipraktekkan oleh negara Indonesia. Seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa
jika “INDONESIA MILIK ALLAH”, maka sistem yang harus digunakan untuk mengatur
Indonesia adalah sistem yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah swt. Apakah
sistem yang diturunkan oleh Allah itu? Menurut kelompok HTI, sistem tersebut ya
sistem khilafah, bukan sistem Demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat.
Saya
tidak ingin membahas apakah sistem khilafah—sebagaimana pengakuan HTI—itu
benar-benar sistem yang diturunkan oleh Allah atau tidak. Dan saya juga tidak
ingin membahas apakah sistem Khilafah versi mereka itu benar atau salah. Tapi,
saya ingin menunjukkan bahwa yel-yel “INDONESIA MILIK ALLAH” itu dahulu kala
sudah pernah disemarakkan oleh orang-orang Nusantara yang mana konsep tersebut
sekarang ini menjadi salah satu rujukan NU dengan Islam Nusantara-nya (IN).
Sebagaimana hal tersebut diceritakan oleh Babad Joko Tingkir:
Lemah
kang siro ambah; saisine tanah Jawi; pan sadaya duweke kang dadi nata
Kang
rayi alon turira; Allah kang adarba bumi
[Utusan Demak
berujar dengan tegas: “Bumi yang anda pijak, beserta segenap isi tanah Jawi
ini, semuanya adalah milik raja. Sang adik, Ki Ageng Pengging (Raden Kebo
kenanga, ayah Jaka Tingkir) berujar pelan: “Allah-lah yang memiliki tanah ini”][1]
Namun, yang
perlu kita perhatikan dengan lebih seksama lagi, apakah interpretasi HTI dan
Islam Nusantara terhadap yel-yel “INDONESIA MILIK ALLAH” itu memiliki makna
yang sama atau malah bertolak belakang sama sekali? Kalau memang kenyataannya
berbeda, lalu interpretasi manakah yang benar diantara keduanya? Sepanjang
pengetahuan saya atas konsep Khilafah model HTI, mereka ingin menekankan bahwa
umat Islam seluruh dunia haruslah dipimpin oleh satu orang khalifah yang
mengatur semua aspek kehidupan umat Islam. Dan itulah—menurut mereka—yang
dimaksud dengan “Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah”, sebab jikalau umat
Islam dipimpin oleh pemimpin masing-masing negara, maka akan terjadi perpecahan
antara sesama Umat Islam. Oleh karenanya, kelompok HTI ini akan selalu
mengaitkan setiap kemunduran dan kemerosotan sebuah bangsa dengan tiadanya
konsep Khilafah ini, hingga akhirnya tak segan-segan mereka melakukan
pemberontakan terhadap seorang pemimpin yang sah, hanya gara-gara pemimpin
tersebut telah dianggap dzalim dan bukanlah seorang khalifah atau kalau tidak
demikian ya karena model negaranya bukanlah model khilafah, tetapi demokrasi. Maka
harus digulingkan dan diganti dengan khalifah yang diharapkan bisa menjadikan
sistem Khilafah sebagai model pemerintahannya kelak. Hasilnya bisa kita lihat, kehancuran
demi kehancuran negara-negara Arab, mulai dari Tunisia, Iraq, Taliban dan
terakhir sekarang ini adalah Syiria, menjadi pemandangan yang sudah biasa. Walaupun
secara pribadi, saya tidak mengatakan bahwa penyebab kehancuran tersebut murni
dari kelompok HTI saja, tapi kita juga tidak bisa memungkiri bahwa mereka juga
berperan.
Lalu
bagaimanakah interpretasi yel-yel “INDONESIA MILIK ALLAH” menurut Islam Nusantara?
Sebelum kita mengambil kesimpulan akhir, ada baiknya kita baca dan kaji
terlebih dahulu penjelasan dari salah satu pakar kajian Islam Nusantara ini,
yakni Kiai Ahmad Baso dalam bukunya, Islam Nusantara. Di sana beliau
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Allah kang adarba bumi
[Allah-lah yang memiliki tanah ini]” adalah:
Ia [Ki Ageng Pengging] mendaku dunia kehidupan kaum santri ,
hidup bertani menggarap sawah, menjadi orang desa, serta—ini yang
penting—membawa idiologi kaum santri bahwa; tanah itu bukan milik raja, tapi
milik Allah yang diberikan kepada manusia sebagai amanah untuk digarap dengan
sebaik-baiknya dan untuk sebesar-besar kemaslahatan bagi umat manusia di dunia
ini. Dari sini orang pesantren meracik ide tentang tanah sebagai faktor
produksi dalam ekonomo rakyat..[2]
Sebelumnya,
pak Ahmad Baso menjelaskan juga:
Salah satu implikasi strategis dari pengakuan kedaulatan
rakyat atas tanah ini adalah hancurnya sistem feodalisme dimana sang raja
mengklaim sebagai pemilik tanah. Ketika raja-raja dibuat sebagai pedagang, maka
tanah kemudian dikembalikan kepada rakyat, menjadi milik bersama...[3]
Penjelasan
Pak Ahmad Baso ini mengingatkan dengan interpretasi yang dikemukakan oleh Pak
Agus Sunyoto berkenaan dengan makna “Manunggaling Kawulo Ing Gusti”,
bahwa statement tersebut bukanlah terjemahan jawa dari Wahdatu-L-Wujud
dalam Sufi Falsafi. Tapi merupakan sebuah bentuk perlawanan bahwa antara “Gusti
[raja/tuan]” dan “Kawula [rakyat jelata]” adalah mempunyai posisi yang
sama (manunggal), yakni masing-masing berhak untuk memiliki tanah dan
memanfaatkannya, bukan malah rakyat bekerja menggarap tanah untuk sang memenuhi
kebutuhan raja-raja.
Dari
pemaparan di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa masing-masing interpretasi
kedua kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
1.
HTI menyuarakan “INDONESIA MILIK ALLAH” hanya sebagai
batu pijakan saja untuk memuluskan jalan mereka, yang tak lain adalah merebut
tampuk kekuasaan sebuah negara. Karena menurut mereka, sistem selain khilafah
adalah salah dan menjadi penyebab utama kehancuran serta kemunduran sebuah
bangsa, oleh karenanya haruslah diganti dengan khilafah. Slogan tersebut di
atas lebih bernilai politik kekuasaan ansich, tidak lebih. Jadi, makna
“INDONESIA MILIK ALLAH” menurut HTI adalah Indonesia merupakan milik orang-orang
yang mendirikan Khilafah, sebab sistem yang diturunkan Allah adalah sistem
Khilafah.
2.
ISLAM NUSANTARA—sebagaimana yang diwakili oleh Ki
Ageng Pengging—lebih menitik beratkan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat/lebih
luasnya mengangkat kesejahteraan rakyat, tanpa memandang sama sekali apa sistem
kekuasaan yang digunakan. Slogan “INDONESIA MILIK ALLAH” disuarakan oleh Ki
Ageng Pengging sebagai bentuk perlawanan atas sistem tuan tanah yang diterapkan
oleh raja-raja zaman dahulu. Jadi makna “INDONESIA MILIK ALLAH” menurut
pandangan Islam Nusantara adalah Indonesia milik rakyat, jadi kembalikan
kedaulatan bumi dengan berbagai macam isinya kepada rakyat kembali.
Nah,
sekarang permasalahannya adalah manakah diantara kedua interpretasi tersebut
yang memiliki landasan teoritis dari pemikiran para ulama kita? Oke, kita akan
sedikit senam otak guna menjawab pertanyaan tersebut. Banyak kita temukan dalam
ayat-ayat al-Qur’an teks-teks yang menyatakan bahwa kepemilikan atas benda tertentu
itu haruslah diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Semisal ayat-ayat berikut
ini:
Ayat Ghonimah
Salah satu dari ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan
kepemilikan terhadap sebuah barang/benda itu dikembalikan kepada Allah adalah
ayat yang menjelaskan tentang Ghonimah, yakni surat al-Anfal ayat ke-41,
yang bunyinya:
{وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ
خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ } [الأنفال: 41]
“Ketahuilah, sesungguhnya setiap harta rampasan perang yang
kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima harta itu untuk Allah dan Rasul-Nya”
Lalu apakah
yang dimaksud dengan “Allah dan Rasul-nya” pada ayat di atas? al-Imam Fakhruddin
Ar-Rozi dalam tafsirnya yang berjudul “Mafatihu-l-Ghoib” menyatakan[4]:
وأما بعد وفاة الرسول
صلى الله عليه وسلّم ، فعند الشافعي رحمه الله : أنه يقسم على خمسة أسهم ، سهم
لرسول الله ، يصرف إلى ما كان يصرفه إليه من مصالح المسلمين ، كعدة الغزاة من
الكراع والسلاح—إلى قوله—واعلم أن ظاهر الآية
مطابق لقول الشافعي رحمه الله وصريح فيه ، فلا يجوز العدول عنه إلا لدليل منفصل
أقوى منها ،
“Ada pun setelah wafatnya
Rasulullah, maka menurut Imam Syafi’i ghonimah itu harus lah dibagi menjadi
seperlima bagian. Satu bagian untuk Rasulullah digunakan untuk kemaslahatan
Umat Islam, semisal memberikan persiapan untuk tentara, baik berupa baju perang
atau pedang—sampai pada perkataan beliau—ketahuilah bahwa teks dari ayat di
atas itu sesuai dengan pendapat As-Syafi’i—rahimahuLlah—secara eksplisit. Maka
tidaklah boleh berpindah dari pendapat Syafi’i di atas kecuali ada dalil lain
(yang terpisah) dan lebih kuat”
Senada dengan Ar-Razi adalah pendapat
yang ditampilkan oleh al-Imam Abu Hayyan al-andalusy dalam tafsirnya
“Al-Bahru-l-Mukhith”, di sana beliau menyatakan[5]:
فأما قوله فإن لله
خمسه فالظاهر أن ما نسب إلى الله يصرف في الطاعات كالصدقة على فقراء المسلمين
وعمارة الكعبة ونحوهما ، وقال بذلك فرقة
“Adapun firman Allah (فإن لله خمسه), maka yang
tersurat dari ayat itu adalah bahwa apa yang dinisbatkan kepada Allah itu haruslah
digunakan untuk berbagai macam ketaatan, semisal bersedekah kepada umat islam
yang fakir, meng-‘imarah Ka’bah dan semisal keduanya. Pendapat ini disampaikan
oleh sekelompok ulama”.
Berbeda dari keduanya adalah pendapat
Imam Malik bin Anas yang diceritakan oleh Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili dalam
tafsir-nya “At-Tafsir Al-Munir”. Di sana beliau menyatakan[6]:
وقال مالك رحمه
اللّه: الأمر في الخمس مفوض إلى رأي الإمام، ويجعل في بيت المال، إن رأى قسمته على
هؤلاء المذكورين في الآية فعل، وإن رأى إعطاء بعضهم دون بعض، فله ذلك.
“Imam Malik—Rahimahullah—berkata:
masalah seperlima ini diserahkan kepada pendapat Imam (pemimpin) dan diserahkan
pada Baitu-l-Mal. Jika Imam berpendapat untuk dibagi kepada mereka yang disebut
dalam ayat, maka dia boleh melakukannya. Jika Imam berpendapat memberikan
sebagian, bukan sebagian yang lain, maka dia juga mempunyai kebebasan melakukan
hal tersebut”
Dari semua data di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa makna
“dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” adalah:
a.
Dikembalikan kepada kemaslahatan umat Islam.
b.
Dikembalikan kepada Imam (pemimpin)—walaupun bukan
seorang khalifah—untuk kemudian dibelanjakan sesuai dengan kemaslahatan umat
Islam.
Jadi, inti dari penjelasan di atas
adalah bahwa kemaslahatan umat Islam—secara umum, terlebih lagi dalam bidang
ekonomi dan keamanan mereka—menjadi interpretasi paling dekat terhadap teks di
atas.
Ayat Fai’
Teks suci
lain yang di dalamnya terdapat redaksi “Allah dan Rasul-Nya” adalah ayat yang
berbicara tentang harta Fai’, sebagaimana berikut ini:
{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ } [الحشر: 7]
“Setiap
harta rampasan (fay') yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota itu adalah untuk Allah dan Rasul-Nya”
Sebelum
kita mengambil kesimpulan sepihak, ada baiknya kita menengok terlebih dahulu
bagaimana ulama-ulama kita dahulu menginterpretasi redaksi “Allah dan Rasul-Nya”
di atas. Al-imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Bin Abi Bakar al-Qurthubi
dalam tafsir-nya menyatakan[7]:
وأما بعد وفاة رسول الله
صلى الله عليه وسلم، فالذي كان من الفئ لرسول الله صلى الله عليه وسلم
يصرف عند الشافعي في قول إلى المجاهدين المترصدين للقتال في الثغور، لانهم القائمون مقام
الرسول عليه الصلاة والسلام. وفي
قول آخر له: يصرف إلى مصالح المسلمين من سد الثغور وحفر الانهار وبناء القناطر،
يقدم الاهم فالاهم، وهذا في أربعة أخماس الفئ. فأما السهم الذي كان له من خمس الفئ
والغنيمة فهو لمصالح المسلمين بعد موته صلى الله عليه وسلم بلا خلاف،
كما قال عليه الصلاة والسلام: (ليس لي من غنائمكم إلا الخمس والخمس مردود فيكم).
“Adapun
setelah wafatnya baginda Rasulullah saw, maka menurut Imam As-Syafi’i—dalam
salah satu pendapat beliau—bahwa harta Fai’ itu diserahkan kepada orang-orang
yang berjihad menjaga benteng-benteng perbatasan, karena merekalah orang-orang
yang menempati posisi baginda Rasul saw. Dalam pendapat Syafi’i yang lain, bagian
Rasul itu diserahkan untuk kemaslahatan umat Islam yang berupa memperkuat
benteng pertahanan, mengeduk beberapa sungai, membangung badan ekonomi hingga
akhirnya didahulukan yang paling penting. Inilah pembagian 4 dari seperlima
harta Fai’. Adapun bagian baginda Nabi yang dari seperlima harta Fai’ dan
Ghonimah, maka setelah beliau wafat, semuanya diserahkan untuk kemaslahatan
umat Islam tanpa ada perkhilafan sama sekali, sebagaimana hal itu
disabdakan oleh baginda Rasul sendiri; tidak ada bagian untukku dari Ghonimah
kalian kecuali seperlima. Bahkan yang seperlima itu pun dikembalikan kepada
kalian juga”
Sama dengan penjelasan dari
at-Thobari di atas adalah pemaparan al-Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam “Mafatihu-l-Ghaib”,
beliau menyatakan[8]:
قال الواحدي كان الفيء
في زمان رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) مقسوماً على خمسة أسهم أربعة منها لرسول
الله ( صلى الله عليه وسلم ) خاصة وكان الخمس الباقي يقسم على خمسة أسهم سهم منها لرسول
الله أيضاً والأسهم الأربعة لذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل وأما بعد
وفاة الرسول عليه الصلاة والسلام فللشافعي فيما كان من الفيء لرسول الله قولان أحدهما
أنه للمجاهدين المرصدين للقتال في الثغور لأنهم قاموا مقام رسول الله في رباط الثغور
والقول الثاني أنه يصرف إلى مصالح المسلمين من سد الثغور وحفر الأنهار وبناء القناطر
يبدأ بالأهم فالأهم هذا في الأربعة أخماس التي كانت لرسول الله ( صلى الله عليه وسلم
) وأما السهم الذي كان له من خمس الفيء فإنه لمصالح المسلمين بلا خلاف
Saya hanya
akan menerjemahkan pemaparan ar-razi di atas pada bagian yang telah saya garis
bawahi saja, kurang lebih adalah berikut:
“Adapun
setelah baginda Rasul saw wafat, maka (berkenaan dengan seperlima harta fai’)
Imam Syafi’i mempunyai 2 pendapat. Pertama; itu diperuntukkan bagi para
mujahidin yang disiapkan untuk berperang menjaga benteng-benteng perbatasan,
sebab mereka adalah orang-orang yang menempati posisi baginda Rasul saw dalam
menjaga benteng. Kedua; harta itu diberikan untuk kemaslahatan umat Islam, baik
yang berupa membenahi benteng-benteng, mengeduk beberapa sungai, membangun
badan-badan ekonomi. Dan tentunya dimulai dari yang paling penting. Ini ada
pada bagian yang empat perlima Fai’ yang merupakan hak Rasulullah saw. Adapun bagian
seperlima yang merupakan milik Rasulullah, maka harus diserahkan untuk
kemaslahatan umat Islam, tanpa ada khilaf sama sekali”
Saya kira, dua ayat di atas sudah cukup mewakili apa yang ingin saya paparkan
dalam kajian sederhana ini bahwa dalam memahami “Allah dan Rasul-Nya” dalam al-Qur’an
saja, para Mufassir kita sering kali memberikan interprestasi yang bersifat Majazi,
bukan dipahami dengan makna apa adanya. Nah, begitu juga dalam memahami statement
“INDONESIA MILIK ALLAH”. Kalau kita artikan sesuai lahiriah teks tersebut, maka
sudah jelas, bukan hanya Indonesia saja yang milik Allah, bahkan dunia seisinya
pun juga milik Allah. Lalu kenapa statement tersebut di atas dimunculkan oleh
kawan-kawan HTI? Apakah mereka tidak paham bahwa semuanya memang milik Allah? Kalau
masalah begini saja mereka tidak paham, lalu khilafah model apa yang ingin
mereka dirikan? Kalau paham, kenapa statement lucu di atas ditampilkan? Jujur saja,
saya khawatir statement di atas ini masuk dalam lingkaran ungkapan Imam Ali
saat menanggapi slogan kaum Khowarij yang mengatakan “La Hukma Illa LiLlah”,
yakni “Kalimatu Haqqin Urida Bi Ha-l-Bathil”, sebuah statement yang
benar, tetapi diselewengkan untuk tujuan yang salah.
Walhasil, saya menemukan bahwa interpretasi yang ditawarkan oleh Islam
Nusantara dalam memahami statement “INDONESIA MILIK ALLAH” lebih tepat, lebih bersifat
populis dan kontekstual. Saya katakan lebih tepat, sebab lebih cocok dengan
pemaparan para Mufassir klasik sebagaimana telah saya paparkan dengan singkat
tadi. saya katakan lebih populis, sebab inti dari statement di atas tidak hanya
berujung pada politik kekuasaan saja, yang seringkali hanya menjadi ajang bagi
orang-orang tertentu yang berduit dan kuat. Tetapi lebih menitik beratkan pada
kesejahteraan rakyat umum, bukan kesejahteraan rakyat elit dan khusus saja. Dan
lebih kontekstual, sebab rakyat Indonesia telah memiliki wadah sendiri yang
sudah disepakati oleh semua rakyat Indonesia dari berbagai macam kalangan. Dan tentunya
sebagai muslim yang baik akan memahami bahwa “Al-Muslimuuna ‘Ala Syuruthihim”,
setiap orang Islam haruslah berkomitment terhadap janji dan kesepatakan yang
telah mereka buat sendiri. Wallahu A’lam []
[1] Ahmad Baso (2015), Islam Nusantara; Ijtihad jenius
dan Ijma’ Ulama Indonesia, Jakarta: Pustaka Afid. Vol: 1. Hal: 201.
[2] Ibid.
[3] Ibid. Hal: 200.
[4] Al-Imam Fakhruddin Muhammad bin Amar Ar-Razi (tt), Mafatihu-l-Ghoib,
Lebanon: Dar Ihya’ Turats. Hal: 2146.
[5] Abu Hayyan Al-Andalusy (tt), Al-Bahru-l-Muhith,
Lebanon: Dar El-Fikr. Vol: 4. Hal: 405.
[6] Dr. Wahbah Zuhaily (), At-Tafsir Al-Munir,
Vol: 8. Hal: 10.
[7] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Bin Abi Bakar
al-Qurthubi (1405), Tafsir al-Qurthubi, Lebanon: Dar Ihya’ Turats. Vol:
18. Hal: 12-13.
[8] Al-Imam Fakhruddin Muhammad bin Amr Ar-Razi (tt), Mafatihu-l-Ghoib.
Vol: 29 . Hal: 247.
0 komentar