Advertise 728x90

Syaikh Thoha Hubaisyi Al-Azhary

Written By Unknown on Sunday, May 22, 2016 | 6:32 AM



Universitas Al-Azhar, Mesir, merupakan salah satu corong keilmuan Islam Moderat paling kuno di dunia ini. Sudah banyak ulama-ulama terkemuka dan para Imam yang lahir dari rahim Universitas tua ini. Sebut saja al-Imam Ibrahim Al-Baijuri, salah satu ulama yang merupakan seorang penulis produktif. Banyak karya-karya ilmiah lahir di tangan dingin beliau, salah satunya adalah Hasyiah paling populer atas kitab Matn Taqrib. Ada juga Syaikh Ibnu Hajar al-Haitamy yang menjadi salah satu imam besar dalam madzhab Syafi’i. Syaikh Abdullah As-Syarqawy, al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan masih banyak lagi yang lain. Nama-nama tersebut tentunya tidaklah asing di telinga para santri Nusantara ini. Apalagi kitab-kitab karya ulama tersebut masih banyak dikaji dan dijadikan rujukan dalam mengkaji pelbagi problematika kontemporer.
Eksistensi al-Azhar sampai sekarang masih sangat di perhitungkan, terlebih lagi dalam kancah ilmiah. Tidak sedikit dari ulama al-Azhar di era modern ini yang masih produktif dalam menulis karya-karya ilmiah. Dan yang saya tangkap, karya-karya ulama Al-Azhar era modern ini pada umumnya bukanlah hanya sekedar pengulangan atau pun resume terhadap karya-karya ulama sebelumnya, tapi banyak analisa-analisa jeli nan teliti yang menghiasi karya-karya tersebut, di tambah lagi dengan kritik-kritik ilmiah atas pemikiran-pemikiran ulama masa lalu, yang tentunya kritikan tersebut tidak hanya berdasarkan fakta-fakta ilmiah, tapi juga metodologi analisa yang tajam.
Salah satu ulama al-Azhar di era modern ini adalah Syaikh Thoha Hubaisyi Hafidzahullah Ta’la. Siapakah beliau ini? Jujur saja, saya bukanlah seorang al-Azhary—dalam arti santri/mahasiswa yang mencicipi belajar langsung di ruwaq atau pun bangku kuliah al-Azhar—dan saya pun tidak begitu mengenal siapa beliau sebenarnya. Pertama kali saya mendengar nama beliau adalah saat rame-ramenya  pro-kontra berkenaan masalah bacaan al-Qur’an dengan Langgam Jawa. Kalau tidak salah, dulu teman-teman mahasiswa al-Azhar bertanya kepada beliau berkenaan hukum membaca al-Qur’an dengan Langgam Jawa, dan jawaban beliau adalah boleh. Setelah beberapa saat kemudian, orang-orang FPI yang ada di Mesir pun mengklarifikasi fatwa ini kepada beliau langsung, tetapi hukumnya berubah. Wallahu A’lam sebenarnya bagaimana, saya tidak akan membahas di sini. Hanya saja, semenjak itu saya menjadi penasaran, siapakah sebenarnya sosok Syaikh Thoha Hubaisyi ini?
Sampai di sini saya kebingungan, tidak tahu kepada siapa saya harus bertanya dan menggali informasi tentang beliau. Tiba-tiba ada inbok masuk, dan ternyata adalah dari Ahmad Ali Ibrahim, salah satu adek kelas saya di pondok dahulu yang sekarang sedang belajar di al-Azhar, Mesir. Dia bertanya ini itu, tentang kabar lah, tentang kunjungan Syaikh Ahmad At-Thayyib dan masih banyak yang lain. Nah, saya pun berfikir, “Kenapa tidak mengorek informasi tentang Syaikh Thoha Hubaisyi dari salah satu santri al-Azhar saja? Kan lebih valid”. Akhirnya saya pun bertanya kepada Gus Iib—panggilan akrab Ahmad Ali Ibrahim tadi—tentang guru-guru besar di al-Azhar sana. Dan ndelalah, dia kok bercerita tentang Syaikh Thoha Hubaisyi ini, ya klop jadinya.
Memang tidak banyak yang di ceritakan oleh Gus Iib kepadaku berkenaan Syaikh Thoha Hubaisyi ini, namun cerita Gus Iib ini sudah cukup memberikan gambaran kepada saya, siapakah sosok Syaikh Hubaisyi ini. Menurut cerita Gus Iib, Syaikh Hubaisyi merupakan sesosok ulama yang buta kedua matanya, akan tetapi melek mata batinnya. Buktinya adalah banyaknya karya-karya ilmiah yang lahir dari pemikiran beliau yang jenius dan luar biasa. Di antaranya adalah buku berjudul “At-Tayyarat Wa-L-Madzahib Al-Mu’ashirah: Tahlil Wa Rudud” yang jika kita lihat dari judulnya (maklum belum punya kitabnya), buku ini berisi tentang pemikiran-pemikiran dan kelompok-kelompok di era modern ini. Beliau tidak hanya menyebutkan apa saja pemikiran tersebut, tetapi juga melakukan analisa (Tahlil) dengan mendalam, untuk kemudian kalau ada yang tidak sesuai, maka beliau akan melakukan kritikan (Rudud) atas pemikiran ataupun madzhab tersebut. Ada juga buku yang berjudul “Al-Akhlaq Fi Itharin-Nadzrah At-Tathowwuriyah”, yang jika kita perhatikan dari judulnya—dan sekali lagi saya belum punya bukunya—buku ini memperbincangkan masalah akhlak yang di analisa dengan kacamata perkembangan era mutakhir ini. Wallahu A’lam, saya kurang tahu secara persis, apa sebenarnya isi buku tersebut. dan masih banyak lagi karya-karya beliau lainnya, yang waktu itu tidak disebutkan oleh Gus Iib kepada saya.
Kondisi fisik Syaikh Thoha Hubaisyi yang buta ini, tetapi beliau masih bisa menghasilkan karya-karya ilmiah dengan bobot yang tinggi pula, mengingatkan saya pada sosok-sosok ulama salaf dulu yang juga buta dan banyak menghasilkan karya ilmiah. Contoh kecil adalah al-Imam As-Sayyid Abdullah Bin Alawi Al-Haddad yang tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Al-haddad sudah buta semenjak beliau masih kecil, namun kebutaan itu tidaklah lantas menyurutkan niat dan semangatnya untuk belajar dan belajar, sehingga akhirnya beliau mencapai derajat Alimiyyah. Banyak karya-karya ilmiah lahir dari mata batin beliau yang ‘melek’, sebagaimana Syaikh Hubaisyi tadi. Ya, Allah masih menyelipkan banyak ulama-ulama dan kekasihnya di muka bumi ini, sehingga saya yakin kalau Qiyamat belum akan datang. Saya sempat bertanya, syaikh hubaisyi ini mengajar kitab apa saja? Gus Iib menjawab bahwa banyak kitab yang di ampu oleh beliau, salah satunya adalah kitab Ihya’ Ulumiddin karya al-Ghazali. Saya penasaran bagaimana cara beliau mengajar, padahal beliau itu buta? Gus Iib menjawab kalau beliau mengajar dengan hapalan beliau yang ada dalam hati. Masya Allah, masih ada ulama yang hapal Ihya’, luar biasa.
Salah satu kelebihan dari Syaikh Thoha Hubaisyi ini adalah sikap dermawan beliau. Sebagaimana yang diceritakan oleh Gus Iib kepadaku, Syaikh Hubaisyi ini mencetak buku-buku karya ilmiah beliau tersebut di atas dengan uang pribadi beliau sendiri. Lalu beliau tidak pernah merasa rugi jikalau kemudian karya tersebut beliau bagi-bagikan kepada mahasiswa dan siapa saja yang ngaji kepada beliau secara Cuma-Cuma. Adakah kedermawanan yang melebihi kedermawanan seseorang yang menginfakkan ilmu dan buku-buku yang menjadi sarana menggapai ilmu tersebut? Sungguh luar biasa beliau ini. Tidak hanya sampai di situ saja, kedermawanan Syaikh Hubaisyi ini juga nampak dengan keistiqomahan beliau dalam mengajar Tholabah, padahal jarak rumah beliau dan tempat mengajarnya, biasa di tempuh dalam waktu kurang lebih 5 jam. Dan kalau beliau telat, maka beliau tidak segan-segan untuk meminta maaf kepada santri-santri atas keterlambatan itu. Pernah suatu hari beliau terlambat datang ke majlis, di sebabkan jalanan yang macet karena ada perayaan Milad Imam Husain—sebagaimana di ceritakan oleh Gus Iib—dan iya, beliau meminta maaf dengan sungguh atas keterlambatan beliau ini.
Salah satu akhlak beliau yang menonjol adalah sikap Tawadhu’ beliau yang luar biasa. Pernah suatu hari—lagi-lagi ini cerita dari Gus Iib—beliau mengumpulkan semua santri-santri, lalu beliau meminta kepada semua santri yang hadir untuk berkenan memenuhi permintaan beliau. Sambil menangis-nangis, beliau mengulangi lagi apa yang telah beliau sampaikan, yakni agar semua santri-santri dan murid beliau berkenan memenuhi permintaan beliau. Semua yang hadir terharu, dan tidak sedikit pula dari mereka yang kemudian menitikkan air mata—ah jadi mau ikut-ikutan nangis deh—dan tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka kecuali kata “Na’am”. Baru setelah semua santri menjawab dengan “Na’am”, maka beliau mengutarakan apa permintaan beliau. Dan yang lebih mencengangkan lagi, ternyata permintaan beliau itu adalah beliau meminta agar nanti di akherat semua santri-santri dan murid-murid yang belajar dan ngaji kepada beliau, berkenan untuk men-syafa’ati beliau. Tida hanya sampai disitu, beliau mengulang-ulangi pertanyaan itu, sampai beliau benar-benar yakin, bahwa santri-santri berkenan memberikan syafa’atnya nanti di akherat. Pecahlah tangis sebagian besar santri, hati mereka runtuh, luluh, bahkan menjerit, dan bahkan mungkin mereka bertanya-tanya: “Siapakah sebenarnya sosok di depan mereka ini, manusia ataukah malaikat?”. Betapa mulianya Tawadhu’ beliau ini.
Saya sendiri kurang tahu, bagaimana kabar Syaikh Hubaisyi sekarang ini. Semoga saja beliau masih dalam kondisi sehat wal afiyat. Tapi yang jelas, ada secercah kerinduan yang menyeruak dalam dada ini untuk sekedar bertemu, istifadah, mencium tangan sejuk beliau atau mungkin bisa ber-intisab kepada beliau dengan menjadi salah satu kolom dari mata rantai ilmiah beliau. Semoga harapan itu terpenuhi, entah kapan. Bukankah semua berawal dari sebuah harapan, kawan?


Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger