Diceritakan
bahwa pada saat terjadi perang Khaibar, Dir’u—sebuah baju perang yang biasanya
terbuat dari besi dan dijadikan pelindung tubuh saat perang—milik Imam Ali Bin
Abi Thalib Karramallahu Wajhahu jatuh dari kudanya, dan entah bagaimana,
akhirnya baju itu hilang tidak ditemukan lagi. Setelah dicari kesana kemari,
ternyata beliau menemukan baju besi tersebut telah berada ditangan
seorang lelaki Yahudi. Kemudian Imam Ali pun meminta kepada lelaki Yahudi tadi
agar mengembalikan baju besi itu kepadanya, akan tetapi lelaki itu mengelak dan
tidak mau mengembalikan baju itu kepada beliau lagi. Karena lelaki itu memiliki
anggapan bahwa baju itu adalah miliknya sendiri.
Setelah
terjadi saling adu argumen yang cukup melelahkan, maka mereka berdua pun
meminta putusan kepada seorang Qadhi atau Hakim pada waktu itu—sedang
Imam Ali Karramallahu Wajhahu sendiri pada waktu itu adalah seorang yang
menjabat Amirul Mu’minin atau kepala negara. Sekali lagi, terjadi saling adu
argumen yang cukup panjang dan melelahkan antara Imam Ali dan si Yahudi
tersebut, hingga akhirnya sang Qadhi tadi meminta agar masing-masing
dari keduanya menghadirkan saksi dari pihaknya sendiri-sendiri. Akan tetapi,
Imam Ali tidak memiliki saksi atas kepemilikannya terhadap baju besi tersebut,
kecuali anaknya sendiri, yaitu Al-Hasan. Setelah ditimbang-timbang, maka sang Qadhi
tersebut berkata kepada Imam Ali: “Wahai Amirul Mu’minin, saya tahu dengan
pasti bahwa anda adalah orang yang jujur, tapi anda tidak bisa mendatangkan
seorang saksi sekalipun kecuali putra anda, sedang kesaksian dari putramu
sendiri terhadap perkaramu ini tidaklah bisa diterima. Dan orang Yahudi ini
adalah orang yang secara lahir telah memiliki dan memegang baju ini”.
Keputusan
akhir dan final dari sang Qadhi tadi adalah memenangkan perkara ini
untuk si Yahudi, hingga dapat dipastikan bahwa baju perang tersebut jatuh ke
tangan si lelaki Yahudi tadi berdasarkan realitas dan kenyataan yang ada. Saat
Imam Ali Karramallahu Wajhahu mendengar putusan itu, beliau menerimanya
dengan lapang dada dan kemudian pergi. Nah, terheran-heran lelaki Yahudi tadi
melihat proses pengambilan keputusan hukum bagi dirinya dan Imam Ali, terlebih
saat ia melihat bagaimana keteguhan sang Qadhi dari kalangan muslim itu
dalam memegang hukum, bahkan saat hukum itu harus berhadapan dengan pemimpinnya
sendiri. Ditambah lagi dengan tindakan Imam Ali yang Gentle dan legowo
dalam menerima hukum yang ditetapkan oleh Qadhi-nya, maka ia sangat
terkesan dan berkata: “Aku bersaksi bahwa apa yang saya lihat ini adalah akhlak
para Nabi. Dan tentunya agama yang membawa akhlak ini adalah agama yang benar.
Aku pun bersaksi bahwa baju besi ini adalah milik Imam Ali. Aku juga bersaksi
bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah, sedang Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alahi Wa Sallam adalah utusan Allah”.
*********
Sebagai
agama yang sangat antipati terhadap sistem kasta dan kedholiman—dan bahkan
berusaha untuk menghapusnya—Islam sangat menjunjung tinggi keadilan hukum.
Keadilan mengalir dalam setiap denyut nadi ajaran-ajaran Islam yang sangat
indah itu. Dan baginda Nabi adalah wujud nyata dari keadilan itu sendiri. Lalu
dilanjutkan oleh para pengganti beliau (Khulafa Ar-Rasyidun), yang
diantara mereka adalah Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah,
tokoh kita dalam kisah di atas.
Dalam
berbagai kesempatan dan momen, Imam Ali sering sekali berbicara tentang keadilan,
terlebih lagi tentang keadilan hukum. Bahkan menurut saya pribadi, Imam Ali
bisa disebut sebagai peletak batu pertama konsep keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat, tentunya setelah kanjeng Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa
Sallam. Karenanya, sangat tepat dan layak jika kemudian baginda Nabi
menyebut beliau sebagai pintunya ilmu (Babul Ilmi). Dan sekelumit kisah
di atas merupakan bukti nyata tentang keadilan beliau.
Ada
ungkapan menarik dari Imam Ali berkenaan tentang keadilan yang sangat perlu
dikaji serta kita renungi. Pernah dalam satu kesempatan, Imam Ali mendapatkan
pertanyaan seputar keadilan dan kedermawanan. Manakah diantara keduanya yang
lebih baik dan lebih dahulu harus dilakukan. Imam Ali menjawab bahwa keadilan
itu lebih baik dan harus terlebih dahulu dilakukan dari pada sikap dermawan.
Sepintas
lalu, sebagian orang mempunyai anggapan bahwa sikap dermawan itu lebih baik
dari sikap adil. Karena yang disebut dengan sikap adil adalah meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya, tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Sementara sikap
dermawan adalah saat seseorang berani mengalahkan haknya sendiri untuk
diberikan kepada orang lain. Jadi sikap adil adalah saat seseorang menjaga
hak-hak dirinya sendiri dan orang lain. Sedangkan dermawan adalah saat
seseorang berani mengorbankan haknya sendiri untuk orang lain. Dari pengertian
adil dan dermawan secara singkat tersebut, memang ada kesan bahwa anggapan
sebagian orang di atas memang benar. Tapi apakah memang kenyataannya demikian?
Lalu bagaimana dengan jawaban Imam Ali tersebut di atas?
Disinilah
kita harus pandai-pandai memposisikan segala hal. Memang sikap
dermawan—sebagaimana pengertian di atas—sangat baik, bahkan bisa dikatakan lebih
baik dari sikap adil, akan tetapi perlu kita perhatikan juga bahwa kedermawanan
itu baik jika bersangkutan dengan hal-hal yang sifatnya pribadi, bukan hal-hal
yang bersifat umum dan kemasyarakatan. Coba saja sekarang kita renungkan
bersama, kenapa Negara Indonesia ini mudah sekali dijajah oleh bangsa lain?
Kenapa kekayaan bangsa kita ini mudah sekali dikeruk oleh Negara-negara asing? Analisa
sederhana saya mengatakan bahwa bangsa kita ini terlalu baik, toleran dan
dermawan terhadap Negara-negara asing tersebut. Sehingga sikap dermawan yang
nampak sangat baik itu, bisa dengan mudahnya dimanfaatkan oleh bangsa lain.
Sikap lemah lembut, beradab dan dermawan yang sering kita bangga-banggakan
sebagai kelebihan dan budaya timur yang indah itu, sekarang telah berbalik
menjadi seekor ular berbisa yang menelikung dan menggigit bangsa kita sendiri. Virus
ganas nan mematikan telah menjalar ke seluruh persendian kehidupan bangsa kita
ini. Dan akhirnya, bangsa kita sekarang ini menjadi bangsa yang bingung.
Bingung apa yang harus mereka lakukan untuk mengobati virus mematikan tersebut.
Bingung harus dari mana mereka memulai pengobatan terhadap penyakit kronis
tersebut.
Untuk
menemukan solusi atas problematika kebangsaan tersebut di atas, ada baiknya kita
ikuti bagaimana Imam Ali memberikan sebuah penalaran logis kenapa beliau lebih
mengutamakan keadilan dari pada kedermawanan. Beliau berkata: “Al-‘Adlu
Sa’isun ‘Aamun Wal Juudu ‘Aaridhun Khossun” (keadilan adalah sebuah
aturan yang bersifat umum, sedangkan dermawan adalah sebuah sikap yang bersifat
khusus). Dari ungkapan singkat tersebut, Imam Ali seakan ingin mengajak kita untuk
lebih memahami dan menyelami kembali karakteristik sebuah sikap yang terpuji
dan karakteristik para pelaku sikap tersebut. Tidak semua sikap yang baik dan
terpuji itu menjadi baik dan terpuji saat diaplikasikan oleh orang tertentu dan
dalam konteks tertentu.
Imam
Ali telah benar-benar memahami karakter masing-masing dari sifat adil dan dermawan.
Beliau sangat paham sekali bahwa sifat yang tepat untuk dijadikan dasar dalam
upaya menangani kondisi bangsa, Negara ataupun masyarakat secara umum adalah
sifat adil, bukan sikap dermawan. Karena sikap dermawan itu akan mengeluarkan
manusia dari karakter pribadinya, yaitu ingin dipenuhi haknya dan tidak ada
pengurangan sama sekali terhadap hak tersebut. Kalau memang karakteristik
manusia secara umum adalah demikian adanya, maka mengajak mereka untuk
berbondong-bondong meninggalkan karakteristiknya itu bukanlah hal yang mudah
atau bahkan bisa dikatakan sangat tidak logis. Walaupun andaikan hal itu bisa
direalisasikan, maka yang muncul adalah sebuah kehidupan bermasyarakat yang
sangat indah. Karena masing-masing manusianya rela untuk mengalah dan memberikan
haknya kepada yang lain.
Kisah
Imam Ali dengan si Yahudi di atas adalah contoh kongkrit pentingnya keadilan
dalam kehidupan bermasyarakat. Andaikan yang bermasalah adalah antara si hakim
dan Imam Ali—si hakim sebagai pemegang Dir’u dan Imam Ali sebagai
penggugat—bisa saja si hakim memberikan haknya kepada sang imam, sebagai bentuk
sikap dermawan. Akan tetapi ceritanya menjadi lain saat yang bermasalah adalah
antara sang imam dan si yahudi yang kemudian diajukan kepada hakim untuk meminta
peradilan. Kalau si hakim masih saja bersikap dermawan—karena dia memiliki hak
untuk menentukan hukum—dan menetapkan hukum tidak sesuai dengan porsinya yang
ada, bisa saja sang imam yang dimenangkan. Sebab sikap kedermawanan seseorang
itu cenderung untuk diberikan kepada orang yang mempunyai loyalitas dan
kedekatan dengan si derwamawan. Tetapi sang hakim dan sang imam pun memahami
bahwa keadilan adalah sikap yang paling tepat dan harus diaplikasikan dalam
kondisi yang demikian ini, karenanya saya tidak heran saat melihat keduanya
menerima dengan legowo keputusan yang berdasarkan pada aturan-aturan
yang benar.
Dalam
kesempatan lain, dalam salah satu khotbahnya, Imam Ali membuat uraian menarik
berkenaan dengan hak-hak sesama manusia. Beliau berkata: “Suatu hak adalah
sangat luas dalam uraiannya, akan tetapi sangat sempit dalam kesesuaian
tindakannya. Ia tidak menambahkan kepada seseorang kecuali bila ia juga
menambahkan terhadapnya pula. Dan hak tidak menambah terhadap seseorang kecuali
apabila dia menambah bagi ke (untungan) nya”. Ungkapan Imam Ali tersebut meneguhkan
apa yang saya tulis di atas, bahwa karakteristik dasar manusia itu adalah ingin
dipenuhi hak-haknya. Seorang manusia akan memenuhi hak orang lain, jikalau
orang lain itu memenuhi hak-haknya. Masyarakat akan memberikan loyalitas mereka
kepada pemimpinnya, jikalau para pemimpin itu memenuhi hak-hak dari
masyarakatnya. Begitu juga sebaliknya, seorang pemimpin pun akan memberikan
hak-hak masyarakatnya jika mereka memiliki loyalitas terhadap sang pemimpin.
Dari sini pulalah sebenarnya konsep kebebasan manusia (Hurriyyatul Insan)
dalam pandangan Islam dibangun.
Namun
sayang, nampaknya keadilan hukum sampai sekarang ini masih mengawang-awang di
atas langit sana dan nampak enggan untuk turun bersua dengan bumi Indonesia
kita tercinta ini. Ia masih menjadi barang mahal yang sulit untuk didapatkan
oleh rakyat jelata, seakan keadilan hanyalah barang mewah nan menawan yang
hanya bisa dimiliki oleh segelintir cukong-cukong dan orang-orang kaya saja. Ia
hanya menjadi sebuah tema kajian dan pembahasan yang menguap diruang hampa.
Atau paling banter, ia hanya dijadikan tema besar yang diusung oleh para
pendemo yang berkoar-koar dengan suara parau di depan kantor-kantor instansi
pemerintahan.
Memang
benar, bahwa keadilan hanya menjadi kajian yang menguap diruang hampa atau
terbang diterpa angin bersama serak paraunya suara para pendemo. Akan tetapi “Man
Lajja Walaj” (siapa yang selalu mengetuk pintu pasti akan memasukinya).
Jadi, beberapa kajian, demo dan juga tulisan sederhana ini merupakan upaya yang
kita lakukan untuk mengetuk hati para pemimpin kita agar menjadikan keadilan sebagai hiasan mereka
dalam bertindak dan mengambil keputusan yang bersifat umum. Hal ini karena
memang Islam mengajari umatnya untuk tidak bertindak putus asa dalam setiap
kondisi. Bukankah demikian?
0 komentar