Sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia—bahkan mungkin juga
di dunia—dengan jutaan jama’ah yang tersebar di hampir setiap jengkal tanah
Nusantara ini, Nahdhatul Ulama (NU) dalam Qanun Asasi-nya telah menetapkan
konsep Ahlussunnah Wal Jama’ah—yang biasa disingkat dengan Aswaja—sebagai
pijakan utama dalam menentukan setiap langkah, pergerakan, sikap dan bahkan
keputusan. Keputusan tersebut baik yang bersifat kegamaan ansich, pendidikan, sosial,
ekonomi ataupun politik.
Implementasi dari
ketetapan NU di atas adalah ditetapkannya sistem bermadzhab dalam tubuh
organisasi yang berjuluk “pesantren besar” ini. Ya, dalam olah amaliah, NU
memilih untuk bermadzhab dengan mengikuti salah satu dari 4 madzhab yang tumbuh
berkembang dalam lingkungan sunni, yakni Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki,
Madzhab Syafi’i dan terakhir adalah madzhab Hanbali. Begitu juga dalam ranah
teologi, NU memberikan tawaran dua madzhab untuk kemudian dipilih oleh
warganya, yakni Madzhab Asy’ari dan Madzhab Maturidi. Sementara itu, dalam
ranah akhlak-budi pekerti, corak sufi Ghozaliyan nampaknya lebih dominan dari
pada yang lain. Jadi tidaklah merupakan hal yang aneh jikalau kemudian prilaku
tasawwuf sebagian besar warga NU adalah amali-akhlaqi, bukan sufi-falsafi. Walaupun
jikalau kita teliti lebih mendalam lagi, sebenarnya corak madzhab Syafi’i
Asy’ari Ghozali lebih dominan dalam prilaku keseharian warga NU. Sampai disini,
ada sebuah pertanyaan yang sudah lama terbersit dalam hati; apa sebenarnya
Aswaja itu?
Sebelum menjawab pertanyaan sulit
nan pelik di atas, ada beberapa hadis yang biasanya dijadikan pijakan oleh para
ulama Sunni guna memperkuat argumentasi mereka, dan dalam kesempatan kali ini,
perlu kita jadikan bahan analisa guna memahami Aswaja. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
فمن أحب منكم بحبحة
الجنة ، فليلزم الجماعة
“Siapa saja di antara kalian yang menginginkan kenikmatan surga,
maka hendaknya menetapi Jama’ah”
Ada juga hadis lain yang berbunyi:
من خرج من الجماعة
قيد شبر فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه حتى
يراجعه
“Siapa saja yang keluar dari Jama’ah walaupun sekadar
satu telapak tangan saja, maka dia telah mencopot tali islam dari lehernya,
hingga ia kembali lagi”
Dan tentunya, kita juga sangat mengenal sebuah hadis yang sangat
masyhur di kalangan kita, saat para sahabat bertanya, siapakah satu kelompok
yang selamat itu duhai baginda Nabi, maka baginda Nabi menjawab dengan tegas:
ما أنا عليه وأصحابي
“Sesuatu yang saya (Muhammad)
dan sahabat-sahabatku menetapi hal tersebut”
Ada juga hadis yang menyuruh kita untuk mengikuti sunnah-sunnah
baginda Nabi dan Khulafa’ Ar-Rasyidun, hadis tersebut berbunyi:
فعليكم بسنتى وسنة
الخلفاء الراشدين المهديين
“Maka tetaplah kalian atas Sunnahku
dan Sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidun yang mendapatkan petunjuk”
Oke, saya kira hadis-hadis di atas
sudah sedikit memberikan gambaran dan pemetaan permasalah kepada kita, siapakah
Ahlussunnah Wal Jama’ah itu? Kalau kita runutkan berdasarkan pada urutan posisi
hadis-hadis di atas, bisa kita pahami sebagai berikut:
1. Dari
hadis pertama, kita bisa mengetahui bahwa siapa saja yang ingin merasakan
kenikmatan surga (Buhbuhata-l-Jannah), maka dia harus menetapi “Al-Jama’ah”.
2. Hadis
kedua juga memberikan pengertian yang tidak jauh dari hadis pertama tadi. sebab
siapa saja yang berpisah dari “Al-Jama’ah”, walaupun dalam
masalah yang sangat remeh sekali (Qaida Syibrin), maka dia sama saja
telah melepaskan tali Islam (Rabqata-l-Islam) dari dirinya. Lalu
siapakan yang di maksud dari “Al-Jama’ah” ini? Jawabannya ada
pada hadis ke-3 dan ke-4.
3. Dari
hadis ketiga ini, kita menemukan gambaran bahwa yang di maksud dengan “Al-Jama’ah”
adalah sesuatu—ingat baginda Nabi mengatakan “sesuatu” atau ”Maa”—yang
ditetapi oleh Baginda Nabi dan para sahabat (Maa Ana ‘Alaihi Wa Ashabi).
4. Dalam
hadis keempat ini, kita juga bisa menemukan gambaran lain, bahwa yang dimaksud
“Al-Jama’ah” adalah yang menetapi sunnah baginda Nabi dan sunnah
para Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Kesimpulannya, “Al-Jama’ah”
adalah apa yang di tetapi oleh baginda Nabi dan Para Sahabat atau dalam redaksi
hadis satunya lagi, “Al-Jama’ah” adalah sunnah
baginda Nabi dan para sahabat beliau yang mendapatkan petunjuk. Jadi, bisa
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah “Al-Jama’ah”
ini, yang tak lain dan tak bukan adalah gambaran nyata dari mengikuti sunnah
Nabi dan sunnah para sahabat. Memang, mengikuti sunnah Nabi adalah sebuah
kewajiban yang tidak bisa di ganggu gugat oleh setiap insan muslim, karena
baginda Nabi adalah pembawa risalah suci Islam kepada alam semesta, karenanya
bagi siapa saja yang ingin mengenal Islam secara lebih mendalam dan
komprehensif, maka kenalilah sang pembawa risalah itu, yang tak lain dan tak
bukan adalah Baginda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Beliaulah gambaran utuh dan pengejawantahan paling riil nan valid dari Islam
itu sendiri. Namun yang masih mengganjal di hati saya sampai sekarang ini;
apakah yang dimaksud dengan mengikuti sunnah-sunnah para sahabat/lebih spesifik
lagi disini adalah sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidun? Sedang kita tahu sendiri, bahwa
para sahabat tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syariat (Tasyri’).
Dalam memahami makna “mengikuti
Sunnah Sahabat/Khulafa’ Ar-Rasyidin”, sepanjang pengkajian saya, para ulama
terbagi menjadi 2 kelompok.
Pertama, kelompok yang memahami makna “mengikuti” sunnah sahabat/Khulafa’
Ar-Rasyidun di sini adalah dengan mengikuti apa saja yang telah di tetapkan
oleh para sahabat. Atau dengan kata lain, mengikuti madzhab sahabat. Dari
kelompok pertama ini, akhirnya muncullah Ahlussunnah Wal Jama’ah—selanjutnya
akan saya singkat dengan Aswaja saja—dengan corak madzhab (Scoohl Of Tough). Sebenarnya,
istilah yang lebih tepat untuk diberikan kepada kelompok pertama ini adalah Aswaja
madzhab tekstualis, karena mereka langsung saja mengikuti pendapat (aqwal)
para sahabat, tanpa mau menengok terlebih dahulu pada metode yang digunakan
oleh para sahabat. Atau kalaupun mereka menengok metodologi para sahabat,
mereka lebih memilih untuk mengikuti pendapat para sahabat.
Dalam perkembangan selanjutnya,
pemahaman aswaja dengan corak madzhab/school of tough ini, nampak lebih
berkembang dan lebih banyak diikuti oleh umumnya warga NU. Hanya saja, madzhab
yang dijadikan pijakan bukan lagi madzhab para sahabat, tetapi madzhab para
imam yang telah saya sebutkan di atas, dengan berbagai macam dimensi dan
perinciannya. Di dalam dunia pesantren—yang merupakan institusi pendidikan
paling otoritatif dalam tubuh NU—akan kita temukan banyak sekali kitab-kitab
yang menjadi rujukan bagi Aswaja ala madzhab ini dengan berbagai macam variannya.
Mulai dari kitab yang paling kecil dan sederhana, hingga kitab yang paling
besar nan njlimet akan kita temukan di sana. Dalam ranah teologi, sebut
saja kitab Aqidatu-l-Awam, Bad-ul Amali, Ummu-l-Barahin, Hushunu-l-Hamidiyah
dan lain sebagainya. Sedang dalam ranah Fiqh, kita temukan Safinah, Sullam,
Taqrib hingga yang berjilid-jilid seperti Raudhah karya
An-Nawawi. Sedang dalam ranah tasawuf, kita mengenal kitab-kitab semisal Ayyuha-L-Walad,
Ta’lim Muta’allim, Adabu-L-Alim Wal Muta’allim hingga yang sangat
fenomenal seperti Ihya’ Ulumiddin, buah karya Al-Ghazali.
Kedua, kelompok yang memahami bahwa makna “mengikuti” sunnah
sahabat/Khulafa’ Ar-Rasyidun di sini adalah mengikuti metode berpikir (Manhaj
Fikr/mode of tought) yang dijadikan piranti oleh para sahabat untuk
memahami al-Qur’an maupun Sunnah Nabawiyah. Sebenarnya kelompok yang kedua ini
pun bermadzhab, hanya saja mereka tidak lantas begitu saja menerima pendapat (Qaul)
para sahabat secara taken for granted. Mereka mengerti bahwa pendapat para
sahabat itu merupakan buah dan intisari dari interpretasi yang mereka lakukan atas
al-Qur’an maupun Sunnah Nabawiyah. Kelompok kedua ini sadar, bahwa saat para
sahabat melakukan interpretasi, tentunya mereka tidaklah ngawur dan nir
metodologi. Lalu mereka melakukan kajian lebih mendalam lagi atas aqwal
para sahabat, mereka gali bagaimana cara para sahabat memahami teks-teks suci
agama Islam, hingga akhirnya mereka menemukan satu titik kesimpulan, bahwa sebenarnya
para sahabat ini memiliki metode yang luar biasa guna memahami dua pusaka umat
Islam. Dan akhirnya muncullah berbagai macam model Ilmu Islam, salah satunya
adalah ilmu Ushul Fiqh yang pertama kali dibukukan oleh Al-Imam As-Syafi’i.
Bagi kelompok kedua ini, mengikuti
para sahabat bukan lantas membelenggu kita untuk harus mengikuti semua pendapat
(aqwal), kebiasaan, prilaku maupun sikap mereka. Karena realitanya, antar
para sahabat sendiri sering terjadi silang pendapat dan perbedaan yang tidak
sederhana. Tentunya, masih segar dalam ingatan kita, bagaimana masalah pengganti
Rasulullah (Kholifatu-r-Rasul) pasca kemangkatan beliau pun sempat
menyita waktu para sahabat, hingga akhirnya mau tidak mau mereka harus rela
untuk menunda terlebih dahulu pemakaman baginda Rasul. Belum lagi kalau kita
merujuk pada pendapat Imam As-Syafi’i yang menyatakan bahwa “Qaulus-Shohabi
Laisa Hujjatan”[1], maka
nampak semakin gamblang bahwa memang mengikuti pendapat para sahabat bukanlah
sebuah kewajiban yang tidak bisa diganggu gugat. Jadi, menurut pendapat
kelompok kedua ini, makna dari mengikuti para sahabat tak lain dan tak bukan
adalah mengikuti metodologi yang mereka gunakan dalam melakukan analisa dan
interpretasi atas al-Qur’an-Hadis. Dan pada era pembukuan serta penulisan berbagai
cabang keilmuan Islam (Tadwinu-l-Ulum al-Islamiyah), metode itu telah
menjelma dalam bentuk ilmu-ilmu islam dengan bermacam-macam corak dan variannya,
bisa Ushul Fiqh, Mustholah Hadis, Ilmu Tafsir dan lain sebagainya. Tetapi, ilmu
Ushul Fiqh—dengan warna-warni perbedaan yang berkembang di dalamnya—bisa
dikatakan memiliki posisi paling central dan penting dibandingkan berbagai ilmu
lainnya. hal ini karena ia menjadi piranti paling pokok guna menganalisa
teks-teks agama.
Pemahaman aswaja dengan corak Manhaji/mode
of tough ini, nampaknya kurang diminati/bahkan mungkin sangat jarang sekali
disentuh dan dikaji oleh kebanyakan warga NU. Jangankan warga awam, kaum
intelektual Nahdhiyyin—dalam hal ini adalah para Kiai dan santri dengan
pesantren sebagai institusi maupun dosen dan mahasiswa yang punya latar
belakang NU—pun nampaknya masih enggan untuk mengkajinya lebih dalam lagi,
apalagi untuk mengembangkannya. Kenapa demikian? Ya karena memang aswaja dengan
corak yang terakhir ini menuntut kita untuk ‘bersenam’ otak dan mengasah
pemikiran agar lebih tajam lagi. Kita tidak hanya di ‘suapi’ sebuah pendapat
yang sudah matang, lebih dari itu, kita juga disuguhi sebuah metodologi yang
bisa kita dijadikan ‘pisau’ untuk meracik teks-teks al-Qur’an maupun Sunnah Nabawiyah
hingga akhirnya menghasilkan rasa lezat yang siap saji. Tentunya ini bukanlah
hal yang ringan atau menyenangkan saudara-saudara.
Walhasil, setelah kita sedikit
berpetualang dalam ‘belantara’ makna Aswaja yang sedikit melelahkan itu, lalu Aswaja
manakah yang akan kita ikuti, Manhaji atau Qauli? Untuk menjawab pertanyaan
ini, kita harus bersikap bijak dan tidak boleh egois. Sebab antara satu orang
dan yang lain, pastinya berbeda-beda kemampuan dan kecenderungannya. Beda
kepala, beda pula isinya. Tetapi yang perlu digaris bawahi dengan pena tebal di
sini adalah kesadaran pribadi kita masing-masing, bahwa sebenarnya kita sudah
memiliki metodologi sendiri nan mandiri yang sangat luar biasa, guna memahami
teks-teks al-Qur’an maupun hadis, yakni metodologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Nah,
sekarang tinggal kita, mau mendalami, mengkaji dan mengembangkannya atau tidak.
Bukankah demikian kawan? []
[1] Artinya
“Pendapat sahabat bukanlah hujjah”, hal tersebut selama pendapat sahabat
tersebut bukan pengajaran baginda Nabi langsung (Tauqifi). Berkenaan
dengan hal ini, bisa kita lihat dalam Muhammad bin alawi al-maliki (tt), Syarah
Nadzam Waraqat Fi Ushul Fiqh, surabaya: Hai-atus-Shofwah. Hal: 55.
0 komentar