Advertise 728x90

Fawaid, Meyakini wujudnya Allah

Written By Unknown on Tuesday, November 11, 2014 | 7:06 PM


Berikut ini adalah beberapa faidah yang merupakan hasil renungan dari penulis sendiri, yang kesemuanya merupakan buah dari orang yang meyakini, mengetahui, memahami dan tentunya selalu berusaha merasakan makna dari sifat-sifat Allah.
  1. Meyakini wujudnya Allah [وجود الله] akan menjadikan seseorang memiliki pandangan serta tujuan hidup yang jelas. Karena orang yang berakal sehat pasti akan bertanya: “apakah saya ini ada karena di ciptakan atau ada dengan sendirinya? Jikalau saya ada karena di ciptakan, lalu apakah saya ini ciptakan dengan tujuan tertentu atau memang hanya sekedar di ciptakan saja tanpa tujuan? Kalau memang ada tujuan tertentu dalam penciptaan saya, lalu apa tujuan saya di ciptakan? Dan sudahkah saya melakukan sesuatu itu sesuai dengan tujuan penciptaan saya tersebut?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan memunculkan gerak motorik dan sikap progresif dalam jiwa manusia yang berkeyakinan akan adanya Allah. Dia akan selalu mencari tujuan penciptaan dirinya dan selalu belajar. Untuk selanjutnya dia pun akan berfikir dan bertanya lagi: “apakah alam semesta ini juga ada yang mencipatakan atau ada dengan sendirinya tanpa pencipta? Kalau memang ada yang menciptakan, lalu apa tujuan alam semesta ini di ciptakan? Bagaimana pula saya sebagai manusia seharusnya berinteraksi dengan alam semesta ini? Apakah saya harus merusaknya atau malah memanfaatkan alam semesta ini sesuai dengan tujuan penciptanya? Sudahkah hal itu saya lakukan?”. Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul karena dasar awal adalah meyakini adanya Allah sebagai tuhan. Berbeda dengan orang yang tidak mengakui adanya tuhan, maka dia tidak akan memiliki tujuan hidup  yang jelas dan bahkan serinya masing-masing dari mereka akan menjadikan segala keinginan serta nafsu dalam dirinya sebagai tuhan yang mereka ‘ciptakan’ sendiri, akan tetapi mereka tidak pernah merasakan hal itu. Dan dengan pongahnya mereka mengatakan bahwa tuhan tidak ada, tuhan telah mati dan kata-kata lain yang kesemuanya berasal dari sebuah keyakinan tidak adanya tuhan bagi alam semesta ini
  2. Keyakinan bahwa hanya Allah lah dzat yang Qadim (ada tanpa permulaan) dan yang Baqi (ada tanpa akhir), akan memunculkan sebuah pandangan serta tujuan hidup bagi seseorang untuk tidak mencintai dan bergantung kepada makhluk yang pasti akan rusak dan sirna. Karena selain Allah (makhluk) pada hakekatnya pasti ada permulaan dan akhirnya. Misal ada selain Allah yang kekal—contohnya seperti surga dan neraka—pasti itu karena memang Allah-lah yang menghendaki, menjadikan dan menciptakan ia untuk menjadi kekal. Setiap manusia sebenarnya mempunyai fitrah untuk cinta pada sesuatu yang kekal. Coba saja kita renungkan bersama, jika ada manusia yang tidak mempunyai anak, pasti ia akan mencari-cari obat untuk mengobati dirinya ataupun istrinya agar memiliki anak. Setelah dia memiliki anak, maka ia akan berusaha untuk menjaga si anak agar tidak tertimpa mara bahaya apapun yang bisa menjadikan anak itu tiada. Dan jika sudah waktunya menikah, maka si anak akan di nikahkan dan tentunya manusia tadi sangat berharap sekali akan mendapatkan cucu dari anaknya tersebut. Kasih sayang seorang manusia pada mulanya diberikan kepada anak, lalu setelah ada sang cucu, maka kasih sayang itu berpindah kepada cucunya dan begitu seterusnya. Pertanyaannya: kenapa manusia begitu senang dan bersemangat untuk mempunyai keturunan? Kenapa pula Allah mensyariatkan adanya pernikahan? Sebenarnya semua itu adalah rangsangan fitroh yang ditanamkan oleh Allah dalam hati manusia bahwa ia sebenarnya mencintai sesuatu yang kekal dan berusaha untuk menjadi kekal. Salah satu jalan manusia untuk mendapatkan kekekalan itu adalah dengan mempunyai keturunan. Hanya saja, yang sejatinya kekal hanyalah Allah, karena selain Allah pastilah akan sirna dan rusak. Jadi sewajarnya jika kemudian makhluk mencintai Allah, menggantungkan harapannya hanya kepada Allah dan berusaha untuk selalu kembali kepada Allah sebagai dzat yang Maha Kekal.
  3. Keyakinan bahwa Allah berbeda dengan makhluk-Nya [مخالفته للحوادث], akan menggerus pandangan hidup yang hanya bersandar pada segala hal yang bersifat kebendaan yang ditimbulkan oleh panca indra dan khayalan saja. Kenapa penulis katakan demikian? Karena akar dari segala penyamaan Allah terhadap makhluk-Nya adalah pola pikir indrawi dan Khoyali. Yang mana kedua pola pikir ini masih berada di bawah tingkatan akal sehat. Manusia yang hanya bersandar pada indarawi saja, maka dia akan mengukur segala sesuatu yang dia hadapi dengan sudut pandang kebendaan yang pada akhirnya akan membentuk pola pikir matrealistik. Sedang manusia-manusia yang bersandar pada khayalan, maka ia tidak akan bisa melihat sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Coba saja kita perhatikan beberapa manusia yang mempunyai anggapan bahwa arwah dan hantu gentayangan adalah orang-orang yang telah lama meninggal dan datang untuk mengganggu mereka. Pandangan semacam ini muncul karena kuatnya pola khayalan yang menancap dalam jiwa mereka. Padahal yang disebut orang telah mati tentunya tidak bisa bergerak-gerak atau bahkan sampai gentayangan kemana-mana seenaknya sendiri. Nah, keyakinan bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya akan menggerus dua hal tersebut tadi, sehingga nantinya yang akan muncul adalah manusia-manusia cerdas dengan pola pikir yang sesuai dengan akal sehat.
  4. Manusia-manusia yang meyakini bahwa Allah adalah dzat yang tidak butuh kepada yang lain [قيامه بنفسه] adalah manusia-manusia yang tidak bersombong diri kepada Allah. Lalu apakah ada manusia-manusia yang berani untuk bersombong diri kepada Allah? Ya, ada sebagian manusia-manusia yang menyombongkan diri kepada Allah. Mereka sholat tapi mereka sombong kepada Allah, mereka puasa, zakat, haji, berdzikir dan melakukan amal ibadah lainnya, akan tetapi mereka menyombongkan diri kepada Allah. Siapakah mereka? Mereka adalah manusia-manusia yang merasa telah menyuguhkan segala amaliah mereka kepada Allah, seolah-olah Allah butuh terhadap amal mereka. Padahal Allah tidaklah butuh kepada makhluk-Nya sama sekali—dan amal mereka termasuk dalam kategori makhluk yang tidak dibutuhkan oleh Allah.  Orang yang meyakini bahwa Allah tidak butuh kepada yang lain adalah manusia yang telah berhias dengan sifat Tawadhu’ secara hakiki, karena berbagai amal ibadah yang ia lakukan adalah murni karena kecintaan kepada Allah, murni karena mengharap rohmat dan anugrah Allah. Tidak ada sama sekali dalam hati mereka perasaan bahwa amal perbuatan mereka bisa menjadikan mereka masuk surga, atau bahkan sebagai suguhan yang di manfaatkan oleh Allah. Tidak sama sekali.
  5. Orang yang bertauhid/mengesakan tuhan, maka dia akan di didik untuk memiliki keteguhan dalam bersikap dan selalu mempunyai tujuan yang jelas serta terarah dalam kehidupannya. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena memang orang yang mempunyai keyakinan bahwa tuhan adalah tunggal [وحدانية], yaitu Allah, maka dia tidak akan terombang-ambingkan oleh berbagai kondisi psikis maupun kondisi lingkungan yang selalu berubah-ubah. Sebab tauhid yang terdapat dalam jiwanya akan menuntun dia untuk teguh dengan sebuah pendirian dan kuat dalam pendapat, selama pendirian dan pendapat itu merupakan pancaran dari nur tauhid dan iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Penulis yakin bahwa setiap orang—dengan berbagai keyakinan agama dan status sosial yang dimilikinya—memiliki keinginan dalam hatinya. Bahkan tidak jarang kita temukan orang-orang yang memiliki keinginan bermacam-macam dan banyak sekali, sehingga kadang-kadang penulis sendiri sempat terheran-heran akan banyaknya keinginan manusia model ini. Coba bayangkan, andaikata semua keinginan itu sama kuatnya dan ingin di capai dalam satu waktu, kira-kira mampukan orang tersebut merealisasikan semua keinginannya itu? Penulis kira dia tidak akan mampu, bahkan yang muncul adalah sebuah kebingunan dalam diri orang tersebut, sehingga ia sama sekali tidak melangkah guna merealisasikan keinginannya tadi. Nah, kira-kira kenapa orang tadi tidak bisa merealisasikan semua keinginan dalam hatinya tersebut? Jawabnya adalah karena dia ‘mensekutukan’ satu keinginan dengan yang lain. Dalam arti dia tidak memprioritaskan satu keinginannya terlebih dahulu agar dapat direalisasikan, akan tetapi malah ingin melakukan semuanya. Berbeda andaikan ia merealisasikan satu keinginannya terlebih dahulu, baru kemudian ia berupaya untuk melakukan yang lain, niscaya keinginan yang sudah ia prioritaskan tersebut akan lebih mudah terealisasi. Karena ada titik fokus (bertauhid/menyatukan tujuan terlebih dahulu) dalam pelaksanaan. Begitulah tauhid dalam Islam mendidik umat muslim untuk memiliki prioritas dalam mengambil tindakan dan sikap. Orang yang bertauhid tidak akan diombang-ambingkan oleh perubahan zaman, karena dia mempunyai keteguhan dalam bersikap. Coba saja kita perhatikan orang-orang yang plin plan dan oportunis dalam sikapnya, semua itu muncul karena dalam jiwa orang tersebut terdapat ‘syirik’ yang berupa tidak adanya tujuan yang murni satu dalam dirinya, atau bisa saja dia mempunyai satu tujuan inti, akan tetapi tujuan itu telah terkotori oleh limbah-limbah disekitarnya. Ia jatuh dalam kebingungan yang akhirnya membuka peluang bagi nafsu dan syaitan untuk mempermainkan dirinya dalam kehidupan ini. Ia mudah terpengaruh oleh kondisi sekitar, oleh lingkungan dan teman-teman pergaulannya. Sekali lagi, semua itu terjadi karena ia tidak memiliki tauhid yang terhujam kuat dalam jiwanya. 
  6. Keyakinan seseorang terhadap sifat Allah yang berupa Qudroh,Irodah dan ‘Ilmu akan menuntun manusia untuk menjadi orang yang pandai berniat. Kenapa bisa demikian? Ya, sebab niat bisa muncul jika dalam jiwa seseorang terdapat 3 unsur tersebut di atas. Niat—sebagaimana telah sering kita ketahui—adalah melakukan sesuatu bersamaan dengan sebuah tujuan. Seseorang bisa mempunyai sebuah tujuan, jika dia memiliki ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang ingin dia tuju. Sebuah tujuan bisa terealisasikan jika orang tersebut punya kemampuan. Ilustrasi mudahnya adalah orang yang makan karena lapar. Dia tahu (berilmu) bahwa makan bisa menjadikan dia kenyang, maka saat dia lapar akan terbersit dalam hatinya bahwa dia ingin (ber-irodah) makan. Lalu mulailah dia berjalan, menanak nasi, memasak lauk pauk dan akhirnya makan yang kesemuanya merupakan tindakan (ber-qudroh) untuk menuju tujuan yang berupa kenyang. Coba saja andaikan salah satu dari ketiga unsure tadi tidak terpenuhi, semisal dia tidak tahu kalau makan bisa menjadikan dirinya kenyang, pasti dia tidak akan makan. Atau dia tahu bahwa makan bisa menjadikan kenyang, akan tetapi ia malas dan tidak punya keinginan makan, maka dia pun tidak bisa kenyang. Atau dia tahu kalau makan bisa menjadikan dirinya kenyang dan dia pun punya keinginan untuk makan, hanya saja dia lumpuh sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menyuapkan sesendok nasi pun ke dalam mulutnya, maka dia pun tidak akan bisa kenyang jika tidak ada orang lain yang menyuapinya.
  7. Seseorang yang benar-benar meyakini bahwa Allah adalah dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan mati, maka dia tidak akan merasa takut menghadapi kehidupan ini, karena dia akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada dzat yang Maha Hidup. Dia tahu bahwa kehidupan ini adalah anugrah dan pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’la, dan tentunya Allah pun memberikan aturan yang berkaitan dengan bagaiman interaksi manusia dan kehidupan yang merupakan anugrah ini.
  8. Orang yang meyakini bahwa Allah adalah dzat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat, maka dia akan menjadi orang yang berusaha selalu merasa diperhatikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’la dan ber-Muroqobah. Yang dimaksud dengan Muroqobah disini adalah dia selalu berusaha untuk memperhatikan dirinya sendiri, ia akan selalu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah ia berada dalam satu kondisi yang diridhai Allah atau tidak? Dia juga akan bertanya-tanya, bagaimanakah aturan Allah bagi hambanya yang sedang berada dalam kondisi tertentu, semisal kondisi sehat/sakit/susah/senang? Tentunya kita masih ingat betul bagaimana kisah seorang guru yang memberikan ayam kepada masing-masing santrinya untuk disembelih disuatu tempat yang tidak diketahui dan dilihat oleh siapapun. Akhirnya masing-masing santri mencari tempat yang menurut mereka tidak ada orang yang bisa melihat apa yang akan mereka lakukan. Singkat cerita, semua santri berhasil menyembelih masing-masing ayam yang diberikan kepada mereka, kecuali seorang santri yang kembali dengan ayam yang masih utuh karena belum disembelih. Lalu sang guru bertanya kepada satu-satunya santri yang tidak berhasil menyembelih ayam tadi: “kenapa kamu tidak menyembelih ayammu?”, santri itu menjawab: “karena aku tidak menemukan sebuah tempat yang tidak dilihat oleh siapapun, sebab dimanapun aku berada, Allah Subhanahu Wa Ta’la selalu melihatku”. Jawaban sang santri tersebut memberikan pelajaran bagi kita, bahwa saat seseorang benar-benar beriman dan percaya bahwa Allah adalah dzat yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, niscaya dia akan selalu berusaha untuk Muroqobah dan Muhasabah dirinya sendiri.  Tidak sedetik pun dia merasa terbebaskan dari penglihatan dan pendengaran Allah Subhanahu Wa Ta’la, dan perasaan yang demikian ini akan menjadikan dia selalu menimbang segala tingkah lakunya dengan timbangan aturan/syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’la.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger