Advertise 728x90

MERAJUT KEADILAN, BERGURU PADA IMAM ALI

Written By Unknown on Tuesday, November 11, 2014 | 6:18 PM



Diceritakan bahwa pada saat terjadi perang Khaibar, Dir’u—sebuah baju perang yang biasanya terbuat dari besi dan dijadikan pelindung tubuh saat perang—milik Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahu jatuh dari kudanya, dan entah bagaimana, akhirnya baju itu hilang tidak ditemukan lagi. Setelah dicari kesana kemari, ternyata beliau menemukan baju besi tersebut telah berada ditangan seorang lelaki Yahudi. Kemudian Imam Ali pun meminta kepada lelaki Yahudi tadi agar mengembalikan baju besi itu kepadanya, akan tetapi lelaki itu mengelak dan tidak mau mengembalikan baju itu kepada beliau lagi. Karena lelaki itu memiliki anggapan bahwa baju itu adalah miliknya sendiri.
Setelah terjadi saling adu argumen yang cukup melelahkan, maka mereka berdua pun meminta putusan kepada seorang Qadhi atau Hakim pada waktu itu—sedang Imam Ali Karramallahu Wajhahu sendiri pada waktu itu adalah seorang yang menjabat Amirul Mu’minin atau kepala negara. Sekali lagi, terjadi saling adu argumen yang cukup panjang dan melelahkan antara Imam Ali dan si Yahudi tersebut, hingga akhirnya sang Qadhi tadi meminta agar masing-masing dari keduanya menghadirkan saksi dari pihaknya sendiri-sendiri. Akan tetapi, Imam Ali tidak memiliki saksi atas kepemilikannya terhadap baju besi tersebut, kecuali anaknya sendiri, yaitu Al-Hasan. Setelah ditimbang-timbang, maka sang Qadhi tersebut berkata kepada Imam Ali: “Wahai Amirul Mu’minin, saya tahu dengan pasti bahwa anda adalah orang yang jujur, tapi anda tidak bisa mendatangkan seorang saksi sekalipun kecuali putra anda, sedang kesaksian dari putramu sendiri terhadap perkaramu ini tidaklah bisa diterima. Dan orang Yahudi ini adalah orang yang secara lahir telah memiliki dan memegang baju ini”.
Keputusan akhir dan final dari sang Qadhi tadi adalah memenangkan perkara ini untuk si Yahudi, hingga dapat dipastikan bahwa baju perang tersebut jatuh ke tangan si lelaki Yahudi tadi berdasarkan realitas dan kenyataan yang ada. Saat Imam Ali Karramallahu Wajhahu mendengar putusan itu, beliau menerimanya dengan lapang dada dan kemudian pergi. Nah, terheran-heran lelaki Yahudi tadi melihat proses pengambilan keputusan hukum bagi dirinya dan Imam Ali, terlebih saat ia melihat bagaimana keteguhan sang Qadhi dari kalangan muslim itu dalam memegang hukum, bahkan saat hukum itu harus berhadapan dengan pemimpinnya sendiri. Ditambah lagi dengan tindakan Imam Ali yang Gentle dan legowo dalam menerima hukum yang ditetapkan oleh Qadhi-nya, maka ia sangat terkesan dan berkata: “Aku bersaksi bahwa apa yang saya lihat ini adalah akhlak para Nabi. Dan tentunya agama yang membawa akhlak ini adalah agama yang benar. Aku pun bersaksi bahwa baju besi ini adalah milik Imam Ali. Aku juga bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah, sedang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alahi Wa Sallam adalah utusan Allah”.
*********
Sebagai agama yang sangat antipati terhadap sistem kasta dan kedholiman—dan bahkan berusaha untuk menghapusnya—Islam sangat menjunjung tinggi keadilan hukum. Keadilan mengalir dalam setiap denyut nadi ajaran-ajaran Islam yang sangat indah itu. Dan baginda Nabi adalah wujud nyata dari keadilan itu sendiri. Lalu dilanjutkan oleh para pengganti beliau (Khulafa Ar-Rasyidun), yang diantara mereka adalah Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, tokoh kita dalam kisah di atas.
Dalam berbagai kesempatan dan momen, Imam Ali sering sekali berbicara tentang keadilan, terlebih lagi tentang keadilan hukum. Bahkan menurut saya pribadi, Imam Ali bisa disebut sebagai peletak batu pertama konsep keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya setelah kanjeng Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam. Karenanya, sangat tepat dan layak jika kemudian baginda Nabi menyebut beliau sebagai pintunya ilmu (Babul Ilmi). Dan sekelumit kisah di atas merupakan bukti nyata tentang keadilan beliau.
Ada ungkapan menarik dari Imam Ali berkenaan tentang keadilan yang sangat perlu dikaji serta kita renungi. Pernah dalam satu kesempatan, Imam Ali mendapatkan pertanyaan seputar keadilan dan kedermawanan. Manakah diantara keduanya yang lebih baik dan lebih dahulu harus dilakukan. Imam Ali menjawab bahwa keadilan itu lebih baik dan harus terlebih dahulu dilakukan dari pada sikap dermawan.
Sepintas lalu, sebagian orang mempunyai anggapan bahwa sikap dermawan itu lebih baik dari sikap adil. Karena yang disebut dengan sikap adil adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Sementara sikap dermawan adalah saat seseorang berani mengalahkan haknya sendiri untuk diberikan kepada orang lain. Jadi sikap adil adalah saat seseorang menjaga hak-hak dirinya sendiri dan orang lain. Sedangkan dermawan adalah saat seseorang berani mengorbankan haknya sendiri untuk orang lain. Dari pengertian adil dan dermawan secara singkat tersebut, memang ada kesan bahwa anggapan sebagian orang di atas memang benar. Tapi apakah memang kenyataannya demikian? Lalu bagaimana dengan jawaban Imam Ali tersebut di atas?
Disinilah kita harus pandai-pandai memposisikan segala hal. Memang sikap dermawan—sebagaimana pengertian di atas—sangat baik, bahkan bisa dikatakan lebih baik dari sikap adil, akan tetapi perlu kita perhatikan juga bahwa kedermawanan itu baik jika bersangkutan dengan hal-hal yang sifatnya pribadi, bukan hal-hal yang bersifat umum dan kemasyarakatan. Coba saja sekarang kita renungkan bersama, kenapa Negara Indonesia ini mudah sekali dijajah oleh bangsa lain? Kenapa kekayaan bangsa kita ini mudah sekali dikeruk oleh Negara-negara asing? Analisa sederhana saya mengatakan bahwa bangsa kita ini terlalu baik, toleran dan dermawan terhadap Negara-negara asing tersebut. Sehingga sikap dermawan yang nampak sangat baik itu, bisa dengan mudahnya dimanfaatkan oleh bangsa lain. Sikap lemah lembut, beradab dan dermawan yang sering kita bangga-banggakan sebagai kelebihan dan budaya timur yang indah itu, sekarang telah berbalik menjadi seekor ular berbisa yang menelikung dan menggigit bangsa kita sendiri. Virus ganas nan mematikan telah menjalar ke seluruh persendian kehidupan bangsa kita ini. Dan akhirnya, bangsa kita sekarang ini menjadi bangsa yang bingung. Bingung apa yang harus mereka lakukan untuk mengobati virus mematikan tersebut. Bingung harus dari mana mereka memulai pengobatan terhadap penyakit kronis tersebut.
Untuk menemukan solusi atas problematika kebangsaan tersebut di atas, ada baiknya kita ikuti bagaimana Imam Ali memberikan sebuah penalaran logis kenapa beliau lebih mengutamakan keadilan dari pada kedermawanan. Beliau berkata: “Al-‘Adlu Sa’isun ‘Aamun Wal Juudu ‘Aaridhun Khossun” (keadilan adalah sebuah aturan yang bersifat umum, sedangkan dermawan adalah sebuah sikap yang bersifat khusus). Dari ungkapan singkat tersebut, Imam Ali seakan ingin mengajak kita untuk lebih memahami dan menyelami kembali karakteristik sebuah sikap yang terpuji dan karakteristik para pelaku sikap tersebut. Tidak semua sikap yang baik dan terpuji itu menjadi baik dan terpuji saat diaplikasikan oleh orang tertentu dan dalam konteks tertentu.
Imam Ali telah benar-benar memahami karakter masing-masing dari sifat adil dan dermawan. Beliau sangat paham sekali bahwa sifat yang tepat untuk dijadikan dasar dalam upaya menangani kondisi bangsa, Negara ataupun masyarakat secara umum adalah sifat adil, bukan sikap dermawan. Karena sikap dermawan itu akan mengeluarkan manusia dari karakter pribadinya, yaitu ingin dipenuhi haknya dan tidak ada pengurangan sama sekali terhadap hak tersebut. Kalau memang karakteristik manusia secara umum adalah demikian adanya, maka mengajak mereka untuk berbondong-bondong meninggalkan karakteristiknya itu bukanlah hal yang mudah atau bahkan bisa dikatakan sangat tidak logis. Walaupun andaikan hal itu bisa direalisasikan, maka yang muncul adalah sebuah kehidupan bermasyarakat yang sangat indah. Karena masing-masing manusianya rela untuk mengalah dan memberikan haknya kepada yang lain.
Kisah Imam Ali dengan si Yahudi di atas adalah contoh kongkrit pentingnya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Andaikan yang bermasalah adalah antara si hakim dan Imam Ali—si hakim sebagai pemegang Dir’u dan Imam Ali sebagai penggugat—bisa saja si hakim memberikan haknya kepada sang imam, sebagai bentuk sikap dermawan. Akan tetapi ceritanya menjadi lain saat yang bermasalah adalah antara sang imam dan si yahudi yang kemudian diajukan kepada hakim untuk meminta peradilan. Kalau si hakim masih saja bersikap dermawan—karena dia memiliki hak untuk menentukan hukum—dan menetapkan hukum tidak sesuai dengan porsinya yang ada, bisa saja sang imam yang dimenangkan. Sebab sikap kedermawanan seseorang itu cenderung untuk diberikan kepada orang yang mempunyai loyalitas dan kedekatan dengan si derwamawan. Tetapi sang hakim dan sang imam pun memahami bahwa keadilan adalah sikap yang paling tepat dan harus diaplikasikan dalam kondisi yang demikian ini, karenanya saya tidak heran saat melihat keduanya menerima dengan legowo keputusan yang berdasarkan pada aturan-aturan yang benar.
Dalam kesempatan lain, dalam salah satu khotbahnya, Imam Ali membuat uraian menarik berkenaan dengan hak-hak sesama manusia. Beliau berkata: “Suatu hak adalah sangat luas dalam uraiannya, akan tetapi sangat sempit dalam kesesuaian tindakannya. Ia tidak menambahkan kepada seseorang kecuali bila ia juga menambahkan terhadapnya pula. Dan hak tidak menambah terhadap seseorang kecuali apabila dia menambah bagi ke (untungan) nya”. Ungkapan Imam Ali tersebut meneguhkan apa yang saya tulis di atas, bahwa karakteristik dasar manusia itu adalah ingin dipenuhi hak-haknya. Seorang manusia akan memenuhi hak orang lain, jikalau orang lain itu memenuhi hak-haknya. Masyarakat akan memberikan loyalitas mereka kepada pemimpinnya, jikalau para pemimpin itu memenuhi hak-hak dari masyarakatnya. Begitu juga sebaliknya, seorang pemimpin pun akan memberikan hak-hak masyarakatnya jika mereka memiliki loyalitas terhadap sang pemimpin. Dari sini pulalah sebenarnya konsep kebebasan manusia (Hurriyyatul Insan) dalam pandangan Islam dibangun.
Namun sayang, nampaknya keadilan hukum sampai sekarang ini masih mengawang-awang di atas langit sana dan nampak enggan untuk turun bersua dengan bumi Indonesia kita tercinta ini. Ia masih menjadi barang mahal yang sulit untuk didapatkan oleh rakyat jelata, seakan keadilan hanyalah barang mewah nan menawan yang hanya bisa dimiliki oleh segelintir cukong-cukong dan orang-orang kaya saja. Ia hanya menjadi sebuah tema kajian dan pembahasan yang menguap diruang hampa. Atau paling banter, ia hanya dijadikan tema besar yang diusung oleh para pendemo yang berkoar-koar dengan suara parau di depan kantor-kantor instansi pemerintahan.
Memang benar, bahwa keadilan hanya menjadi kajian yang menguap diruang hampa atau terbang diterpa angin bersama serak paraunya suara para pendemo. Akan tetapi “Man Lajja Walaj” (siapa yang selalu mengetuk pintu pasti akan memasukinya). Jadi, beberapa kajian, demo dan juga tulisan sederhana ini merupakan upaya yang kita lakukan untuk mengetuk hati para pemimpin kita agar  menjadikan keadilan sebagai hiasan mereka dalam bertindak dan mengambil keputusan yang bersifat umum. Hal ini karena memang Islam mengajari umatnya untuk tidak bertindak putus asa dalam setiap kondisi. Bukankah demikian?
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger