Advertise 728x90

Senyum Imam Husain

Written By Unknown on Tuesday, November 11, 2014 | 6:15 PM



“Coba kamu I’rob kata [Dhorobtu Zaidan]”, perintah Syaikh Sa’id Yamani.
            “Dhorobtu: Fi’lun Madhin. Mabniyyun Alas Sukun”, kata Kiyai Zubair Dahlan muda.
            Hadza Madzhabul Kufi. Da’ Ma ‘Alaihil Kufi. Al-Kufi La Yafi.Fainnahum Ihtammu Bi Damil Ba’udhoh. Walam Yahtammu Bi Damil Husain” [ini adalah madzhab Kufah. Tinggalkan apa yang menjadi madzhab orang kufah. Orang-orang kufah tidak memenuhi janji. Mereka lebih memperhatikan darah seekor nyamuk dan mengabaikan darah Imam Husain]. Kata Syaikh Sa’id Yamani selanjutnya.
*****
            Sekelumit kisah di atas sering sekali saya dengar dalam uraian-uraian dan kisah-kisah yang diceritakan oleh Gurunda, Mbah Yai Maemun Zubair. Terlebih lagi saat beliau mengisahkan sang ayahanda yang sekaligus juga gurunya, yaitu Kiyai Zubair Dahlan. Mbah Ber—begitulah kiyai zubair akrab dipanggil—adalah salah satu murid terakhir dari Syaikh Sa’id Yamani dan salah satu murid pertama dari Syaikh Hasan Sa’id Yamani.
            Dari sekelumit kisah singkat tersebut di atas, saya melihat bahwa peristiwa terbunuhnya Imam Husain Bin Ali di padang Karbala’ bukanlah kepedihan bagi satu golongan dan kelompok saja dalam Islam, yang dalam hal ini adalah kelompok syiah. Akan tetapi peristiwa tersebut adalah luka, duka dan nestapa bagi semua umat Islam, dan bahkan seluruh dunia.
            Tentunya kita semua sudah tahu, bahwa Syaikh Sa’id Yamani adalah seorang ulama Sunni, begitu juga dengan Kiyai Zubair pun juga seorang muslim dan ulama sunni. Dan Kiai Maemun—sang putra yang kini meneruskan perjuangan ayahandanya—juga seorang ulama Sunni. Akan tetapi, nampaknya peristiwa terbunuhnya Imam Husain sangat membekas dalam benak mereka. Bahkan sampai-sampai sang guru—dalam hal ii Syaikh Sa’id—pun melarang muridnya untuk meng-I’rob memakai pola I’rob orang Kufah yang menurut beliau telah mengkhianati kepercayaan Imam Husain kepada mereka. Bahkan kritik Syaikh Sa’id lebih tegas lagi, Syaikh Sa’id menganggap bahwa orang-orang Kufah lebih memperhatikan darah seekor nyamuk agar tidak tumpah, akan tetapi dalam satu waktu itu juga, mereka merelakan darah Imam Husain untuk di tumpahkan di atas tanah Karbala’.
Memang saya sendiri belum mengerti secara pasti kemana arah sindiran dari Syaikh Sa’id tersebut, akan tetapi saya punya dugaan kuat bahwa sindiran tersebut berkenaan dengan masalah Fiqhiyyah yang berupa permasalahan najisnya darah nyamuk, di Ma’fu atau tidak, syaratnya bagaimana dan seterusnya. Disini seakan Syaikh Sa’id ingin meledek orang-orang Kufah yang begitu getol mengkaji dan membahas darah nyamuk dengan berbagai sudut pandang yang ada, yang mana kesemuanya itu menunjukkan betapa mereka sangat perhatian terhadap masalah tersebut. akan tetapi, sekali lagi mereka mengabaikan darah Imam Husain, yang jelas-jelas di bunuh dengan penuh kelaliman. Tidak ada orang-orang Kufah yang hendak menuntut Qishosh atas darah imam Husain yang tercecer di padang Karbala’. Dan hal itu berjalan bertahun-tahun demikian hingga akhirnya datanglah seorang Mukhtar Bin Abi Ubaid Ats-Tsaqofi yang mengumpulkan pasukan perang dari para pecinta imam Husain guna untuk melakukan Qishosh terhadap para pembubuhnya.
Peristiwa terbunuhnya Imam Husain merupakan gambaran nyata sebuah perjuangan dalam membela dan mempertahankan kebenaran. Peristiwa terbunuhnya imam Husain merupakan sebuah bentuk nyata akan pengorbanan dalam menegakkan kebenaran. Terbunuhnya imam Husain adalah peristiwa yang melukiskan sebuah drama kehidupan yang menampilkan kebengisan, kepongahan, kepicikan dan tipu muslihat sebuah tirani yang lalim dan kejam.
Andaikata sekarang ini anda adalah seorang yang sedang berjuang dalam menegakkan kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat anda, akan tetapi banyak orang yang menghalangi langkah anda, banyak orang yang membenci gerakan anda, banyak orang yang mencaci atau bahkan banyak orang yang hendak mencelakai anda, maka pesan saya adalah tenangkan dirimu, rilekskan otot-otot persendianmu dan santailah, lalu belajarlah pada imam Husain.
Katakan pada dirimu: “Wahai jiwa…siapakah yang lebih baik, engkau atau imam Husain? Hai jiwa…imam Husain adalah cucu yang sangat dicintai oleh makhluk terbaik yang pernah diciptakan oleh Allah, yakni Nabi Muhammad Al-Musthofa. Beliau adalah putra salah satu sahabat terbaik dan wanita terbaik, yakni Sayyidina Ali Al-Karror dan Fathimah Az-Zahro. Akan tetapi…ketahuilah wahai jiwa…dunia ini memang bukan tempatnya untuk bersenang-senang, bukan tempatnya untuk bermanja-manja, bukan tempatnya untuk santai-santai. Akan tetapi dunia ini adalah tempat kita untuk berjuang, tempat kita untuk menanam, tempat kita untuk menyemai setiap harapan dan cita-cita, nanti di akheratlah kita akan menuai semua hasil tanaman dan semaian itu. Dan yang perlu kau ketahui wahai jiwa…setiap perjuangan pasti menuntut adanya pengorbanan. Hai jiwa…apa yang sudah kau korbankan untuk agamamu? Apa yang sudah kau korbankan untuk bangsamu? Apa yang sudah kau korbankan untuk keyakinanmu? Harta, pikiran, tenaga, waktu, nyawa ataukah kau hanya berandai-andai saja? Imam Husain telah mengorbankan segalanya, putra-putranya harus rela dibunuh, putri-putrinya pun harus rela untuk diasingkan, keluarganya hancur lebur bahkan beliau sendiri, harus rela untuk dibunuh. Sedang engkau?? Ah…
Pada 10 Muharram ini, saya banyak menemui berbagai perayaan keagaam terlenggara. Mulai dari puasa sunnah, bersedekah, menyantuni fakir miskin, santunan anak yatim, pengajian maupun berbagai ritual yang lain. Namun, tak sekalipun saya menemukan ada sebuah perayaan yang bertujuan untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan Imam Husain. Kalaupun ada, toh itu akan dituduh dengan berbagai tuduhan miring, terlebih lagi tuduhan sebagai Syiah atau antek Syiah. Padahal—seperti uraian saya di atas—peristiwa terbunuhnya imam Husain bukanlah hanya kesedihan bagi kelompok Syiah saja, akan tetapi juga kelompok Sunni. Contoh nyatanya adalah kisah Syaikh Sa’id Yamani dan Kiai Zubair yang sangat inspiratif di atas. Kisah ini pun akan mudah anda temukan dalam beberapa literature sunni. Coba saja teliti bagaimana sedih dan harunya seorang Syaikh Abdul Wahab As-Sya’roni saat menuturkan kisah ini dalam buku “Mukhtashor Tadzkiroh Al-Qurthubi”. Bahkan saat dulu saya masih mengaji kitab tersebut kepada Al-Maghfur Lah Kiai Makin Mudzakkir, beliau pun akan berhenti saat sampai pada kisah terbunuhnya Imam Husain. “Aku Gak Kuat Nek Sampai Kisah Iki” [saya tidak kuat menahan kesedihan kalau sampai pada kisah ini], tutur beliau.
Itulah gambaran sebuah perngorbanan suci. Itulah cinta sejati yang tidak ternodai oleh debu-debu nafsu dan syahwat. Itulah pecinta sejati yang berani mengorbankan ego pribadi dan kesenangan sesaat serta kecintaan semu pada makhluk, baik harta benda maupun keluarga, terlebih lagi sebuah kekuasaan, guna menggapai sebuah cinta sejati nan tinggi [Al-Mahhabbah Al-Hakikiyyah Al-Ulya]. 
Sungguh salah sebagian orang beranggapan bahwa Imam Husain telah menderita kekalahan dalam pertempurannya melawan pasukan Yazid bin Mu‘awiyah. Akan tetapi, tatkala kita cermati lembaran-lembaran sejarah, kita akan menyaksikan bahwa Imam Husainlah yang sesungguhnya yang menang atas musuh-musuhnya. Karena, tujuan-tujuan kebangkitan dan kesyahidan beliau senantiasa hidup di dalam sanubari setiap manusia. Pernahkah kita bertanya, di mana Yazid sekarang? Di mana Ibnu Ziyad sekarang? Bahkan Mu‘awiyah sendiri, di manakah dia?
Ya, mereka semua telah pergi dan tidak ada yang mengenangnya. Kalau pun ada yang menyebut nama mereka, sebutan itu hanya berupa kekecewaan atas sikapnya, atas kejahatan mereka terhadap keluarga Nabi. Orang-orang pendengki selalu berupaya menghancurkan Imam Husain. Akan tetapi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghendaki beliau abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Bukankah keabadian itu yang di idam-idamkan oleh setiap insan?
 

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger