Dalam Al-Qur’an,
Allah menjadikan kota Saba’ sebagai prototype sebuah kawasan yang makmur dan
sejahtera. Ya, kota Saba’ yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Bilqis ini
adalah negara impian dan idaman yang dilukiskan oleh Allah melalui istilah “Baldatun
Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur”. Lalu apa itu yang dimaksud dengan Baldah
Thoyyibah? Bagaimanakah kemakmuran dan kesejahteraan kota Saba’ ini?
Secara
etimologi, kata “Baldah” bisa berarti tempat, daerah, kota, negeri
maupun desa. Sedang kata “Thoyyibah” bisa berarti baik, mulia, subur,
makmur dan arti-arti yang sejenis. Kemakmuran, kesuburan serta berbagai makna
lain di atas, menurut pemahaman sederhana saya lebih tertuju pada aspek
material dan fisik, entah itu berupa perekonomian, pembangunan, aspek politik
maupun yang lain. Adapun kata “Wa Robbun Ghofur” memiliki kecenderungan
lebih terhadap aspek spiritualitas masyarakat. Jadi secara sederhana,
terminologi “Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur” bisa di pahami
sebagai sebuah kawasan/daerah/negara yang mampu untuk mempertemukan 2 aspek
kebaikan (Thoyyibah) di dalamnya, yakni aspek material dan spiritual.
Kesejahteraan
Fisik Dan Material.
Kemakmuran
negara Saba’ secara fisik dan material ini digambarkan oleh Allah melalui
beberapa hal.
Pertama adalah kawasan teritorial dan geografis yang sangat luas serta
saling bersambungan antara satu kawasan dengan yang lain, subur, disamping
memiliki tanah yang menjadikan siapa saja orang yang hendak menempatinya merasa
betah serta nyaman. Kondisi teritorial serta geografis negara Saba’ yang
demikian ini di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an melalui firman-Nya:
فِي
مَسْكَنِهِمْ [سبأ/15]
“Di Rumah
Mereka”
Al-Imam
Burhaduddin Al-Biqo’i—seorang pakar tafsir dari kawasan Biqo’, Lebanon dalam
tafsirnya yang berjudul Nadzmud Duror—mengutip pendapat Imam Kisa’i,
Imam ‘Ashim dan Imam Hamzah yang menyatakan bahwa kata “Maskan” di atas
menggunakan redaksi Mufrod (Tunggal). Kenapa demikian? Ya karena itu
mengisyaratkan bahwa setiap jengkal tanah yang terletak di kawasan kota Saba’
ini—walaupun sangat luas dan banyak sekali—saling bersambung antara satu dan
yang lain. Sehingga semua wilayah Saba’ ini tak ubahnya seperti satu rumah yang
dihuni oleh banyak penduduk di dalamnya. Tidak hanya sampai disitu saja, Imam
Al-Kisa’i membaca potongan ayat di atas dengan huruf “Kaf” yang di
Kasroh, yaitu “Maskin”, yang mana hal itu menunjukkan bahwa tanah Saba’
itu sangatlah cocok bagi penghuninya. Sementara kedua imam yang lain—Imam
‘Ashim dan Imam Hamzah—membaca dengan “Kaf” yang di Fathah, yaitu “Maskan”
yang mana hal tersebut memberikan isyarat kepada kita bahwa tanah Saba’
merupakan tanah yang enak, nyaman dan tentram, sehingga siapapun yang tinggal
di sana akan terasa betah. Walhasil, dari semua penjelasan para imam di atas,
bisa kita tarik kesimpulan bahwa kota Saba’ merupakan kawasan yang secara
geografis dan teritorial sangat nyaman nan tentram untuk dijadikan sebagai
tempat hunian manusia yang hendak membangun sebuah peradaban kemanusiaan yang
menjulang tinggi ke langit.
Kedua adalah majunya perekonomian negeri Saba’, sehingga rakyat bisa
hidup dengan sejahtera dan makmur. Karena di akui atau tidak, kekuatan
ekonomi—baik dari sebuah negara maupun individual—memang menjadi salah satu
pilar dan tolak ukur kemajuan serja kesejahteraan. Kalau kita mengacu pada
informasi yang diberikan oleh al-Qur’an, bisa kita tarik sebuah kesimpulan
bahwa perekonomian pokok negeri Saba’ bertumpu pada pertanian. Atau dengan kata
lain, bisa disimpulkan bahwa negeri Saba’ adalah sebuah negeri agraris. Oke,
marilah kita sama-sama melihat bagaimana Allah menggambarkan kesejahteraan
ekonomi negeri Saba’ tersebut. Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan kemajuan
ekonomi negeri Saba’ tersebut melalui firman-Nya:
جَنَّتَانِ
عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ [سبأ/15]
“(Tanda itu
adalah) dua kebun di sisi kanan dan sisi kiri. (maka) makanlah kalian semua
dari sebagian rizqi (yang diberikan oleh) Tuhan kalian”
Al-Imam
Burhanuddin Al-Biqo’i kembali menjelaskan bahwa sebenarnya kebun-kebun yang
dimiliki oleh penduduk Saba’ sangatlah banyak sekali. Belum lagi taman-taman
yang berada disekitar kebun-kebun tersebut. Saking banyaknya, kebun-kebun itu
nampak saling sambung menyambung antara satu dan yang lain, memanjang di
samping kanan dan kiri sepanjang jalan utama kota Saba’. Sehingga kebun yang
begitu banyaknya itu dalam sekejap pandangan mata, nampak seperti dua kebun
saja, yakni kebun yang berada di samping kanan dan di samping kiri. Seorang
sejarawan muslim yang bernama Al-Mas’udi dalam mukoddimah-nya atas kitab
Murujud Dzahab menceritakan bahwa negeri Saba’ merupakan negeri yang memiliki
kebun paling banyak. Bahkan beliau menggambarkan bahwa luas kebun milik negeri
Saba’ hanya bisa ditempuh selama 1 bulan perjalanan. Jikalau ada orang yang
berjalan di sepanjang jalan utama negeri Saba’, maka ia tidak akan pernah
kepanasan oleh teriknya sinar matahari, karena jalan utama itu telah di tutupi
oleh rindangnya daun pepohonan yang ada disekitarnya.
Dalam sebuah
riwayat yang dikutip oleh Al-Biqo’i, Ibnu Abbas—Radhiyallahu ‘Anhu—melukiskan
kemakmuran negeri Saba’ dengan kisahnya yang sangat menawan. Negeri Saba’—kata
Ibnu Abbas—merupakan salah satu negeri paling subur di belahan dataran Yaman.
Saking suburnya, sampai-sampai ada seorang wanita yang hanya dengan meletakkan
sebuah keranjang kecil di kepalanya, lalu dia berputar-putar berkeliling di
sela-sela pepohonan yang berada disepanjang jalan utama negeri Saba’ itu,
tiba-tiba kepalanya merasakan beban yang bertambah, karena ternyata keranjang
kecil itu telah penuh dengan berbagai macam buah yang ada, padahal si wanita
itu merasa belum memetik sama sekali.
Suburnya
perkebunan dan pertanian negeri Saba’ ini tidak terlepas dari adanya sebuah
waduk atau bendungan Ma’rib yang telah di bangun oleh Ratu Bilqis. Konon
ceritanya—sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hayyan Al-Andalusy dalam tafsir
An-Nahru Al-Maad—dahulu kala terjadi peperangan antara penduduk Saba’, karena
memperebutkan sumber mata air guna menyirami kebun dan sawah mereka. Melihat
kondisi yang sedemikian kacaunya, Ratu Bilqis marah bercampur sedih. Hingga
akhirnya dia memilih untuk menyendiri (Uzlah) dan meletakkan
kekuasaannya. Ia sering menyendiri di dalam istananya dan enggan untuk keluar
menemui rakyatnya. Mengetahui Sang Ratu sudah pergi dan tidak mau mengurusi
mereka lagi, rakyat pun menjadi sadar bahwa mereka telah salah dalam bertindak.
Akhirnya mereka mendatangi sang ratu dan merayunya untuk kembali menduduki
singgasana kerajaan. Tetapi sang ratu tetap saja enggan dan tidak mau, mungkin
karena dia sudah trauma melihat sikap dan prilaku rakyatnya yang tidak mau
menuruti perintahnya dan tidak cinta pada perdamaian itu. Melihat Sang Ratu
yang kekeh tidak mau, akhirnya rakyat memaksa ratu mereka untuk kembali, jika
tetap tidak mau, maka mereka terpaksa akan membunuh Sang Ratu.
“Sungguh kalian
ini tidak punya akal. Dulu kalian tidak mau menurut padaku, sekarang malah
memaksaku dan ingin membunuhku”, kata Ratu Bilqis menghardik rakyatnya.
“Maaf Ratu,
kami berjanji akan taat kepadamu”, jawab salah satu rakyatnya.
Akhirnya Ratu
Bilqis kembali dan membuat kebijakan inovatif, yakni membuat bendungan Ma’rib
yang sangat termasyhur itu. Ratu Bilqis membuat waduk dengan membendung dua
jalur sungai yang mengalir di antara dua gunung besar di dataran Yaman,
tepatnya di Shon’a. Padahal sebelumnya, setiap musim hujan datang, maka air
yang mengalir melalui jalur di antara dua gunung tersebut meluap dan
menyebabkan banjir. Tetapi setelah Ratu Bilqis membuat bendungan itu, tidak ada
lagi yang namanya banjir, dan bahkan aliran sungai tersebut menjadi sumber
pengairan paling pokok bagi negeri Saba’. Bilqis membuat sebuah kolam besar
yang menampung aliran air dari bendungan itu saat mengalir. Pada kolam besar
itu, terdapat 12 lubang yang kesemuanya menuju pada 12 sungai yang berada disekitar
tanah pertanian rakyat Saba’. Nah, dari semua pemaparan di atas, paling tidak
ada dua kesimpulan yang bisa di ambil. Pertama, bahwa sumber ekonomi paling
utama dan dominan dari negeri Saba’ adalah pertanian. Kedua, perekonomian
negeri Saba’ bisa di katakan maju, sejahtera dan tentunya membawa kemakmuran
bagi rakyatnya.
Ketiga adalah keamanan
yang terjamin. Ya, karena rasa aman merupakan modal paling utama dan pertama
bagi sebuah negeri yang akan membangun peradaban agung yang menjulang tinggi ke
langit. Dan dengan rasa aman pulalah, sebuah masyarakat bisa berkembang dan
maju, baik secara keilmuan, prekonomian, sosial, budaya dan berbagai aspek
lainnya. Begitu juga sebaliknya, saat dalam sebuah negara terjadi suasana yang
rusuh, kacau, chaos dan tidak ada lagi rasa aman di sana, maka yang ada
hanyalah sebuah rintihan dan nestapa. Pemerintahan sibuk berusaha untuk
mempertahankan tampuk kekuasaannya dari rongrongan para pemberontak, hingga
akhirnya pemberdayaan rakyat pun terbengkalai. Para orang tua pun akan
kesulitan untuk melakukan aktifitas pekerjaannya, karena adanya konflik yang
tidak kunjung usai. Imbasnya tak pelak jua kepada anak-anak, ya mereka akan
kesulitan untuk bisa merampungkan pendidikannya, dan lagi-lagi semua itu karena
tidak adanya rasa aman dalam sebuah negeri. Lalu apa yang kita diharapkan dari
sebuah negeri yang sedemikian kacaunya? Nah di sinilah kita akan bisa
mengetahui, betapa keamanan merupakan harga mati yang tak terbayarkan.
Dalam
Al-Qur’an, Allah menggambarkan keamanan yang dinikmati oleh masyarakat negeri
Saba’ pada waktu itu melalui firman-Nya:
وَجَعَلْنَا
بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً
وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا
آَمِنِينَ [سبأ/18]
“Dan Kami jadikan antara mereka dan
antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang
berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan
(yang dekat dan mudah terjangkau). Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam
dan siang hari dengan aman”
Secara
sederhana, keamanan yang di gambarkan oleh Allah melalui firman-Nya di atas
adalah rasa aman yang dimiliki oleh orang-orang yang hendak melakukan
perjalanan di sepanjang jalan negeri Saba’ untuk menuju ke tanah yang
diberkahi, yakni tanah Syam. Rasa aman itu digambarkan oleh Allah dengan
bebasnya para pelancong untuk melakukan perjalanan, baik pada waktu siang hari,
maupun malam hari. Padahal anda tahu sendiri, bahwa jarak antara negeri saba’
yang ada di Yaman dan negeri Syam sangatlah jauh sekali. Lalu pertanyaan
selanjutnya, bagaimana hal itu bisa terealisasikan?
Imam Fakhruddin
Ar-Rozi—saat menjelaskan ayat di atas—kurang lebih berpendapat bahwa keamanan
itu bisa terealisasi karena adanya pembangunan kota/desa yang begitu intensif,
yang membentang di sepanjang jalan dari Yaman sampai ke Syam. Karena
biasanya—kata beliau—tindakan kriminal akan terjadi pada tempat-tempat yang
sepi dan tidak ada penduduk di sana, berbeda jikalau tempat itu sudah ramai
dengan penduduk, maka bisa di pastikan keamanan akan terjamin. Hal ini
tercermin dalam firman Allah: “Dan Kami jadikan antara mereka dan antara
negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang
berdekatan”. Dari pemaparan Ar-Rozi di atas, bisa juga kita ambil sebuah
kesimpulan bahwa kependudukan secara merata merupakan hal yang sangat urgent
dan mendesak untuk dilakukan. Semisal pulau Jawa yang sudah padat penduduk ini
perlu kita adakan transmigrasi ke luar Jawa, semisal Sumatra, Sulawesi, Papua
dan bumi Indonesia lainnya.
Berbeda dengan
argumentasi yang ditawarkan oleh Ar-Rozi di atas, adalah argumen yang di
tawarkan oleh Al-Biqo’i. Secara sederhana beliau berkata bahwa kemanan yang di
wartakan oleh Allah dalam ayat suci di atas adalah karena tersedianya pos-pos
perbatasan yang sangat banyak sekali di sepanjang jalan Saba’- Syam itu.
Sehingga kapan saja dan pada waktu apa saja seseorang hendak melakukan
perjalanan, tidak perlu takut dan susah kalau nanti akan kehabisan bekal di
jalan. Walhasil, dari penjelasan dua pakar tafsir di atas, kita bisa memahami
bahwa dua model keamanan yang di maksud dari ayat di atas. 1. Keamanan dari
kriminalitas yang suwaktu-waktu bisa menghadang siapa saja yang akan melakukan
perjalanan. 2. Keamanan dari kelaparan, keterasingan, kesulitan mencari tempat
berteduh dan istirahat selama perjalanan.
Begitulah 3 hal
pokok yang menjadi kunci kemakmuran negeri Saba’ secara fisik dan material.
Yang kesemuanya di simpulkan pada 1. Kawasan teritorial yang subur dan makmur.
2. Perekonomian yang baik dan sejahtera. 3. Keamanan bagi setiap warganya.
Kesejahteraan
Intelektual Dan Spiritual.
Telah kami paparkan
secara singkat bahwa negeri idaman bukanlah sebuah negeri yang hanya sejahtera
secara material dan fisik saja, akan tetapi lebih dari itu, ia juga sejahtera
secara intelektual dan spiritual. Karena tentunya kesejahteraan secara fisik
dan materi tidak akan bernilai jikalau kesejahteraan secara spiritual dan
intelektual tidak terpenuhi. Dan bahkan seringkali, kesejahteraan secara fisik
dan material inilah yang pada akhirnya akan membawa kehancuran sebuah negeri
jikalau tidak di imbangi dengan kesejahteraan secara Intelektual dan Spiritual.
Oke, mari kita
kembali lagi berkaca kepada negeri Saba’ yang telah kita tasbihkan sebagai
prototipe negeri Idaman. Di atas telah kami sebutkan, bahwa negeri Saba’ telah
memiliki 3 pilar kesejahteraan fisik maupun material yang paling pokok serta
utama dari sebuah negeri idaman, yakni kawasan teritorial yang subur,
perekonomian yang mapan nan sejahtera, dan tentunya jaminan keamanan yang baik.
Tapi ternyata, Al-Qur’an tidak hanya mewartakan kesejahteraan Saba’ saja, lebih
dari itu, Al-Qur’an juga mewartakan kehancuran negeri Saba’ yang megah nan
sejahtera itu. Apa gerangan penyebab utama kehancuran negeri Saba’ yang indah
dan megah itu??
Tidak ada
penyebab lain kecuali kekufuran rakyat terhadap Allah dan segala limpahan
nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada mereka. Tentang kekufuran rakyat
Saba’ ini, Allah menceritakan dalam firman-Nya:
فَأَعْرَضُوا
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ
جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16)
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ [سبأ/16، 17]
“Tetapi mereka berpaling. Maka
Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun
mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon
Atsl, dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian
itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir”
Dari dua
pemaparan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebuah negeri bisa di
kategorikan sebagai Baldah Thoyibah jikalau memenuhi dua syarat: 1.
Kesejahteraan secara fisik dan material yang terejawantahkan dalam 3 hal yang
telah kami paparkan di atas. 2. Kesejahteraan intelektual dan spiritual yang
diterjemahkan dengan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Apakah
Indonesia bisa disebut Baldah Thoyyibah?
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, kita perlu kembali mencocokan kedua unsur kesejahteraan yang
telah kami paparkan di atas, dengan realitas Indonesia sekarang ini. Kalau kita
lebih mencermati dan membandingkan kedua hal unsur kesejahteraan di atas, lalu
kita komparasikan dengan kondisi Indonesia sekarang, maka bisa kita simpulkan
sebagai berikut:
a.
Secara
teritorial, Indonesia adalah negeri yang kesuburan tanahnya tidak perlu di
ragukan lagi. Saat sebagian orang Arab berkunjung ke Indonesia, mereka
terheran-heran dan akan anda temukan dercak kagum nampak berbinar-binar dari
wajah dan mulut mereka. Bahkan sebagian dari mereka tidak segan-segan untuk
mengatakan bahwa Indonesia-lah tanah surga di dunia ini. Jadi secara
teritorial, Indonesia sebenarnya sudah memenuhi kreteria pertama dari Baldah
Thoyyibah.
b.
Kemapanan
ekonomi. Sebenarnya, dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah, entah itu
dalam hal pertanian, kelautan, tambang minyak, tambang emas, batu bara dan lain
sebagainya, mestinya Indonesia mampu untuk menjadi negara dengan kekuatan
ekonomi yang tidak hanya mapan, bahkan bisa melebihi negeri-negeri teluk yang
hanya dengan lahan minyaknya bisa menjadi negeri yang kaya raya. Karena
realitasnya, Indonesia memiliki potensi yang lebih dari mereka. Nah, inilah
salah satu problem akut bangsa ini yang sampai sekarang belum juga ditemukan
solusinya. Apa penyebabnya? Wallahu a’lam apa penyebab sebenarnya, akan
tetapi pemahaman sempit kami mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah karena
kita terlalu membebek pada budaya, tradisi dan tentunya apa yang diinformasikan
oleh pihak luar. Kita kehilangan jati diri kita sebagai bangsa, padahal sebenarnya
dulu kita telah memiliki peradaban dan kebudayaan sendiri yang lebih maju, yang
kesemuanya sangat jauh dan beda sekali dengan kebuyaan impor dari luar.
c.
Keamanan
yang terjamin. Dari sisi keamanan, Indonesia termasuk negara yang relative aman,
terlebih lagi masalah keamanan dari peperangan. Di saat negeri-negeri Islam di
luar sana mengalami konflik berupa perang saudara yang berkecamuk dan tak
kunjung usai, Indonesia masih tetap teguh dengan cinta damainya, dengan rasa
amannya. Selama konsep Bhineka Tunggal Ika masih tetap di junjung tinggi, Insya
Allah Indonesia masih bisa terhindar dari bahaya perang saudara yang sedang
menjangkiti Timur Tengah sekarang ini. Nah yang masih menjadi problem sampai
sekarang ini adalah rasa aman dari yang praktek kriminalitas. Ini yang perlu lebih
ditingkatkan lagi. Tidak hanya dalam segi hukuman sebagai bentuk efek jera bagi
pelaku kriminalitas, lebih dari itu, harus ada gerakan nyata dan riil dari
semua kalangan masyarakat untuk ikut menjaga keamanan dan kedamaian di setiap
pelosok negeri ini.
d.
Kesejahteraan
secara spiritual dan intelektual. Sebagai negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia, sudah semestinya Indonesia bisa menjadi kiblat Spiritual dan
Intelektual Islam diseluruh dunia. Dan seharusnya dia mendapatkan posisi yang
bisa di katakan strategis dalam percaturan keilmuan dan spiritual. Coba saja
kita perhatikan, berapa ribu pesantren yang berdiri dengan tegaknya di negeri Indonesia
ini. Coba saja kita lihat, berapa ratusan Universitas Islam yang menancapkan
pondasinya dengan kokoh di atas punggung negeri ini. Tetapi kenapa sampai
sekarang indonesia belum juga menjadi kiblat keilmuan dunia, seperti yang kita
harapkan dan idam-idamkan.
Peran
Ulama’ Dan Umara’
Dalam rangka
membangun sebuah peradaban yang kokoh dan teruji sepanjang masa, ada 2 pilar
utama yang jikalau keduanya memainkan perannya dengan baik, niscaya kemajuan
dan kesejahteraan sebuah bangsa bisa benar-benar terealisasikan dengan
secepatnya. Kedua pilar itu adalah umara, yang dalam hal ini diwakili oleh
pihak pemerintahan, dan ulama’, yang dalam
hal ini terejawantahkan dalam para Kiai, ustadz dan kaum intelektual islam
lainnya.
Hubungan
kerjasama antara ulama dan umara’ digambarkan dengan indah nan manis dalam
sebuah syair klasik yang sudah tidak asing lagi ditelinga kaum santri. Syair
itu adalah:
إن
الملوك ليحكمون على الورى وعلى الملوك لتحكم العلماء
“Tugas para raja (para penguasa) adalah mengatur serta
memimpin para manusia, sedang tugas para ulama adalah memberikan hukum
/mengatur/memimpin para raja”
Syair di atas
memberikan satu pola model hubungan yang terjadi antara dua institusi besar
yang tumbuh dalam sebuah masyarakat, yakni institusi ke-ulama-an dan institusi
pemerintahan. Yang mana jikalau masing-masing dari kedua institusi tersebut
bisa memanfaatkan perannya dengan baik dan sesuai dengan prosedur yang ada,
niscaya Baldah Thoyyibah bukan sebuah mimpi yang akan benar-benar bisa
terealisasikan.
Dari syair di
atas pula, kita bisa mengetahui bahwa para penguasa hendaknya memposisikan para
ulama /intelektual sebagai pemberi pertimbangan paling pertama dan utama dalam
setiap keputusan yang akan di ambilnya. Jadi bisa kita simpulkan bahwa pola
hubungan ulama’ dan umara’ adalah sebagai berikut:
a.
Ulama
adalah sebuah institusi yang berada di atas para umara’. Tugas ulama ialah
memikirkan rencana serta rancangan kerja yang akan dilakukan oleh para umara’
nantinya. Para ulama dan intelektual mempunyai tugas utama untuk meneliti,
mengkaji serta mengobservasi berbagai problematika kemasyarakatan, dan kemudian
memberikan masukan serta mandat kepada para umara’ untuk melaksanakannya.
Singkat kata—dalam bahasa NU—ulama adalah dewan Syuriah (penentu serta
perancang arah kebijakan), sedang umara’ adalah dewan tanfidziyah
(pelaksana kebijakan). Atau dalam bahasa negeri para Mullah, Iran, ulama adalah
institusi Wilayatul Faqih, sedang umara’ adalah penguasa
pemerintahan sebagai pelaksana kebijakan Wilayatul Faqih itu sendiri.
b.
Umara’
harus berusaha dan selalu bergandengan dengan para Ulama. Lebih dari itu, para Umara’
harus berusaha untuk menjadikan para Ulama yang memang kompeten sebagai rujukan
dan tempat mencari pertimbangan serta inspirasi paling utama. Umara’ harus
berusaha mengembalikan kewibawaan para Ulama/Kiai yang selama ini hampir saja
hilang di mata rakyatnya. Cara pengembalian itu adalah dengan memberikan peran
kepada para Ulama/Kiai untuk lebih berperan dalam sektor pembangunan masyarakat
secara riil, tidak hanya berkisar pada bidang ke agama-an saja. Semisal dalam
bidang pengentasan kemiskinan, maka berilah para ulama peran dalam hal wacana,
perencanaan, sebagai penyalur bantuan dan tentunya bisa juga sebagai pengawas
bantuan pemerintah yang diberikan kepada rakyat, sudahkah hal itu sampai kepada
rakyat dengan sesuai prosedur yang di atur oleh pemerintah atau belum.
c.
Ulama
mempunyai peran utama sebagai penebar Islam rahmatan lil ‘alamin.
Rahmatan lil ‘alamin bukanlah hanya sekedar slogan yang dibawa kesana kemari
tanpa ada esensi serta praktek yang riil dalam dunia nyata. Karena hal yang
demikian itu hanya akan membawa masalah baru saja yang tidak ada penyelesaian
akhirnya.
d.
Islam
Rohmatan Lil ‘Alamin dalam urusan ekonomi adalah dengan mengaplikasikan
ajaran Islam yang berkarakter populis dan lebih berpihak kepada peningkatan
ekonomi bangsa sendiri, dari pada hanya mengandalkan investor asing. Islam
dengan karakter yang demikian ini lebih berusaha untuk menyokong para pengusaha
kecil menengah (UKM) atau paling tidak mendorong kretivitas masyarakat untuk
lebih berani menampilkan kreativitas mereka. Islam ini tidak berpihak kepada
para insvestor asing yang dengan leluasannya membangun berbagai macam pabrik
dan rumah-rumah industri lainnya, sehingga ujung-ujungnya rakyat pribumi hanya
menjadi kuli di negeri sendiri. Karakteristik Islam Rohmatan Lil ‘Alamin yang
demikian ini bisa kita lihat dari berbagai macam konsep yang ditawaran oleh buku-buku
Fiqh yang berserakan di berbagai pesantren, dan kesemuanya bisa di katakan
lebih menitik beratkan pembahasan mereka para usaha rakyat kecil. Inilah
karakteristik dan pola populis dari Islam Rohmatan Lil ‘Alamin.
e.
Secara
pendidikan, Islam Rohmatan Lil ‘Alamin benar-benar berusaha mendidik
siswa-siswi sebagai pejuang dan sebagai intelektual sejati. Islam Rohmatan
Lil ‘Alamin tidaklah Islam yang
mendikte rakyat dan mencongok hidung mereka untuk gemar serta gandrung terhadap
model pendidikan yang berkarakteristik kapitalis dan membodohkan. Ya, pendidikan
sekarang ini adalah pendidikan dengan pola kapitalis dan mengandung unsur
pembodohan massal yang bergerak secara massif dan sangat terorganisir sekali.
Bagaimana tidak? Coba saja anda perhatikan, bagaimana sebuah ilmu tak lain
hanya mempunyai tujuan untuk mendapatkan selembar ijazah guna bekerja nantinya.
Sementara di satu sisi, siwa-siswi dibodohkan dengan jenjang pendidikan yang
sangat lama (SD: 6 tahun, SMP: 3 tahun dan SMA: 3 tahun) dan tidak adanya
kejelasan tentang spesialisasi yang didapatkan oleh para anak didik. Dan lebih
ironisnya lagi, lembaga-lembaga pendidikan NU yang berada di bawah LP. Ma’arif
pun ternyata juga membebek pola pembodohan ini. Jujur saja, ini bukan Islam Rohmatan
Lil ‘Alamin, akan tetapi ini adalah praktek Ifsad Fil Ardhi yang
sangat dikecam Al-Qur’an. Na’udzu Billahi Min Dzalik. Karenanya, perlu
ada pembangunan/paling tidak perencanaan pembangunan tempat pendidikan—entah
itu universitas, pesantren dan berbagai turunannya—yang tidak membebek dan
lebih mengedepankan jati diri, serta benar-benar memiliki orientasi kepada
pencerdasan masyarakat. Mungkin pesantren tradisional bisa menjadi salah satu
pilihan kembali.
f.
Secara
budaya dan tradisi, Islam Rohmatan Lil ‘Alamin adalah Islam dengan corak
dan karakter yang ramah lingkungan. Ia tidak lah Islam yang selalu marah-marah
terhadap segala perbedaan yang berkembang di dalam masyarakat. Karena pada
dasarnya, perbedaan sendiri itu adalah rohmat dari Allah yang tak terhingga. Jikalau
kita bisa mensikapinya dengan penuh kebijaksanaan dan kedewasaan. Disamping itu,
Islam juga harus membumi. Ibarat sebuah pohon, Islam Rohmatan Lil A’lamin
adalah pohon dengan ujung yang rindang menjulang ke atas langit, akan tetapi ia
memiliki akar yang kokoh dan kuat menghunjam ke dalam tanah.
g.
Upaya
menyatukan komponen Aghniya’-Umara’-Ulama untuk bersama-sama membangun sebuah
masyarakat muslim yang sejahtera dan makmur. Karena ketiga orang ini merupakan pilar paling
utama dalam pembangunan masyarakat.
h.
Sekarang
ini kita banyak melihat para hartawan yang tidak bisa memanfaatkan dan
membelanjakan hartanya sesuai dengan kemaslahatan umat. Rata-rata mereka hanya
bisa memenuhi kesenangan dan syahwat mereka secara pribadi. Sedang pembangunan
masyarakat terbengkalai. Tentunya hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang
mulia. Banyak orang yang memiliki rumah mewah, mobil yang mewah, sepeda motor
banyak dan berbagai kekayaan lain, akan tetapi dalam waktu yang sama, ternyata
masih banyak pula tetangga, saudara dan bahkan tempat ibadah dan pendidikan
yang pembangunannya terbengkalai. Jikalau sebuah masyarakat secara ekonomi
sudah mapan, akan tetapi tingkat intelektual, spiritual dan emosional serta
psikis masyarakatnya tidak meningkat lebih baik, maka bisa di pastikan itu
adalah masyarakat yang sakit. Maka orang kaya (Aghniya’) dengan model
seperti ini tak jauh beda dengan seorang Qorun yang hanya ingin memperkaya diri
secara pribadi saja. Pada dasarnya orang kaya semacam inilah yang menjadi
penghambat utama kesejahteraan masyarakat.
i.
Sekarang
kita juga banyak melihat para Umara’ yang jatuh dalam jeratan korupsi dan jauh
dari akhlak seorang pemimpin yang diidam-idamkan rakyatnya. Semua itu terjadi
karena para umaro’ tersebut jauh dari akhlak yang mulia, atau paling tidak
mereka jauh dari para ulama’. Kedekatan mereka terhadap para ulama hanyalah
saat mereka hendak mencalonkan diri. Ya, mereka datang kepada para ulama dan Kiai
hanya untuk mencari dukungan saja, setelah mereka jadi, maka mereka sudah lupa
dan enggan untuk menjadikan para ulama itu sebagai rujukan mereka. Karenanya,
diawal tadi sudah saya singgung bahwa ulama adalah institusi yang mempunyai
tugas utama sebagai pembuat rencana, rancangan kerja dan tentunya dewan
pertimbangan yang paling utama. Para umaro’ yang sudah jauh dan enggan untuk
menjadikan para ulama sebagai pertimbangan dan tempat rujukan, lambat laun bisa
saja menjadi penghambat dakwah ulama tersebut. Apalagi jikalau ulama tersebut
tidaklah menjadi pendukungnya saat dia mencalonkan diri. Umara’ dengan
karakteristik seperti ini tak ubahnya seorang Fir’aun yang merasa paling kuat
sendiri, dan bahkan mungkin sebenarnya dia juga sudah mengaku-aku sebagai
tuhan, hanya saja pengakuan itu masih tersembunyi dalam hatinya.
j.
Banyak
pula sekarang ini para ulama yang—maaf saja—masuk dalam kategori Ulama Suu’.
Saya tidak ingin menuduh atau menunjuk seseorang secara khusus, karena tentunya
menentukan hal itu tidaklah mudah. Tetapi ciri utama Ulama Suu’ ini adalah
mereka yang mudah dibeli dengan dunia untuk sebuah Fatwa. Itu saja. Nah, ulama
dengan model dan karakter seperti ini pulalah yang akan menghambat perkembangan
dan kemajuan sebuah bangsa dan negara.
Nah, inilah
pilar-pilar paling pokok dalam membangun sebuah peradaban (Tamddun) dan
kebudayaan (Al-Hadhoroh) dalam masyarakat kita, terlebih lagi adalah
masyarakat muslim. Ketiga pilar itu adalah Ulama’ (kaum Intelektual), Umara’
(para penguasa) dan Aghniya’(orang-orang kaya). Andaikan ketiga pilar
pokok ini bisa bersatu padu, bersinergi dan mau untuk bahu membahu bersama,
niscaya sebuah peradaban besar akan dengan mudahnya terbangun dengan megah di
muka bumi Nusantara ini.
Namun, kalau
ketiga pilar pokok ini tidak bisa bersatu padu dan bersinergi, maka mereka
pulalah oknum-oknum paling pertama dan utama dalam memberangus serta
menghancurkan sebuah peradaban Islam yang indah. Dalam al-Qur’an, Allah
menggambarkan kepada kita bagaimana dahulu seorang Nabiyullah Musa Alaihis
Salam harus bersusah payah membangun sebuah peradaban dan masyarakat yang
Islami, semua itu karena besarnya rintangan yang beliau hadapi. Ya,
pertama-tama Nabi Musa harus menerima perlawanan dari seorang penguasa (Umara’)
yang lalim, yang dalam hal ini digambarkan oleh Allah melalui sosok penguasa
seperti Fir’aun. Lalu selanjutnya perlawanan dari seorang miliader kaya (Aghniya’)
Bani Israel, yang digambarkan oleh Allah melalui sosok seperti Qorun. Dan
terakhir beliau mau tidak mau harus berhadapan dengan sosok seorang intelektual
(Ulama’), tetapi hatinya telah dibutakan oleh cinta terhadap dunia, yang dalam
hal ini digambarkan oleh Allah melalui sosok Bal’am Bin Ba’uro’.
Karenanya,
sebagai orang yang lemah dan rakyat kecil, kami hanya bisa berharap kepada para
pemimpin kami untuk bisa bersatu padu, bersinergi, ber-gotong royong dan
tentunya saling melengkapi guna membangun sebuah peradaban yang lebih maju,
guna mensejahterakan rakyat dan membawa Nusantara sebagai protype pertama dari Baldah
Thoyyibah Wa Rabbun Ghofur. Wallahu A’lam
Bis Showab.
0 komentar