Seperti biasanya, setiap malam kamis
ba’da-l-Isya’, ada pengajian kitab hadis Riyadhus Sholihin di Musholla Darussalam
Nusantara yang diampu oleh Kang Shodrun dan diikuti oleh beberapa warga
sekitar Musholla. Ada pak Ghufron—selaku salah satu Imam di Musholla—Pak Jumali
dan kedua anaknya, lalu Mas Daru, Mas Udin dan beberapa warga lainnya. Satu
persatu hadis dalam kitab Riyadhus Sholihin dibacakan dan di Murodi oleh
Kang Shodrun dengan lancar, seperti halnya dulu saat dia ngaji di pesantren.
Dan pada pukul 08.30 wib, pengajian telah selesai untuk kemudian memasuki
seaseon santai-santai sambil tanya-jawab.
Mas
Daru mengambil seceret teh hangat dan beberapa gelas yang telah disediakan oleh
Mbok Yah di serambi musholla. Memang Mbok Yah ini sangat luar biasa, beliau
adalah sosok yang selalu ikhlas memberikan suguhan kepada jama’ah pengajian di
Musholla peninggalan suaminya tersebut, baik berupa teh hangat atau pun
cemilan-cemilan seadanya. Teh dituangkan ke dalam gelas, lalu disuguhkan kepada
masing-masing jam’ah, termasuk juga Kang Shodrun sebagai pengampu ngaji
hadis tersebut. setelah menyeruput teh hangat, Pak Ghufron berdehem-dehem “ehem..ehem”
lalu dengan suara agak parau beliau berkata:
“Ngapunten
Kang, saya mau bertanya tentang masalah yang keluar dari tema pembahasan kita
tadi, boleh kan?”
“Oh
iya, monggo, silahkan Pak Ghufran”, jawaban dari Kang Shodrun.
“Begini Kang,
kemarin saat saya di Semarang mengirim cet ke sebagian daerah, saya istirahat
di sebuah masjid untuk sekedar melakukan sholat dzuhur dan melepas lelah.
Setelah sholat, saya leyeh-leyeh sebentar di serambi masjid sambil menikmati
tiupan angin yang semilir. Baru saja saya mau merem, tiba-tiba saya
dikagetkan oleh pengajian yang akan di gelar dalam masjid. Karena tertarik,
saya pun mencoba ikut mendengarkan barang sebentar, siapa tahu dapat ilmu. Di
samping waktunya juga masih lumayan lama. Singkat cerita saya mengikuti
pengajian di situ, yang ternyata adalah ngaji hadis, seperti di musholla
kita ini. Cuma yang mengganjal di hati saya adalah keterangan dari Ustadz
pengampu pengajian tersebut yang menjelaskan bahwa kedua orang tua baginda Nabi
Muhammad SAAW itu wafat dalam kondisi tidak beriman. Nah, kalau ndak
salah, si Ustadz itu mendasarkan pendapat beliau pada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh ahli hadis, siapa gitu saya lupa. Maklum kang, kan
saya orang awam. Lha pertanyaan saya, apakah yang di katakan oleh Ustadz
tadi itu benar Kang? Kan selama ini kita melakukan puji-pujian di musholla
seringkali memuji-muji orang tua kanjeng Nabi, la ini kok ternyata katanya nggak
beriman, trus pripun niku kang?”
Kang
shodrun sedikit terkaget dengan pertanyaan Pak Ghufron ini, sebab pertanyaan
tersebut membutuhkan jawaban yang ilmiah dan panjang. Tapi kalau tidak dijawab
pun akan berbahaya, sebab bisa-bisa nanti pak Ghufron meragukan keabsahab
amaliah yang selama ini sudah berjalan di desa dan musholla bertahun-tahun.
Seperti puji-pujian sebelum sholat yang di antaranya adalah memuji ayah dan
bunda baginda Rasulullah saaw, semisal pujian: “Engkang romo asmane Sayyid
Abdullah, engkang ibu asmane Siti Aminah”. Akhirnya dengan berbekal
keilmuan yang seadanya, Kang Shodrun pun berusaha menjawab dengan detil dan
ilmiah.
“Ngetên pak Ghufron—dan saya mohon yang lain juga
memperhatikan—bahwa sebenarnya memang ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam Jami’ Shohih-nya yang memberikan kesan seolah-olah kedua orang tua
baginda Nabi itu wafat dalam kondisi tidak beriman. Bunyi hadis tersebut adalah
berikut:
صحيح مسلم - (ج 2 / ص
122)
حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى
قَالَ « فِى النَّارِ ». فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ « إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ
فِى النَّارِ ».
Inti dari
hadis di atas, baginda Nabi menjawab pertanyaan seorang sahabat yang ayahnya
berada di neraka, bahwa ayah beliau dan sahabat itu sama-sama berada di
neraka...”
Tiba-tiba
pak Ghufron nylonong memotong keterangan kang shodrun dengan pertanyaan lagi:
“Wah kalau
gitu, benêr apa yang di katakan oleh ustadz tadi, Kang?”
“Sabar dulu
pak Ron, dengarkan dulu penjelasan saya, ini panjang lho penjelasannya. Sampean
harus sabar ya...”, jawab Kang Shodrun sambil ketawa.
“Oh iya, iya
kang”
“Begini pak,
tidak semua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohih-nya itu lantas
disepakati ke-shohih-annya oleh semua huffaadz, seperti halnya hadis yang saya
bacakan di atas. Banyak ulama-ulama Huffadz (pakar hadis yang berhak
memberikan hukum shohih/tidaknya sebuah hadis) yang mengkritik keshohihan hadis
di atas. Baik dari sisi Matnu-l-Hadis, maupun mata rantai Sanad-nya.
Oke, saya akan menjelaskan dengan detil dan mudah, tolong di perhatikan ya.
Untuk menghukumi sebuah hadis itu shohih atau tidak, ada 2 sisi yang harus di
perhatikan, yakni Sanad dan Matn. Lalu bagaimana dengan hadis di atas?
Sanad.
al-Imam
al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab At-Ta’dzim Wal Minnah menyatakan
bahwa hadis riwayat muslim tersebut di atas ada 2 ‘illat. ‘Illat yang terdapat
pada sisi sanad adalah diriwayatkannya hadis di atas dari Hammad bin Salamah
dari jalur Tsabit Bin Anas. Dalam risalah kecil di atas, As-Suyuthi mengatakan[1]:
فصل: ظهر لي في حديث
(إن أبي وأباك في النار) علتان إحداهما من حيث الإسناد وذلك أن الحديث أخرجه مسلم
وأبو داود من طريق حماد بن سلمة عن ثابت بن أنس—إلى قوله—وهذا الحديث تفرد
به مسلم عن البخاري وفي أفراد مسلم أحاديث متكلم فيها ولا شك أن يكون هذا
منها
“Fashl: nampak jelas bagiku bahwa hadis dalam (إن
أبي وأباك في النار) terdapat 2 ‘illat. Pertama dari sisi sanad. Yakni bahwa
hadis itu di riwayatkan oleh Muslim dan Abu dawud melalui jalur Hammad Bin
Salamah dari Tsabit Bin Anas—sampai ucapan beliau—hadis ini adalah hadis
ghorib yang hanya diriwayatkan oleh Muslim saja, tidak (bersamaan dengan)
al-Bukhori. Dan dalam hadis-hadis yang hanya di riwayatkan (Afrod) oleh
muslim saja, terdapat banyak hadis yang perlu di kritik (Mutakallam Fih). Dan
tidak perlu di ragukan lagi, bahwa hadis di atas masuk ke dalam hadis yang
perlu di kritik itu”
Lalu beliau melanjutkan lagi dengan mengatakan
bahwa:
أما أولا
فثابت وإن كان إماما ثقة فقد ذكره ابن عدي في كامله في الضعفاء وقال إنه وقع في
أحاديثه نكرة وذلك من الرواة عنه فإنه روى عنه الضعفاء. وأورده الذهبي في
الميزان. وأما ثانيا فحماد بن سلمة وإن كان إماما عابدا عالما فقد تكلم
جماعة في روايته وسكت البخاري عنه فلم يخرج له شيئا في صحيحه
“Yang pertama adalah Tsabit. Walaupun beliau adalah
seorang imam dengan predikat Tsiqqoh (bisa di percaya), tetapi Ibnu ‘Ady menyebutkan
dalam kitab al-Kamil bahwa beliau masuk dalam kategori orang-orang yang lemah
(Dhu’afa’), dan Ibnu ‘Ady mengatakan bahwa dalam hadis-hadis tsabit terdapat
kemunkaran. Semua itu terjadi karena orang-orang yang meriwayatkan dari
beliau. Ad-dzahabi juga memasukkan tsabit dalam kitab al-Mizan. Adapun yang
kedua, adalah hammad bin salamah. Walaupun beliau adalah seorang imam yang ahli
ibadah nan alim, tetapi sekelompok ulama hadis telah mengkritik riwayat
beliau. Sedang Imam Bukhori sendiri diam tentang beliau dan tidak
meriwayatkan satu hadis pun dari beliau dalam shohih-nya”
Dari pemaparan As-Suyuthi yang kedua,
bisa kita tarik kesimpulan bahwa:
1 1. Tsabit bin Anas masuk kateori orang yang lemah (Dhaif),
walaupun dalam hal kesalehan, beliau adalah orang yang amanah dan dapat di
percaya.
22.
Banyak hadis-hadis munkar yang di nisbatkan kepada Tsabit.
Semua itu terjadi sebab murid-murid Tsabit adalah orang-orang yang lemah juga (Dhu’afa’).
33. Begitu juga dengan Hammad. Yang menjadi permasalahan
bukanlah amanah dan tsiqqah-nya, tetapi adalah Dhobtur-Rawi (kemampuan
rawi dalam menghapal teks-teks hadis beserta dengan Rijal-nya)
sampai-sampai al-Bukhori tidak memasukkan menerima riwayatnya dalam kitab
shohih-nya. Guna lebih detil lagi dalam memahami posisi Hammad bin Salamah ini,
kita bisa baca juga keterangan Al-Imam ad-dzahabi berikut ini:
حماد ثقة له أوهام
وله مناكير كثيرة وكان لايحفظ فكانوا يقولون إنها دست في كتبه—إلى
قوله—فبان بهذا أن الحديث المتنازع فيه لابدع أن يكون منكرا وقد وصفت أحاديث كثيرة
في مسلم بأنها منكرة
“Hammad adalah seorang yang dapat
di percaya, tetapi banyak terjadi dugaan-dugaan (auham) dalam riwayatnya.
Dia juga banyak meriwayatkan hadis-hadis yang munkar. Dia bukanlah seorang
penghapal. Ada banyak ulama yang mengatakan bahwa kitab-kitab beliau
banyak mengalami distorsi—sampai pada ucapan Dzahabi—maka jelas sudah dari
sini bahwa hadis yang dipertentangkan tidak ada keraguan lagi itu adalah hadis
yang munkar. Banyak dari hadis-hadis riwayat Muslim yang mendapatkan masuk
klasifikasi hadis munkar”
Juga penjelasan dari Sayyid Ahmad
As-Sayyih Al-Husaini menjelaskan dalam kitab beliau yang berjudul “Nasyru-l-A’thor
Wa Natsru-l-Azhar Fi Najati Aba-in Nabiyyi-l-Ath-har”, beliau mengatakan:
وعند العلماء أن
معمرا أثبت من حماد لأن حمادا في أحاديثه مناكير شتى وقد تكلم علماء الرجال في
حفظه فهو مجروح متهم ولم يخرج له البخاري ومسلم في الأصول إلا من روايته عن
ثابت
“menurut para ulama, Ma’mar lebih kuat dari pada Hammad,
sebab dalam beberapa riwayat Hammad terdapat banyak kemunkaran yang
bermacam-macam. Para ulama-ulama Rijal telah mengkritik hapalan beliau.
Maka beliau adalah seorang yang majruh (sudah terkoyak validitasnya) dan muttaham
(perlu di curigai). Imam Bukhori dan Imam Muslim pun tidak meriyawatkan
dari Hammad dalam hadis-hadis pokok mereka, kecuali saat hammad meriwayatkan
dari tsabit”
Tiba-tiba pak Jumali yang dari tadi
diam mengangkat tangan, intruksi:
“Kang, tambah mumet
saya mendengarkan pemaparan njenengan yang luas dan mbulet itu. Udah,
langsung saja pada intinya, jadi gimana tentang sanad hadis riwayat muslim tadi?”
“Ha ha
ha..iya, iya pak Jumali. Maaf, ini karena saya nuruti keinginan pak Ghufron.
Intinya hadis riwayat Muslim di atas itu secara sanad adalah hadis yang Dhoif
alias lemah, sebab hadis tersebut di riwayatkan melalui jalur Hammad bin
Salamah dari Tsabit bin Anas, yang mana kedua perowi tersebut itu telah dihukumi
lemah oleh para Huffadz yang pakar dalam bidang Hadis. Hadis yang secara
mata rantai Sanad-nya lemah, maka hadis tersebut pun juga lemah hukumnya. Nah,
menggunakan hadis yang lemah, itu hanya diperbolehkan oleh para ulama dalam Fadhailu-l-A’mal
saja, bukan dalam masalah hukum atau pun akidah. Sedang masalah keislaman kedua
orang tua Nabi—menurut saya pribadi—itu sudah masuk dalam ranah yang mendekati
akidah. Jadi kita tidak boleh menggunakan hadis tersebut di atas sebagai
pijakan menarik kesimpulan. Terlebih lagi jikalau hadis tersebut bertentangan
dengan teks-teks al-Qur’an”
“Terus kalau
dari sisi matn-nya hadis tersebut bagaimana, Kang?”, tanya pak Ghufron yang
kelihatan masih semangat sendiri, jika di banding dengan yang lain.
Sambil melirik jam yang sudah
menunjukkan pukul 09.30 wib, Kang Shodrun berkata:
“Ya silahkan,
terserah jama’ah, apa mau di lanjut sekarang atau besok malam sabtu saja, sebab
ini sudah melebihi kebiasaannya. Sudah mulai larut malam. Silahkan gimana
jama’ah?”
“Malam sabtu
saja Kang Shodrun, sudah lelah, besok masih harus kerja juga”, jawaban serempak
dari jama’ah.
Akhirnya
pengajian malam kamisan itu pun di tutup dengan untaian doa yang melangit oleh
Pak Ghufron selaku sesepuh dan Imam Musholla. Wallahu A’lam []
[1] Perhatikan bagian-bagian ungkapan yang saya garis
bawahi. Karena di situlah titik pembahasan utama.
0 komentar