Advertise 728x90

[QOSHOR SHOLAT]

Written By Unknown on Saturday, June 21, 2014 | 10:07 AM

Bismillah. Alhamdulillah Was Sholatu Was Salaamu ‘Ala Rasulillah. Amma ba’du:
[QOSHOR SHOLAT]


1.        Definisi Sholat Qoshor.
Qoshor adalah praktek meringkas sholat yang empat roka’at menjadi dua roka’at. Jadi sholat yang boleh di Qoshor hanya 3 sholat saja, yaitu Dzuhur, ‘Ashar dan Isya’. Penyebab seseorang boleh melakukan praktek Qoshor adalah bepergian [Safar]. Adapun dalil tentang diperbolehkannya praktek Qoshor sholat adalah ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا [النساء/101[
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”.
Imam Ibrahim Al-Baijuri mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam buku shahihnya, dari Ya’la bin Umayyah, beliau bertanya kepada Amirul Mu’minin Umar Ibnul Khottob Radhiyallahu ‘Anhu: “Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa hukum bolehnya Qoshor sholat disyaratkan jika kamu sekalian takut fitnah [In Khiftum An Yaftinakum], sedang sekarang kita sudah aman?”, maka Sayyidina Umar pun menjawab: “Aku pun dulu heran sepertimu. Lalu aku tanyakan hal ini kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau menjawab:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ
[Qoshor sholat adalah] shodaqoh pemberian Allah untuk kalian, jadi terimalah shodaqoh Allah itu”.
Lebih lanjut Syaikh Al-Baijuri menjelaskan bahwa praktek Qoshor dalam kondisi aman—bukan kondisi perang dan banyak fitnah, semisal kondisi saat turunnya ayat diatas—adalah merupakan Shodaqoh atau hukum tambahan yang diluar cakupan teks ayat di atas. Jadi ayat In Khiftum An Yaftinakum bukan sebuah batasan yang mengikat dan menjadikan kondisi aman sebagai pengecualian dari hukum bolehnya Qoshor sholat ini.
Dari penjelasan ringkas di atas, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalil diperbolehkannya Qoshor sholat dalam kondisi tidak aman [Khouful Fitnah] adalah ayat Al-Qur’an dari surat An-Nisa’ di atas. Adapun dalil tentang diperbolehkannya Qoshor sholat dalam kondisi aman adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ya’la Bin Umayyah, sebagaimana telah kami jelaskan secara ringkas di atas.
Praktek Qoshor sholat pertama kali disyariatkan pada tahun ke-4 Hijriyah sebagaimana dikutip oleh Al-Baijuri dari Ibnul Atsir. Sedang menurut Ad-Dulaby, praktek Qoshor pertama disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah, tepatnya pada bulan Rabi’us Tsani. Ada juga yang menyatakan bahwa praktek Qoshor sholat ini pertama kali disyariatkan pada 40 hari setelah hijrahnya baginda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam ke tanah Madinah. Wallahu A’lam Bis Showab.
2.        Hukum melakukan Qoshor sholat.
Melakukan Qoshor Sholat hukumnya adalah boleh menurut Madzhab Syafi’i. Bahkan jika jarak bepergian seseorang sudah mencapai jarak tempuh 3 Marhalah atau lebih, maka hukumnya sunnah. Adanya hukum sunnah saat melakukan perjalanan lebih dari 3 marhalah adalah untuk menghindari perbedaan yang lebih tajam lagi dengan Imam Abu Hanifah, karena menurut beliau, jika perjalanan seseorang sudah mencapai 3 Marhalah atau lebih, maka melakukan praktek Qoshor sholat hukumnya adalah wajib.
Memang para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hukumnya melakukan Qoshor sholat. Paling tidak dalam empat Madzhab yang dominan dikalangan masyarakat sunni saja, terdapat pendapat-pendapat yang saling berbeda antara satu dan lainnya. Apalagi jika kita melihat Madzahib diluar lingkungan sunni, semisal Ja’fariyyah ataupun Zaidiyyah yang tumbuh berkembang dalam lingkungan kelompok Syiah.
Secara singkat saja, hukum melakukan praktek Qoshor menurut empat Madzhab fiqh yang berkembang dalam lingkungan sunni adalah sebagai berikut:
-       Madzhab Hanafi: melakukan praktek Qoshor menurut mereka adalah wajib. Hanya saja hukum Wajib dalam istilah madzhab Hanafi sendiri berbeda dengan istilah Fardhu, karena wajib berada satu tingkatan di bawah fardhu, yaitu setingkat Sunnah Muakkadah [sunnah yang sangat dianjurkan sekali]. Jadi, meninggalkan praktek Qoshor bagi musafir hukumnya adalah Makruh dalam madzhab Hanafi.
-       Madzhab Maliki: melakukan praktek Qoshor menurut mereka adalah Sunnah Muakkadah [sunnah yang sangat dianjurkan sekali]. Bahkan menurut Madzhab Maliki melakukan praktek Qoshor lebih utama dari pada sholat berjama’ah.
-        Madzhab Syafi’i: melakukan praktek Qoshor menurut mereka adalah boleh-boleh saja [Jawaz], sebagaimana diperbolehkannya seorang musafir untuk tidak melakukan Qoshor [Itmam]. Hanya saja jika perjalanan yang ditempuh sudah mencapai jarak 3 marhalah, maka hukum Qoshor sholat menurut mereka adalah sunnah, seperti telah kami jelaskan dengan singkat di atas tadi.
-       Madzhab Hanbali: mereka menyatakan bahwa melakukan Qoshor sholat hukumnya adalah boleh, bahkan lebih baik dari pada tidak melakukan Qoshor atau Itmam Sholat.
Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar tentang perbedaan hukum yang terjadi antara para Imam madzhab ini, Insya Allah akan di kupas secara ringkas dan jelas pada pembahasan tentang Rukhshoh dan ‘Azimah di bawah nanti.
3.        Hikmah dibalik pensyari’atan Qoshor.
Islam sebagai agama yang Hanif, tentunya membawa ajaran-ajaran yang indah dan menjadikan kemaslahatan pemeluknya—bahkan kemaslahatan orang-orang yang tidak memeluk Islam—sebagai pertimbangan utama. Syariat dan ajaran Islam diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad untuk memenuhi kemaslahatan manusia itu, sehingga dibalik setiap ajaran-ajaran yang dibawanya pasti terkandung banyak hikmah yang luar biasa. Hanya saja, kadang kita sebagai manusia biasa, tidak mampu menangkap semua hikmah itu, atau kalaupun bisa, ya hanya sebagian kecil dari beberapa hikmah yang ada saja, tidak bisa semua.
Para ulama pun telah berusaha untuk menggali hikmah-hikmah dibalik setiap ajaran Islam yang indah, yang tentunya hasil galian yang didapatkan oleh satu ulama berbeda dengan yang lain. Ada yang kemudian menuliskan hasil kajian dan galian hikmahnya itu dalam buku-buku khusus, semisal buku hikmah Tasyri’ Wa Falsafatuhu, buah karya Syaikh Ali Bin Ahmad Al-Jurjawi Al-Hanbali. Ada pula yang menulis hasil kajiannya itu dalam buku-buku yang secara umum membahas tentang aturan dalam Islam, walaupun penyebutan hikmah itu hanya sekilas saja, seperti yang dilakukan oleh Al-Baijuri dalam Hasyiyahnya atas buku Fathul Qarib ataupun Al-Ghazali dalam Ihya’-nya.
Berikut ini adalah beberapa hikmah tentang praktek Qoshor sholat yang kami temukan dalam beberapa karya ulama, baik klasik maupun kontemporer. Walaupun kami tidak berani memastikan bahwa memang demikianlah tujuan disyariatkannya praktek Qoshor sholat itu sendiri. Diantaranya adalah sebagai berikut:
-       Untuk meringankan [Takhfif], karena memang pada umumnya, saat seseorang bepergian, maka secara otomatis ia akan merasakan beban dan kepayahan dalam dirinya. Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Arab yang menggambarkan tentang payahnya bepergian:
السَفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ
Bepergian adalah satu bentuk siksa tersendiri
Kenapa bepergian dianggap sebagai salah satu bentuk siksaan? Menjawab pertanyaan ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqollani memberikan beberapa alasan; karena payahnya naik kendaraan, repotnya berjalan dan susahnya meninggalkan tempat yang sudah lama dihuni. Jawaban ini senada dengan jawaban yang disampaikan oleh Imam Al-Haramain saat ditanya tentang makna ungkapan di atas, beliau menjawab: “Karena dengan bepergian, kita akan berpisah dengan orang-orang yang kita cintai”.
-       Mempermudah umat Islam dalam memenuhi hak-hak Allah. Yang dimaksud dengan hak-hak Allah dalam masalah ini adalah pelaksanaan sholat fardhu 5 waktu. Karena tentunya dengan diperbolehkannya praktek Qoshor, seorang muslim sejati bisa melaksanakan hak Allah di atas dengan mudah, nyaman dan santai, karena kenyataannya memang praktek Qoshor ini lebih ringan dari pada Itmam.
-       Menjadikan seseorang senang untuk melakukan kewajibannya dan tidak menjadikan mereka lari dari aturan Allah yang paling pokok ini.
-       Dengan adanya praktek Qoshor sholat ini, tidak ada alasan bagi siapapun untuk meninggalkan sholat, walaupun saat seseorang benar-benar payah akan beratnya perjalanan yang dilaluinya, karena dengan Qoshor beban sholat telah menjadi ringan.
4.    Qoshor, Rukhshoh atau ‘Azimah?
Dalam terminologi Ushul Fiqh, kita akan dikenalkan dengan istilah-istilah yang tentunya berbeda dengan istilah yang ada dalam fiqh atau ilmu lainnya. Diantara beberapa istilah yang diajarkan dalam ushul fiqh adalah term Rukhshoh dan ‘Azimah. Apa yang dimaksud dari dua istilah tersebut? Apa hubungannya dengan praktek Qoshor sholat?
Secara bahasa ‘Azimah bermakna pokok. Sedang menurut istilah Ushul Fiqh ‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah Subhanau Wa Ta’la pertama kali, untuk dijadikan aturan baku dan pokok secara umum bagi semua orang Mukallaf dalam setiap kondisi apapun. Contoh ‘Azimah adalah sholat 5 waktu, zakat, puasa dan haji. Termasuk dari contoh ‘Azimah adalah hukum-hukum yang merupakan tuntutan kemaslahatan umum, semisal diperbolehkannya jual beli [Bai’], sewa menyewa [Ijaroh] dan beberapa praktek transaksi yang lain.
Secara bahasa Rukhshoh bermakna keringanan. Sedang menurut terminologi Ushul Fiqh, Rukhshoh adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kondisi tertentu, karena adanya udzur yang sangat berat. Sedang hal-hal yang menjadi penyebab hukum asal tetap masih ada. Tujuan disyariatkannya hukum-hukum tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan orang Mukallaf atau untuk meringankan beban yang menjadi kewajibannya. Contoh dari Rukhshoh adalah bolehnya praktek Qoshor sholat, Jama’ sholat, boleh memakan bangkai karena keadaan darurat dan masih banyak contoh lainnya.
Untuk lebih memperjelas keterangan diatas, Kita ambil saja sholat sebagai contoh. Sholat adalah kewajiban yang dibebankan oleh Allah bagi setiap orang Mukallaf dalam kondisi apapun. Baik saat dia dirumah, bepergian, sehat, sakit, kaya ataupun miskin. Kewajiban sholat tidak dibatasi dalam kondisi tertentu, seperti sehat atau kaya saja. Sehingga ketika seseorang atuh sakit atau miskin, maka ia tidak kewajiban sholat. Tidak! Karena memang sholat adalah kewajiban yang harus dilakukan dalam kondisi apapun, dan inilah yang disebut dengan ‘Azimah. Hanya saja, saat seseorang sakit berat, sehingga ada kepayahan jika dia harus sholat dengan berdiri—misalnya—maka syariat memberikan keringanan [Rukhshoh] baginya untuk sholat dengan duduk. Praktek diperbolehkannya sholat dengan duduk inilah yang disebut dengan Rukhshoh.
Lalu, apakah Qoshor merupakan Rukhshoh atau ‘Azimah? Para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam menyikapi pertanyaan tersebut:
a)   Madzhab Hanafi: praktek Qoshor sholat adalah ‘Azimah dan wajib bagi seseorang yang sedang bepergian dengan jarak tempuh 89 km untuk melakukan Qoshor sholat. menurut Madzhab Hanafi, seseorang yang sedang bepergian tidak boleh melakukan sholat Dzuhur, ‘Ashar dan Isya’ dengan 4 roka’at secara sengaja. Karena memang kewajibab seorang musafir dalam sholat yang Ruba’iyyah [sholat fardhu yang jumlah roka’atnya 4] adalah Qoshor, yakni 2 roka’at saja. Apabila dia lupa dan melakukan sholat dengan 4 roka’at, maka ia wajib melakukan Sujud Sahwi. Demikianlah sekilas saja tentang Qoshor dalam pandangan Madzhab Hanafi.
Adapun dalil yang dijadikan dasar oleh Madzhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha beliau berkata:
فرضت الصلاة ركعتين ركعتين. فأقرت صلاة السفر و زيد في صلاة الحضر
[pada mulanya] sholat yang di fardhukan hanya dua roka’at, dua roka’at  saja. Lalu [kewajiban dua roka’at ini] ditetapkan bagi sholat yang dalam bepergian [Safar], adapun sholat yang dalam kondisi mukim, maka ditambahi menjadi 4 roka’at”.
Begitu juga hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata:
فرض الله الصلاة على لسان نبيكم في الحضر أربع ركعات وفي السفر ركعتين وفي الخوف ركعة
Allah telah mewajibkan—melalui apa yang disampaikan oleh Nabi kalian—bahwa sholat yang dilakukan seseorang saat ia mukim adalah 4 roka’at, saat dalam bepergian 2 roka’at dan dalam kondisi ketakutan adalah 1 roka’at”.
Dari kedua hadis di atas [perhatikan lagi lebih seksama pada kata-kata yang telah kami tebalkan, karena itu adalah poin pokok pada dalil], Madzhab Hanafi mengambil sebuah kesimpulan bahwa praktek Qoshor sholat hukumnya adalah wajib. Untuk lebih detilnya lagi tentang masalah ini, para pembaca bisa langsung melihat kitab-kitab ataupun buku-buku yang membahas tentang Fiqh Hanafi secara tuntas.
b)   Madzhab Maliki [pendapat yang masyhur dan kuat], Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali: ketiga madzhab ini sepakat menganggap bahwa praktek Qoshor adalah Rukhshoh, bukanlah hal yang wajib. Hanya saja, kalau Madzhab Maliki menyatakan bahwa praktek Qoshor adalah Sunnah Muakkadah. Sedang Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa antara Qoshor dan tidak sama saja, karena hukum praktek Qoshor hanyalah boleh saja. Dalam Madzhab Syafi’i, praktek Qoshor bisa menjadi sunnah jika dalam hati seseorang ada rasa enggan untuk melakukan Qoshor atau jarak tempuh tempat tujuannya sudah mencapi 3 marhalah.
Ketiga madzhabyang bisa kami katakan sepakat ini punmemiliki dalil yang dijadikan dasar dan pegangan oleh masing-masing dari mereka. Madzhab Maliki—yang menyatakan bahwa praktek Qoshor hukumnya Sunnah Muakkadah—menjadikan semisal hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar sebagai dalil, beliau berkata:
صحبت النبي صلى الله عليه وسلم فكان لا يزيد في السفر على ركعتين وأبو بكر وعمر وعثمان كذلك
Saya [ibnu umar] telah menemani baginda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau tidak pernah melakukan sholat [yang roka’atnya 4] saat bepergian melebihi dari 2 roka’at. Begitu pula Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘Anhum”.
Kesimpulan yang bisa diambil dari hadis di atas adalah bahwa baginda Nabi, sahabat Abu Bakar, Umar serta Utsman selalu—atau dengan kata lain sangat sering—melakukan praktek Qoshor saat sedang bepergian. Sebuah tindakan yang selalu atau  sering dilakukan oleh baginda Nabi tentunya bisa dikatakan sangat dianjurkan sekali untuk diikuti, maka dari sini muncullah hukum Sunnah Muakkadah. Kurang lebih demikianlah nalar dan argument berfikir dari Madzhab Maliki.
Adapun dalil yang dijadikan dasar oleh Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali—yang dalam hal ini keduanya memiliki pendapat sama, yakni sama-sama menyatakan bahwa Qoshor merupakan pilihan, bukan tuntutan—adalah beberapa hal dibawah ini:
Pertama; adalah ayat ke-101 dari surat An-Nisa’ yang telah kami tuturkan pada awal pembahasan di atas. Dalam ayat tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa tidak mengapa kamu mengqoshor sholatmu [فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة]. Kita perhatikan redaksi ayat yang menggunakan bahasa “Falaisa ‘Alaikum Junahun” atau tidak mengapa, redaksi tersebut mengisyaratkan bahwa Qoshor adalah sebuah pilihan, bukan sebuah tuntutan, baik itu tuntutan yang bersifat wajib maupun tuntutan sunnah.
Kedua; adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Umar di atas bahwa praktek Qoshor merupakan shodaqoh yang diberikan oleh Allah kepada hambanya. Ada juga hadis yang menjelaskan bahwa Allah sangat senang jika Rukhshoh shodaqohnya dilakukan sebagaimana Dia pun senang jika ‘Azimahnya juga dilakukan.
Ketiga; juga hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah beliau berkata:
خرجت مع النبي في عمرة في رمضان فأفطر وصمت وقصر وأتممت فقلت: بأبي وأمي أفطرت وصمت وقصرت وأتممت فقال: أحسنت يا عائشة
Saya keluar bersama baginda Nabi saat Umrah pada bulan Romadhan. Beliau [baginda Nabi] tidak berpuasa, sedangkan saya puasa. Beliau mengqoshor sholat, sementara saya menyempurnakannya. Lalu aku pun bertanya kepada baginda Nabi: demi ayah dan ibuku [yang akan menjadi tebusan sumpahku], [sungguh] anda tidak puasa sementara aku berpuasa, anda mengqoshor sholat sedang aku menyempurnakannya. [Baginda Nabi] berkata: engkau telah melakukan hal yang baik ‘Aisyah [dengan puasa dan itmam yang telah engkau lakukan]”.
Hadis terakhir ini memberikan penjelasan kepada kita, bahwa baginda Nabi pun memuji Itmam [menyempurnakan] sholat saat bepergian yang dilakukan oleh Sayyidah ‘Aisyah. Pujian baginda Nabi ini memberikan pemahaman bahwa tidak mengqoshor sekalipun bukan merupakan hal yang dicela oleh ajaran Islam. Perhatikan dengan lebih seksama lagi redaksi hadis yang telah kami pertebal, untuk lebih memudahkan penjelasan kami.
Penjelasan secara singkat tentang warna warni madzhab fiqh dalam Islam di atas, kiranya cukup untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa memang masing-masing madzhab memiliki sudut pandang yang beda dan tentunya ijtihad yang berbeda pula dalam memahami teks Al-Qur’an hadis. Pada kesempatan ini kami ingin menekankan bahwa perbedaan para ulama adalah rohmat, jadi tidak perlu dibesar-besarkan perbedaan itu sehingga saling menjatuhkan atau bahkan memvonis sesat dan kafir kepada yang lainnya. Kembali terngiang ditelinga kami sebuah ayat yang selalu dituturkan oleh guru kami saat ngaji Bulughul Maram dulu, yakni Dr. KH. Abdul Ghofur Maemoen. Ayat tersebut adalah [ولكل وجهة هو موليها], setiap orang mempunyai sisi pandangnya masing-masing, yang dijadikan pijakan melangkah ke arah itu. Jadi dalam menyikapi segala macam perbedaan, kami dididik untuk bisa dewasa dan bijak oleh beliau. Semoga beliau dan ayahandanya—Kiai Maemoen—selalu diberi kesehatan dan dalam perlindungan Allah.
5.        Syarat-syarat diperbolehkan melakukan Qoshor sholat.
Pada pembahasan yang di atas, dengan panjang lebar telah kami paparkan beberapa hal yang berhubungan dengan praktek Qoshor sholat. Mulai tentang definisi, hukum atau tentang hikmahnya. Begitu juga telah kami jelaskan dengan lebih detil dan luas bahwa praktek Qoshor itu apakah termasuk kategori Rukhshoh atau ‘Azimah? Yang kami kira penjelasan tersebut—Insya Allah—sedikit bisa membuka wawasan keilmuan kita akan keragaman bermadzhab dalam fiqh Islam.
Karena praktek Qoshor sholat adalah sebuah ibadah yang berbeda dengan praktek sholat pada umumnya, maka seseorang boleh melakukan Qoshor Sholat jika memenuhi beberapa syarat yang telah dijelaskan oleh para fuqoha’ kita dalam berbagai kitab atau buku fiqh yang ada. Ada beberapa syarat yang disepakati oleh empat madzhab fiqh yang berkembang dalam lingkungan Sunni, akan tetapi ada juga beberapa syarat yang diperkhilafkan antara mereka sendiri. Di bawah ini kami—insya Allah—akan menjelaskan syarat-syarat tersebut dengan lebih terperinci dan detil:
a.      Bepergian yang dilakukan bukanlah untuk tujuan ma’siat. Orang yang bepergian maksiat menurut Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yang tentunya masing-masing dari ketiga bagian itu memiliki konsekwensi hukum yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. Ketiga kelompok tersebut adalah sebagaimana berikut ini:
Pertama; Al-‘Ashi Bis Safar. Yakni orang-orang yang pergi memang dengan tujuan untuk ma’siat. Contohnya adalah orang yang pergi dengan tujuan merampok, mencopet, membunuh dan lain sebagainya. Maka orang-orang yang pergi dengan semisal tujuan diatas, tidak boleh melakukan Qoshor sholat. Mereka boleh melakukan Qoshor lagi jika sudah taubat serta jarak antara tempat dia taubat dan tujuan dia pergi masih mencapai 2 marhalah. Ilustrasi: semisal Zaid adalah orang Demak yang mau pergi ke jakarta untuk merampok di sana. Setibanya di Pekalongan ia Taubat. Karena Zaid sudah taubat, maka tinggal dihitung jarak antara Pekalongan [tempat taubatnya Zaid] dan Jakarta [tempat tujuan bepergiannya Zaid] masih ada 2 marhalah atau tidak, kalau masih ada maka Zaid diperbolehkan untuk melakukan praktek Qoshor sholat. Akan tetapi jika jarak keduanya tidak mencapai 2 marhalah, maka Zaid tidak boleh melakukan Qoshor sholat.
Kedua; Al-‘Ashi Bis Safar Fis Safar. Yakni orang-orang yang bepergian dengan tujuan baik, bahkan dengan tujuan untuk ketaatan. Hanya saja ditengah jalan kemudian ia merubah niat dan tujuan baik itu dengan tujuan jelek, semisal mencuri, membegal, mencopet dan lain sebagainya. Bagi orang-orang yang bepergian dengan tujuan seperti tersebut tadi tidak boleh melakukan Qoshor sholat. Mereka boleh melakukan Qoshor lagi jika sudah taubat, walaupun jarak antara tempat dia taubat dan tempat tujuan ia pergi kurang dari 2 marhalah. Ilustrasi: Umar adalah orang Semarang yang mau pergi ke Tegal untuk berdagang. Sampai di Kendal ia malah berubah pikiran tidak lagi ingin berdagang, akan tetapi ingin pergi merampok di sana. Akan tetapi alhamdulillahnya, sampai di Pemalang Allah memberikan hidayah kepadanya sehingga dia taubat saat di Pemalang tadi. Jadi, semenjak Umar merubah niatnya untuk merampok, maka ia tidak boleh mengqoshor lagi. Akan tetapi saat sampai di Pemalang dan ia taubat, maka ia kembali boleh untuk melakukan Qoshor sholat, walaupun jarak antara Tegal-Pemalang tidak mencapai 2 marhalah.
Ketiga; Al-‘Ashi Fis Safar. Yakni orang yang bepergian dengan tujuan ketaatan atau dengan tujuan melakukan sesuatu yang diperbolehkan oleh aturan syariat, akan tetapi dipertengahan jalan atau ditempat tujuan dia melakukan kemaksiatan. Kelompok orang jenis ketiga ini tetap boleh melakukan praktek Qoshor dan praktek Rukhshoh lainnya. Ilustrasi: si Ahmad adalah orang Semarang yang akan mengambil dagangan berupa kain batik di Pekalongan. Saat tiba di alun-alun Pekalongan, ternyata di sana sedang diadakan konser dangdutan yang penuh dengan aura kemaksiatan. Karena kurangnya iman, akhirnya si Ahmad ikut acara dangdutan itu, hingga akhirnya sampai ikut mabuk-mabukan juga. Dari ilustrasi sederhana ini, bisa kita lihat bahwa sebenarnya niat Ahmad pergi ke Pekalongan  adalah baik dan diperbolehkan oleh agama, yaitu niat untuk membeli barang dagangan berupa batik. Akan tetapi karena tidak mampu menahan nafsu, akhirnya si Ahmad terjerumus dalam kemaksiatan. Nah, walaupun Ahmad telah terjerumus, dia tetap boleh melakukan Qoshor karena memang tujuan dia pergi bukan untuk maksiat. 
Alasan yang melandasi ketiga madzhab fiqh tersebut diatas—madzhab maliki, madzhab syafi’i dan madzhab hanbali—dalam menentukan syarat tidak maksiat adalah sebagai berikut:
-   Bepergian [Safar] adalah penyebab atau ‘Illat bagi seseorang untuk boleh melakukan sebuah Rukhshoh. Sedang ada sebuah kaidah yang mengatakan:
الرخص لا تناط بالمعاصي
Sebuah praktek Rukhshoh tidak bisa dihubungkan dengan kemaksiatan
Jadi, karena bepergian yang dilakukan adalah safar maksiat, sedang Rukhshoh tidak boleh berhubungan dengan hal-hal yang bersifat maksiat, maka kesimpulannya seseorang tidak boleh melakukan praktek Qoshor jika bepergian yang ia lakukan adalah sebuah kemaksiatan.
-   Tujuan disyariatkannya Qoshor adalah sebagai bantuan bagi seorang muslim agar mudah untuk mendapatkan atau mencapai segala sesuatu yang diperbolehkan oleh ajaran agama. Dan tentunya agar seeorang mulim bisa benar-benar mendapatkan kemaslahatan di dunia ini. Jadi, andaikan praktek Qoshor diperbolehkan bagi orang yang pergi dengan tujuan maksiat, maka yang muncul adalah agama membantu seseorang untuk melakukan tindakan dan perbuatan yang tidak diajarkan oleh islam itu sendiri. Ada unsur I’anah ‘Alal Ma’siat [menjadi prasarana menuju kemaksiatan] yang jelas dicela dan dilarang oleh ajaran agama islam itu sendiri.
Pendapat yang berbeda dan bertolak belakang dengan ketiga madzhab diatas adalah pendapat Madzhab Hanafi. Menurut Madzhab Hanafi praktek Qoshor boleh dilakukan oleh setiap orang yang bepergian secara mutlak, baik bepergian yang dilakukan dengan tujuan maksiat atau tidak, tetap boleh melakukan praktek Qoshor. Dalil yang mereka jadikan pegangan adalah kemutlakan nash ayat al-Qur’an surat an-nisa’[وإذا ضربتم في الأرض] “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi”. Perhatikan dua kata yang kami pertebal di atas, kata “Dhorobtum” yang diartikan dengan bepergian, adalah sebuah redaksi yang Muthlak, tanpa Qayyid apapun, baik itu berupa Qoyyid bepergian yang boleh atau yang tidak haram atau yang tidak maksiat, sama sekali tidak ada. Artinya, diperbolehkannya mengqoshor sholat adalah sebuah hukum yang umum dan mencakup bepergian dengan berbagai modelnya, selama itu masuk dalam kategori pergi, ya boleh mengqoshor.
Disamping alasan di atas, mereka juga punya alasan lain lagi. Mereka menyatakan bahwa bepergian dengan tujuan maksiat masuk dalam ketegori Al-Qubkhu Al-Mujawir yang tidak menafikan disyariatkannya sesuatu. Artinya, bepergian dengan tujuan maksiat tidak bisa meniadakan pensyariatan praktek Qoshor. Al-Qubkhu Al-Mujawir adalah sebuah kemaksiatan atau kejelekan yang bisa lepas dari sebuah pekerjaan tertentu dalam satu waktu tertentu, semisal jual beli pada waktu adzan Jum’at. Jual beli saat adzan jum’at yang kedua adalah sesuatu yang dilarang oleh ajarang Islam, karena jual beli tersebut bisa menjadikan seseorang lalai akan kewajiban melakukan sholat jum’at. Hanya saja, seseorang yang meninggalkan sholat Jum’at tidak mesti karena alasan jual beli, kadang juga bisa karena malas, hujan dan lain sebagainya.
Dalam masalah yang kita bahas ini, bepergian maksiat bisa dikategorikan sebagai Al-Qubkhu Al-Mujawir. Karena seseorang melakukan maksiat tidak mesti saat dia bepergian, kemaksiatan bisa ia lakukan saat dengan bepergian itu sendiri, akan tapi juga bisa dengan selain bepergian, semisal apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi yang hanya duduk-duduk saja dirumah, sedang Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mewajibkan berangkat Jihad Fi Sabilillah. Ada Al-Qubkhu Li ‘Ainihi semisal kekufuran. Kufur adalah sesuatu yang sudah jelek dan jelas-jelas maksiat, dalam waktu dan kondisi apapun itu. Maka jika seseorang kufur tidak boleh untuk melakukan Rukhshoh apapun.  
Tanbihun: Selain bepergian dengan kreteria yang telah kami sebutkan diatas, sebenarnya ada beberapa macam dan bentuk bepergian lainnya. Pertama; Bepergian yang wajib, semisal pergi untuk mencari ilmu Dharuri [ilmu pokok tentang ajaran Islam yang harus diketahui oleh setiap muslim], sementara didaerahnya sendiri tidak ada orang yang mengajarkan ilmu Dharuri tersebut. Kedua; Bepergian yang sunnah, semisal bepergian dengan silaturrahim. Ketiga; Bepergian yang makruh. Semisal orang yang pergi sendirian, sedang dia sendiri tidak merasakan kenyamanan bersama Allah saat bepergian itu. Keempat; Bepergian yang diperbolehkan. Semisal pergi dengan tujuan dagang.
b.     Bepergian ini harus memiliki tujuan yang jelas. Selama pembacaan dan kajian yang telah kami lakukan, bisa kami simpulkan bahwa poin (b) ini merupakan syarat yang disepakati oleh para Ulama dan Fuqoha’ dari empat Madzhab Fiqh Sunni, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Contoh dari tujuan yang jelas adalah semisal pergi ke Magelang, Jakarta, Bandung dan lain sebagainya, yang memang jelas arah dan tempatnya. Walaupun tempat yang dituju tidak disebutkan secara terperinci dan jelas—misal desa Kajoran.
Berbeda jika seseorang pergi tanpa tujuan sama sekali, ia pergi hanya karena menuruti kemana arah kakinya melangkah, maka orang yang demikian ini tidak boleh melakukan praktek Qoshor sholat. Begitu juga orang yang bepergian dengan tujuan untuk mencari orang yang lari membawa hutangnya, atau orang yang melarikan diri. Sedang dia sendiri tidak tahu menahu dimana posisi orang yang membawa lari hutangnya atau orang yang melarikan diri tadi. Maka orang tersebut pun tidak boleh melakukan praktek Qoshor juga.
Tanbihun: Ada sebuah kasus yang bisa juga dimasukkan ke dalam syarat ini. Yaitu apabila ada seorang istri yang ikut pergi suaminya, akan tetapi ia tidak tahu kemana tempat dan tujuan suaminya itu pergi. Maka si istri tadi tidak boleh melakukan praktek Qoshor jika bepergian yang dilakukannya belum mencapai jarak 2 Marhalah—yang insya allah akan dijelaskan pada syarat berikut nanti. Akan tetapi jika bepergian yang dilakukan olehnya sudah mencapai 2 Marhalah, maka ia baru boleh melakukan praktek Qoshor.
c.       Tempat tujuan bepergian harus berjarak 2 Marhalah atau lebih. Para ulama Empat Madzhab Fiqh Sunni sepakat bahwa Qoshor hanya boleh dipraktekkan bagi bepergian yang berjarak tempuh jauh, bukan bepergian jarak tempuh yang dekat. Hanya saja, setelah mereka sepakat bahwa jauhnya jarak tempuh merupakan syarat bagi diperbolehkannya Qoshor, mereka kemudian berbeda pendapat tentang sejauh mana batasan sebuah bepergian itu dianggap jauh jarak tempuhnya. Dapat kami simpulkan bahwa perbedaan antara mereka terkelompokkan menjadi 2 bagian saja, sebagai berikut:
-         Madzhab Hanafi: Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa seseorang boleh melakukan praktek Qoshor jika jarak tempuh bepergian yang ia lakukan mencapai 3 Marhalah. Jarak 3 Marhalah ini kurang lebih sekitar jarak tempuh 133, 560 km. Dalil yang dijadikan pijakan berfikir Madzhad Hanafi ini adalah Qiyas. Ya, mereka mengqiyaskan jarak tempuh Qoshor terhadap waktu diperbolehkannya seseorang mengusap Khuf yang telah ditentukan oleh Hadis Nabi, yaitu selama 3 hari. Hadis Nabi tentang mengusap khuf adalah sebagai berikut:
يمسح المقيم لكمال يوم وليلة و المسافر ثلاثة أيام ولياليها
Orang Yang Mukim Boleh Mengusap [Khuf] Saat Sempurna Satu Hari Satu Malam, Sedang Orang Yang Musafir Bisa Mengusap [Khuf] Selama 3 Hari 3 Malam”.
-          Jumhur [Mayoritas] Ulama: Mayoritas ulama—dalam hal ini adalah Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali—menyatakan bahwa seseorang boleh melakukan praktek qoshor sholat jika hendak melakukan perjalanan dengan jarak tempuh 2 hari 2 malam yang standart. Jarak 2 hari 2 malam standart ini dikira-kirakan dengan jarak tempuh sekitar 89 km. Jadi menurut mayoritas ulama, jika seseorang hendak melakukan perjalanan dengan jarak tempuh 89 km, maka ia sudah boleh melakukan Qhoshor  saat melewati batas daerah dimana dia mukim.
Dalil: Dalil yang dijadikan pijakan berfikir oleh mayoritas ulama adalah hadis riwayat Imam ad-Daroquthni dari sahabat ibnu ‘abbas, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama bersabda:
يا أهل مكة لا تقصروا في أقل من أربعة برد من مكة إلى عسفان
Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakukan qoshor dalam [jarak] kurang dari 4 barid, dari Makkah [menuju] ke ‘Usfan”.
Begitu juga sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar bahwa beliau berdua selalu melakukan praktek sholat 2 roka’at saja dan tidak berpuasa jika bepergian yang mereka lakukan mencapai jarak tempuh 4 Barid atau lebih.
Tanbihun: Syaikh Ibnu Qudamah mengkritik argumentasi mayoritas ulama, yang menyatakan bahwa Qoshor diperbolehkan hanya jika bepergian seseorang dengan tujuan yang mencapai jarak tempuh 89 km. Menurut Ibnu Qudamah pendapat mayoritas ulama di atas kurang tepat dengan 3 alasan. Pertama; ada riwayat dari ibnu ‘umar dan ibnu ‘abbas yang berbeda dengan riwayat yang dituturkan oleh mayoritas ulama di atas. Kedua; Dhahir ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ menggunakan redaksi mutlak dan tidak dibatasi dengan bepergian yang jauh saja. Ketiga; pendapat mayoritas ulama diatas bertentangan dengan hadis riwayat sahabat Anas, beliau berkata:
إن رسول الله كان إذا خرج مسيرة ثلاثة أميال أو ثلاثة فراسخ صلى ركعتين
Rasulullah saat keluar dengan jarak 3 mil atau 3 farsakh, selalu melakukan sholat 2 roka’at saja”.
Pada akhir kesimpulannya, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa kalau melihat  dalil-dalil yang ada, sebenarnya praktek Qoshor boleh dilakukan oleh setiap orang yang sedang bepergian secara mutlak, entah bepergian jauh atau dekat. Pendapat ini hanya bisa di gugurkan jika memang benar-benar ada ijma’ yang menyatakan bahwa Qoshor hanya boleh dilakukan oleh orang yang bepergian jauh saja.
d.     Niat Qoshor harus bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Niat Qoshor ini seperti umumnya niat sholat dan harus memenuhi beberapa syarat pokok yang disebutkan dalam niat. Dalam sholat Fardhu harus ada Qoshdu [kehendak/keinginan melakukan sholat], Ta’yin [menentukan macam sholatnya, semisal Dzhuhur/Ashar], Fardhiyyah [harus menyebutkan bahwa sholat yang dilakukan adalah sholat fardhu]. Adapun selain sholat fardhu, maka ada 2 kemungkinan. Pertama sholat sunnah yang tidak mutlak, maka harus menyebutkan 2 hal, yaitu Qashdu dan Ta’yin [baik dengan waktu/sebab]. Kedua adalah sholat sunnah mutlak, maka yang harus disebutkan adalah Qoshdu saja, tidak perlu ada Ta’yin apalagi Fardhiyyah. Dalam masalah Qoshor ini, maka selain syarat-syarat yang telah kami sebutkan diatas, juga harus ada persyaratan menyebutkan niat Qoshor.
e.      Orang yang melakukan praktek Qoshor sholat tidak boleh makmum kepada orang yang tidak melakukan Qoshor. Telah menjadi kesepakatan para Fuqoha’ bahwa seorang musafir yang mengqoshor sholatnya, boleh serta sah makmum kepada orang yang tidak Qoshor dan ia harus melakukan sholat 4 roka’at atau Itmam. Hanya saja menurut Madzhab Maliki, walaupun diperbolehkan makmum, akan tetapi hukumnya tetap makruh. Sedang Madzhab Hanafi mensyaratkan praktek makmum ini harus masih dalam waktu sholat yang di Qoshor, adapun jika waktunya sudah keluar, maka seorang musafir tidak boleh/tidak sah makmum kepada orang yang mukim.
Dalil tentang keharusan musafir untuk sholat 4 roka’at saat dia makmum kepada orang yang mukim [tidak melakukan sholat Qoshor] adalah hadis riwayat ibnu ‘abbas saat ada orang bertanya kepada beliau:
ما بال المسافر يصلي ركعتين في حال الانفراد و أربعا إذا ائتم بمقيم؟ فقال: تلك السنة.
Apa sebenarnya sikap seorang musafir itu, saat dia sholat sendirian maka ia melakukan sholat 2 roka’at. Dan sholat 4 roka’at saat dia makmum kepada orang yang mukim?, ibnu ‘abbas menjawab: Itulah sunnah”.
Imam Nafi’ juga berkata: “Ibnu Umar saat sholat bersama imam atau makmum, maka beliau sholat 4 roka’at. Dan ketika sholat sendirian [dalam bepergian], maka mereka sholat 2 roka’at [saja]”. Disamping juga ada hadis Nabi yang menyatakan:
إنما جعل الإمام ليؤتم به
Sesungguhnya seseorang dijadikan imam, agar ia diikuti
Contoh: ada orang yang sedang melakukan sholat dzuhur 4 roka’at, maka orang yang mempraktekkan Qoshor tidak boleh makmum kepada orang tersebut. Adapun jika dibalik, semisal orang yang Qoshor menjadi imam, sedang yang lain menjadi makmum, maka hukum sholat keduanya adalah sah.
f.       Praktek Qoshor sholat harus dilakukan saat seseorang sedang bepergian. Jika sudah tidak bepergian/sebelumnya/ditengah-tengah sholat dia sudah mukim, maka tidak boleh melakukan praktek Qoshor.
g.      Mengetahui diperbolehkannya praktek Qoshor sholat. Jadi kalau hanya ikut-ikutan saja melakukan Qoshor, karena melihat orang lain mengqoshor misalnya, maka tidak sah praktek Qoshornya.
h.     Praktek Qoshor sholat boleh dilakukan saat seseorang sudah melewati batas daerah dimana dia mukim.
i.        Tidak terbersit dalam hati orang tersebut hal apapun yang meniadakan niat Qoshor/menjadikan ia ragu, apakah niat Qoshor atau tidak.
j.        Sholat yang di Qoshor harus dilakukan dalam waktunya. Dari syarat ini, bisa dipahami bahwa sholat yang Qodho’ saat kondisi mukim, maka tidak boleh di Qoshor. Adapun sholat yang Qodho’ saat sedang bepergian, maka boleh di Qodho’ saat dia sedang bepergian juga dengan di Qoshor. Tapi dengan syarat pergi yang kadua juga harus mencapai jarak 2 Marhalah/lebih.
6.        Contoh niat Qoshor.
            Niat adalah keinginan kuat dalam hati seseorang yang bersamaan dengan pekerjaan yang diinginkan. Tempat niat adalah ada dalam hati seseorang. Adapun ucapan hanyalah sunnah, karena ucapan itu bisa membantu hati untuk niat. Jadi contoh niat di bawah ini seharusnya ada dihati seseorang, bukan di mulutnya. Contoh:
أُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ قَصْرًا
Artinya: “Saya sholat Fardhu Dzuhur dengan di Qoshor
[JAMA’ SHOLAT]
1.         Definisi Jama’ Sholat.
Jama’ sholat adalah mengumpulkan satu sholat dengan sholat yang lain dan dilakukan di salah satu waktu kedua sholat tersebut. Semisal melakukan sholat Dzuhur di waktunya sholat ‘Ashar atau sebaliknya, yaitu melakukan sholat ‘Ashar di waktu sholat Dzuhur. Begitu juga dengan sholat Maghrib dan Isya’. Dalil diperbolehkannya melakukan Jama’ sholat adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu:
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في غزوة تبوك فكان يجمع بين الظهر والعصر و المغرب والعشاء فأخر الصلاة يوما ثم خرج فصلى الظهر والعصر جميعا ثم دخل فصلى المغرب والعشاء جميعا.
Kami [para sahabat] keluar bersama dengan Rasulullah dalam perang Tabuk. Beliau melakukan jama’ antara sholat Dzuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan Isya’. Pada suatu hari beliau mengakhirkan sholat, lalu keluar dengan melakukan sholat Dzuhur dan ‘Ashar secara bersamaan. Kemudian beliau masuk lagi, lalu melakukan sholat Maghrib dan Isya’ secara bersamaan”.
2.        Hal-hal yang menyebabkan bolehnya Jama’.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab seseorang boleh melakukan praktek jama’. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Bepergian yang sudah mencapai jarak tempuh sekitar 89 km, sebagaimana syarat jarak tempuh dalam sholat Qoshor. [Yang akan kami bahas dalam buku saku ini adalah jama’ karena adanya penyebab yang pertama ini].
b.   Hujan yang sangat deras. [Dalam hal ini ada pembahasan khusus yang tidak bisa kami jelaskan dalam buku saku ini].
c.    Sakit yang sangat berat.
d.   Turunnya salju. [Inipun sama dengan masalah jama’ karena hujan yang tidak bisa dijelaskan dalam buku kecil ini].
3.        Pembagian praktek Jama’.
Praktek Jama’ dibagi menjadi 2 macam: Jama’ Taqdim dan Jama’ Ta’khir. Penjelasan serta syarat-syarat dari kedua praktek ini adalah sebagai berikut:
a.    Jama’ Taqdim.
Jama’ Taqdim adalah mengumpulkan 2 sholat dalam satu waktu, praktek jama’ ini dengan melakukan sholat yang kedua di waktu sholat yang pertama. Contohnya adalah melakukan sholat ‘Ashar didalam waktunya sholat Dzuhur atau sholat Isya’ didalam  waktunya sholat Maghrib, dengan niat mengumpulkan [menjama’] keduanya. Sedang syarat-syarat melakukan Jama’ Taqdim adalah sebagai berikut:
1)   Tertib. Yaitu dengan melakukan sholat yang memang waktunya pertama terlebih dahulu, baru kemudian melakukan sholat kedua. Misal melakukan sholat Dzuhur terlebih dahulu baru kemudian melakukan sholat ‘Ashar atau Maghrib terlebih dahulu baru kemudian Isya’. Tidak sah jika melakukan ‘Ashar atau Isya’ lebih dahulu baru kemudian melakukan Dzuhur atau ‘Ashar.
2)   Niat Jama’ Taqdim pada saat sholat yang pertama, yaitu niat pada sholat Dzuhur/Maghrib.
3)   Tidak ada waktu jeda yang lama antara praktek sholat pertama dan kedua. Jadi setelah selesai melakukan sholat yang pertama, maka sesegera mungkin melakukan sholat yang kedua.
4)   Masih dalam kondisi bepergian saat Takbiratul Ihram sholat yang kedua. Jadi saat melakukan takbiratul ihram sholat ‘Ashar/Isya’ harus masih dalam kondisi bepergian.
5)   Bepergian yang dilakukan harus mempunyai tujuan yang benar. Tidak karena tujuan ma’siat atau hanya hura-hura tanpa kejelasan saja.
6)   Bepergian ini harus memiliki tujuan tempat yang jelas. Contoh dari tujuan yang jelas adalah semisal pergi ke Magelang, Jakarta, Bandung dan lain sebagainya, yang memang jelas tempatnya.
7)   Mengetahui diperbolehkannya praktek Jama’ sholat. Jadi kalau hanya ikut-ikutan saja melakukan Jama’, karena melihat orang lain menjama’ misalnya, maka tidak sah praktek Jama’nya.
8)   Harus memiliki dugaan [Dzon] bahwa sholat yang pertama sah.
9)   Praktek sholat yang pertama dan kedua harus masih dalam waktu sholat yang pertama. Contoh adalah praktek sholat ‘Ashar/Isya’ haruslah masih dalam waktu sholat Dzuhur/Maghrib. Jika waktu Dzuhur/Maghrib sudah keluar maka Jama’nya tidak sah.
Contoh niat Jama’ Taqdim:
أصلي فرض الظهر مجموعا إليه العصر
Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan] sholat ‘Ashar kepadanya
أصلي فرض المغرب مجموعا إليه العشاء
Saya sholat fardhu Maghrib dengan menjama’ [mengumpulkan] sholat Isya’ Kepadanya
Tanbihun: Boleh melakukan Jama’ Taqdim antara sholat Jum’at dan sholat ‘Ashar, sebagaimana diperbolehkannya melakukan Jama’ antara Dzuhur dan ‘Ashar. Hanya saja sholat Jum’atnya harus sah seseuai dengan syarat sahnya sholat Jum’at. Akan tetapi tidak boleh menjama’ ta’khir antara sholat Jum’at dan ‘Ashar, hal itu karena salah satu syarat sahnya sholat jum’at adalah harus dilakukan dalam waktu dzuhur.
b.   Jama’ Ta’khir.
Jama’ ta’khir adalah mengumpulkan dua sholat dengan melakukan sholat yang pertama dalam waktu sholat yang kedua. Contohnya adalah melakukan sholat Dzuhur atau Maghrib dalam waktunya sholat ‘Ashar atau Isya’, tentunya dengan niat menjama’ [mengumpulkan] keduanya dalam satu waktu. Sedang syarat-syarat melakukan Jama’ Ta’khir adalah sebagai berikut:
1)   Niat untuk menjama’ dan melakukan sholat yang pertama dalam waktu yang kedua nanti. Niat ini harus dilakukan saat masuk waktunya sholat yang pertama. Contoh saat masuk waktu sholat Dzuhur maka hendaknya hati seseorang langsung berniat menjama’ di waktu kedua, begitu juga saat masuk waktu Maghrib.
2)   Kedua sholat—sholat pertama dan kedua—harus dilakukan sampai selesai dalam kondisi si pelaku masih bepergian.
Tanbihun: Adapun syarat-syarat yang terdapat pada Jama’ Taqdim—semisal tartib, tidak ada waktu jeda yang lama, niat Jama’ pada sholat yang pertama—tidaklah menjadi syarat pada Jama’ Ta’khir ini, akan tetapi hanya sekedar sunnah saja.
Contoh niat Jama’ Ta’khir:
أصلي فرض الظهر مجموعا إلى العصر
Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan]nya kepada sholat ‘Ashar
أصلي فرض المغرب مجموعا إلى العشاء
Saya sholat fardhu Maghrib dengan menjama’ [mengumpulkan]nya kepada sholat Isya’
Tanbihun: Seseorang yang sedang bepergian juga diperbolehkan melakukan praktek sholat Jama Qoshor. Yaitu melakukan Jama’ sekaligus juga Qoshor. Hanya saja tentunya yang boleh di Qoshor  hanyalah sholat Dzuhur, ‘Ashar dan Isya’. Sedang sholat Maghrib tidak, karena Maghrib adalah sholat dengan 3 roka’at, bukan 4 roka’at. Walaupun boleh untuk menjama’ Maghrib dengan Isya’, tapi yang di Qoshor hanya Isya’-nya saja.
Contoh niat Jama’ Qoshor:
أصلي فرض الظهر مجموعا إلى العصر قصرا
Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan] nya kepada sholat ‘Ashar dan mengqoshornya juga” [Niat pertama ini adalah contoh untuk Jama’ Ta’khir+Qoshor].
أصلي فرض الظهر مجموعا إليه العصر قصرا
Saya sholat fardhu dzuhur dengan menjama’[mengumpulkan] sholat ‘Ashar kepadanya dan mengqoshornya juga”[Niat kedua ini adalah contoh untuk Jama’ Taqdim+Qoshor].
[Batas Selesainya Rukhsoh]
            Praktek Qoshor dan Jama’ adalah salah satu bentuk keringanan [Rukhshoh] yang diberikan oleh syariat Islam, sehingga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, dan tentunya kedua praktek Rukhshoh ini tidaklah bisa dilakukan dalam setiap waktu seenaknya sendiri. Berikut ini adalah batas dimana seseorang telah dianggap tidak lagi sedang bepergian oleh syariat Islam:
1.    Kembali ke tempat asalnya. Batasan tempat asal adalah tempat dimana seseorang disyaratkan meninggalkannya jika ingin melakukan bepergian. Misal sebuah desa seperti desa kalisari, maka seseorang dianggap musafir [orang yang bepergian] jika sudah melewati batas akhir kalisari dengan masuk desa Nangeng dari arah barat atau desa Karangasem dari arah timur.
2.    Sampai ke tempat tujuannya, jika ia niat untuk mukim disana lebih dari 3 hari [menurut Madzhab Imam Syafi’i]. Semisal adalah yang ingin pergi ke daerah Magelang, tepatnya desa Kajoran. Jika ia berniat untuk tinggal disana lebih dari 3 hari, maka dengan hanya sampai ke desa kajoran dia sudah tidak boleh lagi melakukan praktek Qoshor atau Jama’.
3.    Niat untuk mukim. Jadi bila ada seseorang yang niat mukim—walaupun ditengah jalan—maka seketika ia tidak boleh lagi melakukan praktek Qoshor atau Jama’.
[Waktu Boleh Melakukan Rukhsoh]
          Telah kami sebutkan di atas bahwa kita tidak boleh melakukan praktek Qoshor atau Jama’ setiap waktu sesuka kita, karena keduanya adalah praktek ibadah yang bernilai keringanan [Rukhsoh] dan merupakan shodaqah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hambanya. Berikut ini adalah sejauh mana batasan waktu yang kita boleh melakukan Qoshor atau Jama’ didalamnya.
1.    Madzhab Syafi’i dan Madzhab Maliki: jika seseorang niat untuk mukim selama 4 hari atau lebih, dengan tanpa menghitung hari dia masuk dan keluar dari daerah dimana dia mukim, maka setatusnya bukan lagi musafir.
2.    Madzhab Hanafi: jika seseorang niat mukim selama 15 hari, maka dia statusnya bukan lagi musafir.
3.    Salah satu riwayat dari Imam Ahmad/Madzhab Hanbali: jika seseorang niat untuk mukim disuatu daerah dan selama itu dia bisa melakukan sholat sebanyak 20 sholatan maka dia tidak berstatus musafir lagi.
[Adab-Adab Bepergian]
            Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa adab saat seseorang hendak melakukan perjalanan atau bahkan nanti saat sedang dalam perjalanan itu sendiri. Karena tentunya semua itu memang telah diatur oleh syariat Islam dengan ajarannya yang indah dan manusiawi. Berikut adalah adab-adab itu:
1.      Jika seseorang hendak melakukan perjalanan, maka disunnahkan baginya untuk bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang yang bisa dipercaya agamanya, memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang bepergian yang akan dia lakukan. Dan tentunya wajib bagi orang yang dimintai musyawarah untuk memberikan nasehat dan pertimbangannya, yang keduanya harus tidak didasari kesenangan dan nafsu pribadi saja.
2.      Jika memang sudah memiliki keinginan yang sangat kuat untuk bepergian, maka hendaknya seseorang melakukan dulu Istikhoroh [meminta pilihan terhadap Allah]. Istikhoroh bisa dilakukan dengan sholat atau cukup dengan doa saja.
3.      Hendaknya ia melakukan taubat dari segala macam kemaksiatan terlebih dahulu sebelum benar-benar pergi. Membayar semua hutang yang dimilikinya, mengembalikan barang yang dititipkan kepadanya dan meminta halal dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengan dirinya.
4.      Meminta ridha dari kedua orang tua dan orang-orang yang memang harus dimintai ridhanya. Dan hendaknya berpamitan kepada keluarga, tetangga, teman dan semua orang yang dikasihinya.
5.      Disunnahkan untuk sholat 2 roka’at saat hendak keluar dari rumah. Dengan membaca surat Al-Kafirun pada roka’at pertama setelah fatihah dan membaca Al-Ikhlas pada roka’at kedua setelah fatihah.
6.      Mempersiapkan bekal yang benar-benar halal. Dan hendaknya selalu mendoakan orang-orang yang dikasihinya dalam perjalanan itu dengan doa yang baik, karena doa saat seseorang dalam perjalanan—insya Allah—lebih di ijabahi Allah.
7.      Mencari teman yang baik. Teman yang baik adalah teman yang selalu menasehati kita saat kita salah, mengingatkan kita saat kita lupa dan jika kita berbuat baik, dia pun membantu kita. Intinya ia adalah teman yang selalu mengajak kita untuk berakhlak karimah.
8.      Saat pulang, hendaknya mampir ke masjid atau musholla terlebih dahulu sebelum langsung pulang ke rumah. Lalu melakukan sholat dua roka’at dahulu disana. Sholat ini adalah dengan niat sholat Qudum [dating dari bepergian].
9.      Saat hendak berangkat hendaknya ada yang melakukan Adzan terlebih dahulu, lalu kemudian di Iqomati.
Sebenarnya masih banyak adab-adab bagi seseorang yang akan atau sedang melakukan perjalanan, akan tetapi kami cukupkan sedemikian saja dalam buku saku kecil ini. Dan sebagai penutup kami tuliskan doa yang diucapkan bagi orang yang ditinggalkan bepergian, yaitu sebagai berikut:
أَسْتَوْدِعُكَ اللهُ دِيْنَكَ وَ أَمَانَتَكَ وَ خَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ. زَوَّدَكَ اللهُ التَقْوَى وَغَفَرَ لَكَ ذَنْبَكَ وَيَسَّرَ الخَيْرَ لَكَ حَيْثُمَا كُنْتَ.
“Saya titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu dan penutup dari amalmu. Semoga Allah memberimu bekal ketaqwaan, mengampuni semua dosamu dan memudahkan segala kebaikan untukmu di mana pun kamu berada”.



Wallahu A’lam Bis Showab
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger