Advertise 728x90

Negeri Idaman

Written By Unknown on Wednesday, September 30, 2015 | 3:45 AM



Dalam Al-Qur’an, Allah menjadikan kota Saba’ sebagai prototype sebuah kawasan yang makmur dan sejahtera. Ya, kota Saba’ yang dipimpin oleh seorang ratu bernama Bilqis ini adalah negara impian dan idaman yang dilukiskan oleh Allah melalui istilah “Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur”. Lalu apa itu yang dimaksud dengan Baldah Thoyyibah? Bagaimanakah kemakmuran dan kesejahteraan kota Saba’ ini?
Secara etimologi, kata “Baldah” bisa berarti tempat, daerah, kota, negeri maupun desa. Sedang kata “Thoyyibah” bisa berarti baik, mulia, subur, makmur dan arti-arti yang sejenis. Kemakmuran, kesuburan serta berbagai makna lain di atas, menurut pemahaman sederhana saya lebih tertuju pada aspek material dan fisik, entah itu berupa perekonomian, pembangunan, aspek politik maupun yang lain. Adapun kata “Wa Robbun Ghofur” memiliki kecenderungan lebih terhadap aspek spiritualitas masyarakat. Jadi secara sederhana, terminologi “Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur” bisa di pahami sebagai sebuah kawasan/daerah/negara yang mampu untuk mempertemukan 2 aspek kebaikan (Thoyyibah) di dalamnya, yakni aspek material dan spiritual. 

Kesejahteraan Fisik Dan Material.
Kemakmuran negara Saba’ secara fisik dan material ini digambarkan oleh Allah melalui beberapa hal.
Pertama adalah kawasan teritorial dan geografis yang sangat luas serta saling bersambungan antara satu kawasan dengan yang lain, subur, disamping memiliki tanah yang menjadikan siapa saja orang yang hendak menempatinya merasa betah serta nyaman. Kondisi teritorial serta geografis negara Saba’ yang demikian ini di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an melalui firman-Nya:
فِي مَسْكَنِهِمْ  [سبأ/15]
Di Rumah Mereka
Al-Imam Burhaduddin Al-Biqo’i—seorang pakar tafsir dari kawasan Biqo’, Lebanon dalam tafsirnya yang berjudul Nadzmud Duror—mengutip pendapat Imam Kisa’i, Imam ‘Ashim dan Imam Hamzah yang menyatakan bahwa kata “Maskan” di atas menggunakan redaksi Mufrod (Tunggal). Kenapa demikian? Ya karena itu mengisyaratkan bahwa setiap jengkal tanah yang terletak di kawasan kota Saba’ ini—walaupun sangat luas dan banyak sekali—saling bersambung antara satu dan yang lain. Sehingga semua wilayah Saba’ ini tak ubahnya seperti satu rumah yang dihuni oleh banyak penduduk di dalamnya. Tidak hanya sampai disitu saja, Imam Al-Kisa’i membaca potongan ayat di atas dengan huruf “Kaf” yang di Kasroh, yaitu “Maskin”, yang mana hal itu menunjukkan bahwa tanah Saba’ itu sangatlah cocok bagi penghuninya. Sementara kedua imam yang lain—Imam ‘Ashim dan Imam Hamzah—membaca dengan “Kaf” yang di Fathah, yaitu “Maskan” yang mana hal tersebut memberikan isyarat kepada kita bahwa tanah Saba’ merupakan tanah yang enak, nyaman dan tentram, sehingga siapapun yang tinggal di sana akan terasa betah. Walhasil, dari semua penjelasan para imam di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa kota Saba’ merupakan kawasan yang secara geografis dan teritorial sangat nyaman nan tentram untuk dijadikan sebagai tempat hunian manusia yang hendak membangun sebuah peradaban kemanusiaan yang menjulang tinggi ke langit.
Kedua adalah majunya perekonomian negeri Saba’, sehingga rakyat bisa hidup dengan sejahtera dan makmur. Karena di akui atau tidak, kekuatan ekonomi—baik dari sebuah negara maupun individual—memang menjadi salah satu pilar dan tolak ukur kemajuan serja kesejahteraan. Kalau kita mengacu pada informasi yang diberikan oleh al-Qur’an, bisa kita tarik sebuah kesimpulan bahwa perekonomian pokok negeri Saba’ bertumpu pada pertanian. Atau dengan kata lain, bisa disimpulkan bahwa negeri Saba’ adalah sebuah negeri agraris. Oke, marilah kita sama-sama melihat bagaimana Allah menggambarkan kesejahteraan ekonomi negeri Saba’ tersebut. Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan kemajuan ekonomi negeri Saba’ tersebut melalui firman-Nya:
جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ [سبأ/15]
(Tanda itu adalah) dua kebun di sisi kanan dan sisi kiri. (maka) makanlah kalian semua dari sebagian rizqi (yang diberikan oleh) Tuhan kalian
Al-Imam Burhanuddin Al-Biqo’i kembali menjelaskan bahwa sebenarnya kebun-kebun yang dimiliki oleh penduduk Saba’ sangatlah banyak sekali. Belum lagi taman-taman yang berada disekitar kebun-kebun tersebut. Saking banyaknya, kebun-kebun itu nampak saling sambung menyambung antara satu dan yang lain, memanjang di samping kanan dan kiri sepanjang jalan utama kota Saba’. Sehingga kebun yang begitu banyaknya itu dalam sekejap pandangan mata, nampak seperti dua kebun saja, yakni kebun yang berada di samping kanan dan di samping kiri. Seorang sejarawan muslim yang bernama Al-Mas’udi dalam mukoddimah-nya atas kitab Murujud Dzahab menceritakan bahwa negeri Saba’ merupakan negeri yang memiliki kebun paling banyak. Bahkan beliau menggambarkan bahwa luas kebun milik negeri Saba’ hanya bisa ditempuh selama 1 bulan perjalanan. Jikalau ada orang yang berjalan di sepanjang jalan utama negeri Saba’, maka ia tidak akan pernah kepanasan oleh teriknya sinar matahari, karena jalan utama itu telah di tutupi oleh rindangnya daun pepohonan yang ada disekitarnya. 
Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Al-Biqo’i, Ibnu Abbas—Radhiyallahu ‘Anhu—melukiskan kemakmuran negeri Saba’ dengan kisahnya yang sangat menawan. Negeri Saba’—kata Ibnu Abbas—merupakan salah satu negeri paling subur di belahan dataran Yaman. Saking suburnya, sampai-sampai ada seorang wanita yang hanya dengan meletakkan sebuah keranjang kecil di kepalanya, lalu dia berputar-putar berkeliling di sela-sela pepohonan yang berada disepanjang jalan utama negeri Saba’ itu, tiba-tiba kepalanya merasakan beban yang bertambah, karena ternyata keranjang kecil itu telah penuh dengan berbagai macam buah yang ada, padahal si wanita itu merasa belum memetik sama sekali.
Suburnya perkebunan dan pertanian negeri Saba’ ini tidak terlepas dari adanya sebuah waduk atau bendungan Ma’rib yang telah di bangun oleh Ratu Bilqis. Konon ceritanya—sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hayyan Al-Andalusy dalam tafsir An-Nahru Al-Maad—dahulu kala terjadi peperangan antara penduduk Saba’, karena memperebutkan sumber mata air guna menyirami kebun dan sawah mereka. Melihat kondisi yang sedemikian kacaunya, Ratu Bilqis marah bercampur sedih. Hingga akhirnya dia memilih untuk menyendiri (Uzlah) dan meletakkan kekuasaannya. Ia sering menyendiri di dalam istananya dan enggan untuk keluar menemui rakyatnya. Mengetahui Sang Ratu sudah pergi dan tidak mau mengurusi mereka lagi, rakyat pun menjadi sadar bahwa mereka telah salah dalam bertindak. Akhirnya mereka mendatangi sang ratu dan merayunya untuk kembali menduduki singgasana kerajaan. Tetapi sang ratu tetap saja enggan dan tidak mau, mungkin karena dia sudah trauma melihat sikap dan prilaku rakyatnya yang tidak mau menuruti perintahnya dan tidak cinta pada perdamaian itu. Melihat Sang Ratu yang kekeh tidak mau, akhirnya rakyat memaksa ratu mereka untuk kembali, jika tetap tidak mau, maka mereka terpaksa akan membunuh Sang Ratu.
“Sungguh kalian ini tidak punya akal. Dulu kalian tidak mau menurut padaku, sekarang malah memaksaku dan ingin membunuhku”, kata Ratu Bilqis menghardik rakyatnya.
“Maaf Ratu, kami berjanji akan taat kepadamu”, jawab salah satu rakyatnya.
Akhirnya Ratu Bilqis kembali dan membuat kebijakan inovatif, yakni membuat bendungan Ma’rib yang sangat termasyhur itu. Ratu Bilqis membuat waduk dengan membendung dua jalur sungai yang mengalir di antara dua gunung besar di dataran Yaman, tepatnya di Shon’a. Padahal sebelumnya, setiap musim hujan datang, maka air yang mengalir melalui jalur di antara dua gunung tersebut meluap dan menyebabkan banjir. Tetapi setelah Ratu Bilqis membuat bendungan itu, tidak ada lagi yang namanya banjir, dan bahkan aliran sungai tersebut menjadi sumber pengairan paling pokok bagi negeri Saba’. Bilqis membuat sebuah kolam besar yang menampung aliran air dari bendungan itu saat mengalir. Pada kolam besar itu, terdapat 12 lubang yang kesemuanya menuju pada 12 sungai yang berada disekitar tanah pertanian rakyat Saba’. Nah, dari semua pemaparan di atas, paling tidak ada dua kesimpulan yang bisa di ambil. Pertama, bahwa sumber ekonomi paling utama dan dominan dari negeri Saba’ adalah pertanian. Kedua, perekonomian negeri Saba’ bisa di katakan maju, sejahtera dan tentunya membawa kemakmuran bagi rakyatnya.
Ketiga adalah keamanan yang terjamin. Ya, karena rasa aman merupakan modal paling utama dan pertama bagi sebuah negeri yang akan membangun peradaban agung yang menjulang tinggi ke langit. Dan dengan rasa aman pulalah, sebuah masyarakat bisa berkembang dan maju, baik secara keilmuan, prekonomian, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Begitu juga sebaliknya, saat dalam sebuah negara terjadi suasana yang rusuh, kacau, chaos dan tidak ada lagi rasa aman di sana, maka yang ada hanyalah sebuah rintihan dan nestapa. Pemerintahan sibuk berusaha untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya dari rongrongan para pemberontak, hingga akhirnya pemberdayaan rakyat pun terbengkalai. Para orang tua pun akan kesulitan untuk melakukan aktifitas pekerjaannya, karena adanya konflik yang tidak kunjung usai. Imbasnya tak pelak jua kepada anak-anak, ya mereka akan kesulitan untuk bisa merampungkan pendidikannya, dan lagi-lagi semua itu karena tidak adanya rasa aman dalam sebuah negeri. Lalu apa yang kita diharapkan dari sebuah negeri yang sedemikian kacaunya? Nah di sinilah kita akan bisa mengetahui, betapa keamanan merupakan harga mati yang tak terbayarkan.
Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan keamanan yang dinikmati oleh masyarakat negeri Saba’ pada waktu itu melalui firman-Nya:
وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آَمِنِينَ  [سبأ/18]
“Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan (yang dekat dan mudah terjangkau). Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman”
Secara sederhana, keamanan yang di gambarkan oleh Allah melalui firman-Nya di atas adalah rasa aman yang dimiliki oleh orang-orang yang hendak melakukan perjalanan di sepanjang jalan negeri Saba’ untuk menuju ke tanah yang diberkahi, yakni tanah Syam. Rasa aman itu digambarkan oleh Allah dengan bebasnya para pelancong untuk melakukan perjalanan, baik pada waktu siang hari, maupun malam hari. Padahal anda tahu sendiri, bahwa jarak antara negeri saba’ yang ada di Yaman dan negeri Syam sangatlah jauh sekali. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana hal itu bisa terealisasikan?
Imam Fakhruddin Ar-Rozi—saat menjelaskan ayat di atas—kurang lebih berpendapat bahwa keamanan itu bisa terealisasi karena adanya pembangunan kota/desa yang begitu intensif, yang membentang di sepanjang jalan dari Yaman sampai ke Syam. Karena biasanya—kata beliau—tindakan kriminal akan terjadi pada tempat-tempat yang sepi dan tidak ada penduduk di sana, berbeda jikalau tempat itu sudah ramai dengan penduduk, maka bisa di pastikan keamanan akan terjamin. Hal ini tercermin dalam firman Allah: “Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan”. Dari pemaparan Ar-Rozi di atas, bisa juga kita ambil sebuah kesimpulan bahwa kependudukan secara merata merupakan hal yang sangat urgent dan mendesak untuk dilakukan. Semisal pulau Jawa yang sudah padat penduduk ini perlu kita adakan transmigrasi ke luar Jawa, semisal Sumatra, Sulawesi, Papua dan bumi Indonesia lainnya.
Berbeda dengan argumentasi yang ditawarkan oleh Ar-Rozi di atas, adalah argumen yang di tawarkan oleh Al-Biqo’i. Secara sederhana beliau berkata bahwa kemanan yang di wartakan oleh Allah dalam ayat suci di atas adalah karena tersedianya pos-pos perbatasan yang sangat banyak sekali di sepanjang jalan Saba’- Syam itu. Sehingga kapan saja dan pada waktu apa saja seseorang hendak melakukan perjalanan, tidak perlu takut dan susah kalau nanti akan kehabisan bekal di jalan. Walhasil, dari penjelasan dua pakar tafsir di atas, kita bisa memahami bahwa dua model keamanan yang di maksud dari ayat di atas. 1. Keamanan dari kriminalitas yang suwaktu-waktu bisa menghadang siapa saja yang akan melakukan perjalanan. 2. Keamanan dari kelaparan, keterasingan, kesulitan mencari tempat berteduh dan istirahat selama perjalanan.
Begitulah 3 hal pokok yang menjadi kunci kemakmuran negeri Saba’ secara fisik dan material. Yang kesemuanya di simpulkan pada 1. Kawasan teritorial yang subur dan makmur. 2. Perekonomian yang baik dan sejahtera. 3. Keamanan bagi setiap warganya. 

Kesejahteraan Intelektual Dan Spiritual.
Telah kami paparkan secara singkat bahwa negeri idaman bukanlah sebuah negeri yang hanya sejahtera secara material dan fisik saja, akan tetapi lebih dari itu, ia juga sejahtera secara intelektual dan spiritual. Karena tentunya kesejahteraan secara fisik dan materi tidak akan bernilai jikalau kesejahteraan secara spiritual dan intelektual tidak terpenuhi. Dan bahkan seringkali, kesejahteraan secara fisik dan material inilah yang pada akhirnya akan membawa kehancuran sebuah negeri jikalau tidak di imbangi dengan kesejahteraan secara Intelektual dan Spiritual.
Oke, mari kita kembali lagi berkaca kepada negeri Saba’ yang telah kita tasbihkan sebagai prototipe negeri Idaman. Di atas telah kami sebutkan, bahwa negeri Saba’ telah memiliki 3 pilar kesejahteraan fisik maupun material yang paling pokok serta utama dari sebuah negeri idaman, yakni kawasan teritorial yang subur, perekonomian yang mapan nan sejahtera, dan tentunya jaminan keamanan yang baik. Tapi ternyata, Al-Qur’an tidak hanya mewartakan kesejahteraan Saba’ saja, lebih dari itu, Al-Qur’an juga mewartakan kehancuran negeri Saba’ yang megah nan sejahtera itu. Apa gerangan penyebab utama kehancuran negeri Saba’ yang indah dan megah itu??
Tidak ada penyebab lain kecuali kekufuran rakyat terhadap Allah dan segala limpahan nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada mereka. Tentang kekufuran rakyat Saba’ ini, Allah menceritakan dalam firman-Nya:
فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ (16) ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ  [سبأ/16، 17]
Tetapi mereka berpaling. Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl, dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir
Dari dua pemaparan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebuah negeri bisa di kategorikan sebagai Baldah Thoyibah jikalau memenuhi dua syarat: 1. Kesejahteraan secara fisik dan material yang terejawantahkan dalam 3 hal yang telah kami paparkan di atas. 2. Kesejahteraan intelektual dan spiritual yang diterjemahkan dengan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Apakah Indonesia bisa disebut Baldah Thoyyibah?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu kembali mencocokan kedua unsur kesejahteraan yang telah kami paparkan di atas, dengan realitas Indonesia sekarang ini. Kalau kita lebih mencermati dan membandingkan kedua hal unsur kesejahteraan di atas, lalu kita komparasikan dengan kondisi Indonesia sekarang, maka bisa kita simpulkan sebagai berikut:
a.    Secara teritorial, Indonesia adalah negeri yang kesuburan tanahnya tidak perlu di ragukan lagi. Saat sebagian orang Arab berkunjung ke Indonesia, mereka terheran-heran dan akan anda temukan dercak kagum nampak berbinar-binar dari wajah dan mulut mereka. Bahkan sebagian dari mereka tidak segan-segan untuk mengatakan bahwa Indonesia-lah tanah surga di dunia ini. Jadi secara teritorial, Indonesia sebenarnya sudah memenuhi kreteria pertama dari Baldah Thoyyibah.
b.    Kemapanan ekonomi. Sebenarnya, dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah, entah itu dalam hal pertanian, kelautan, tambang minyak, tambang emas, batu bara dan lain sebagainya, mestinya Indonesia mampu untuk menjadi negara dengan kekuatan ekonomi yang tidak hanya mapan, bahkan bisa melebihi negeri-negeri teluk yang hanya dengan lahan minyaknya bisa menjadi negeri yang kaya raya. Karena realitasnya, Indonesia memiliki potensi yang lebih dari mereka. Nah, inilah salah satu problem akut bangsa ini yang sampai sekarang belum juga ditemukan solusinya. Apa penyebabnya? Wallahu a’lam apa penyebab sebenarnya, akan tetapi pemahaman sempit kami mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah karena kita terlalu membebek pada budaya, tradisi dan tentunya apa yang diinformasikan oleh pihak luar. Kita kehilangan jati diri kita sebagai bangsa, padahal sebenarnya dulu kita telah memiliki peradaban dan kebudayaan sendiri yang lebih maju, yang kesemuanya sangat jauh dan beda sekali dengan kebuyaan impor dari luar.
c.    Keamanan yang terjamin. Dari sisi keamanan, Indonesia termasuk negara yang relative aman, terlebih lagi masalah keamanan dari peperangan. Di saat negeri-negeri Islam di luar sana mengalami konflik berupa perang saudara yang berkecamuk dan tak kunjung usai, Indonesia masih tetap teguh dengan cinta damainya, dengan rasa amannya. Selama konsep Bhineka Tunggal Ika masih tetap di junjung tinggi, Insya Allah Indonesia masih bisa terhindar dari bahaya perang saudara yang sedang menjangkiti Timur Tengah sekarang ini. Nah yang masih menjadi problem sampai sekarang ini adalah rasa aman dari yang praktek kriminalitas. Ini yang perlu lebih ditingkatkan lagi. Tidak hanya dalam segi hukuman sebagai bentuk efek jera bagi pelaku kriminalitas, lebih dari itu, harus ada gerakan nyata dan riil dari semua kalangan masyarakat untuk ikut menjaga keamanan dan kedamaian di setiap pelosok negeri ini.
d.   Kesejahteraan secara spiritual dan intelektual. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sudah semestinya Indonesia bisa menjadi kiblat Spiritual dan Intelektual Islam diseluruh dunia. Dan seharusnya dia mendapatkan posisi yang bisa di katakan strategis dalam percaturan keilmuan dan spiritual. Coba saja kita perhatikan, berapa ribu pesantren yang berdiri dengan tegaknya di negeri Indonesia ini. Coba saja kita lihat, berapa ratusan Universitas Islam yang menancapkan pondasinya dengan kokoh di atas punggung negeri ini. Tetapi kenapa sampai sekarang indonesia belum juga menjadi kiblat keilmuan dunia, seperti yang kita harapkan dan idam-idamkan.

Peran Ulama’ Dan Umara’
Dalam rangka membangun sebuah peradaban yang kokoh dan teruji sepanjang masa, ada 2 pilar utama yang jikalau keduanya memainkan perannya dengan baik, niscaya kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa bisa benar-benar terealisasikan dengan secepatnya. Kedua pilar itu adalah umara, yang dalam hal ini diwakili oleh pihak pemerintahan, dan  ulama’, yang dalam hal ini terejawantahkan dalam para Kiai, ustadz dan kaum intelektual islam lainnya.
Hubungan kerjasama antara ulama dan umara’ digambarkan dengan indah nan manis dalam sebuah syair klasik yang sudah tidak asing lagi ditelinga kaum santri. Syair itu adalah:
إن الملوك ليحكمون على الورى       وعلى الملوك لتحكم العلماء
Tugas para raja (para penguasa) adalah mengatur serta memimpin para manusia, sedang tugas para ulama adalah memberikan hukum /mengatur/memimpin para raja
Syair di atas memberikan satu pola model hubungan yang terjadi antara dua institusi besar yang tumbuh dalam sebuah masyarakat, yakni institusi ke-ulama-an dan institusi pemerintahan. Yang mana jikalau masing-masing dari kedua institusi tersebut bisa memanfaatkan perannya dengan baik dan sesuai dengan prosedur yang ada, niscaya Baldah Thoyyibah bukan sebuah mimpi yang akan benar-benar bisa terealisasikan.
Dari syair di atas pula, kita bisa mengetahui bahwa para penguasa hendaknya memposisikan para ulama /intelektual sebagai pemberi pertimbangan paling pertama dan utama dalam setiap keputusan yang akan di ambilnya. Jadi bisa kita simpulkan bahwa pola hubungan ulama’ dan umara’ adalah sebagai berikut:
a.         Ulama adalah sebuah institusi yang berada di atas para umara’. Tugas ulama ialah memikirkan rencana serta rancangan kerja yang akan dilakukan oleh para umara’ nantinya. Para ulama dan intelektual mempunyai tugas utama untuk meneliti, mengkaji serta mengobservasi berbagai problematika kemasyarakatan, dan kemudian memberikan masukan serta mandat kepada para umara’ untuk melaksanakannya. Singkat kata—dalam bahasa NU—ulama adalah dewan Syuriah (penentu serta perancang arah kebijakan), sedang umara’ adalah dewan tanfidziyah (pelaksana kebijakan). Atau dalam bahasa negeri para Mullah, Iran, ulama adalah institusi Wilayatul Faqih, sedang umara’ adalah penguasa pemerintahan sebagai pelaksana kebijakan Wilayatul Faqih itu sendiri.
b.        Umara’ harus berusaha dan selalu bergandengan dengan para Ulama. Lebih dari itu, para Umara’ harus berusaha untuk menjadikan para Ulama yang memang kompeten sebagai rujukan dan tempat mencari pertimbangan serta inspirasi paling utama. Umara’ harus berusaha mengembalikan kewibawaan para Ulama/Kiai yang selama ini hampir saja hilang di mata rakyatnya. Cara pengembalian itu adalah dengan memberikan peran kepada para Ulama/Kiai untuk lebih berperan dalam sektor pembangunan masyarakat secara riil, tidak hanya berkisar pada bidang ke agama-an saja. Semisal dalam bidang pengentasan kemiskinan, maka berilah para ulama peran dalam hal wacana, perencanaan, sebagai penyalur bantuan dan tentunya bisa juga sebagai pengawas bantuan pemerintah yang diberikan kepada rakyat, sudahkah hal itu sampai kepada rakyat dengan sesuai prosedur yang di atur oleh pemerintah atau belum.
c.         Ulama mempunyai peran utama sebagai penebar Islam rahmatan lil ‘alamin. Rahmatan lil ‘alamin bukanlah hanya sekedar slogan yang dibawa kesana kemari tanpa ada esensi serta praktek yang riil dalam dunia nyata. Karena hal yang demikian itu hanya akan membawa masalah baru saja yang tidak ada penyelesaian akhirnya.
d.        Islam Rohmatan Lil ‘Alamin dalam urusan ekonomi adalah dengan mengaplikasikan ajaran Islam yang berkarakter populis dan lebih berpihak kepada peningkatan ekonomi bangsa sendiri, dari pada hanya mengandalkan investor asing. Islam dengan karakter yang demikian ini lebih berusaha untuk menyokong para pengusaha kecil menengah (UKM) atau paling tidak mendorong kretivitas masyarakat untuk lebih berani menampilkan kreativitas mereka. Islam ini tidak berpihak kepada para insvestor asing yang dengan leluasannya membangun berbagai macam pabrik dan rumah-rumah industri lainnya, sehingga ujung-ujungnya rakyat pribumi hanya menjadi kuli di negeri sendiri. Karakteristik Islam Rohmatan Lil ‘Alamin yang demikian ini bisa kita lihat dari berbagai macam konsep yang ditawaran oleh buku-buku Fiqh yang berserakan di berbagai pesantren, dan kesemuanya bisa di katakan lebih menitik beratkan pembahasan mereka para usaha rakyat kecil. Inilah karakteristik dan pola populis dari Islam Rohmatan Lil ‘Alamin.
e.         Secara pendidikan, Islam Rohmatan Lil ‘Alamin benar-benar berusaha mendidik siswa-siswi sebagai pejuang dan sebagai intelektual sejati. Islam Rohmatan Lil ‘Alamin tidaklah Islam  yang mendikte rakyat dan mencongok hidung mereka untuk gemar serta gandrung terhadap model pendidikan yang berkarakteristik kapitalis dan membodohkan. Ya, pendidikan sekarang ini adalah pendidikan dengan pola kapitalis dan mengandung unsur pembodohan massal yang bergerak secara massif dan sangat terorganisir sekali. Bagaimana tidak? Coba saja anda perhatikan, bagaimana sebuah ilmu tak lain hanya mempunyai tujuan untuk mendapatkan selembar ijazah guna bekerja nantinya. Sementara di satu sisi, siwa-siswi dibodohkan dengan jenjang pendidikan yang sangat lama (SD: 6 tahun, SMP: 3 tahun dan SMA: 3 tahun) dan tidak adanya kejelasan tentang spesialisasi yang didapatkan oleh para anak didik. Dan lebih ironisnya lagi, lembaga-lembaga pendidikan NU yang berada di bawah LP. Ma’arif pun ternyata juga membebek pola pembodohan ini. Jujur saja, ini bukan Islam Rohmatan Lil ‘Alamin, akan tetapi ini adalah praktek Ifsad Fil Ardhi yang sangat dikecam Al-Qur’an. Na’udzu Billahi Min Dzalik. Karenanya, perlu ada pembangunan/paling tidak perencanaan pembangunan tempat pendidikan—entah itu universitas, pesantren dan berbagai turunannya—yang tidak membebek dan lebih mengedepankan jati diri, serta benar-benar memiliki orientasi kepada pencerdasan masyarakat. Mungkin pesantren tradisional bisa menjadi salah satu pilihan kembali.
f.         Secara budaya dan tradisi, Islam Rohmatan Lil ‘Alamin adalah Islam dengan corak dan karakter yang ramah lingkungan. Ia tidak lah Islam yang selalu marah-marah terhadap segala perbedaan yang berkembang di dalam masyarakat. Karena pada dasarnya, perbedaan sendiri itu adalah rohmat dari Allah yang tak terhingga. Jikalau kita bisa mensikapinya dengan penuh kebijaksanaan dan kedewasaan. Disamping itu, Islam juga harus membumi. Ibarat sebuah pohon, Islam Rohmatan Lil A’lamin adalah pohon dengan ujung yang rindang menjulang ke atas langit, akan tetapi ia memiliki akar yang kokoh dan kuat menghunjam ke dalam tanah.
g.        Upaya menyatukan komponen Aghniya’-Umara’-Ulama untuk bersama-sama membangun sebuah masyarakat muslim yang sejahtera dan makmur.  Karena ketiga orang ini merupakan pilar paling utama dalam pembangunan masyarakat.
h.        Sekarang ini kita banyak melihat para hartawan yang tidak bisa memanfaatkan dan membelanjakan hartanya sesuai dengan kemaslahatan umat. Rata-rata mereka hanya bisa memenuhi kesenangan dan syahwat mereka secara pribadi. Sedang pembangunan masyarakat terbengkalai. Tentunya hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mulia. Banyak orang yang memiliki rumah mewah, mobil yang mewah, sepeda motor banyak dan berbagai kekayaan lain, akan tetapi dalam waktu yang sama, ternyata masih banyak pula tetangga, saudara dan bahkan tempat ibadah dan pendidikan yang pembangunannya terbengkalai. Jikalau sebuah masyarakat secara ekonomi sudah mapan, akan tetapi tingkat intelektual, spiritual dan emosional serta psikis masyarakatnya tidak meningkat lebih baik, maka bisa di pastikan itu adalah masyarakat yang sakit. Maka orang kaya (Aghniya’) dengan model seperti ini tak jauh beda dengan seorang Qorun yang hanya ingin memperkaya diri secara pribadi saja. Pada dasarnya orang kaya semacam inilah yang menjadi penghambat utama kesejahteraan masyarakat.
i.          Sekarang kita juga banyak melihat para Umara’ yang jatuh dalam jeratan korupsi dan jauh dari akhlak seorang pemimpin yang diidam-idamkan rakyatnya. Semua itu terjadi karena para umaro’ tersebut jauh dari akhlak yang mulia, atau paling tidak mereka jauh dari para ulama’. Kedekatan mereka terhadap para ulama hanyalah saat mereka hendak mencalonkan diri. Ya, mereka datang kepada para ulama dan Kiai hanya untuk mencari dukungan saja, setelah mereka jadi, maka mereka sudah lupa dan enggan untuk menjadikan para ulama itu sebagai rujukan mereka. Karenanya, diawal tadi sudah saya singgung bahwa ulama adalah institusi yang mempunyai tugas utama sebagai pembuat rencana, rancangan kerja dan tentunya dewan pertimbangan yang paling utama. Para umaro’ yang sudah jauh dan enggan untuk menjadikan para ulama sebagai pertimbangan dan tempat rujukan, lambat laun bisa saja menjadi penghambat dakwah ulama tersebut. Apalagi jikalau ulama tersebut tidaklah menjadi pendukungnya saat dia mencalonkan diri. Umara’ dengan karakteristik seperti ini tak ubahnya seorang Fir’aun yang merasa paling kuat sendiri, dan bahkan mungkin sebenarnya dia juga sudah mengaku-aku sebagai tuhan, hanya saja pengakuan itu masih tersembunyi dalam hatinya.
j.          Banyak pula sekarang ini para ulama yang—maaf saja—masuk dalam kategori Ulama Suu’. Saya tidak ingin menuduh atau menunjuk seseorang secara khusus, karena tentunya menentukan hal itu tidaklah mudah. Tetapi ciri utama Ulama Suu’ ini adalah mereka yang mudah dibeli dengan dunia untuk sebuah Fatwa. Itu saja. Nah, ulama dengan model dan karakter seperti ini pulalah yang akan menghambat perkembangan dan kemajuan sebuah bangsa dan negara.
Nah, inilah pilar-pilar paling pokok dalam membangun sebuah peradaban (Tamddun) dan kebudayaan (Al-Hadhoroh) dalam masyarakat kita, terlebih lagi adalah masyarakat muslim. Ketiga pilar itu adalah Ulama’ (kaum Intelektual), Umara’ (para penguasa) dan Aghniya’(orang-orang kaya). Andaikan ketiga pilar pokok ini bisa bersatu padu, bersinergi dan mau untuk bahu membahu bersama, niscaya sebuah peradaban besar akan dengan mudahnya terbangun dengan megah di muka bumi Nusantara ini.
Namun, kalau ketiga pilar pokok ini tidak bisa bersatu padu dan bersinergi, maka mereka pulalah oknum-oknum paling pertama dan utama dalam memberangus serta menghancurkan sebuah peradaban Islam yang indah. Dalam al-Qur’an, Allah menggambarkan kepada kita bagaimana dahulu seorang Nabiyullah Musa Alaihis Salam harus bersusah payah membangun sebuah peradaban dan masyarakat yang Islami, semua itu karena besarnya rintangan yang beliau hadapi. Ya, pertama-tama Nabi Musa harus menerima perlawanan dari seorang penguasa (Umara’) yang lalim, yang dalam hal ini digambarkan oleh Allah melalui sosok penguasa seperti Fir’aun. Lalu selanjutnya perlawanan dari seorang miliader kaya (Aghniya’) Bani Israel, yang digambarkan oleh Allah melalui sosok seperti Qorun. Dan terakhir beliau mau tidak mau harus berhadapan dengan sosok seorang intelektual (Ulama’), tetapi hatinya telah dibutakan oleh cinta terhadap dunia, yang dalam hal ini digambarkan oleh Allah melalui sosok Bal’am Bin Ba’uro’.
Karenanya, sebagai orang yang lemah dan rakyat kecil, kami hanya bisa berharap kepada para pemimpin kami untuk bisa bersatu padu, bersinergi, ber-gotong royong dan tentunya saling melengkapi guna membangun sebuah peradaban yang lebih maju, guna mensejahterakan rakyat dan membawa Nusantara sebagai protype pertama dari Baldah Thoyyibah Wa Rabbun Ghofur.  Wallahu A’lam Bis Showab.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger