Universitas Al-Azhar, Mesir, merupakan salah satu corong keilmuan Islam
Moderat paling kuno di dunia ini. Sudah banyak ulama-ulama terkemuka dan para
Imam yang lahir dari rahim Universitas tua ini. Sebut saja al-Imam Ibrahim
Al-Baijuri, salah satu ulama yang merupakan seorang penulis produktif. Banyak
karya-karya ilmiah lahir di tangan dingin beliau, salah satunya adalah Hasyiah
paling populer atas kitab Matn Taqrib. Ada juga Syaikh Ibnu Hajar
al-Haitamy yang menjadi salah satu imam besar dalam madzhab Syafi’i. Syaikh
Abdullah As-Syarqawy, al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan masih banyak lagi yang
lain. Nama-nama tersebut tentunya tidaklah asing di telinga para santri
Nusantara ini. Apalagi kitab-kitab karya ulama tersebut masih banyak dikaji dan
dijadikan rujukan dalam mengkaji pelbagi problematika kontemporer.
Eksistensi al-Azhar sampai sekarang masih sangat di perhitungkan,
terlebih lagi dalam kancah ilmiah. Tidak sedikit dari ulama al-Azhar di era
modern ini yang masih produktif dalam menulis karya-karya ilmiah. Dan yang saya
tangkap, karya-karya ulama Al-Azhar era modern ini pada umumnya bukanlah hanya
sekedar pengulangan atau pun resume terhadap karya-karya ulama sebelumnya, tapi
banyak analisa-analisa jeli nan teliti yang menghiasi karya-karya tersebut, di
tambah lagi dengan kritik-kritik ilmiah atas pemikiran-pemikiran ulama masa
lalu, yang tentunya kritikan tersebut tidak hanya berdasarkan fakta-fakta
ilmiah, tapi juga metodologi analisa yang tajam.
Salah satu ulama al-Azhar di era modern ini adalah Syaikh Thoha Hubaisyi Hafidzahullah
Ta’la. Siapakah beliau ini? Jujur saja, saya bukanlah seorang
al-Azhary—dalam arti santri/mahasiswa yang mencicipi belajar langsung di ruwaq
atau pun bangku kuliah al-Azhar—dan saya pun tidak begitu mengenal siapa beliau
sebenarnya. Pertama kali saya mendengar nama beliau adalah saat
rame-ramenya pro-kontra berkenaan
masalah bacaan al-Qur’an dengan Langgam Jawa. Kalau tidak salah, dulu teman-teman
mahasiswa al-Azhar bertanya kepada beliau berkenaan hukum membaca al-Qur’an
dengan Langgam Jawa, dan jawaban beliau adalah boleh. Setelah beberapa saat
kemudian, orang-orang FPI yang ada di Mesir pun mengklarifikasi fatwa ini
kepada beliau langsung, tetapi hukumnya berubah. Wallahu A’lam
sebenarnya bagaimana, saya tidak akan membahas di sini. Hanya saja, semenjak
itu saya menjadi penasaran, siapakah sebenarnya sosok Syaikh Thoha Hubaisyi
ini?
Sampai di sini saya kebingungan, tidak tahu kepada siapa saya harus
bertanya dan menggali informasi tentang beliau. Tiba-tiba ada inbok masuk, dan
ternyata adalah dari Ahmad Ali Ibrahim, salah satu adek kelas saya di pondok
dahulu yang sekarang sedang belajar di al-Azhar, Mesir. Dia bertanya ini itu,
tentang kabar lah, tentang kunjungan Syaikh Ahmad At-Thayyib dan masih banyak
yang lain. Nah, saya pun berfikir, “Kenapa tidak mengorek informasi tentang Syaikh
Thoha Hubaisyi dari salah satu santri al-Azhar saja? Kan lebih valid”. Akhirnya
saya pun bertanya kepada Gus Iib—panggilan akrab Ahmad Ali Ibrahim tadi—tentang
guru-guru besar di al-Azhar sana. Dan ndelalah, dia kok bercerita
tentang Syaikh Thoha Hubaisyi ini, ya klop jadinya.
Memang tidak banyak yang di ceritakan oleh Gus Iib kepadaku berkenaan
Syaikh Thoha Hubaisyi ini, namun cerita Gus Iib ini sudah cukup memberikan
gambaran kepada saya, siapakah sosok Syaikh Hubaisyi ini. Menurut cerita Gus
Iib, Syaikh Hubaisyi merupakan sesosok ulama yang buta kedua matanya, akan
tetapi melek mata batinnya. Buktinya adalah banyaknya karya-karya ilmiah
yang lahir dari pemikiran beliau yang jenius dan luar biasa. Di antaranya
adalah buku berjudul “At-Tayyarat Wa-L-Madzahib Al-Mu’ashirah: Tahlil Wa
Rudud” yang jika kita lihat dari judulnya (maklum belum punya kitabnya),
buku ini berisi tentang pemikiran-pemikiran dan kelompok-kelompok di era modern
ini. Beliau tidak hanya menyebutkan apa saja pemikiran tersebut, tetapi juga
melakukan analisa (Tahlil) dengan mendalam, untuk kemudian kalau ada
yang tidak sesuai, maka beliau akan melakukan kritikan (Rudud) atas
pemikiran ataupun madzhab tersebut. Ada juga buku yang berjudul “Al-Akhlaq
Fi Itharin-Nadzrah At-Tathowwuriyah”, yang jika kita perhatikan dari
judulnya—dan sekali lagi saya belum punya bukunya—buku ini memperbincangkan
masalah akhlak yang di analisa dengan kacamata perkembangan era mutakhir ini. Wallahu
A’lam, saya kurang tahu secara persis, apa sebenarnya isi buku tersebut.
dan masih banyak lagi karya-karya beliau lainnya, yang waktu itu tidak
disebutkan oleh Gus Iib kepada saya.
Kondisi fisik Syaikh Thoha Hubaisyi yang buta ini, tetapi beliau masih
bisa menghasilkan karya-karya ilmiah dengan bobot yang tinggi pula,
mengingatkan saya pada sosok-sosok ulama salaf dulu yang juga buta dan banyak
menghasilkan karya ilmiah. Contoh kecil adalah al-Imam As-Sayyid Abdullah Bin
Alawi Al-Haddad yang tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Al-haddad
sudah buta semenjak beliau masih kecil, namun kebutaan itu tidaklah lantas
menyurutkan niat dan semangatnya untuk belajar dan belajar, sehingga akhirnya
beliau mencapai derajat Alimiyyah. Banyak karya-karya ilmiah lahir dari
mata batin beliau yang ‘melek’, sebagaimana Syaikh Hubaisyi tadi. Ya,
Allah masih menyelipkan banyak ulama-ulama dan kekasihnya di muka bumi ini,
sehingga saya yakin kalau Qiyamat belum akan datang. Saya sempat bertanya,
syaikh hubaisyi ini mengajar kitab apa saja? Gus Iib menjawab bahwa banyak
kitab yang di ampu oleh beliau, salah satunya adalah kitab Ihya’ Ulumiddin
karya al-Ghazali. Saya penasaran bagaimana cara beliau mengajar, padahal beliau
itu buta? Gus Iib menjawab kalau beliau mengajar dengan hapalan beliau yang ada
dalam hati. Masya Allah, masih ada ulama yang hapal Ihya’, luar biasa.
Salah satu kelebihan dari Syaikh Thoha Hubaisyi ini adalah sikap dermawan
beliau. Sebagaimana yang diceritakan oleh Gus Iib kepadaku, Syaikh Hubaisyi ini
mencetak buku-buku karya ilmiah beliau tersebut di atas dengan uang pribadi
beliau sendiri. Lalu beliau tidak pernah merasa rugi jikalau kemudian karya
tersebut beliau bagi-bagikan kepada mahasiswa dan siapa saja yang ngaji
kepada beliau secara Cuma-Cuma. Adakah kedermawanan yang melebihi kedermawanan
seseorang yang menginfakkan ilmu dan buku-buku yang menjadi sarana menggapai
ilmu tersebut? Sungguh luar biasa beliau ini. Tidak hanya sampai di situ saja,
kedermawanan Syaikh Hubaisyi ini juga nampak dengan keistiqomahan beliau dalam
mengajar Tholabah, padahal jarak rumah beliau dan tempat mengajarnya,
biasa di tempuh dalam waktu kurang lebih 5 jam. Dan kalau beliau telat, maka
beliau tidak segan-segan untuk meminta maaf kepada santri-santri atas
keterlambatan itu. Pernah suatu hari beliau terlambat datang ke majlis, di
sebabkan jalanan yang macet karena ada perayaan Milad Imam Husain—sebagaimana
di ceritakan oleh Gus Iib—dan iya, beliau meminta maaf dengan sungguh atas
keterlambatan beliau ini.
Salah satu akhlak beliau yang menonjol adalah sikap Tawadhu’ beliau
yang luar biasa. Pernah suatu hari—lagi-lagi ini cerita dari Gus Iib—beliau
mengumpulkan semua santri-santri, lalu beliau meminta kepada semua santri yang
hadir untuk berkenan memenuhi permintaan beliau. Sambil menangis-nangis, beliau
mengulangi lagi apa yang telah beliau sampaikan, yakni agar semua santri-santri
dan murid beliau berkenan memenuhi permintaan beliau. Semua yang hadir terharu,
dan tidak sedikit pula dari mereka yang kemudian menitikkan air mata—ah jadi
mau ikut-ikutan nangis deh—dan tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka
kecuali kata “Na’am”. Baru setelah semua santri menjawab dengan “Na’am”,
maka beliau mengutarakan apa permintaan beliau. Dan yang lebih mencengangkan
lagi, ternyata permintaan beliau itu adalah beliau meminta agar nanti di
akherat semua santri-santri dan murid-murid yang belajar dan ngaji
kepada beliau, berkenan untuk men-syafa’ati beliau. Tida hanya sampai disitu,
beliau mengulang-ulangi pertanyaan itu, sampai beliau benar-benar yakin, bahwa
santri-santri berkenan memberikan syafa’atnya nanti di akherat. Pecahlah tangis
sebagian besar santri, hati mereka runtuh, luluh, bahkan menjerit, dan bahkan
mungkin mereka bertanya-tanya: “Siapakah sebenarnya sosok di depan mereka ini,
manusia ataukah malaikat?”. Betapa mulianya Tawadhu’ beliau ini.
Saya sendiri kurang tahu, bagaimana kabar Syaikh Hubaisyi sekarang ini.
Semoga saja beliau masih dalam kondisi sehat wal afiyat. Tapi yang
jelas, ada secercah kerinduan yang menyeruak dalam dada ini untuk sekedar
bertemu, istifadah, mencium tangan sejuk beliau atau mungkin bisa
ber-intisab kepada beliau dengan menjadi salah satu kolom dari mata rantai
ilmiah beliau. Semoga harapan itu terpenuhi, entah kapan. Bukankah semua
berawal dari sebuah harapan, kawan?
0 komentar