Advertise 728x90

Mbah Maemoen Dan Kitab Kuning

Written By Unknown on Saturday, November 15, 2014 | 10:24 PM



Istilah atau terma adalah sebuah kata yang disepakati oleh komunitas tertentu guna menunjukkan sebuah makna yang tertentu pula. Masing-masing komunitas memiliki istilahnya sendiri untuk menunjukkan segala sesuatu yang mereka kehendaki. Dan sangat sering sekali terjadi perseteruan atau bahkan bentrokan antara satu orang dan yang lain atau satu kelompok dan lainnya hanya gara-gara salah paham dalam memahami  makna dari istilah itu sendiri.

            Pesantren sebagai sebuah tempat berkumpulnya komunitas santri pun memiliki dan mengembangkan istilahnya sendiri, dan istilah-istilah pesantren sering kali disalah pahami oleh komunitas lain diluar bilik-bilik pesantren. Bahkan tak jarang pula munculnya bermacam-macam stigma miring tentang pesantren ini juga karena kegagalan masyarakat umum dalam memahami istilah-istilah yang berkembang dalam dunia pesantren.

            Salah satu istilah pesantren yang paling populer dan sampai sekarang masih sering saya dengar adalah istilah kitab kuning. Secara umum, kalangan pesantren memahami bahwa istilah kitab kuning digunakan karena memang kitab-kitab tersebut dicetak pada kertas yang berwarna kuning, walaupun sekarang ini tidak sedikit pula kitab-kitab yang sudah dicetak dengan menggunakan kertas berwarna putih. Namun, nampaknya Mbah Kiai Maemoen Zubair mempunyai pengertian dan pemahaman lain terhadap penyematan istilah kitab kuning tersebut.

            Setidaknya, selama saya masih di pesantren dulu, saya menemukan bahwa Mbah Moen—panggilan akrab Kiai Maemoen Zubair—dalam masalah ini mempunyai dua pendapat (Qoul), pendapat beliau yang dulu (Qodim) dan pendapat beliau yang terakhir (Jadid). Walaupun pada dasarnya kedua pendapat (Qaulani) beliau tersebut mempunyai satu muara saja, yakni jangan sampai ada penghinaan terhadap kitab-kitab yang merupakan buah karya para ulama-ulama terdahulu.

            Qaul Mbah Maemoen yang pertama adalah beliau melarang penggunaan istilah “Kitab Kuning” untuk menyebut kitab-kitab karya ulama klasik yang selama ini dijadikan rujukan dan mata pelajaran di pesantren tradisional. Kenapa demikian? Hal ini tidak lebih karena beliau mempunyai dugaan (Dzon)—dan memang dalam masalah ijtihad, dugaan (Dzon) saja sudah bisa dijadikan pertimbangan—bahwa penyebutan kitab kuning mempunyai tujuan untuk menghina karya-karya para ulama klasik, sekaligus juga penghinaan terhadap kaum santri sebagai penerus tradisi ke-Ulama-an di Indonesia.  Memang sampai sekarang ini saya sendiri masih menelusuri dan mencari siapa sebenarnya orang yang memunculkan istilah kitab kuning. Apakah memang benar ada sekelompok orientalis yang sengaja memunculkan istilah tersebut guna menghina pesantren dan ulama? Akan tetapi data sementara yang bisa saya temukan menyatakan bahwa orientalis seperti martin van bruinessen pun menyebut istilah kitab kuning karena kertasnya yang kuning, bukan karena menghina.
Saya mendapatkan sebuah cerita yang diriwayatkan oleh teman saya, KH. Syarafuddin Ahmad, Lasem, bahwa Mbah Moen pernah dawuhan:
لأن أزني مرة واحدة أحب إلي من أن أقول كتاب كونيغ
Saya lebih suka melakukan zina sekali, dari pada harus mengatakan kitab kuning

Dawuh Mbah Moen tersebut, sepintas lalu memang terkesan ekstrim dan terlalu fanatik, akan tetapi bagi orang yang memahami kemana arah ungkapan Mbah Moen dank arena apa, pastinya akan sangat maklum atau bahkan bisa menerima. Zina memang dosa, dan bahkan termasuk salah satu dosa besar. Akan tetapi menyebut kitab kuning dengan tujuan menghina para ulama dan karya-karyanya pun adalah dosa besar, bahkan bisa menjadikan seseorang keluar dari Islam, karena menghina para ulama adalah penghinaan terhadap sesuatu yang merupakan syiar Islam. Sedang penghinaan terhadap syiar-syiar Islam bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Na’udzu billah. Jadi menurut pemahaman Mbah Moen—dan saya kira juga pemahaman kebanyakan ulama—dosa menyebut kitab kuning (karena tujuan menghina) itu lebih berat sanksi teologisnya dari pada berzina.

            Adapun pelarangan beliau terhadap penggunaan istilah “kitab kuning” adalah berdasar ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا  [البقرة/104]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah berkata (kepada Muhammad), "Râ`inâ", tetapi, katakanlah, "Unzhurnâ

Berkenaan dengan ayat di atas, Imam Al-Baidhowi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa dulu para sahabat selalu mengatakan kepada baginda Nabi Muhammad: “Ro’ina” yang berarti perhatikan dan pelan-pelanlah dalam menyampaikan apa saja kepada kami. Akan tetapi kebiasaan para sahabat ini dimanfaatkan oleh orang-orang Yahudi untuk menghina dan mencela baginda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam. Mereka pun memanggil baginda Nabi dengan kata-kata: “Ro’ina”, akan tetapi makna yang mereka kehendaki ini berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh para sahabat. Kata “Ro’ina” menurut mereka di ambil dari kata “Ru’unah” yang berarti dungu. Atau menurut penjelasan imam al-baidhawi sendiri, kata “Ro’ina” yang diucapkan oleh orang-orang yahudi tersebut bisa saja berasal dari bahasa ibrani yang bermakna cacian dan celaan. Walhasil, intinya orang-orang yahudi mengucapkan kata-kata tersebut guna menghina dan mencela baginda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.

Oleh karena tingkah laku orang yahudi tersebut, turunlah ayat ke-104 dari surat Al-Baqoroh yang intinya melarang para sahabat untuk memanggil baginda nabi dengan kata “Ro’ina” dan menggantinya dengan kata “Undzurna” yang berarti pelan-pelanlah wahai baginda nabi dalam mengajari kami. Nah, berangkat dari ayat di atas, Mbah Moen melakukan analogi (Qiyas) antara kasus penyebutan “kitab kuning” dan penyebutan kata “Ro’ina”. 

Dengan melihat dan mempertimbangkan Asbab Nuzul ayat yang dituturkan oleh para sarjana tafsir—diantaranya adalah Al-Baidhawi sebagaimana tersebut di atas—Mbah Moen menyimpulkan bahwa Illat (alasan) dilarangnya para sahabat menyebut kata “Ro’ina” adalah karena adanya unsur penghinaan kepada baginda Nabi dalam kata tersebut. Begitu juga dengan kata “Kitab Kuning” yang menurut beliau juga mempunyai unsur penghinaan terhadap salah satu Syi’ar Islam, dalam hal ini adalah ulama dan karya-karyanya, karenanya beliau dengan tegas juga melarang penggunaan istilah kitab kuning. Disamping ini merupakan satu bentuk Saddu Dzari’ah, yakni menutup potensi munculnya penghinaan terhadap ulama dan karya mereka. Sebagai solusinya, beliau menawarkan istilah Kitab Salaf sebagai ganti.

Qaul kedua Mbah Maemoen adalah beliau memperbolehkan penyebutan istilah  kitab kuning, asalkan tidak ada maksud dan tujuan untuk menghina kitab-kitab karya para ulama klasik tersebut. Pendapat kedua Mbah Moen ini pertama kali saya dengar saat beliau menyampaikan Mauidzoh dalam acara perayaan 1000 hari dari umur beliau, sekitar tahun 1432 H yang lalu. Dan yang unik, dalam mauidzohnya tersebut, Mbah Moen memberikan sebuah pemaknaan yang menurut saya bisa dikatakan baru dalam memahami istilah “kitab kuning”. Entah bagaimana menurut yang lain, mungkin saja sudah mengetahui atau menemukannya terlebih dahulu.

Dalam mauidzohnya tersebut, Mbah Moen mengatakan bahwa kata “kuning” dalam bahasa arab sepadan dengan kata “Ashfar”. Kata “Ashfar” ini berakar dari kata “Shifr” yang berarti kosong. Lalu beliau melanjutkan bahwa kosong ini bisa bermakna memang “kitab kuning” kosong tanpa makna dan Syakl, sehingga yang mampu untuk membaca sekaligus memahaminya hanyalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang baik dalam Grammer Arab. Karenanya ada istilah lain yang sesuai dengan pemaknaan yang pertama ini, yaitu istilah Kitab Gundul. Tetapi disamping pemaknaan yang demikian, beliau mempunyai tafsiran lain terhadap kata “Shifr” yang berarti kosong tersebut. Mbah Moen menyatakan bahwa makna dari kosong disini adalah bahwa setiap orang yang hendak mendalami “kitab kuning” dan mempunyai harapan untuk bisa mereguk kesejukan serta merasakan keindahannya, maka haruslah dia mengosongkan jiwanya dari segala macam kesenangan duniawi.
Sepanjang pemahaman saya, pemaknaan kata “kitab kuning” yang sedemikian rupa oleh Mbah Moen tersebut berdasarkan pada ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi:

قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ  [البقرة/69]
Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang berwarna kuning tua (merata) lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya”.

Menurut Mbah Moen—sebagaimana yang saya dengar dan saya pahami—kata “Baqoroh” pada ayat di atas adalah sebuah isyarat untuk dunia. Saya sendiri tidak tahu secara pasti, dari mana Mbah Moen bisa menafsirkan bahwa “Baqoroh” adalah isyarat dunia, akan tetapi saya pribadi mempunyai dugaan—hanya sebatas dugaan—bahwa Mbah Moen menafsirkan demikian berdasar tradisi orang arab yang mau tidak mau juga menjadi latar belakang teks-teks suci Al-Qur’an maupun hadis. Pandangan orang arab dahulu secara umum adalah bahwa seseorang dikatakan memiliki dunia, saat ia memiliki Al-An’am, yang berupa onta, sapi dan kambing. Berangkat dari sinilah akhirnya beliau menafsirkan kata “Baqoroh” dalam ayat tersebut dengan dunia. Sehingga kalau kata Baqoroh dihubungkan dengan kata “Shofro’” yang berarti kuning atau lebih tepatnya kosong, maka hal itu memunculkan kesimpulan bahwa inti dari pengorbanan Bani Israil adalah mengosongkan kesenangan dunia dari diri dan jiwa mereka. Saat nabi musa menyuruh mereka untuk menyembelih sapi dengan kreteria yang sedemikian rupa, maka sebenarnya mereka disuruh untuk menyembelih kesenangan dunia (Hubbud Dunya) yang bercokol kuat dalam diri mereka.

Mungkin ada yang menuduh bahwa yang Mbah Moen lakukan ini adalah tafsir Utak Atik Mathuk, ya silahkan saja dan tuduhan yang demikian itu sah-sah saja bagi saya. Karena bagaimanapun sebuah wacana dan kajian ilmiah itu adalah hal yang sah-sah saja untuk dibela dan dikritik, asal pembelaan dan kritik tersebut dilakukan secara ilmiah pula. Menurut pendapat saya pribadi, praktek interpretasi yang dilakukan oleh Mbah Moen masuk dalam kategori Tafsir Isyari yang banyak dilakukan oleh para kaum sufi, sebut saja Tafsir Lathoiful Isyarat-nya Al-Imam Al-Qusyairi sebagai contoh konkritnya. Memang Mbah Moen sendiri tidak pernah—atau setidaknya saya sendiri belum pernah mendengar—menyebutkan bahwa beliau menggunakan metode tafsir isyari atau beliau menganut teori tafsir tertentu. Tapi setidaknya sebagai santri yang memiliki guru seorang mufassir, hendaknya kita pun harus berusaha untuk meneliti serta mengkaji tafsir, metodologi yang dipakai dan tentunya mau dibawa kemana arah tafsiran tersebut.

Setelah Mbah Moen menafsirkan ayat di atas tersebut, barulah beliau menghubungkan makna kuning yang berada pada kata “Baqoroh” dengan makna kuning yang menjadi istilah kitab kuning. Jadi yang dimaksud dengan kitab kuning versi Mbah Moen adalah kitab yang mengajak para pembacanya untuk mengosongkan jiwa dan hati mereka dari segala kesenangan dan nafsu duniawi. Atau bisa juga diartikan bahwa kitab kuning adalah kitab yang maknanya bisa dibaca, dipahami serta dirasakan secara mendalam hanya oleh orang-orang yang hatinya telah kosong dari segala bentuk kesenangan duniawi. Merekalah yang disebut dengan ulama.

Walhasil, dari pembacaan dan kajian panjang di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa dalam menanggapi istilah “kitab kuning”, Mbah Maemoen memiliki dua pendapat (Qaulani), pendapat dulu (Qadim)  dan sekarang (Jaded). Pendapat Qadim beliau adalah melarang secara mutlak atas istilah kitab kuning. Sedang pendapat Jadid beliau adalah diperbolehkannya penggunaan istilah kitab kuning selama tidak ada niat dan unsur menghina para ulama dan karya-karya mereka. Jikalau hal ini saya analogikan dengan pendapat Imam As-Syafi’i yang terbagi menjadi dua pula, Qadim dan Jadid, maka saya bisa menyimpulkan bahwa pendapat Mbah Moen kedualah yang lebih tepat dan cocok untuk kita pakai sekarang. Wallahu A’lam Bis Showab.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger