“Coba kamu I’rob kata [Dhorobtu
Zaidan]”, perintah Syaikh Sa’id Yamani.
“Dhorobtu:
Fi’lun Madhin. Mabniyyun Alas Sukun”, kata Kiyai Zubair Dahlan muda.
“Hadza
Madzhabul Kufi. Da’ Ma ‘Alaihil Kufi. Al-Kufi La Yafi.Fainnahum Ihtammu Bi
Damil Ba’udhoh. Walam Yahtammu Bi Damil Husain” [ini adalah madzhab Kufah.
Tinggalkan apa yang menjadi madzhab orang kufah. Orang-orang kufah tidak
memenuhi janji. Mereka lebih memperhatikan darah seekor nyamuk dan mengabaikan
darah Imam Husain]. Kata Syaikh Sa’id Yamani selanjutnya.
*****
Sekelumit
kisah di atas sering sekali saya dengar dalam uraian-uraian dan kisah-kisah
yang diceritakan oleh Gurunda, Mbah Yai Maemun Zubair. Terlebih lagi saat
beliau mengisahkan sang ayahanda yang sekaligus juga gurunya, yaitu Kiyai
Zubair Dahlan. Mbah Ber—begitulah kiyai zubair akrab dipanggil—adalah salah
satu murid terakhir dari Syaikh Sa’id Yamani dan salah satu murid pertama dari
Syaikh Hasan Sa’id Yamani.
Dari
sekelumit kisah singkat tersebut di atas, saya melihat bahwa peristiwa
terbunuhnya Imam Husain Bin Ali di padang Karbala’ bukanlah kepedihan bagi satu
golongan dan kelompok saja dalam Islam, yang dalam hal ini adalah kelompok
syiah. Akan tetapi peristiwa tersebut adalah luka, duka dan nestapa bagi semua umat
Islam, dan bahkan seluruh dunia.
Tentunya
kita semua sudah tahu, bahwa Syaikh Sa’id Yamani adalah seorang ulama Sunni,
begitu juga dengan Kiyai Zubair pun juga seorang muslim dan ulama sunni. Dan
Kiai Maemun—sang putra yang kini meneruskan perjuangan ayahandanya—juga seorang
ulama Sunni. Akan tetapi, nampaknya peristiwa terbunuhnya Imam Husain sangat
membekas dalam benak mereka. Bahkan sampai-sampai sang guru—dalam hal ii Syaikh
Sa’id—pun melarang muridnya untuk meng-I’rob memakai pola I’rob orang Kufah
yang menurut beliau telah mengkhianati kepercayaan Imam Husain kepada mereka. Bahkan
kritik Syaikh Sa’id lebih tegas lagi, Syaikh Sa’id menganggap bahwa orang-orang
Kufah lebih memperhatikan darah seekor nyamuk agar tidak tumpah, akan tetapi
dalam satu waktu itu juga, mereka merelakan darah Imam Husain untuk di
tumpahkan di atas tanah Karbala’.
Memang saya
sendiri belum mengerti secara pasti kemana arah sindiran dari Syaikh Sa’id
tersebut, akan tetapi saya punya dugaan kuat bahwa sindiran tersebut berkenaan
dengan masalah Fiqhiyyah yang berupa permasalahan najisnya darah nyamuk,
di Ma’fu atau tidak, syaratnya bagaimana dan seterusnya. Disini seakan
Syaikh Sa’id ingin meledek orang-orang Kufah yang begitu getol mengkaji dan
membahas darah nyamuk dengan berbagai sudut pandang yang ada, yang mana
kesemuanya itu menunjukkan betapa mereka sangat perhatian terhadap masalah
tersebut. akan tetapi, sekali lagi mereka mengabaikan darah Imam Husain, yang
jelas-jelas di bunuh dengan penuh kelaliman. Tidak ada orang-orang Kufah yang
hendak menuntut Qishosh atas darah imam Husain yang tercecer di padang
Karbala’. Dan hal itu berjalan bertahun-tahun demikian hingga akhirnya
datanglah seorang Mukhtar Bin Abi Ubaid Ats-Tsaqofi yang mengumpulkan pasukan
perang dari para pecinta imam Husain guna untuk melakukan Qishosh
terhadap para pembubuhnya.
Peristiwa
terbunuhnya Imam Husain merupakan gambaran nyata sebuah perjuangan dalam
membela dan mempertahankan kebenaran. Peristiwa terbunuhnya imam Husain
merupakan sebuah bentuk nyata akan pengorbanan dalam menegakkan kebenaran.
Terbunuhnya imam Husain adalah peristiwa yang melukiskan sebuah drama kehidupan
yang menampilkan kebengisan, kepongahan, kepicikan dan tipu muslihat sebuah
tirani yang lalim dan kejam.
Andaikata
sekarang ini anda adalah seorang yang sedang berjuang dalam menegakkan
kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat anda, akan tetapi banyak orang yang
menghalangi langkah anda, banyak orang yang membenci gerakan anda, banyak orang
yang mencaci atau bahkan banyak orang yang hendak mencelakai anda, maka pesan
saya adalah tenangkan dirimu, rilekskan otot-otot persendianmu dan santailah,
lalu belajarlah pada imam Husain.
Katakan pada
dirimu: “Wahai jiwa…siapakah yang lebih baik, engkau atau imam Husain? Hai
jiwa…imam Husain adalah cucu yang sangat dicintai oleh makhluk terbaik yang
pernah diciptakan oleh Allah, yakni Nabi Muhammad Al-Musthofa. Beliau
adalah putra salah satu sahabat terbaik dan wanita terbaik, yakni Sayyidina Ali
Al-Karror dan Fathimah Az-Zahro. Akan tetapi…ketahuilah wahai jiwa…dunia ini memang
bukan tempatnya untuk bersenang-senang, bukan tempatnya untuk bermanja-manja,
bukan tempatnya untuk santai-santai. Akan tetapi dunia ini adalah tempat kita
untuk berjuang, tempat kita untuk menanam, tempat kita untuk menyemai setiap
harapan dan cita-cita, nanti di akheratlah kita akan menuai semua hasil tanaman
dan semaian itu. Dan yang perlu kau ketahui wahai jiwa…setiap perjuangan pasti
menuntut adanya pengorbanan. Hai jiwa…apa yang sudah kau korbankan untuk
agamamu? Apa yang sudah kau korbankan untuk bangsamu? Apa yang sudah kau
korbankan untuk keyakinanmu? Harta, pikiran, tenaga, waktu, nyawa ataukah kau
hanya berandai-andai saja? Imam Husain telah mengorbankan segalanya,
putra-putranya harus rela dibunuh, putri-putrinya pun harus rela untuk
diasingkan, keluarganya hancur lebur bahkan beliau sendiri, harus rela untuk
dibunuh. Sedang engkau?? Ah…
Pada 10
Muharram ini, saya banyak menemui berbagai perayaan keagaam terlenggara. Mulai
dari puasa sunnah, bersedekah, menyantuni fakir miskin, santunan anak yatim,
pengajian maupun berbagai ritual yang lain. Namun, tak sekalipun saya menemukan
ada sebuah perayaan yang bertujuan untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan
Imam Husain. Kalaupun ada, toh itu akan dituduh dengan berbagai tuduhan miring,
terlebih lagi tuduhan sebagai Syiah atau antek Syiah. Padahal—seperti uraian
saya di atas—peristiwa terbunuhnya imam Husain bukanlah hanya kesedihan bagi
kelompok Syiah saja, akan tetapi juga kelompok Sunni. Contoh nyatanya adalah kisah
Syaikh Sa’id Yamani dan Kiai Zubair yang sangat inspiratif di atas. Kisah ini
pun akan mudah anda temukan dalam beberapa literature sunni. Coba saja teliti
bagaimana sedih dan harunya seorang Syaikh Abdul Wahab As-Sya’roni saat
menuturkan kisah ini dalam buku “Mukhtashor Tadzkiroh Al-Qurthubi”.
Bahkan saat dulu saya masih mengaji kitab tersebut kepada Al-Maghfur Lah
Kiai Makin Mudzakkir, beliau pun akan berhenti saat sampai pada kisah
terbunuhnya Imam Husain. “Aku Gak Kuat Nek Sampai Kisah Iki” [saya tidak
kuat menahan kesedihan kalau sampai pada kisah ini], tutur beliau.
Itulah gambaran
sebuah perngorbanan suci. Itulah cinta sejati yang tidak ternodai oleh
debu-debu nafsu dan syahwat. Itulah pecinta sejati yang berani mengorbankan ego
pribadi dan kesenangan sesaat serta kecintaan semu pada makhluk, baik harta
benda maupun keluarga, terlebih lagi sebuah kekuasaan, guna menggapai sebuah
cinta sejati nan tinggi [Al-Mahhabbah Al-Hakikiyyah Al-Ulya].
Sungguh salah sebagian
orang beranggapan bahwa Imam Husain telah menderita kekalahan dalam pertempurannya
melawan pasukan Yazid bin Mu‘awiyah. Akan tetapi, tatkala kita cermati
lembaran-lembaran sejarah, kita akan menyaksikan bahwa Imam Husainlah yang
sesungguhnya yang menang atas musuh-musuhnya. Karena, tujuan-tujuan kebangkitan
dan kesyahidan beliau senantiasa hidup di dalam sanubari setiap manusia.
Pernahkah kita bertanya, di mana Yazid sekarang? Di mana Ibnu Ziyad sekarang?
Bahkan Mu‘awiyah sendiri, di manakah dia?
Ya, mereka
semua telah pergi dan tidak ada yang mengenangnya. Kalau pun ada yang menyebut
nama mereka, sebutan itu hanya berupa kekecewaan atas sikapnya, atas kejahatan
mereka terhadap keluarga Nabi. Orang-orang pendengki selalu berupaya
menghancurkan Imam Husain. Akan tetapi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menghendaki beliau abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Bukankah keabadian
itu yang di idam-idamkan oleh setiap insan?
0 komentar