Advertise 728x90

Aswaja Sebagai Manhaj Fikr

Written By Unknown on Sunday, October 4, 2015 | 5:15 PM



Sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia—bahkan mungkin juga di dunia—dengan jutaan jama’ah yang tersebar di hampir setiap jengkal tanah Nusantara ini, Nahdhatul Ulama (NU) dalam Qanun Asasi-nya telah menetapkan konsep Ahlussunnah Wal Jama’ah—yang biasa disingkat dengan Aswaja—sebagai pijakan utama dalam menentukan setiap langkah, pergerakan, sikap dan bahkan keputusan. Keputusan tersebut baik yang bersifat kegamaan ansich, pendidikan, sosial, ekonomi ataupun politik.
            Implementasi dari ketetapan NU di atas adalah ditetapkannya sistem bermadzhab dalam tubuh organisasi yang berjuluk “pesantren besar” ini. Ya, dalam olah amaliah, NU memilih untuk bermadzhab dengan mengikuti salah satu dari 4 madzhab yang tumbuh berkembang dalam lingkungan sunni, yakni Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan terakhir adalah madzhab Hanbali. Begitu juga dalam ranah teologi, NU memberikan tawaran dua madzhab untuk kemudian dipilih oleh warganya, yakni Madzhab Asy’ari dan Madzhab Maturidi. Sementara itu, dalam ranah akhlak-budi pekerti, corak sufi Ghozaliyan nampaknya lebih dominan dari pada yang lain. Jadi tidaklah merupakan hal yang aneh jikalau kemudian prilaku tasawwuf sebagian besar warga NU adalah amali-akhlaqi, bukan sufi-falsafi. Walaupun jikalau kita teliti lebih mendalam lagi, sebenarnya corak madzhab Syafi’i Asy’ari Ghozali lebih dominan dalam prilaku keseharian warga NU. Sampai disini, ada sebuah pertanyaan yang sudah lama terbersit dalam hati; apa sebenarnya Aswaja itu?
Sebelum menjawab pertanyaan sulit nan pelik di atas, ada beberapa hadis yang biasanya dijadikan pijakan oleh para ulama Sunni guna memperkuat argumentasi mereka, dan dalam kesempatan kali ini, perlu kita jadikan bahan analisa guna memahami Aswaja. Di antaranya adalah sebagai berikut:

فمن أحب منكم بحبحة الجنة ، فليلزم الجماعة
Siapa saja di antara kalian yang menginginkan kenikmatan surga, maka hendaknya menetapi Jama’ah

Ada juga hadis lain yang berbunyi: 

من خرج من الجماعة قيد شبر فقد خلع ربقة  الإسلام من عنقه حتى يراجعه
Siapa saja yang keluar dari Jama’ah walaupun sekadar satu telapak tangan saja, maka dia telah mencopot tali islam dari lehernya, hingga ia kembali lagi

Dan tentunya, kita juga sangat mengenal sebuah hadis yang sangat masyhur di kalangan kita, saat para sahabat bertanya, siapakah satu kelompok yang selamat itu duhai baginda Nabi, maka baginda Nabi menjawab dengan tegas: 

ما أنا عليه وأصحابي
Sesuatu yang saya (Muhammad) dan sahabat-sahabatku menetapi hal tersebut

Ada juga hadis yang menyuruh kita untuk mengikuti sunnah-sunnah baginda Nabi dan Khulafa’ Ar-Rasyidun, hadis tersebut berbunyi:

فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
Maka tetaplah kalian atas Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidun yang mendapatkan petunjuk

Oke, saya kira hadis-hadis di atas sudah sedikit memberikan gambaran dan pemetaan permasalah kepada kita, siapakah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu? Kalau kita runutkan berdasarkan pada urutan posisi hadis-hadis di atas, bisa kita pahami sebagai berikut:
1.     Dari hadis pertama, kita bisa mengetahui bahwa siapa saja yang ingin merasakan kenikmatan surga (Buhbuhata-l-Jannah), maka dia harus menetapi “Al-Jama’ah”.
2.      Hadis kedua juga memberikan pengertian yang tidak jauh dari hadis pertama tadi. sebab siapa saja yang berpisah dari “Al-Jama’ah”, walaupun dalam masalah yang sangat remeh sekali (Qaida Syibrin), maka dia sama saja telah melepaskan tali Islam (Rabqata-l-Islam) dari dirinya. Lalu siapakan yang di maksud dari “Al-Jama’ah” ini? Jawabannya ada pada hadis ke-3 dan ke-4.
3.      Dari hadis ketiga ini, kita menemukan gambaran bahwa yang di maksud dengan “Al-Jama’ah” adalah sesuatu—ingat baginda Nabi mengatakan “sesuatu” atau ”Maa”—yang ditetapi oleh Baginda Nabi dan para sahabat (Maa Ana ‘Alaihi Wa Ashabi).
4.    Dalam hadis keempat ini, kita juga bisa menemukan gambaran lain, bahwa yang dimaksud “Al-Jama’ah” adalah yang menetapi sunnah baginda Nabi dan sunnah para Khulafa’ Ar-Rasyidin.

Kesimpulannya, “Al-Jama’ah” adalah apa yang di tetapi oleh baginda Nabi dan Para Sahabat atau dalam redaksi hadis satunya lagi, “Al-Jama’ahadalah sunnah baginda Nabi dan para sahabat beliau yang mendapatkan petunjuk. Jadi, bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah “Al-Jama’ah” ini, yang tak lain dan tak bukan adalah gambaran nyata dari mengikuti sunnah Nabi dan sunnah para sahabat. Memang, mengikuti sunnah Nabi adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa di ganggu gugat oleh setiap insan muslim, karena baginda Nabi adalah pembawa risalah suci Islam kepada alam semesta, karenanya bagi siapa saja yang ingin mengenal Islam secara lebih mendalam dan komprehensif, maka kenalilah sang pembawa risalah itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Baginda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Beliaulah gambaran utuh dan pengejawantahan paling riil nan valid dari Islam itu sendiri. Namun yang masih mengganjal di hati saya sampai sekarang ini; apakah yang dimaksud dengan mengikuti sunnah-sunnah para sahabat/lebih spesifik lagi disini adalah sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidun? Sedang kita tahu sendiri, bahwa para sahabat tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syariat (Tasyri’).
Dalam memahami makna “mengikuti Sunnah Sahabat/Khulafa’ Ar-Rasyidin”, sepanjang pengkajian saya, para ulama terbagi menjadi 2 kelompok.
Pertama, kelompok yang memahami makna “mengikuti” sunnah sahabat/Khulafa’ Ar-Rasyidun di sini adalah dengan mengikuti apa saja yang telah di tetapkan oleh para sahabat. Atau dengan kata lain, mengikuti madzhab sahabat. Dari kelompok pertama ini, akhirnya muncullah Ahlussunnah Wal Jama’ah—selanjutnya akan saya singkat dengan Aswaja saja—dengan corak madzhab (Scoohl Of Tough). Sebenarnya, istilah yang lebih tepat untuk diberikan kepada kelompok pertama ini adalah Aswaja madzhab tekstualis, karena mereka langsung saja mengikuti pendapat (aqwal) para sahabat, tanpa mau menengok terlebih dahulu pada metode yang digunakan oleh para sahabat. Atau kalaupun mereka menengok metodologi para sahabat, mereka lebih memilih untuk mengikuti pendapat para sahabat.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman aswaja dengan corak madzhab/school of tough ini, nampak lebih berkembang dan lebih banyak diikuti oleh umumnya warga NU. Hanya saja, madzhab yang dijadikan pijakan bukan lagi madzhab para sahabat, tetapi madzhab para imam yang telah saya sebutkan di atas, dengan berbagai macam dimensi dan perinciannya. Di dalam dunia pesantren—yang merupakan institusi pendidikan paling otoritatif dalam tubuh NU—akan kita temukan banyak sekali kitab-kitab yang menjadi rujukan bagi Aswaja ala madzhab ini dengan berbagai macam variannya. Mulai dari kitab yang paling kecil dan sederhana, hingga kitab yang paling besar nan njlimet akan kita temukan di sana. Dalam ranah teologi, sebut saja kitab Aqidatu-l-Awam, Bad-ul Amali, Ummu-l-Barahin, Hushunu-l-Hamidiyah dan lain sebagainya. Sedang dalam ranah Fiqh, kita temukan Safinah, Sullam, Taqrib hingga yang berjilid-jilid seperti Raudhah karya An-Nawawi. Sedang dalam ranah tasawuf, kita mengenal kitab-kitab semisal Ayyuha-L-Walad, Ta’lim Muta’allim, Adabu-L-Alim Wal Muta’allim hingga yang sangat fenomenal seperti Ihya’ Ulumiddin, buah karya Al-Ghazali.
Kedua, kelompok yang memahami bahwa makna “mengikuti” sunnah sahabat/Khulafa’ Ar-Rasyidun di sini adalah mengikuti metode berpikir (Manhaj Fikr/mode of tought) yang dijadikan piranti oleh para sahabat untuk memahami al-Qur’an maupun Sunnah Nabawiyah. Sebenarnya kelompok yang kedua ini pun bermadzhab, hanya saja mereka tidak lantas begitu saja menerima pendapat (Qaul) para sahabat secara taken for granted. Mereka mengerti bahwa pendapat para sahabat itu merupakan buah dan intisari dari interpretasi yang mereka lakukan atas al-Qur’an maupun Sunnah Nabawiyah. Kelompok kedua ini sadar, bahwa saat para sahabat melakukan interpretasi, tentunya mereka tidaklah ngawur dan nir metodologi. Lalu mereka melakukan kajian lebih mendalam lagi atas aqwal para sahabat, mereka gali bagaimana cara para sahabat memahami teks-teks suci agama Islam, hingga akhirnya mereka menemukan satu titik kesimpulan, bahwa sebenarnya para sahabat ini memiliki metode yang luar biasa guna memahami dua pusaka umat Islam. Dan akhirnya muncullah berbagai macam model Ilmu Islam, salah satunya adalah ilmu Ushul Fiqh yang pertama kali dibukukan oleh Al-Imam As-Syafi’i.
Bagi kelompok kedua ini, mengikuti para sahabat bukan lantas membelenggu kita untuk harus mengikuti semua pendapat (aqwal), kebiasaan, prilaku maupun sikap mereka. Karena realitanya, antar para sahabat sendiri sering terjadi silang pendapat dan perbedaan yang tidak sederhana. Tentunya, masih segar dalam ingatan kita, bagaimana masalah pengganti Rasulullah (Kholifatu-r-Rasul) pasca kemangkatan beliau pun sempat menyita waktu para sahabat, hingga akhirnya mau tidak mau mereka harus rela untuk menunda terlebih dahulu pemakaman baginda Rasul. Belum lagi kalau kita merujuk pada pendapat Imam As-Syafi’i yang menyatakan bahwa “Qaulus-Shohabi Laisa Hujjatan[1], maka nampak semakin gamblang bahwa memang mengikuti pendapat para sahabat bukanlah sebuah kewajiban yang tidak bisa diganggu gugat. Jadi, menurut pendapat kelompok kedua ini, makna dari mengikuti para sahabat tak lain dan tak bukan adalah mengikuti metodologi yang mereka gunakan dalam melakukan analisa dan interpretasi atas al-Qur’an-Hadis. Dan pada era pembukuan serta penulisan berbagai cabang keilmuan Islam (Tadwinu-l-Ulum al-Islamiyah), metode itu telah menjelma dalam bentuk ilmu-ilmu islam dengan bermacam-macam corak dan variannya, bisa Ushul Fiqh, Mustholah Hadis, Ilmu Tafsir dan lain sebagainya. Tetapi, ilmu Ushul Fiqh—dengan warna-warni perbedaan yang berkembang di dalamnya—bisa dikatakan memiliki posisi paling central dan penting dibandingkan berbagai ilmu lainnya. hal ini karena ia menjadi piranti paling pokok guna menganalisa teks-teks agama.
Pemahaman aswaja dengan corak Manhaji/mode of tough ini, nampaknya kurang diminati/bahkan mungkin sangat jarang sekali disentuh dan dikaji oleh kebanyakan warga NU. Jangankan warga awam, kaum intelektual Nahdhiyyin—dalam hal ini adalah para Kiai dan santri dengan pesantren sebagai institusi maupun dosen dan mahasiswa yang punya latar belakang NU—pun nampaknya masih enggan untuk mengkajinya lebih dalam lagi, apalagi untuk mengembangkannya. Kenapa demikian? Ya karena memang aswaja dengan corak yang terakhir ini menuntut kita untuk ‘bersenam’ otak dan mengasah pemikiran agar lebih tajam lagi. Kita tidak hanya di ‘suapi’ sebuah pendapat yang sudah matang, lebih dari itu, kita juga disuguhi sebuah metodologi yang bisa kita dijadikan ‘pisau’ untuk meracik teks-teks al-Qur’an maupun Sunnah Nabawiyah hingga akhirnya menghasilkan rasa lezat yang siap saji. Tentunya ini bukanlah hal yang ringan atau menyenangkan saudara-saudara.
Walhasil, setelah kita sedikit berpetualang dalam ‘belantara’ makna Aswaja yang sedikit melelahkan itu, lalu Aswaja manakah yang akan kita ikuti, Manhaji atau Qauli? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus bersikap bijak dan tidak boleh egois. Sebab antara satu orang dan yang lain, pastinya berbeda-beda kemampuan dan kecenderungannya. Beda kepala, beda pula isinya. Tetapi yang perlu digaris bawahi dengan pena tebal di sini adalah kesadaran pribadi kita masing-masing, bahwa sebenarnya kita sudah memiliki metodologi sendiri nan mandiri yang sangat luar biasa, guna memahami teks-teks al-Qur’an maupun hadis, yakni metodologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Nah, sekarang tinggal kita, mau mendalami, mengkaji dan mengembangkannya atau tidak. Bukankah demikian kawan? []


[1] Artinya “Pendapat sahabat bukanlah hujjah”, hal tersebut selama pendapat sahabat tersebut bukan pengajaran baginda Nabi langsung (Tauqifi). Berkenaan dengan hal ini, bisa kita lihat dalam Muhammad bin alawi al-maliki (tt), Syarah Nadzam Waraqat Fi Ushul Fiqh, surabaya: Hai-atus-Shofwah. Hal: 55.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger