Dalam ilmu
hadis kita mengenal istilah hadis Musalsal, yakni hadis-hadis yang saat
meriwayatkannya para rowi menampilkan sebuah tingkah tertentu—semisal dengan memegang jenggot—atau dengan redaksi tertentu—semisal aku mencintaimu, sebagaimana hadis riwayat Mu’adz—atau yang lain. Masing-masing dari setiap rowi akan menirukan tingkah laku, ucapan ataupun mungkin pakaian yang dipakai oleh para rowi sebelumnya, dan begitu seterusnya. Itulah kurang lebih dari definisi hadis Musalsal.
meriwayatkannya para rowi menampilkan sebuah tingkah tertentu—semisal dengan memegang jenggot—atau dengan redaksi tertentu—semisal aku mencintaimu, sebagaimana hadis riwayat Mu’adz—atau yang lain. Masing-masing dari setiap rowi akan menirukan tingkah laku, ucapan ataupun mungkin pakaian yang dipakai oleh para rowi sebelumnya, dan begitu seterusnya. Itulah kurang lebih dari definisi hadis Musalsal.
Ada banyak
musalsal yang kita temukan dalam tradisi dan dunia ilmu hadis, ada Musalsal
Bil Mahabbah, disebut dengan demikian karena sebelum meriwayatkan hadis,
setiap rowi selalu mengatakan: “Ana Uhibbuka”, saya mencintaimu. Ada juga
Musalsal Bi Qabdhi-L-Lihyah, disebut demikian karena setiap rowi
saat meriwayatkan hadis selalu dengan memegang jenggotnya. Dan masih banyak
lagi varian hadis Musalsal yang tentunya akan sangat panjang jika diriwayatkan
disini.
Dalam satu
kesempatan, gurunda Mbah Kiai Maemoen Zubair pernah dawuhan bahwa beliau pun
mempunyai riwayat musalsal yang unik dan banyak. Di antaranya adalah Musalsal
Bil Mu’ammarin, disebut dengan demikian karena setiap rowi dari hadis
tersebut telah mencapai usia yang panjang dan melebihi umumnya usia umat Muhammad.
Kalau usia umumnya umat Muhammad adalah 63 tahun—sebagaimana umur dari baginda
nabi Muhammad sendiri—maka para perowi hadis tersebut sudah berumur 80-an lebih
atau bahkan pada umumnya mereka sudah berumur 100 tahun lebih. Salah satu
contohnya adalah Syaikh Umar Jam’an Tangerang yang mendapat predikat Al-Mu’ammar.
Beliau meriwayatkan dari gurunya, Syaikh Nawawi Bin Umar Al-Bantani—bapak kitab
kuning Nusantara—yang juga mendapatkan predikat Al-Mu’ammar. Nah,
sekarang ini mbah maemoen yang sudah berusia lebih dari 80 tahun, kiranya juga
sudah mendapatkan predikat Al-Mu’ammar. Begitu juga dahulu kakek beliau,
Kiai Ahmad Bin Syu’aib—yang merupakan salah satu murid dari Kiai Hasyim Asy’ari—juga
berumur panjang, tentunya beliau bisa juga mendapatkan predikat Al-Mu’ammar.
Ada sebuah
kisah unik dan menarik berkenaan dengan hadis Musalsal ini. Seperti hari-hari
biasanya, Al-Hafidz Sidi Ahmad Bin Shiddiq Al-Ghummary selalu melakukan ta’lim
hadis di Zawiyah Ghummariyah. Biasanya beliau meng-Imla’-kan hadis sementara
para santri mencatat apa saja yang keluar dari mulut beliau. begitulah tradisi
ulama dulu dalam kegiatan belajar dan mengajar. Mereka tidak mengenal Iped,
notebook dan yang lain, akan tetapi semangat mereka dalam meraih ilmu selalu
berapi-api. Namun kali ada yang menarik dan aneh dari sanad hadis yang beliau
riwayatkan. Beliau berkata:
حدثنا
الأعمش عن الأعرج عن الأصم عن الزمن
“Al-A’masy (orang yang sakit pandangan
matanya) bercerita kepada kami dari Al-A’roj (orang yang pincang salah satu kakinya)
dari Al-Ashom (orang yang tuli) dari Az-Zamin (orang yang lumpuh)”.
Saat mendengar
sanad dan hadisnya selesai dibacakan sampai akhir, ada salah satu santri yang
cerdik bertanya sambil mengacungkan jari telunjuk:
“Ya Sidi…di Rumah
Sakit manakah anda meriwayatkan hadis ini?”
Kontan saja
seluruh yang hadir tersenyum dan tertawa mendengarkan pertanyaan yang sangat lucu
dan unik ini. Entah karena si penanya yang memang kurang tau dengan istilah di
atas atau memang sengaja ingin membuat suasan jadi ger-geran, tapi yang
jelas hadis riwayat Al-Hafidz Ahmad Al-Ghummary di atas juga termasuk dalam
hadis Musalsal Bil Mardho, yakni hadis yang kesemua rowinya
adalah orang-orang yang sakit. Rasa-rasanya kangen dengan humor ilmiah yang
demikian ini.
0 komentar