Advertise 728x90

SEMENJAK AL-QORI, SAMPAI MBAH BISYRI

Written By Unknown on Thursday, April 21, 2016 | 11:43 PM



            Memang sangat sulit untuk membedakan antara saingan dan berlomba dalam kebaikan (Musabaqoh Fil Khoir). Apalagi jika yang melihat adalah orang yang masih mengenakan kacamata awam yang serba hitam-putih, pasti langsung burem matanya atau beleken, saat melihat beberapa tokoh-tokoh agama yang saling ‘berlomba’. Entah persaingan atau berlomba dalam kebaikan—menurut saya pribadi—jika yang melakukannya adalah orang-orang yang masih menjadikan ilmu sebagai pijakan utamanya, maka pasti akan membawa keberkahan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan adagium “Ikhtilafu-L-Aimmah Rahmah”, berbeda jauh jikalau kemudian yang saling berbeda pendapat adalah orang-orang bodoh yang bersembunyi dibalik kebesaran jubah agama, pasti yang muncul hanyalah hujatan dan sumpah serapah belaka. Tak ada kesantunan ilmiah dan Adabu-L-Ikhtilaf di sana. Padahal, kalau toh kita melihat dengan jernih, ‘persaingan’ para Alim Ulama itu pasti akan membuahkan hikmah yang tidak bisa kita katakan kecil, sebab paling tidak, dari persaingan tersebut akan lahir karya-karya ilmiah yang akan bisa kita nikmati sepanjang masa.
            Anda nggak percaya? Okelah, mari kita tengok sejarah kehidupan para ulama kita yang sudah teruji keilmuan dan keikhlasannya. Sebut saja al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqallani Rahimahu-Llah. Seorang alim besar yang tidak hanya sekedar mendapatkan julukan “Imam” saja, tetapi beliau adalah “Amiru-L-Mukminin Fil Hadis” yang kurang lebih bermakna pemimpin semua orang Islam dalam masalah ilmu hadis, hal ini karena kepiawaian beliau dalam meracik dan mengkaji ilmu hadis. Cukuplah sebagai bukti dari kealiman beliau adalah kitab Fathu-L-Bari yang tak lain adalah komentar (Syarah) atas kitab hadis terkenal, yakni shohih al-Bukhori. Lantas, apakah setelah beliau mendapatkan gelar yang wah luar biasa itu, tidak ada orang lain yang menyaingi beliau dalam keilmuan? Tidak kawan. Ibnu hajar menulis kitab Fathu-L-Bari itu selama kurang lebih 5 tahunan—bayangkan kitab segede itu di tulis hanya dalam waktu kurang lebih 5 tahun dan belum ada komputer untuk nge-save lo—dan setelah selasai, beliau mulai mengajarkannya kepada santri-santri halaqoh-nya. Nah, baru saja 3 tahun kitab itu beredar di masyarakat umum, sudah muncul karya baru  dengan genre yang sama pula, yakni sama-sama komentar atas kitab Bukhori. Dan yang lebih menarik lagi, dalam kitab yang baru tersebut, sang penulis pun juga menuliskan kritikan-kritikan atas kitab Fathu-L-Bari karya Ibnu Hajar.
            Siapakah penulis kitab baru tersebut? tak lain dan tak bukan adalah imam Mulla Ali Al-Qori al-Hanafi. Kalau Ibnu Hajar Al-Aqollani punya syarah Fathu-L-Bari, maka Mulla Ali Al-Qori punya syarah juga dengan judul Umdatu-l-Qori. Kalau Ibnu Hajar lebih banyak menekankan pola berfikir Madzhab Syafi’i dalam buku jumbonya tersebut, maka al-Qori pun tak mau kalah, beliau juga memberikan argumen-argumen Fiqh Hanafi dalam buku jumbonya. Syarah Fathu-L-Bari menimbulkan persepsi sementara bagi para pembaca, bahwa Imam al-Bukhori adalah seorang pengikut Madzhab Syafi’i. Namun setelah muncul syarah Umdatu-L-Qori, maka persepsi itu terbantahkan dengan sendirinya, dan ternyata al-Bukhori pun bisa di pahami dengan alur dan metodologi Hanafi. Jadi tidaklah bisa, jikalau lantas muncul klaim bahwa al-Bukhori bermadzhab Syafi’i atau pun madzhab-madzhab yang lain. Seolah al-Qori ingin menekankan, jangan kita mudah mengklaim sebuah kebenaran.
            Setelah mengetahui bahwa kitabnya dikritik oleh pesaingnya, Ibnu Hajar tidak tinggal diam, maka beliau pun menulis kritik balasan terhadap syarah al-Qori tersebut. Lahirlah kitab Al-Intiqodh Fi-L-I’tirodh yang kurang lebih berjumlah 4 jilid besar-besar. Dalam buku tersebut, Ibnu Hajar membantah sekaligus menjawab satu persatu kritikan-kritikan Al-Qori yang di tulis dalam syarahnya atas Al-Bukhori. oleh karenanya, bagi siapapun yang membaca kita Al-Intiqodh, pasti akan bingung dengan pola penyusunannya yang seringnya hanya menyebutkan “Qola al-Mu’taridh”, lalu setelah itu beliau menjawab hanya dengan “Qultu”. Seingat saya, setelah itu al-Qori pun kembali menjawab bantahan Ibnu Hajar tersebut dengan sebuah kitab yang berjudul “Al-I’tidhodh Fi-L-Intiqodh” yang besarnya kurang lebih juga sama. Dari semua itu, yang menarik adalah adab dan akhlak para ulama tersebut dalam berbeda pendapat. Walaupun karyanya dikritik dengan tajam oleh pesaingnya, Ibnu Hajar tidak lantas mengeluarkan cacian, hujatan maupun sumpah serapah. Bahkan nama sang pengkritik pun tidak beliau sebutkan secara eksplisit, beliau hanya menggunakan kata-kata sang pengkritik (al-Mu’taridh). Bukankah hal ini sangat indah sekali kawan? Memang, jikalau perkhilafan itu terjadi antara “A-immah” bukan orang-orang pinggiran yang bodoh “Al-Jahalah” yang nampak hanyalah keindahan di mata kita, para makmumin ini.
            Dalam kalangan NU, sebenarnya tradisi perbedaan sudahlah mengakar puluhan tahun yang lalu. Dan—menurut saya pribadi—contoh yang paling riil adalah persaingan kakak-beradik KH. Bisyri Musthofa dan KH. Misbah Musthofa Rahimahuma-Llah. Beliau berdua adalah tokoh ulama yang tidak hanya alim nan mumpuni dalam bidang keagamaan, namun juga kreatif menghasilkan karya-karya ilmiah yang sampai sekarang masih bisa dinikmati oleh semua masyarakat Nusantara secara umum. Saat Mbah Bisyri menulis masterpice-nya, yakni Al-Ibriz Fi Tafsiri-L-Qur’ani-L-Aziz yang sangat fenomenal itu, maka adik beliau, Kiai Misbah pun tak mau kalah dengan sang kakak. Beliau pun juga menulis Tafsir yang tak kalah hebatnya, yakni tafsir Al-Iklil Fi Ma’anit Tanziil. Namun sayangnya, ada kabar yang sampai kepada saya pribadi, bahwa ada beberapa pembahasan dalam tafsir Al-Iklil yang di kurangi atau di hilangkan oleh pihak penerbit. Entah penerbit siapa juga, saya kurang tahu. Akhirnya karena kekecewaan tersebut, Mbah Misbah menulis tafsir lagi dengan judul Taju-l-Muslimin, namun sayang, belum sampai selesai penulisannya, keburu Mbah Misbah di panggil oleh Sang Pencipta untuk sowan.
            Persaingan antara kedua kakak-beradik ini tidaklah hanya berhenti sampai di situ saja. Kalau Mbah Bisyri punya syarah Jurumiyyah dengan judul An-Nibrasiyyah, maka Mbah Misbah juga punya syarah atas kitab yang sama dengan judul At-Ta’liqot Al-Bangilaniyyah. Jika Mbah Bisyri menulis syarah atas nadzam ‘Amrithi dengan judul Al-Unsyuthi, maka Mbah Misbah juga tidak mau kalah, beliau menulis syarah atas nadzam yang sama dengan judul Minnatu-L-Mu’thi. Dalam bidang ilmu sejarah, Mbah Bisyri menulis kitab Tarikhu-L-Auliya’ yang bercerita tentang Walisongo di tanah Jawa, tak kalah cerdik, Mbah Misbah pun menulis kitab sejarah dengan genre yang sama, yakni tentang Walisongo, tapi cerdiknya, beliau menulis tentang Walisongo luar negeri. Kitab tersebut berjudul Tarikhu-L-Auliya’ Al-Abror (Walisongo luar negeri). Dan begitu seterusnya, masih banyak lagi karya-karya beliau berdua yang muncul karena persaingan. Tetapi sekali lagi saya tekankan, persaingan tersebut adalah dalam rangka berlomba dalam kebaikan, sehingga hasil dari persaingan tersebut adalah munculnya karya-karya ilmiah yang indah dan bisa kita nikmati sampai sekarang.
            Lalu bagaimana dengan kita sekarang ini kawan? Antara kita sendiri berbeda, itu pasti. Tapi apakah kita menjaga adab dan akhlak dalam berbeda itu?? Ah entahlah, semoga kita semua selamat. 



Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger