Memang sangat sulit untuk membedakan
antara saingan dan berlomba dalam kebaikan (Musabaqoh Fil Khoir). Apalagi
jika yang melihat adalah orang yang masih mengenakan kacamata awam yang serba
hitam-putih, pasti langsung burem matanya atau beleken, saat melihat
beberapa tokoh-tokoh agama yang saling ‘berlomba’. Entah persaingan atau
berlomba dalam kebaikan—menurut saya pribadi—jika yang melakukannya adalah
orang-orang yang masih menjadikan ilmu sebagai pijakan utamanya, maka pasti
akan membawa keberkahan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Hal ini sesuai
dengan adagium “Ikhtilafu-L-Aimmah Rahmah”, berbeda jauh jikalau
kemudian yang saling berbeda pendapat adalah orang-orang bodoh yang bersembunyi
dibalik kebesaran jubah agama, pasti yang muncul hanyalah hujatan dan sumpah
serapah belaka. Tak ada kesantunan ilmiah dan Adabu-L-Ikhtilaf di sana. Padahal,
kalau toh kita melihat dengan jernih, ‘persaingan’ para Alim Ulama itu pasti
akan membuahkan hikmah yang tidak bisa kita katakan kecil, sebab paling tidak,
dari persaingan tersebut akan lahir karya-karya ilmiah yang akan bisa kita
nikmati sepanjang masa.
Anda
nggak percaya? Okelah, mari kita tengok sejarah kehidupan para ulama
kita yang sudah teruji keilmuan dan keikhlasannya. Sebut saja al-Imam Ibnu Hajar
Al-Asqallani Rahimahu-Llah. Seorang alim besar yang tidak hanya sekedar mendapatkan
julukan “Imam” saja, tetapi beliau adalah “Amiru-L-Mukminin Fil Hadis”
yang kurang lebih bermakna pemimpin semua orang Islam dalam masalah ilmu hadis,
hal ini karena kepiawaian beliau dalam meracik dan mengkaji ilmu hadis. Cukuplah
sebagai bukti dari kealiman beliau adalah kitab Fathu-L-Bari yang tak lain
adalah komentar (Syarah) atas kitab hadis terkenal, yakni shohih
al-Bukhori. Lantas, apakah setelah beliau mendapatkan gelar yang wah luar biasa
itu, tidak ada orang lain yang menyaingi beliau dalam keilmuan? Tidak kawan. Ibnu
hajar menulis kitab Fathu-L-Bari itu selama kurang lebih 5 tahunan—bayangkan kitab
segede itu di tulis hanya dalam waktu kurang lebih 5 tahun dan belum ada
komputer untuk nge-save lo—dan setelah selasai, beliau mulai mengajarkannya
kepada santri-santri halaqoh-nya. Nah, baru saja 3 tahun kitab itu
beredar di masyarakat umum, sudah muncul karya baru dengan genre yang sama pula, yakni sama-sama
komentar atas kitab Bukhori. Dan yang lebih menarik lagi, dalam kitab yang baru
tersebut, sang penulis pun juga menuliskan kritikan-kritikan atas kitab Fathu-L-Bari
karya Ibnu Hajar.
Siapakah
penulis kitab baru tersebut? tak lain dan tak bukan adalah imam Mulla Ali Al-Qori
al-Hanafi. Kalau Ibnu Hajar Al-Aqollani punya syarah Fathu-L-Bari, maka Mulla
Ali Al-Qori punya syarah juga dengan judul Umdatu-l-Qori. Kalau Ibnu Hajar lebih
banyak menekankan pola berfikir Madzhab Syafi’i dalam buku jumbonya tersebut,
maka al-Qori pun tak mau kalah, beliau juga memberikan argumen-argumen Fiqh
Hanafi dalam buku jumbonya. Syarah Fathu-L-Bari menimbulkan persepsi sementara
bagi para pembaca, bahwa Imam al-Bukhori adalah seorang pengikut Madzhab
Syafi’i. Namun setelah muncul syarah Umdatu-L-Qori, maka persepsi itu terbantahkan
dengan sendirinya, dan ternyata al-Bukhori pun bisa di pahami dengan alur dan
metodologi Hanafi. Jadi tidaklah bisa, jikalau lantas muncul klaim bahwa
al-Bukhori bermadzhab Syafi’i atau pun madzhab-madzhab yang lain. Seolah al-Qori
ingin menekankan, jangan kita mudah mengklaim sebuah kebenaran.
Setelah
mengetahui bahwa kitabnya dikritik oleh pesaingnya, Ibnu Hajar tidak tinggal
diam, maka beliau pun menulis kritik balasan terhadap syarah al-Qori tersebut.
Lahirlah kitab Al-Intiqodh Fi-L-I’tirodh yang kurang lebih berjumlah
4 jilid besar-besar. Dalam buku tersebut, Ibnu Hajar membantah sekaligus
menjawab satu persatu kritikan-kritikan Al-Qori yang di tulis dalam syarahnya
atas Al-Bukhori. oleh karenanya, bagi siapapun yang membaca kita Al-Intiqodh,
pasti akan bingung dengan pola penyusunannya yang seringnya hanya menyebutkan “Qola
al-Mu’taridh”, lalu setelah itu beliau menjawab hanya dengan “Qultu”.
Seingat saya, setelah itu al-Qori pun kembali menjawab bantahan Ibnu Hajar
tersebut dengan sebuah kitab yang berjudul “Al-I’tidhodh Fi-L-Intiqodh”
yang besarnya kurang lebih juga sama. Dari semua itu, yang menarik adalah adab
dan akhlak para ulama tersebut dalam berbeda pendapat. Walaupun karyanya dikritik
dengan tajam oleh pesaingnya, Ibnu Hajar tidak lantas mengeluarkan cacian,
hujatan maupun sumpah serapah. Bahkan nama sang pengkritik pun tidak beliau
sebutkan secara eksplisit, beliau hanya menggunakan kata-kata sang pengkritik (al-Mu’taridh).
Bukankah hal ini sangat indah sekali kawan? Memang, jikalau perkhilafan itu
terjadi antara “A-immah” bukan orang-orang pinggiran yang bodoh “Al-Jahalah”
yang nampak hanyalah keindahan di mata kita, para makmumin ini.
Dalam
kalangan NU, sebenarnya tradisi perbedaan sudahlah mengakar puluhan tahun yang
lalu. Dan—menurut saya pribadi—contoh yang paling riil adalah persaingan
kakak-beradik KH. Bisyri Musthofa dan KH. Misbah Musthofa Rahimahuma-Llah.
Beliau berdua adalah tokoh ulama yang tidak hanya alim nan mumpuni dalam bidang
keagamaan, namun juga kreatif menghasilkan karya-karya ilmiah yang sampai
sekarang masih bisa dinikmati oleh semua masyarakat Nusantara secara umum. Saat
Mbah Bisyri menulis masterpice-nya, yakni Al-Ibriz Fi
Tafsiri-L-Qur’ani-L-Aziz yang sangat fenomenal itu, maka adik beliau, Kiai
Misbah pun tak mau kalah dengan sang kakak. Beliau pun juga menulis Tafsir yang
tak kalah hebatnya, yakni tafsir Al-Iklil Fi Ma’anit Tanziil. Namun sayangnya,
ada kabar yang sampai kepada saya pribadi, bahwa ada beberapa pembahasan dalam
tafsir Al-Iklil yang di kurangi atau di hilangkan oleh pihak penerbit. Entah penerbit
siapa juga, saya kurang tahu. Akhirnya karena kekecewaan tersebut, Mbah Misbah
menulis tafsir lagi dengan judul Taju-l-Muslimin, namun sayang, belum
sampai selesai penulisannya, keburu Mbah Misbah di panggil oleh Sang Pencipta
untuk sowan.
Persaingan
antara kedua kakak-beradik ini tidaklah hanya berhenti sampai di situ saja. Kalau
Mbah Bisyri punya syarah Jurumiyyah dengan judul An-Nibrasiyyah, maka
Mbah Misbah juga punya syarah atas kitab yang sama dengan judul At-Ta’liqot
Al-Bangilaniyyah. Jika Mbah Bisyri menulis syarah atas nadzam ‘Amrithi
dengan judul Al-Unsyuthi, maka Mbah Misbah juga tidak mau kalah, beliau
menulis syarah atas nadzam yang sama dengan judul Minnatu-L-Mu’thi. Dalam
bidang ilmu sejarah, Mbah Bisyri menulis kitab Tarikhu-L-Auliya’ yang
bercerita tentang Walisongo di tanah Jawa, tak kalah cerdik, Mbah Misbah pun
menulis kitab sejarah dengan genre yang sama, yakni tentang Walisongo, tapi
cerdiknya, beliau menulis tentang Walisongo luar negeri. Kitab tersebut
berjudul Tarikhu-L-Auliya’ Al-Abror (Walisongo luar negeri). Dan begitu
seterusnya, masih banyak lagi karya-karya beliau berdua yang muncul karena
persaingan. Tetapi sekali lagi saya tekankan, persaingan tersebut adalah dalam
rangka berlomba dalam kebaikan, sehingga hasil dari persaingan tersebut adalah
munculnya karya-karya ilmiah yang indah dan bisa kita nikmati sampai sekarang.
Lalu
bagaimana dengan kita sekarang ini kawan? Antara kita sendiri berbeda, itu
pasti. Tapi apakah kita menjaga adab dan akhlak dalam berbeda itu?? Ah entahlah,
semoga kita semua selamat.
0 komentar