Istilah atau terma adalah sebuah
kata yang disepakati oleh komunitas tertentu guna menunjukkan sebuah makna yang
tertentu pula. Masing-masing komunitas memiliki istilahnya sendiri untuk
menunjukkan segala sesuatu yang mereka kehendaki. Dan sangat sering sekali
terjadi perseteruan atau bahkan bentrokan antara satu orang dan yang lain atau
satu kelompok dan lainnya hanya gara-gara salah paham dalam memahami makna dari istilah itu sendiri.
Pesantren
sebagai sebuah tempat berkumpulnya komunitas santri pun memiliki dan
mengembangkan istilahnya sendiri, dan istilah-istilah pesantren sering kali disalah
pahami oleh komunitas lain diluar bilik-bilik pesantren. Bahkan tak jarang pula
munculnya bermacam-macam stigma miring tentang pesantren ini juga karena
kegagalan masyarakat umum dalam memahami istilah-istilah yang berkembang dalam
dunia pesantren.
Salah
satu istilah pesantren yang paling populer dan sampai sekarang masih sering
saya dengar adalah istilah kitab kuning. Secara umum, kalangan pesantren
memahami bahwa istilah kitab kuning digunakan karena memang kitab-kitab
tersebut dicetak pada kertas yang berwarna kuning, walaupun sekarang ini tidak
sedikit pula kitab-kitab yang sudah dicetak dengan menggunakan kertas berwarna
putih. Namun, nampaknya Mbah Kiai Maemoen Zubair mempunyai pengertian dan
pemahaman lain terhadap penyematan istilah kitab kuning tersebut.
Setidaknya, selama saya masih di
pesantren dulu, saya menemukan bahwa Mbah Moen—panggilan akrab Kiai Maemoen
Zubair—dalam masalah ini mempunyai dua pendapat (Qoul), pendapat beliau
yang dulu (Qodim) dan pendapat beliau yang terakhir (Jadid). Walaupun
pada dasarnya kedua pendapat (Qaulani) beliau tersebut mempunyai satu
muara saja, yakni jangan sampai ada penghinaan terhadap kitab-kitab yang
merupakan buah karya para ulama-ulama terdahulu.
Qaul Mbah Maemoen yang pertama
adalah beliau melarang penggunaan istilah “Kitab Kuning” untuk menyebut
kitab-kitab karya ulama klasik yang selama ini dijadikan rujukan dan mata
pelajaran di pesantren tradisional. Kenapa demikian? Hal ini tidak lebih karena
beliau mempunyai dugaan (Dzon)—dan memang dalam masalah ijtihad, dugaan
(Dzon) saja sudah bisa dijadikan pertimbangan—bahwa penyebutan kitab
kuning mempunyai tujuan untuk menghina karya-karya para ulama klasik, sekaligus
juga penghinaan terhadap kaum santri sebagai penerus tradisi ke-Ulama-an di
Indonesia. Memang sampai sekarang ini saya
sendiri masih menelusuri dan mencari siapa sebenarnya orang yang memunculkan
istilah kitab kuning. Apakah memang benar ada sekelompok orientalis yang
sengaja memunculkan istilah tersebut guna menghina pesantren dan ulama? Akan tetapi
data sementara yang bisa saya temukan menyatakan bahwa orientalis seperti
martin van bruinessen pun menyebut istilah kitab kuning karena kertasnya yang
kuning, bukan karena menghina.
Saya
mendapatkan sebuah cerita yang diriwayatkan oleh teman saya, KH. Syarafuddin
Ahmad, Lasem, bahwa Mbah Moen pernah dawuhan:
لأن
أزني مرة واحدة أحب إلي من أن أقول كتاب كونيغ
“Saya lebih suka melakukan zina sekali, dari pada harus
mengatakan kitab kuning”
Dawuh Mbah Moen
tersebut, sepintas lalu memang terkesan ekstrim dan terlalu fanatik, akan
tetapi bagi orang yang memahami kemana arah ungkapan Mbah Moen dank arena apa,
pastinya akan sangat maklum atau bahkan bisa menerima. Zina memang dosa, dan
bahkan termasuk salah satu dosa besar. Akan tetapi menyebut kitab kuning dengan
tujuan menghina para ulama dan karya-karyanya pun adalah dosa besar, bahkan
bisa menjadikan seseorang keluar dari Islam, karena menghina para ulama adalah
penghinaan terhadap sesuatu yang merupakan syiar Islam. Sedang penghinaan
terhadap syiar-syiar Islam bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Na’udzu
billah. Jadi menurut pemahaman Mbah Moen—dan saya kira juga pemahaman
kebanyakan ulama—dosa menyebut kitab kuning (karena tujuan menghina) itu lebih
berat sanksi teologisnya dari pada berzina.
Adapun pelarangan beliau terhadap
penggunaan istilah “kitab kuning” adalah berdasar ayat Al-Qur’an yang
berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا [البقرة/104]
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah berkata (kepada Muhammad),
"Râ`inâ", tetapi, katakanlah, "Unzhurnâ”
Berkenaan
dengan ayat di atas, Imam Al-Baidhowi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa dulu
para sahabat selalu mengatakan kepada baginda Nabi Muhammad: “Ro’ina”
yang berarti perhatikan dan pelan-pelanlah dalam menyampaikan apa saja kepada
kami. Akan tetapi kebiasaan para sahabat ini dimanfaatkan oleh orang-orang
Yahudi untuk menghina dan mencela baginda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi
Wa Sallam. Mereka pun memanggil baginda Nabi dengan kata-kata: “Ro’ina”,
akan tetapi makna yang mereka kehendaki ini berbeda dengan apa yang dikehendaki
oleh para sahabat. Kata “Ro’ina” menurut mereka di ambil dari kata “Ru’unah”
yang berarti dungu. Atau menurut penjelasan imam al-baidhawi sendiri, kata “Ro’ina”
yang diucapkan oleh orang-orang yahudi tersebut bisa saja berasal dari bahasa
ibrani yang bermakna cacian dan celaan. Walhasil, intinya orang-orang yahudi
mengucapkan kata-kata tersebut guna menghina dan mencela baginda Nabi Muhammad Shollallahu
Alaihi Wa Sallam.
Oleh
karena tingkah laku orang yahudi tersebut, turunlah ayat ke-104 dari surat
Al-Baqoroh yang intinya melarang para sahabat untuk memanggil baginda nabi
dengan kata “Ro’ina” dan menggantinya dengan kata “Undzurna” yang
berarti pelan-pelanlah wahai baginda nabi dalam mengajari kami. Nah, berangkat
dari ayat di atas, Mbah Moen melakukan analogi (Qiyas) antara kasus
penyebutan “kitab kuning” dan penyebutan kata “Ro’ina”.
Dengan melihat
dan mempertimbangkan Asbab Nuzul ayat yang dituturkan oleh para sarjana
tafsir—diantaranya adalah Al-Baidhawi sebagaimana tersebut di atas—Mbah Moen
menyimpulkan bahwa Illat (alasan) dilarangnya para sahabat menyebut kata
“Ro’ina” adalah karena adanya unsur penghinaan kepada baginda Nabi dalam
kata tersebut. Begitu juga dengan kata “Kitab Kuning” yang menurut
beliau juga mempunyai unsur penghinaan terhadap salah satu Syi’ar Islam, dalam
hal ini adalah ulama dan karya-karyanya, karenanya beliau dengan tegas juga
melarang penggunaan istilah kitab kuning. Disamping ini merupakan satu bentuk Saddu
Dzari’ah, yakni menutup potensi munculnya penghinaan terhadap ulama dan
karya mereka. Sebagai solusinya, beliau menawarkan istilah Kitab Salaf
sebagai ganti.
Qaul
kedua Mbah Maemoen adalah beliau memperbolehkan penyebutan istilah kitab kuning, asalkan tidak ada maksud dan
tujuan untuk menghina kitab-kitab karya para ulama klasik tersebut. Pendapat
kedua Mbah Moen ini pertama kali saya dengar saat beliau menyampaikan Mauidzoh
dalam acara perayaan 1000 hari dari umur beliau, sekitar tahun 1432 H yang lalu.
Dan yang unik, dalam mauidzohnya tersebut, Mbah Moen memberikan sebuah
pemaknaan yang menurut saya bisa dikatakan baru dalam memahami istilah “kitab
kuning”. Entah bagaimana menurut yang lain, mungkin saja sudah mengetahui atau
menemukannya terlebih dahulu.
Dalam
mauidzohnya tersebut, Mbah Moen mengatakan bahwa kata “kuning” dalam bahasa
arab sepadan dengan kata “Ashfar”. Kata “Ashfar” ini berakar dari
kata “Shifr” yang berarti kosong. Lalu beliau melanjutkan bahwa kosong
ini bisa bermakna memang “kitab kuning” kosong tanpa makna dan Syakl,
sehingga yang mampu untuk membaca sekaligus memahaminya hanyalah orang-orang
yang memiliki kemampuan yang baik dalam Grammer Arab. Karenanya ada istilah
lain yang sesuai dengan pemaknaan yang pertama ini, yaitu istilah Kitab
Gundul. Tetapi disamping pemaknaan yang demikian, beliau mempunyai tafsiran
lain terhadap kata “Shifr” yang berarti kosong tersebut. Mbah Moen
menyatakan bahwa makna dari kosong disini adalah bahwa setiap orang yang hendak
mendalami “kitab kuning” dan mempunyai harapan untuk bisa mereguk kesejukan
serta merasakan keindahannya, maka haruslah dia mengosongkan jiwanya dari segala
macam kesenangan duniawi.
Sepanjang
pemahaman saya, pemaknaan kata “kitab kuning” yang sedemikian rupa oleh Mbah
Moen tersebut berdasarkan pada ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi:
قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا
بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ [البقرة/69]
“Musa
menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang berwarna kuning tua (merata) lagi menyenangkan orang-orang yang
memandangnya”.
Menurut
Mbah Moen—sebagaimana yang saya dengar dan saya pahami—kata “Baqoroh”
pada ayat di atas adalah sebuah isyarat untuk dunia. Saya sendiri tidak tahu
secara pasti, dari mana Mbah Moen bisa menafsirkan bahwa “Baqoroh”
adalah isyarat dunia, akan tetapi saya pribadi mempunyai dugaan—hanya sebatas
dugaan—bahwa Mbah Moen menafsirkan demikian berdasar tradisi orang arab yang
mau tidak mau juga menjadi latar belakang teks-teks suci Al-Qur’an maupun
hadis. Pandangan orang arab dahulu secara umum adalah bahwa seseorang dikatakan
memiliki dunia, saat ia memiliki Al-An’am, yang berupa onta, sapi dan
kambing. Berangkat dari sinilah akhirnya beliau menafsirkan kata “Baqoroh”
dalam ayat tersebut dengan dunia. Sehingga kalau kata Baqoroh dihubungkan
dengan kata “Shofro’” yang berarti kuning atau lebih tepatnya kosong,
maka hal itu memunculkan kesimpulan bahwa inti dari pengorbanan Bani Israil
adalah mengosongkan kesenangan dunia dari diri dan jiwa mereka. Saat nabi musa
menyuruh mereka untuk menyembelih sapi dengan kreteria yang sedemikian rupa,
maka sebenarnya mereka disuruh untuk menyembelih kesenangan dunia (Hubbud
Dunya) yang bercokol kuat dalam diri mereka.
Mungkin
ada yang menuduh bahwa yang Mbah Moen lakukan ini adalah tafsir Utak Atik
Mathuk, ya silahkan saja dan tuduhan yang demikian itu sah-sah saja bagi
saya. Karena bagaimanapun sebuah wacana dan kajian ilmiah itu adalah hal yang
sah-sah saja untuk dibela dan dikritik, asal pembelaan dan kritik tersebut
dilakukan secara ilmiah pula. Menurut pendapat saya pribadi, praktek
interpretasi yang dilakukan oleh Mbah Moen masuk dalam kategori Tafsir
Isyari yang banyak dilakukan oleh para kaum sufi, sebut saja Tafsir Lathoiful
Isyarat-nya Al-Imam Al-Qusyairi sebagai contoh konkritnya. Memang Mbah Moen
sendiri tidak pernah—atau setidaknya saya sendiri belum pernah
mendengar—menyebutkan bahwa beliau menggunakan metode tafsir isyari atau beliau
menganut teori tafsir tertentu. Tapi setidaknya sebagai santri yang memiliki
guru seorang mufassir, hendaknya kita pun harus berusaha untuk meneliti serta
mengkaji tafsir, metodologi yang dipakai dan tentunya mau dibawa kemana arah
tafsiran tersebut.
Setelah
Mbah Moen menafsirkan ayat di atas tersebut, barulah beliau menghubungkan makna
kuning yang berada pada kata “Baqoroh” dengan makna kuning yang menjadi
istilah kitab kuning. Jadi yang dimaksud dengan kitab kuning versi Mbah Moen
adalah kitab yang mengajak para pembacanya untuk mengosongkan jiwa dan hati
mereka dari segala kesenangan dan nafsu duniawi. Atau bisa juga diartikan bahwa
kitab kuning adalah kitab yang maknanya bisa dibaca, dipahami serta dirasakan
secara mendalam hanya oleh orang-orang yang hatinya telah kosong dari segala
bentuk kesenangan duniawi. Merekalah yang disebut dengan ulama.
Walhasil,
dari pembacaan dan kajian panjang di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa dalam
menanggapi istilah “kitab kuning”, Mbah Maemoen memiliki dua pendapat (Qaulani),
pendapat dulu (Qadim) dan
sekarang (Jaded). Pendapat Qadim beliau adalah melarang secara
mutlak atas istilah kitab kuning. Sedang pendapat Jadid beliau adalah
diperbolehkannya penggunaan istilah kitab kuning selama tidak ada niat dan
unsur menghina para ulama dan karya-karya mereka. Jikalau hal ini saya
analogikan dengan pendapat Imam As-Syafi’i yang terbagi menjadi dua pula, Qadim
dan Jadid, maka saya bisa menyimpulkan bahwa pendapat Mbah Moen kedualah
yang lebih tepat dan cocok untuk kita pakai sekarang. Wallahu A’lam Bis
Showab.
0 komentar