Bismillah.
Alhamdulillah Was Sholatu Was Salaamu ‘Ala Rasulillah. Amma ba’du:
[QOSHOR SHOLAT]
1.
Definisi Sholat Qoshor.
Qoshor
adalah praktek meringkas sholat yang empat roka’at menjadi dua roka’at. Jadi
sholat yang boleh di Qoshor hanya 3 sholat saja, yaitu Dzuhur, ‘Ashar
dan Isya’. Penyebab seseorang boleh melakukan praktek Qoshor adalah
bepergian [Safar]. Adapun dalil tentang diperbolehkannya praktek Qoshor
sholat adalah ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا [النساء/101[
“Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar salat(mu),
jika kamu takut diserang orang-orang kafir”.
Imam
Ibrahim Al-Baijuri mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam buku shahihnya, dari Ya’la bin Umayyah, beliau bertanya kepada Amirul
Mu’minin Umar Ibnul Khottob Radhiyallahu ‘Anhu: “Dalam ayat diatas,
Allah menjelaskan bahwa hukum bolehnya Qoshor sholat disyaratkan jika kamu
sekalian takut fitnah [In Khiftum An Yaftinakum], sedang sekarang kita
sudah aman?”, maka Sayyidina Umar pun menjawab: “Aku pun dulu heran sepertimu.
Lalu aku tanyakan hal ini kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dan beliau menjawab:
صَدَقَةٌ
تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ
“[Qoshor
sholat adalah] shodaqoh pemberian
Allah untuk kalian, jadi terimalah shodaqoh Allah itu”.
Lebih lanjut
Syaikh Al-Baijuri menjelaskan bahwa praktek Qoshor dalam kondisi aman—bukan
kondisi perang dan banyak fitnah, semisal kondisi saat turunnya
ayat diatas—adalah merupakan Shodaqoh atau hukum tambahan yang diluar
cakupan teks ayat di atas. Jadi ayat In Khiftum An Yaftinakum bukan
sebuah batasan yang mengikat dan menjadikan kondisi aman sebagai pengecualian
dari hukum bolehnya Qoshor sholat ini.
Dari
penjelasan ringkas di atas, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalil
diperbolehkannya Qoshor sholat dalam kondisi tidak aman [Khouful Fitnah]
adalah ayat Al-Qur’an dari surat An-Nisa’ di atas. Adapun dalil tentang
diperbolehkannya Qoshor sholat dalam kondisi aman adalah hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ya’la Bin Umayyah, sebagaimana telah kami
jelaskan secara ringkas di atas.
Praktek
Qoshor sholat pertama kali disyariatkan pada tahun ke-4 Hijriyah sebagaimana
dikutip oleh Al-Baijuri dari Ibnul Atsir. Sedang menurut Ad-Dulaby, praktek
Qoshor pertama disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah, tepatnya pada bulan Rabi’us Tsani. Ada juga yang
menyatakan bahwa praktek Qoshor sholat ini pertama kali disyariatkan pada 40
hari setelah hijrahnya baginda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam ke tanah Madinah. Wallahu A’lam Bis Showab.
2.
Hukum melakukan Qoshor
sholat.
Melakukan
Qoshor Sholat hukumnya adalah boleh menurut Madzhab Syafi’i. Bahkan jika jarak
bepergian seseorang sudah mencapai jarak tempuh 3 Marhalah atau lebih, maka
hukumnya sunnah. Adanya hukum sunnah saat melakukan perjalanan lebih dari 3
marhalah adalah untuk menghindari perbedaan yang lebih tajam lagi dengan Imam
Abu Hanifah, karena menurut beliau, jika perjalanan seseorang sudah mencapai 3
Marhalah atau lebih, maka melakukan praktek Qoshor sholat hukumnya adalah
wajib.
Memang para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi
hukumnya melakukan Qoshor sholat. Paling tidak dalam empat Madzhab yang dominan
dikalangan masyarakat sunni saja, terdapat pendapat-pendapat yang saling
berbeda antara satu dan lainnya. Apalagi jika kita melihat Madzahib diluar
lingkungan sunni, semisal Ja’fariyyah ataupun Zaidiyyah yang tumbuh berkembang
dalam lingkungan kelompok Syiah.
Secara singkat saja, hukum melakukan praktek Qoshor
menurut empat Madzhab fiqh yang berkembang dalam lingkungan sunni adalah
sebagai berikut:
-
Madzhab Hanafi: melakukan praktek Qoshor menurut mereka adalah wajib.
Hanya saja hukum Wajib dalam istilah madzhab Hanafi sendiri berbeda dengan
istilah Fardhu, karena wajib berada satu tingkatan di bawah fardhu, yaitu
setingkat Sunnah Muakkadah [sunnah yang sangat dianjurkan sekali]. Jadi,
meninggalkan praktek Qoshor bagi musafir hukumnya adalah Makruh dalam
madzhab Hanafi.
-
Madzhab Maliki: melakukan praktek Qoshor menurut mereka adalah Sunnah
Muakkadah [sunnah yang
sangat dianjurkan sekali]. Bahkan menurut
Madzhab Maliki melakukan praktek Qoshor lebih utama dari pada sholat
berjama’ah.
-
Madzhab Syafi’i: melakukan praktek
Qoshor menurut mereka adalah boleh-boleh saja [Jawaz],
sebagaimana diperbolehkannya seorang musafir untuk tidak melakukan Qoshor [Itmam].
Hanya saja jika perjalanan yang ditempuh sudah mencapai jarak 3 marhalah, maka
hukum Qoshor sholat
menurut mereka adalah sunnah, seperti telah kami jelaskan dengan singkat di atas tadi.
-
Madzhab
Hanbali: mereka menyatakan bahwa
melakukan Qoshor sholat hukumnya adalah boleh, bahkan lebih baik dari pada
tidak melakukan Qoshor atau Itmam Sholat.
Adapun dalil-dalil yang menjadi
dasar tentang perbedaan hukum yang terjadi antara para Imam
madzhab ini,
Insya Allah akan di kupas secara ringkas dan jelas pada pembahasan tentang
Rukhshoh dan ‘Azimah di bawah nanti.
3.
Hikmah dibalik
pensyari’atan Qoshor.
Islam sebagai agama yang Hanif, tentunya
membawa ajaran-ajaran yang indah dan menjadikan kemaslahatan pemeluknya—bahkan kemaslahatan
orang-orang yang tidak memeluk Islam—sebagai pertimbangan utama. Syariat dan ajaran
Islam diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad untuk memenuhi kemaslahatan
manusia itu, sehingga dibalik setiap ajaran-ajaran yang dibawanya pasti
terkandung banyak hikmah yang luar biasa. Hanya saja, kadang kita sebagai
manusia biasa,
tidak mampu menangkap semua hikmah itu,
atau kalaupun bisa,
ya hanya sebagian kecil dari beberapa hikmah yang ada saja, tidak bisa semua.
Para ulama pun telah berusaha untuk menggali
hikmah-hikmah dibalik setiap ajaran Islam yang indah, yang tentunya hasil
galian yang didapatkan oleh satu ulama berbeda dengan yang lain. Ada yang
kemudian menuliskan hasil kajian dan galian hikmahnya itu dalam buku-buku
khusus, semisal buku hikmah Tasyri’ Wa Falsafatuhu, buah karya Syaikh Ali Bin Ahmad Al-Jurjawi
Al-Hanbali. Ada pula yang menulis hasil kajiannya itu dalam buku-buku yang
secara umum membahas tentang aturan dalam Islam, walaupun penyebutan hikmah itu
hanya sekilas saja, seperti yang dilakukan oleh Al-Baijuri dalam Hasyiyahnya atas
buku Fathul Qarib ataupun Al-Ghazali
dalam Ihya’-nya.
Berikut ini adalah beberapa hikmah tentang praktek
Qoshor sholat yang kami temukan dalam beberapa karya ulama, baik klasik maupun
kontemporer. Walaupun kami tidak berani memastikan bahwa memang demikianlah
tujuan disyariatkannya praktek Qoshor sholat itu sendiri. Diantaranya adalah sebagai berikut:
-
Untuk meringankan [Takhfif],
karena memang pada umumnya, saat seseorang bepergian, maka secara otomatis ia
akan merasakan beban dan kepayahan dalam dirinya. Ada sebuah ungkapan dalam
bahasa Arab yang menggambarkan tentang payahnya bepergian:
السَفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ
“Bepergian adalah satu bentuk siksa tersendiri”
Kenapa
bepergian dianggap sebagai salah satu bentuk siksaan? Menjawab pertanyaan ini,
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqollani memberikan beberapa alasan; karena payahnya
naik kendaraan, repotnya berjalan dan susahnya meninggalkan tempat yang sudah
lama dihuni. Jawaban ini senada dengan jawaban yang disampaikan oleh Imam
Al-Haramain saat ditanya tentang makna ungkapan di atas, beliau menjawab: “Karena
dengan bepergian, kita akan berpisah dengan orang-orang yang kita cintai”.
-
Mempermudah umat Islam dalam memenuhi hak-hak Allah. Yang
dimaksud dengan hak-hak Allah dalam masalah ini adalah pelaksanaan sholat
fardhu 5 waktu. Karena tentunya dengan diperbolehkannya praktek Qoshor, seorang
muslim sejati bisa melaksanakan hak Allah di atas dengan mudah, nyaman dan
santai, karena kenyataannya memang praktek Qoshor ini lebih ringan dari pada Itmam.
-
Menjadikan seseorang senang untuk melakukan
kewajibannya dan tidak menjadikan mereka lari dari aturan Allah yang paling
pokok ini.
-
Dengan adanya praktek Qoshor sholat ini, tidak ada
alasan bagi siapapun untuk meninggalkan sholat, walaupun saat seseorang
benar-benar payah akan beratnya perjalanan yang dilaluinya, karena dengan
Qoshor beban sholat telah menjadi ringan.
4. Qoshor,
Rukhshoh atau ‘Azimah?
Dalam terminologi
Ushul Fiqh, kita akan dikenalkan dengan istilah-istilah yang tentunya berbeda
dengan istilah yang ada dalam fiqh atau ilmu lainnya. Diantara beberapa istilah
yang diajarkan dalam ushul fiqh adalah term Rukhshoh dan ‘Azimah.
Apa yang dimaksud dari dua istilah tersebut? Apa hubungannya dengan praktek
Qoshor sholat?
Secara bahasa ‘Azimah
bermakna pokok. Sedang menurut istilah Ushul Fiqh ‘Azimah adalah hukum-hukum
yang disyariatkan oleh Allah Subhanau Wa Ta’la pertama kali, untuk
dijadikan aturan baku dan pokok secara umum bagi semua orang Mukallaf dalam
setiap kondisi apapun. Contoh ‘Azimah adalah sholat 5 waktu, zakat, puasa dan
haji. Termasuk dari contoh ‘Azimah adalah hukum-hukum yang merupakan tuntutan
kemaslahatan umum, semisal diperbolehkannya jual beli [Bai’], sewa
menyewa [Ijaroh] dan beberapa praktek transaksi yang lain.
Secara bahasa Rukhshoh bermakna
keringanan. Sedang menurut terminologi Ushul Fiqh, Rukhshoh adalah
hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
kondisi tertentu, karena adanya udzur yang sangat berat. Sedang hal-hal yang
menjadi penyebab hukum asal tetap masih ada. Tujuan disyariatkannya hukum-hukum
tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan orang Mukallaf atau untuk
meringankan beban yang menjadi kewajibannya. Contoh dari Rukhshoh adalah
bolehnya praktek Qoshor sholat, Jama’ sholat, boleh memakan bangkai karena
keadaan darurat dan masih banyak contoh lainnya.
Untuk lebih memperjelas keterangan
diatas, Kita ambil saja sholat sebagai contoh. Sholat adalah kewajiban yang
dibebankan oleh Allah bagi setiap orang Mukallaf dalam kondisi apapun. Baik
saat dia dirumah, bepergian, sehat, sakit, kaya ataupun miskin. Kewajiban sholat
tidak dibatasi dalam kondisi tertentu, seperti sehat atau kaya saja. Sehingga
ketika seseorang atuh sakit atau miskin, maka ia tidak kewajiban sholat. Tidak!
Karena memang sholat adalah kewajiban yang harus dilakukan dalam kondisi
apapun, dan inilah yang disebut dengan ‘Azimah. Hanya saja, saat
seseorang sakit berat, sehingga ada kepayahan jika dia harus sholat dengan
berdiri—misalnya—maka syariat memberikan keringanan [Rukhshoh] baginya
untuk sholat dengan duduk. Praktek diperbolehkannya sholat dengan duduk inilah
yang disebut dengan Rukhshoh.
Lalu, apakah Qoshor merupakan
Rukhshoh atau ‘Azimah? Para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam menyikapi
pertanyaan tersebut:
a)
Madzhab
Hanafi:
praktek Qoshor sholat adalah ‘Azimah dan wajib bagi seseorang yang
sedang bepergian dengan jarak tempuh 89 km untuk melakukan Qoshor sholat. menurut
Madzhab Hanafi, seseorang yang sedang bepergian tidak boleh melakukan sholat
Dzuhur, ‘Ashar dan Isya’ dengan 4 roka’at secara sengaja. Karena memang
kewajibab seorang musafir dalam sholat yang Ruba’iyyah [sholat fardhu
yang jumlah roka’atnya 4] adalah Qoshor, yakni 2 roka’at saja. Apabila dia lupa
dan melakukan sholat dengan 4 roka’at, maka ia wajib melakukan Sujud Sahwi.
Demikianlah sekilas saja tentang Qoshor dalam pandangan Madzhab Hanafi.
Adapun dalil yang dijadikan dasar
oleh Madzhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha beliau berkata:
فرضت
الصلاة ركعتين ركعتين. فأقرت صلاة السفر و زيد في صلاة الحضر
“[pada mulanya] sholat yang di fardhukan hanya dua roka’at, dua
roka’at saja. Lalu [kewajiban dua roka’at ini]
ditetapkan bagi sholat yang dalam bepergian [Safar], adapun sholat yang dalam
kondisi mukim, maka ditambahi menjadi 4 roka’at”.
Begitu juga hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata:
فرض الله
الصلاة على لسان نبيكم في الحضر أربع ركعات وفي السفر ركعتين وفي الخوف
ركعة
“Allah telah mewajibkan—melalui apa yang
disampaikan oleh Nabi kalian—bahwa sholat yang dilakukan seseorang saat ia
mukim adalah 4 roka’at, saat dalam bepergian 2 roka’at dan dalam kondisi
ketakutan adalah 1 roka’at”.
Dari kedua
hadis di atas [perhatikan lagi lebih seksama pada kata-kata yang telah kami
tebalkan, karena itu adalah poin pokok pada dalil], Madzhab Hanafi mengambil
sebuah kesimpulan bahwa praktek Qoshor sholat hukumnya adalah wajib. Untuk
lebih detilnya lagi tentang masalah ini, para pembaca bisa langsung melihat
kitab-kitab ataupun buku-buku yang membahas tentang Fiqh Hanafi secara tuntas.
b)
Madzhab
Maliki [pendapat
yang masyhur dan kuat], Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali: ketiga
madzhab ini sepakat menganggap bahwa praktek Qoshor adalah Rukhshoh, bukanlah
hal yang wajib. Hanya saja, kalau Madzhab Maliki menyatakan bahwa praktek
Qoshor adalah Sunnah Muakkadah. Sedang Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa
antara Qoshor dan tidak sama saja, karena hukum praktek Qoshor hanyalah boleh
saja. Dalam Madzhab Syafi’i, praktek Qoshor bisa menjadi sunnah jika dalam hati
seseorang ada rasa enggan untuk melakukan Qoshor atau jarak tempuh tempat
tujuannya sudah mencapi 3 marhalah.
Ketiga
madzhab—yang bisa
kami katakan sepakat ini pun—memiliki
dalil yang dijadikan dasar dan pegangan oleh masing-masing dari mereka. Madzhab
Maliki—yang menyatakan bahwa praktek Qoshor hukumnya Sunnah
Muakkadah—menjadikan semisal hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar sebagai
dalil, beliau berkata:
صحبت النبي صلى الله عليه وسلم فكان لا يزيد في السفر
على ركعتين وأبو بكر وعمر وعثمان كذلك
“Saya [ibnu umar] telah menemani baginda Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wa Sallam, beliau tidak pernah melakukan sholat [yang roka’atnya 4]
saat bepergian melebihi dari 2 roka’at. Begitu pula Abu Bakar, Umar dan
Utsman Radhiyallahu ‘Anhum”.
Kesimpulan
yang bisa diambil dari hadis di atas adalah bahwa baginda Nabi, sahabat Abu
Bakar, Umar serta Utsman selalu—atau dengan kata lain sangat sering—melakukan
praktek Qoshor saat sedang bepergian. Sebuah tindakan yang selalu atau sering dilakukan oleh baginda Nabi tentunya
bisa dikatakan sangat dianjurkan sekali untuk diikuti, maka dari sini muncullah
hukum Sunnah Muakkadah. Kurang lebih demikianlah nalar dan argument berfikir
dari Madzhab Maliki.
Adapun dalil
yang dijadikan dasar oleh Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali—yang dalam hal
ini keduanya memiliki pendapat sama, yakni sama-sama menyatakan bahwa Qoshor
merupakan pilihan,
bukan tuntutan—adalah beberapa hal dibawah ini:
Pertama; adalah
ayat ke-101 dari surat An-Nisa’ yang telah kami tuturkan pada awal pembahasan
di atas. Dalam ayat tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa tidak
mengapa kamu mengqoshor sholatmu [فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة]. Kita perhatikan redaksi ayat yang menggunakan bahasa “Falaisa
‘Alaikum Junahun” atau tidak mengapa, redaksi tersebut mengisyaratkan bahwa
Qoshor adalah sebuah pilihan, bukan sebuah tuntutan, baik itu tuntutan yang
bersifat wajib maupun tuntutan sunnah.
Kedua; adalah hadis
yang diriwayatkan oleh sahabat Umar di atas bahwa praktek Qoshor merupakan
shodaqoh yang diberikan oleh Allah kepada hambanya. Ada juga hadis yang
menjelaskan bahwa Allah sangat senang jika Rukhshoh shodaqohnya dilakukan
sebagaimana Dia pun senang jika ‘Azimahnya juga dilakukan.
Ketiga; juga hadis
yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah beliau berkata:
خرجت مع النبي في عمرة في رمضان فأفطر وصمت وقصر وأتممت
فقلت: بأبي وأمي أفطرت وصمت وقصرت وأتممت فقال: أحسنت يا عائشة
“Saya keluar bersama baginda Nabi saat Umrah pada bulan Romadhan.
Beliau [baginda Nabi] tidak berpuasa, sedangkan saya puasa. Beliau mengqoshor
sholat, sementara saya menyempurnakannya. Lalu aku pun bertanya kepada baginda
Nabi: demi ayah dan ibuku [yang akan menjadi tebusan sumpahku], [sungguh] anda
tidak puasa sementara aku berpuasa, anda mengqoshor sholat sedang aku
menyempurnakannya. [Baginda Nabi] berkata: engkau telah melakukan hal yang
baik ‘Aisyah [dengan puasa dan itmam yang telah engkau lakukan]”.
Hadis
terakhir ini memberikan penjelasan kepada kita, bahwa baginda Nabi pun memuji Itmam
[menyempurnakan] sholat saat bepergian yang dilakukan oleh Sayyidah ‘Aisyah. Pujian
baginda Nabi ini memberikan pemahaman bahwa tidak mengqoshor sekalipun bukan
merupakan hal yang dicela oleh ajaran Islam. Perhatikan dengan lebih seksama
lagi redaksi hadis yang telah kami pertebal, untuk lebih memudahkan penjelasan
kami.
Penjelasan secara singkat tentang
warna warni madzhab fiqh dalam Islam di atas, kiranya
cukup untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa memang masing-masing madzhab
memiliki sudut pandang yang beda dan tentunya ijtihad yang berbeda pula dalam
memahami teks Al-Qur’an hadis. Pada kesempatan ini kami ingin menekankan bahwa
perbedaan para ulama adalah rohmat, jadi tidak perlu dibesar-besarkan perbedaan
itu sehingga saling menjatuhkan atau bahkan memvonis sesat dan kafir kepada yang
lainnya. Kembali terngiang ditelinga kami sebuah ayat yang selalu dituturkan
oleh guru kami saat ngaji Bulughul Maram dulu, yakni Dr. KH. Abdul
Ghofur Maemoen. Ayat tersebut adalah [ولكل وجهة هو موليها], setiap orang mempunyai sisi pandangnya masing-masing, yang dijadikan pijakan melangkah ke arah itu. Jadi dalam
menyikapi segala macam perbedaan, kami dididik untuk bisa dewasa dan bijak oleh beliau.
Semoga beliau dan ayahandanya—Kiai Maemoen—selalu diberi kesehatan dan dalam
perlindungan Allah.
5.
Syarat-syarat
diperbolehkan melakukan Qoshor sholat.
Pada
pembahasan yang di atas, dengan panjang lebar telah kami paparkan beberapa hal
yang berhubungan dengan praktek Qoshor sholat. Mulai tentang definisi, hukum
atau tentang hikmahnya. Begitu juga telah kami jelaskan dengan lebih detil dan
luas bahwa praktek Qoshor itu apakah termasuk kategori Rukhshoh atau ‘Azimah? Yang
kami kira penjelasan tersebut—Insya Allah—sedikit bisa membuka wawasan keilmuan
kita akan keragaman bermadzhab dalam fiqh Islam.
Karena
praktek Qoshor sholat adalah sebuah ibadah yang berbeda dengan praktek sholat
pada umumnya, maka seseorang boleh melakukan Qoshor Sholat jika memenuhi
beberapa syarat yang telah dijelaskan oleh para fuqoha’ kita dalam berbagai
kitab atau buku fiqh yang ada. Ada beberapa syarat yang disepakati oleh empat
madzhab fiqh yang berkembang dalam lingkungan Sunni, akan tetapi ada juga
beberapa syarat yang diperkhilafkan antara mereka sendiri. Di bawah ini
kami—insya Allah—akan menjelaskan syarat-syarat tersebut dengan lebih
terperinci dan detil:
a.
Bepergian yang dilakukan
bukanlah untuk tujuan ma’siat. Orang yang bepergian maksiat
menurut Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali diklasifikasikan
menjadi 3 bagian, yang tentunya masing-masing dari ketiga bagian itu memiliki
konsekwensi hukum yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. Ketiga kelompok
tersebut adalah sebagaimana berikut ini:
Pertama;
Al-‘Ashi Bis Safar. Yakni orang-orang yang pergi memang dengan tujuan
untuk ma’siat. Contohnya adalah orang yang pergi dengan tujuan merampok,
mencopet, membunuh dan lain sebagainya. Maka orang-orang yang pergi dengan semisal
tujuan diatas, tidak boleh melakukan Qoshor sholat. Mereka boleh melakukan Qoshor
lagi jika sudah taubat serta jarak antara tempat dia taubat dan tujuan dia
pergi masih mencapai 2 marhalah. Ilustrasi: semisal Zaid adalah orang
Demak yang mau pergi ke jakarta untuk merampok di sana. Setibanya di Pekalongan
ia Taubat. Karena Zaid sudah taubat, maka tinggal dihitung jarak antara
Pekalongan [tempat taubatnya Zaid] dan Jakarta [tempat tujuan bepergiannya
Zaid] masih ada 2 marhalah atau tidak, kalau masih ada maka Zaid diperbolehkan
untuk melakukan praktek Qoshor sholat. Akan tetapi jika jarak keduanya tidak
mencapai 2 marhalah, maka Zaid tidak boleh melakukan Qoshor sholat.
Kedua;
Al-‘Ashi Bis Safar Fis Safar. Yakni orang-orang yang bepergian dengan tujuan
baik, bahkan dengan tujuan untuk ketaatan. Hanya saja ditengah jalan kemudian
ia merubah niat dan tujuan baik itu dengan tujuan jelek, semisal mencuri,
membegal, mencopet dan lain sebagainya. Bagi orang-orang yang bepergian dengan
tujuan seperti tersebut tadi tidak boleh melakukan Qoshor sholat. Mereka boleh
melakukan Qoshor lagi jika sudah taubat, walaupun jarak antara tempat
dia taubat dan tempat tujuan ia pergi kurang dari 2 marhalah. Ilustrasi:
Umar adalah orang Semarang yang mau pergi ke Tegal untuk berdagang. Sampai di
Kendal ia malah berubah pikiran tidak lagi ingin berdagang, akan tetapi ingin
pergi merampok di sana. Akan tetapi alhamdulillahnya, sampai di Pemalang Allah
memberikan hidayah kepadanya sehingga dia taubat saat di Pemalang tadi. Jadi,
semenjak Umar merubah niatnya untuk merampok, maka ia tidak boleh mengqoshor
lagi. Akan tetapi saat sampai di Pemalang dan ia taubat, maka ia kembali boleh
untuk melakukan Qoshor sholat, walaupun jarak antara Tegal-Pemalang tidak
mencapai 2 marhalah.
Ketiga; Al-‘Ashi
Fis Safar. Yakni orang yang bepergian dengan tujuan
ketaatan atau dengan tujuan melakukan sesuatu yang diperbolehkan oleh aturan
syariat, akan tetapi dipertengahan jalan atau ditempat tujuan dia melakukan
kemaksiatan. Kelompok orang jenis ketiga ini tetap boleh melakukan praktek
Qoshor dan praktek Rukhshoh lainnya. Ilustrasi: si Ahmad adalah orang
Semarang yang akan mengambil dagangan berupa kain batik di Pekalongan. Saat
tiba di alun-alun Pekalongan, ternyata di sana sedang diadakan konser dangdutan
yang penuh dengan aura kemaksiatan. Karena kurangnya iman, akhirnya si Ahmad
ikut acara dangdutan itu, hingga akhirnya sampai ikut mabuk-mabukan juga. Dari
ilustrasi sederhana ini, bisa kita lihat bahwa sebenarnya niat Ahmad pergi ke
Pekalongan adalah baik dan diperbolehkan
oleh agama, yaitu niat untuk membeli barang dagangan berupa batik. Akan tetapi
karena tidak mampu menahan nafsu, akhirnya si Ahmad terjerumus dalam
kemaksiatan. Nah, walaupun Ahmad telah terjerumus, dia tetap boleh melakukan
Qoshor karena memang tujuan dia pergi bukan untuk maksiat.
Alasan yang melandasi
ketiga madzhab fiqh tersebut diatas—madzhab maliki, madzhab syafi’i dan madzhab
hanbali—dalam menentukan syarat tidak maksiat adalah sebagai berikut:
-
Bepergian [Safar]
adalah penyebab atau ‘Illat bagi seseorang untuk boleh melakukan sebuah
Rukhshoh. Sedang ada sebuah kaidah
yang mengatakan:
الرخص لا تناط بالمعاصي
“Sebuah praktek Rukhshoh tidak bisa dihubungkan dengan
kemaksiatan”
Jadi, karena
bepergian yang dilakukan adalah safar maksiat, sedang Rukhshoh tidak boleh
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat maksiat, maka kesimpulannya seseorang
tidak boleh melakukan praktek Qoshor jika bepergian yang ia lakukan adalah
sebuah kemaksiatan.
-
Tujuan disyariatkannya Qoshor adalah sebagai bantuan
bagi seorang muslim agar mudah untuk mendapatkan atau mencapai segala sesuatu
yang diperbolehkan oleh ajaran agama. Dan tentunya agar seeorang mulim bisa
benar-benar mendapatkan kemaslahatan di dunia ini. Jadi, andaikan praktek
Qoshor diperbolehkan bagi orang yang pergi dengan tujuan maksiat, maka yang
muncul adalah agama membantu seseorang untuk melakukan tindakan dan perbuatan
yang tidak diajarkan oleh islam itu sendiri. Ada unsur I’anah ‘Alal Ma’siat
[menjadi prasarana menuju kemaksiatan] yang jelas dicela dan dilarang oleh
ajaran agama islam itu sendiri.
Pendapat
yang berbeda dan bertolak belakang dengan ketiga madzhab diatas adalah pendapat
Madzhab Hanafi. Menurut
Madzhab Hanafi praktek Qoshor boleh dilakukan oleh setiap orang yang bepergian
secara mutlak, baik bepergian yang dilakukan dengan tujuan maksiat atau tidak,
tetap boleh melakukan praktek Qoshor. Dalil yang mereka jadikan pegangan adalah
kemutlakan nash ayat al-Qur’an surat an-nisa’[وإذا
ضربتم في الأرض] “Dan apabila kamu bepergian di
muka bumi”.
Perhatikan
dua kata yang kami pertebal di atas, kata “Dhorobtum” yang diartikan
dengan bepergian, adalah sebuah redaksi yang Muthlak, tanpa Qayyid
apapun, baik itu berupa Qoyyid bepergian yang boleh atau yang tidak
haram atau yang tidak maksiat, sama sekali tidak ada. Artinya, diperbolehkannya
mengqoshor sholat adalah sebuah hukum yang umum dan mencakup bepergian dengan
berbagai modelnya, selama itu masuk dalam kategori pergi, ya boleh mengqoshor.
Disamping
alasan di atas, mereka juga punya alasan lain lagi. Mereka menyatakan bahwa
bepergian dengan tujuan maksiat masuk dalam ketegori Al-Qubkhu Al-Mujawir
yang tidak menafikan disyariatkannya sesuatu. Artinya, bepergian dengan tujuan
maksiat tidak bisa meniadakan pensyariatan praktek Qoshor. Al-Qubkhu
Al-Mujawir adalah sebuah kemaksiatan atau kejelekan yang bisa lepas dari sebuah pekerjaan
tertentu
dalam satu waktu tertentu, semisal jual beli pada waktu adzan Jum’at. Jual beli saat adzan jum’at yang
kedua adalah sesuatu yang dilarang oleh ajarang Islam, karena jual beli
tersebut bisa menjadikan seseorang lalai akan kewajiban melakukan sholat
jum’at. Hanya saja, seseorang yang meninggalkan sholat Jum’at tidak mesti karena
alasan jual beli, kadang juga bisa karena malas, hujan dan lain sebagainya.
Dalam masalah yang kita bahas ini,
bepergian maksiat bisa dikategorikan sebagai Al-Qubkhu Al-Mujawir.
Karena seseorang melakukan maksiat tidak mesti saat dia bepergian, kemaksiatan bisa
ia lakukan saat dengan bepergian itu sendiri, akan tapi juga bisa dengan selain
bepergian, semisal apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi yang hanya
duduk-duduk saja dirumah, sedang Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam
telah mewajibkan berangkat Jihad Fi Sabilillah. Ada Al-Qubkhu Li ‘Ainihi
semisal kekufuran. Kufur adalah sesuatu yang sudah jelek dan jelas-jelas
maksiat, dalam waktu dan kondisi apapun itu. Maka jika seseorang kufur tidak
boleh untuk melakukan Rukhshoh apapun.
Tanbihun: Selain bepergian dengan kreteria
yang telah kami sebutkan diatas, sebenarnya ada beberapa macam dan bentuk
bepergian lainnya. Pertama; Bepergian yang wajib, semisal pergi untuk
mencari ilmu Dharuri [ilmu pokok tentang ajaran Islam yang harus
diketahui oleh setiap muslim], sementara didaerahnya sendiri tidak ada orang
yang mengajarkan ilmu Dharuri tersebut. Kedua; Bepergian yang
sunnah, semisal bepergian dengan silaturrahim. Ketiga; Bepergian yang
makruh. Semisal orang yang pergi sendirian, sedang dia sendiri tidak merasakan
kenyamanan bersama Allah saat bepergian itu. Keempat; Bepergian yang
diperbolehkan. Semisal pergi dengan tujuan dagang.
b.
Bepergian ini harus
memiliki tujuan yang jelas. Selama pembacaan dan
kajian yang telah kami lakukan, bisa kami simpulkan bahwa poin (b) ini merupakan
syarat yang disepakati oleh para Ulama dan Fuqoha’ dari empat Madzhab Fiqh
Sunni, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Contoh dari tujuan yang jelas
adalah semisal pergi ke Magelang, Jakarta, Bandung dan lain sebagainya, yang
memang jelas arah dan tempatnya. Walaupun tempat yang dituju tidak disebutkan
secara terperinci dan jelas—misal desa Kajoran.
Berbeda jika seseorang
pergi tanpa tujuan sama sekali, ia pergi hanya karena menuruti kemana arah
kakinya melangkah, maka orang yang demikian ini tidak boleh melakukan praktek
Qoshor sholat. Begitu juga orang yang bepergian dengan tujuan untuk mencari
orang yang lari membawa hutangnya, atau orang yang melarikan diri. Sedang dia
sendiri tidak tahu menahu dimana posisi orang yang membawa lari hutangnya atau
orang yang melarikan diri tadi. Maka orang tersebut pun tidak boleh melakukan
praktek Qoshor juga.
Tanbihun: Ada
sebuah kasus yang bisa juga dimasukkan ke dalam syarat ini. Yaitu apabila ada
seorang istri yang ikut pergi suaminya, akan tetapi ia tidak tahu kemana tempat
dan tujuan suaminya itu pergi. Maka si istri tadi tidak boleh melakukan praktek
Qoshor jika bepergian yang dilakukannya belum mencapai jarak 2 Marhalah—yang
insya allah akan dijelaskan pada syarat berikut nanti. Akan tetapi jika
bepergian yang dilakukan olehnya sudah mencapai 2 Marhalah, maka ia baru boleh
melakukan praktek Qoshor.
c.
Tempat tujuan bepergian
harus berjarak 2 Marhalah atau lebih. Para
ulama Empat Madzhab Fiqh Sunni sepakat bahwa Qoshor hanya boleh dipraktekkan
bagi bepergian yang berjarak tempuh jauh, bukan bepergian jarak tempuh yang dekat.
Hanya saja, setelah mereka sepakat bahwa jauhnya jarak tempuh merupakan syarat
bagi diperbolehkannya Qoshor, mereka kemudian berbeda pendapat tentang sejauh
mana batasan sebuah bepergian itu dianggap jauh jarak tempuhnya. Dapat kami
simpulkan bahwa perbedaan antara mereka terkelompokkan menjadi 2 bagian saja,
sebagai berikut:
-
Madzhab Hanafi: Ulama
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa seseorang boleh melakukan praktek Qoshor jika
jarak tempuh bepergian yang ia lakukan mencapai 3 Marhalah. Jarak 3 Marhalah ini
kurang lebih sekitar jarak tempuh 133, 560 km. Dalil yang dijadikan pijakan
berfikir Madzhad Hanafi ini adalah Qiyas. Ya, mereka mengqiyaskan jarak tempuh Qoshor
terhadap waktu diperbolehkannya seseorang mengusap Khuf yang telah
ditentukan oleh Hadis Nabi, yaitu selama 3 hari. Hadis Nabi tentang mengusap
khuf adalah sebagai berikut:
يمسح المقيم لكمال يوم وليلة و المسافر ثلاثة أيام
ولياليها
“Orang Yang Mukim Boleh Mengusap [Khuf] Saat Sempurna
Satu Hari Satu Malam, Sedang Orang Yang Musafir Bisa Mengusap [Khuf] Selama 3
Hari 3 Malam”.
-
Jumhur
[Mayoritas] Ulama: Mayoritas ulama—dalam
hal ini adalah Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali—menyatakan
bahwa seseorang boleh melakukan praktek qoshor sholat jika hendak melakukan
perjalanan dengan jarak tempuh 2 hari 2 malam yang standart. Jarak 2 hari 2
malam standart ini dikira-kirakan dengan jarak tempuh sekitar
89 km. Jadi menurut mayoritas ulama, jika seseorang hendak melakukan perjalanan
dengan jarak tempuh 89 km, maka ia sudah boleh melakukan Qhoshor saat melewati batas daerah dimana dia mukim.
Dalil:
Dalil yang dijadikan pijakan berfikir oleh mayoritas
ulama adalah hadis riwayat Imam ad-Daroquthni dari sahabat ibnu ‘abbas, beliau
berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama bersabda:
يا أهل مكة لا تقصروا في أقل من أربعة برد من مكة
إلى عسفان
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakukan
qoshor dalam [jarak] kurang dari 4 barid, dari Makkah [menuju] ke ‘Usfan”.
Begitu juga sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar bahwa beliau berdua selalu melakukan praktek sholat 2 roka’at
saja dan tidak berpuasa jika bepergian yang mereka lakukan mencapai jarak
tempuh 4 Barid atau lebih.
Tanbihun: Syaikh
Ibnu Qudamah mengkritik argumentasi mayoritas ulama, yang menyatakan bahwa
Qoshor diperbolehkan hanya jika bepergian seseorang dengan tujuan yang mencapai
jarak tempuh 89 km. Menurut Ibnu Qudamah pendapat mayoritas ulama di atas
kurang tepat dengan 3 alasan. Pertama; ada riwayat dari ibnu ‘umar dan ibnu
‘abbas yang berbeda dengan riwayat yang dituturkan oleh mayoritas ulama di atas.
Kedua; Dhahir ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ menggunakan redaksi mutlak
dan tidak dibatasi dengan bepergian yang jauh saja. Ketiga; pendapat mayoritas
ulama diatas bertentangan dengan hadis riwayat sahabat Anas, beliau berkata:
إن رسول الله كان إذا خرج مسيرة ثلاثة أميال أو ثلاثة
فراسخ صلى ركعتين
“Rasulullah saat keluar dengan
jarak 3 mil atau 3 farsakh, selalu melakukan sholat 2 roka’at saja”.
Pada akhir kesimpulannya, Ibnu Qudamah menyatakan
bahwa kalau melihat dalil-dalil yang
ada, sebenarnya praktek Qoshor boleh dilakukan oleh setiap orang yang sedang
bepergian secara mutlak, entah bepergian jauh atau dekat. Pendapat ini hanya
bisa di gugurkan jika memang benar-benar ada ijma’ yang menyatakan bahwa Qoshor
hanya boleh dilakukan oleh orang yang bepergian jauh saja.
d.
Niat Qoshor harus
bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Niat Qoshor ini seperti umumnya
niat sholat dan harus memenuhi beberapa syarat pokok yang disebutkan dalam niat.
Dalam sholat Fardhu harus ada Qoshdu [kehendak/keinginan melakukan
sholat], Ta’yin [menentukan macam sholatnya, semisal Dzhuhur/Ashar], Fardhiyyah
[harus menyebutkan bahwa sholat yang dilakukan adalah sholat fardhu]. Adapun
selain sholat fardhu, maka ada 2 kemungkinan. Pertama sholat sunnah yang tidak
mutlak, maka harus menyebutkan 2 hal, yaitu Qashdu dan Ta’yin
[baik dengan waktu/sebab]. Kedua adalah sholat sunnah mutlak, maka yang harus
disebutkan adalah Qoshdu saja, tidak perlu ada Ta’yin apalagi Fardhiyyah.
Dalam masalah Qoshor ini, maka selain syarat-syarat yang telah kami sebutkan
diatas, juga harus ada persyaratan menyebutkan niat Qoshor.
e.
Orang yang melakukan
praktek Qoshor sholat tidak boleh makmum kepada orang yang tidak melakukan
Qoshor. Telah menjadi kesepakatan para Fuqoha’
bahwa seorang musafir yang mengqoshor sholatnya, boleh serta sah makmum kepada orang
yang tidak Qoshor dan ia harus melakukan sholat 4 roka’at atau Itmam. Hanya
saja menurut Madzhab Maliki,
walaupun diperbolehkan makmum, akan tetapi hukumnya tetap makruh. Sedang Madzhab
Hanafi mensyaratkan praktek makmum ini harus masih dalam waktu sholat yang
di Qoshor, adapun jika waktunya sudah keluar, maka seorang musafir tidak
boleh/tidak sah makmum kepada orang yang mukim.
Dalil tentang
keharusan musafir untuk sholat 4 roka’at saat dia makmum kepada orang yang
mukim [tidak melakukan sholat Qoshor] adalah hadis riwayat ibnu ‘abbas saat ada
orang bertanya kepada beliau:
ما بال المسافر يصلي ركعتين في حال الانفراد و أربعا إذا ائتم بمقيم؟ فقال:
تلك السنة.
“Apa sebenarnya sikap seorang musafir itu, saat
dia sholat sendirian maka ia melakukan sholat 2 roka’at. Dan sholat 4 roka’at
saat dia makmum kepada orang yang mukim?, ibnu ‘abbas menjawab: Itulah sunnah”.
Imam Nafi’
juga berkata: “Ibnu Umar saat sholat bersama imam atau makmum, maka beliau
sholat 4 roka’at. Dan ketika sholat sendirian [dalam bepergian], maka mereka
sholat 2 roka’at [saja]”. Disamping juga ada hadis Nabi yang menyatakan:
إنما جعل الإمام ليؤتم به
“Sesungguhnya
seseorang dijadikan imam, agar ia diikuti”
Contoh:
ada orang yang sedang melakukan sholat dzuhur 4 roka’at, maka orang yang
mempraktekkan Qoshor tidak boleh makmum kepada orang tersebut. Adapun jika
dibalik, semisal orang yang Qoshor menjadi imam, sedang yang lain menjadi
makmum, maka hukum sholat keduanya adalah sah.
f.
Praktek Qoshor sholat
harus dilakukan saat seseorang sedang bepergian. Jika
sudah tidak bepergian/sebelumnya/ditengah-tengah sholat dia sudah mukim, maka
tidak boleh melakukan praktek Qoshor.
g.
Mengetahui
diperbolehkannya praktek Qoshor sholat.
Jadi kalau hanya ikut-ikutan saja melakukan Qoshor, karena melihat orang lain
mengqoshor misalnya, maka tidak sah praktek Qoshornya.
h.
Praktek Qoshor sholat
boleh dilakukan saat seseorang sudah melewati batas daerah dimana dia mukim.
i.
Tidak terbersit dalam hati
orang tersebut hal apapun yang meniadakan niat Qoshor/menjadikan ia ragu,
apakah niat Qoshor atau tidak.
j.
Sholat yang di Qoshor harus
dilakukan dalam waktunya. Dari syarat ini, bisa
dipahami bahwa sholat yang Qodho’ saat kondisi mukim, maka tidak boleh di
Qoshor. Adapun sholat yang Qodho’ saat sedang bepergian, maka boleh di Qodho’
saat dia sedang bepergian juga dengan di Qoshor. Tapi dengan syarat pergi yang
kadua juga harus mencapai jarak 2 Marhalah/lebih.
6.
Contoh niat Qoshor.
Niat adalah keinginan kuat dalam
hati seseorang yang bersamaan dengan pekerjaan yang diinginkan. Tempat niat
adalah ada dalam hati seseorang. Adapun ucapan hanyalah sunnah, karena ucapan
itu bisa membantu hati untuk niat. Jadi contoh niat di bawah ini seharusnya ada
dihati seseorang, bukan di mulutnya. Contoh:
أُصَلِّيْ
فَرْضَ الظُّهْرِ قَصْرًا
Artinya: “Saya
sholat Fardhu Dzuhur dengan di Qoshor”
[JAMA’ SHOLAT]
1.
Definisi Jama’
Sholat.
Jama’ sholat
adalah mengumpulkan satu sholat dengan sholat yang lain dan dilakukan di salah
satu waktu kedua sholat tersebut. Semisal melakukan sholat Dzuhur di waktunya
sholat ‘Ashar atau sebaliknya, yaitu melakukan sholat ‘Ashar di waktu sholat
Dzuhur. Begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya’. Dalil diperbolehkannya
melakukan Jama’ sholat adalah hadis
yang diriwayatkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu:
خرجنا مع رسول الله صلى
الله عليه وسلم في غزوة تبوك فكان يجمع بين الظهر والعصر و المغرب والعشاء فأخر
الصلاة يوما ثم خرج فصلى الظهر والعصر جميعا ثم دخل فصلى المغرب والعشاء جميعا.
“Kami [para sahabat] keluar
bersama dengan Rasulullah dalam perang Tabuk. Beliau melakukan jama’ antara
sholat Dzuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan Isya’. Pada suatu hari beliau
mengakhirkan sholat, lalu keluar dengan melakukan sholat Dzuhur dan ‘Ashar
secara bersamaan. Kemudian beliau masuk lagi, lalu melakukan sholat Maghrib dan
Isya’ secara bersamaan”.
2.
Hal-hal yang menyebabkan bolehnya Jama’.
Ada beberapa
hal yang menjadi penyebab seseorang boleh melakukan praktek jama’. Diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Bepergian
yang sudah mencapai jarak tempuh sekitar 89 km, sebagaimana syarat jarak tempuh
dalam sholat Qoshor. [Yang akan kami bahas dalam buku saku ini adalah jama’
karena adanya penyebab yang pertama ini].
b. Hujan yang
sangat deras. [Dalam hal ini ada pembahasan khusus yang tidak bisa kami
jelaskan dalam buku saku ini].
c. Sakit yang
sangat berat.
d. Turunnya
salju. [Inipun sama dengan masalah jama’ karena hujan yang tidak bisa
dijelaskan dalam buku kecil ini].
3.
Pembagian praktek Jama’.
Praktek
Jama’ dibagi menjadi 2 macam: Jama’ Taqdim dan Jama’ Ta’khir.
Penjelasan serta syarat-syarat dari kedua praktek ini adalah sebagai berikut:
a. Jama’
Taqdim.
Jama’ Taqdim
adalah mengumpulkan 2 sholat dalam satu waktu, praktek jama’ ini dengan
melakukan sholat yang kedua di waktu sholat yang pertama. Contohnya adalah
melakukan sholat ‘Ashar didalam waktunya sholat Dzuhur atau sholat Isya’ didalam
waktunya sholat Maghrib, dengan niat
mengumpulkan [menjama’] keduanya. Sedang syarat-syarat melakukan Jama’
Taqdim adalah sebagai berikut:
1) Tertib. Yaitu
dengan melakukan sholat yang memang waktunya pertama terlebih dahulu, baru
kemudian melakukan sholat kedua. Misal melakukan sholat Dzuhur terlebih dahulu
baru kemudian melakukan sholat ‘Ashar atau Maghrib terlebih dahulu baru
kemudian Isya’. Tidak sah jika melakukan ‘Ashar atau Isya’ lebih dahulu
baru kemudian melakukan Dzuhur atau ‘Ashar.
2) Niat Jama’
Taqdim pada saat sholat yang pertama, yaitu niat pada sholat Dzuhur/Maghrib.
3) Tidak ada
waktu jeda yang lama antara praktek sholat pertama dan kedua. Jadi
setelah selesai melakukan sholat yang pertama, maka sesegera mungkin melakukan
sholat yang kedua.
4) Masih dalam
kondisi bepergian saat Takbiratul Ihram sholat yang kedua. Jadi saat
melakukan takbiratul ihram sholat ‘Ashar/Isya’ harus masih dalam kondisi
bepergian.
5) Bepergian
yang dilakukan harus mempunyai tujuan yang benar. Tidak
karena tujuan ma’siat atau hanya hura-hura tanpa kejelasan saja.
6)
Bepergian ini harus
memiliki tujuan tempat yang jelas. Contoh dari tujuan
yang jelas adalah semisal pergi ke Magelang, Jakarta, Bandung dan lain
sebagainya, yang memang jelas tempatnya.
7)
Mengetahui
diperbolehkannya praktek Jama’
sholat. Jadi kalau hanya ikut-ikutan saja
melakukan Jama’, karena melihat orang lain menjama’ misalnya, maka tidak sah
praktek Jama’nya.
8)
Harus memiliki
dugaan [Dzon] bahwa sholat yang pertama sah.
9)
Praktek sholat
yang pertama dan kedua harus masih dalam waktu sholat yang pertama. Contoh adalah praktek sholat ‘Ashar/Isya’ haruslah
masih dalam waktu sholat Dzuhur/Maghrib. Jika waktu Dzuhur/Maghrib sudah keluar
maka Jama’nya tidak sah.
Contoh niat
Jama’ Taqdim:
أصلي فرض الظهر مجموعا إليه العصر
“Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan]
sholat ‘Ashar kepadanya”
أصلي فرض المغرب مجموعا إليه العشاء
“Saya sholat
fardhu Maghrib dengan menjama’ [mengumpulkan] sholat Isya’ Kepadanya”
Tanbihun: Boleh
melakukan Jama’ Taqdim antara sholat Jum’at dan sholat ‘Ashar, sebagaimana
diperbolehkannya melakukan Jama’ antara Dzuhur dan ‘Ashar. Hanya saja sholat
Jum’atnya harus sah seseuai dengan syarat sahnya sholat Jum’at. Akan tetapi
tidak boleh menjama’ ta’khir antara sholat Jum’at dan ‘Ashar, hal itu karena
salah satu syarat sahnya sholat jum’at adalah harus dilakukan dalam waktu
dzuhur.
b. Jama’ Ta’khir.
Jama’
ta’khir adalah mengumpulkan dua sholat dengan melakukan sholat yang pertama dalam
waktu sholat yang kedua. Contohnya adalah melakukan sholat Dzuhur atau Maghrib
dalam waktunya sholat ‘Ashar atau Isya’, tentunya dengan niat menjama’
[mengumpulkan] keduanya dalam satu waktu. Sedang syarat-syarat melakukan
Jama’ Ta’khir adalah sebagai berikut:
1) Niat untuk
menjama’ dan melakukan sholat yang pertama dalam waktu yang kedua nanti. Niat ini
harus dilakukan saat masuk waktunya sholat yang pertama. Contoh saat masuk
waktu sholat Dzuhur maka hendaknya hati seseorang langsung berniat menjama’ di
waktu kedua, begitu juga saat masuk waktu Maghrib.
2) Kedua sholat—sholat
pertama dan kedua—harus dilakukan sampai selesai dalam kondisi si pelaku masih
bepergian.
Tanbihun: Adapun
syarat-syarat yang terdapat pada Jama’ Taqdim—semisal tartib, tidak ada waktu
jeda yang lama, niat Jama’ pada sholat yang pertama—tidaklah menjadi syarat
pada Jama’ Ta’khir ini, akan tetapi hanya sekedar sunnah saja.
Contoh niat Jama’
Ta’khir:
أصلي فرض الظهر مجموعا إلى العصر
“Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan]nya
kepada sholat ‘Ashar”
أصلي فرض المغرب مجموعا إلى العشاء
“Saya
sholat fardhu Maghrib dengan menjama’ [mengumpulkan]nya kepada sholat Isya’”
Tanbihun: Seseorang
yang sedang bepergian juga diperbolehkan melakukan praktek sholat Jama Qoshor.
Yaitu melakukan Jama’ sekaligus juga Qoshor. Hanya saja tentunya yang boleh di
Qoshor hanyalah sholat Dzuhur, ‘Ashar
dan Isya’. Sedang sholat Maghrib tidak, karena Maghrib adalah sholat dengan 3
roka’at, bukan 4 roka’at. Walaupun boleh untuk menjama’ Maghrib dengan Isya’,
tapi yang di Qoshor hanya Isya’-nya saja.
Contoh niat Jama’
Qoshor:
أصلي فرض الظهر مجموعا إلى العصر قصرا
“Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan] nya
kepada sholat ‘Ashar dan mengqoshornya juga” [Niat pertama ini adalah
contoh untuk Jama’ Ta’khir+Qoshor].
أصلي فرض الظهر مجموعا إليه العصر قصرا
“Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan]
sholat ‘Ashar kepadanya dan mengqoshornya juga”[Niat kedua ini adalah
contoh untuk Jama’ Taqdim+Qoshor].
[Batas
Selesainya Rukhsoh]
Praktek Qoshor dan
Jama’ adalah salah satu bentuk keringanan [Rukhshoh] yang diberikan oleh
syariat Islam, sehingga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, dan tentunya
kedua praktek Rukhshoh ini tidaklah bisa dilakukan dalam setiap waktu
seenaknya sendiri. Berikut ini adalah batas dimana seseorang telah dianggap
tidak lagi sedang bepergian oleh syariat Islam:
1. Kembali ke
tempat asalnya. Batasan tempat asal adalah tempat dimana seseorang
disyaratkan meninggalkannya jika ingin melakukan bepergian. Misal sebuah desa
seperti desa kalisari, maka seseorang dianggap musafir [orang yang bepergian]
jika sudah melewati batas akhir kalisari dengan masuk desa Nangeng dari arah
barat atau desa Karangasem dari arah timur.
2. Sampai ke
tempat tujuannya, jika ia niat untuk mukim disana lebih dari 3 hari [menurut
Madzhab Imam Syafi’i]. Semisal adalah yang ingin pergi ke daerah Magelang,
tepatnya desa Kajoran. Jika ia berniat untuk tinggal disana lebih dari 3 hari,
maka dengan hanya sampai ke desa kajoran dia sudah tidak boleh lagi melakukan
praktek Qoshor atau Jama’.
3. Niat untuk
mukim. Jadi bila ada seseorang yang niat mukim—walaupun ditengah jalan—maka
seketika ia tidak boleh lagi melakukan praktek Qoshor atau Jama’.
[Waktu Boleh
Melakukan Rukhsoh]
Telah kami sebutkan di atas bahwa kita tidak boleh
melakukan praktek Qoshor atau Jama’ setiap waktu sesuka kita, karena keduanya
adalah praktek ibadah yang bernilai keringanan [Rukhsoh] dan merupakan shodaqah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala kepada hambanya. Berikut ini adalah sejauh mana batasan waktu
yang kita boleh melakukan Qoshor atau Jama’ didalamnya.
1. Madzhab
Syafi’i dan Madzhab Maliki: jika seseorang niat untuk mukim selama 4 hari
atau lebih, dengan tanpa menghitung hari dia masuk dan keluar dari daerah
dimana dia mukim, maka setatusnya bukan lagi musafir.
2. Madzhab
Hanafi: jika seseorang niat mukim selama 15 hari, maka dia statusnya
bukan lagi musafir.
3.
Salah satu riwayat dari Imam Ahmad/Madzhab Hanbali:
jika seseorang niat untuk mukim disuatu daerah dan selama itu dia bisa
melakukan sholat sebanyak 20 sholatan maka dia tidak berstatus musafir lagi.
[Adab-Adab
Bepergian]
Di bawah ini akan kami
sebutkan beberapa adab saat seseorang hendak melakukan perjalanan atau bahkan
nanti saat sedang dalam perjalanan itu sendiri. Karena tentunya semua itu
memang telah diatur oleh syariat Islam dengan ajarannya yang indah dan
manusiawi. Berikut adalah adab-adab itu:
1. Jika
seseorang hendak melakukan perjalanan, maka disunnahkan baginya untuk
bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang yang bisa dipercaya agamanya,
memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang bepergian yang akan dia lakukan. Dan
tentunya wajib bagi orang yang dimintai musyawarah untuk memberikan nasehat dan
pertimbangannya, yang keduanya harus tidak didasari kesenangan dan nafsu
pribadi saja.
2. Jika memang
sudah memiliki keinginan yang sangat kuat untuk bepergian, maka hendaknya
seseorang melakukan dulu Istikhoroh [meminta pilihan terhadap Allah].
Istikhoroh bisa dilakukan dengan sholat atau cukup dengan doa saja.
3. Hendaknya ia
melakukan taubat dari segala macam kemaksiatan terlebih dahulu sebelum
benar-benar pergi. Membayar semua hutang yang dimilikinya, mengembalikan barang
yang dititipkan kepadanya dan meminta halal dari orang-orang yang pernah
berinteraksi dengan dirinya.
4. Meminta
ridha dari kedua orang tua dan orang-orang yang memang harus dimintai ridhanya.
Dan hendaknya berpamitan kepada keluarga, tetangga, teman dan semua orang yang
dikasihinya.
5. Disunnahkan
untuk sholat 2 roka’at saat hendak keluar dari rumah. Dengan membaca surat
Al-Kafirun pada roka’at pertama setelah fatihah dan membaca Al-Ikhlas pada
roka’at kedua setelah fatihah.
6. Mempersiapkan
bekal yang benar-benar halal. Dan hendaknya selalu mendoakan orang-orang yang
dikasihinya dalam perjalanan itu dengan doa yang baik, karena doa saat
seseorang dalam perjalanan—insya Allah—lebih di ijabahi Allah.
7. Mencari
teman yang baik. Teman yang baik adalah teman yang selalu menasehati kita saat
kita salah, mengingatkan kita saat kita lupa dan jika kita berbuat baik, dia
pun membantu kita. Intinya ia adalah teman yang selalu mengajak kita untuk
berakhlak karimah.
8. Saat pulang,
hendaknya mampir ke masjid atau musholla terlebih dahulu sebelum langsung
pulang ke rumah. Lalu melakukan sholat dua roka’at dahulu disana. Sholat ini
adalah dengan niat sholat Qudum [dating dari bepergian].
9. Saat hendak
berangkat hendaknya ada yang melakukan Adzan terlebih dahulu, lalu kemudian di
Iqomati.
Sebenarnya masih banyak adab-adab bagi seseorang yang
akan atau sedang melakukan perjalanan, akan tetapi kami cukupkan sedemikian
saja dalam buku saku kecil ini. Dan sebagai penutup kami tuliskan doa yang
diucapkan bagi orang yang ditinggalkan bepergian, yaitu sebagai berikut:
أَسْتَوْدِعُكَ اللهُ دِيْنَكَ وَ أَمَانَتَكَ وَ خَوَاتِيْمَ
عَمَلِكَ. زَوَّدَكَ اللهُ التَقْوَى وَغَفَرَ لَكَ ذَنْبَكَ وَيَسَّرَ الخَيْرَ لَكَ
حَيْثُمَا كُنْتَ.
“Saya titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan penutup dari
amalmu. Semoga Allah memberimu bekal ketaqwaan, mengampuni semua dosamu dan
memudahkan segala kebaikan untukmu di mana pun kamu berada”.
Wallahu
A’lam Bis Showab
0 komentar