Dalam semua ciptaan dan fi’lu Allah selalu terdapat
hikmah-hikmah sang tidak semua makhluk mampu untuk mengungkapnya. Akan tetapi,
semua itu pasti ada hikmahnya, karena Allah adalah dzat yang maha bijaksana (Al-Hakim)
yang tentunya tidak melakukan sesuatu dengan sia-sia tanpa ada hikmah dan
manfaat. Salah satu kehendak dan fi’lu Allah adalah mengutus para Nabi
dan Rasul. Berikut ini adalah sebagian—hanya sebagian saja, tidak semua—hikmah diutusnya
para Nabi dan Rasul.
1.
Dunia
ini adalah ibarat sebuah jalan yang harus dilewati oleh setiap insan dalam
rangka menuju ke tempat persemayaman dirinya yang sejati. Namun, jalan yang akan
dilalui oleh manusia ini tidaklah semuanya mudah dan diterangi oleh pelita. Hanya
ada satu jalan saja yang terang, dan sangat banyak sekali gang-gang maupun
lorong-lorong dari jalan tersebut yang pelitanya redup, remang-remang atau
bahkan gelap gulita, tidak ada pelita penerang sama sekali disana. Disamping jalan-jalan
tersebut juga banyak yang terjal, berlubang dan terdapat banyak rintangan
disetiap sisi-sisi jalan tersebut. Dalam kondisi yang demikian ini, Allah memberikan
2 bekal bagi setiap manusia yang hendak melewati jalan tersebut. Pertama adalah
orang lain yang akan menuntunnya untuk melewati jalan tersebut. orang tersebut sudah
sangat paham akan lika-liku jalan yang sangat terjal itu, karena memang ia
benar-benar mengetahui seluk beluk jalan tersebut melalui kabar dari sang
pencipta jalan itu. Kedua adalah sebuah perangkat lunak yang merupakan pelita
yang sudah diciptakan oleh Allah dalam diri setiap manusia. Walaupun sebenarnya
pelita ini pun belum cukup untuk bisa menyelamatkan dirinya dari terjal dan
bahayanya jalan yang berliku-liku, karena memang bagaimanapun pelita ini hanyalah sesuatu yang
sangat terbatas sekali. Hal yang pertama adalah perumpamaan bagi para Nabi dan Rasul
yang diutus oleh Allah sang pemilik dan pencipta alam semesta ini. Mereka benar-benar
mengatahui hakekat dunia ini—yang merupakan jalan bagi manusia di dunia ini—dan
tentunya sangat mengetahui bagaimana cara, trik dan intrik agar bisa melewati
jalan dunia ini dengan selamat sampai tujuan. Sedang hal yang kedua adalah
perumpamaan akal sehat manusia. Akal memang bisa menunjukkan kepada kita mana
hal yang baik dan mana hal yang buruk, akan tetapi manusia tidaklah bisa
bersandar total pada kemampuan akalnya. Karena akal kita sering terjerat serta
tertipu oleh khayalan-khayalan Wahm (sak wasangka) yang tidak jelas asal
muasalnya. Disamping pengetahuan akal adalah sesuatu yang sangat dibatasi sekali
oleh lingkungan dan segala hal yang ada disekitarnya. Kita ambil saja contoh secara
mudah adalah seorang pedagang yang sudah mengukur dan menimbang semua urusan
perdagangannya dengan berbagai macam teori ekonomi. Namun dalam satu waktu, ternyata
ia masih gagal dan rugi juga. Walaupun tidak jarang pula dia mendapatkan
keuntungan. Kenapa ia masih rugi? Padahal ia telah mengukur semua dengan
timbangan teori ekonomi. Nah, disinilah letak keterbatasan akal—disamping peran
takdir Allah—karena teori dan ilmu ekonomi yang dia ketahui paling lama adalah
teori yang dihasilkan selama 100/200 tahun yang lalu, sementara dunia ini
selalu berubah secara dinamis. Dia tentunya tidak mengetahui teori-teori
perdagangan yang telah dihasilkan 1000/ bahkan 2000 tahun lalu. Kalaupun mengetahuinya,
itupun belum tentu mereka mengetahui dan memahaminya secara mendetil. Ini adalah
keterbatasan manusia tentang hal-hal yang bersifat duniawi, lalu bagaimana ia
bisa mengetahui hal-hal yang diluar batas kemampuannya, semisal masalah
akherat. Nah, disinilah benar-benar penting di utusnya para Nabi dan Rasul.
2.
Akal
manusia sering kalah oleh kesenangan (Syahwat) dan emosional (Ghodhobiyyah)
dirinya sendiri. Jarang ada manusia yang bisa menjadikan akalnya alat untuk
menundukkan kesenangan dan emosinya, sehingga ketiga perangkat lunak yang telah
Allah ciptakan dalam diri manusia ini bisa bersinergi secara harmonis. Nah,
karena akal telah tidak mampu untuk mengharmoniskan kedua unsur lainnya, bahkan
ia sendiri cenderung kalah dan tunduk pada keduanya, maka sebagai penolong
akal, Allah mengutus para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul—melalui ajaran
dan amiliah yang dibawanya—mengajari manusia dan akalnya bagaimana trik dan
intrik untuk menundukkan kesenangan dan emosional dalam dirinya. Setelah akal
berhasil menundukkan kedua unsur manusia tersebut, maka yang terjadi adalah
keharmonisan ketiga unsur pokok ini dalam diri manusia. Dengan keharmonisan
inilah, manusia bisa benar-benar menjalankan fungsinya sebagai seorang kholifah
dan makhluk yang bertugas untuk membangun peradaban dimuka bumi ini. Jadi di
utusnya para Nabi dan Rasul memang benar-benar hal yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan alam semesta.
3.
Semua
manusia dengan kemampuan akal sehatnya telah mampu untuk menemukan bahwa alam
semesta ini pasti ada yang menciptakan, tidak mungkin sebuah alam yang sangat
teratur dengan begini indahnya dan sangat tertib ini tanpa ada yang
menciptakan. Semua manusia meyakini hal itu, tanpa terkecuali. Hanya saja,
kemampuan akal mereka tidak mampu untuk menemukan dan menyingkap siapakah
pencipta alam semesta ini sebenarnya. Sebagian mereka ada yang terjebak dalam
alam khayalan mereka, sehingga mereka menganggap bahwa api adalah tuhan mereka.
Sebagian mereka ada yang termakan oleh perasaan mereka sendiri, sehingga mereka
menganggap orang-orang yang baik adalah tuhan mereka. Dan ada pula yang
mengganggap bahwa matahari adalah tuhan mereka, karena mereka sangat merasakan
manfaat dari matahari. Dan masih banyak yang lainnya. Nah, dalam kondisi yang
demikian inilah fungsi diutusnya para nabi dan rasul sangat nyata sekali. Ya,
para Nabi dan Rasul di utus untuk menunjukkan kepada manusia, bahwa sang
pencipta adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bukan makhluk lain seperti
dirinya sendiri. Dan masih banyak lagi hikmah yang tidak bisa penulis ungkap
dalam buku sederhana ini. Wallahu A’lam Bis Showab.
0 komentar