Oleh:
Dhiyaul Haq
Akhir-akhir
ini, kita banyak disuguhi tontonan maupun berita yang bernuansa agamis dengan
frekuensi yang meningkat begitu tinggi. Tontonan itu tidak hanya kita temukan
dalam dunia nyata, bahkan di dunia maya pun tontonan maupun berita yang
bernuansa demikian juga banyak ditampilkan dengan begitu semaraknya. Seakan
semua menjadi lidah yang membawa pesan inti bahwa sekaranglah era kebangkitan Islam,
sekaranglah era dimana Islam yang harus berkuasa dan seterusnya, ya semua
bereuforia untuk mengembalikan kejayaan Islam.
Nampaknya,
kemunculan berbagai macam tontonan dan berita semisal yang telah kami paparkan
di atas, tidak lepas dari akibat carut marutnya kondisi bangsa dan negeri kita
tercinta ini, Indonesia. Pemerintahan yang semakin kacau, pendidikan yang tidak
jelas arahnya kemana, ekonomi masyarakat yang makin lama hanya makin meneguhkan
nyanyian Roma Irama, “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”, politik
uang receh yang semakin banyak fansnya dan masih banyak lagi lainnya. Dalam
kondisi yang sedemikian kacaunya ini, muncullah orang-orang dengan semangat
yang membara dan Ghirah yang kuat, mereka berusaha untuk menjadikan
semua hal yang bernuansa Islam sebagai problem solving dari segala keruwetan
yang terjadi. Tapi sayangnya, semangat dan Ghirah yang membara itu tidak
diimbangi dengan semangat belajar, ngaji atau ngansu kaweruh dengan
cara yang benar dan mendalam. Sehingga kesan yang muncul dari mereka adalah
sikap-sikap yang ekstrim, apalagi jika sikap ekstrim itu sudah mereka
justifikasi dengan dalil-dalil agama. Lalu dengan entengnya mereka memberikan
label sesat, bid’ah dan bahkan label kafir pun tak segan-segan mereka sematkan kepada
siapa saja yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Pertanyaannya, kenapa
mereka bisa sedemikian ekstrim? apa masalah inti dari tindakan dan semua
tingkah polah mereka itu?
Tentunya,
tingkah laku dan ucapan seseorang merupakan cerminan dari Fikrah atau maindset yang terekam dengan mendalam dialam bawah
sadarnya. Dan menurut kami, jawaban yang tepat untuk kedua pertanyaan di atas
adalah karena mereka jauh dari sikap moderat yang menjadi salah satu ruh ajaran
Islam itu sendiri. Ya, Islam dalam berbagai kesempatan telah memberikan ajaran
dan tuntunan kepada kita agar selalu menjadikan sifat moderat sebagai pandangan
hidup. Semua itu guna menggapai kesejahteraan di dunia dan di akherat nanti (Sa’adatud
Darain).
Moderat
yang dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan istilah Tawassuth atau I’tidal—sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu ‘Asyur—berarti memberikan hak-hak segala sesuatu kepadanya,
dengan tanpa menambahi ataupun mengurangi. Sikap moderat ini muncul karena mendalamnya
pengetahuan seseorang akan suatu perkara, sehingga ia benar-benar mengetahui
sesuatu itu secara detil dan mendalam, baik definisi, tujuan dan tentunya
manfaat ataupun mafsadah yang ditimbulkannya. Sikap moderat merupakan aplikasi
nyata dari budi pekerti yang utama dan fitrah manusia yang indah nan sempurna. Dan
karenanya, tidak salah jika ajaran Islam menjadikannya sebagai salah satu
fondasi pokok dari keberagamaan.
Dalam
ajaran Islam yang begitu indah, banyak kita temukan tuntunan agar pemeluknya,
dan tentunya juga manusia secara umum, bersikap moderat. Dalam al-Qur’an surat
Ali Imran ayat:63, kita diajari oleh Islam agar berfikir secara moderat tentang
kemanusiaan. Coba saja perhatikan ayat yang menyatakan, “dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”.
Dalam ayat di atas, Islam
mengajari kita untuk memposisikan manusia sebagai manusia, bukan sebagai tuhan,
bukan pula sebagai hewan. Karena memposisikan manusia sebagai tuhan, hanya akan
membawanya pada sikap diktator, otoriter dan semena-mena pada manusia lain.
Sedang memposisikan manusia sebagai hewan, hanya akan membawanya pada sikap
inferior, lemah dan tertindas oleh pihak lain yang lebih kuat dan superior. Dan
keduanya merupakan sikap ekstrim atau Ghuluw yang dilarang oleh ajaran
Islam. Inilah konsep humanisme dalam
ajaran Islam, yang memang sangat menghargai kemanusiaan itu sendiri. Jadi kalau
ada yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak humanis, maka dimanakah
letak dehumanisme islam itu sendiri?
Hilangnya
sikap moderat dalam diri sebuah bangsa dan masyarakat akan menuntun mereka pada kehancuran dirinya sendiri.
Al-Qur’an mendeskripsikan kerusakan yang muncul akibat tidak adanya sikap
moderat dengan apik, yaitu melalui kisah raja Fir’aun yang menindas rakyatnya
sendiri. Hal itu sebagaimana diceritakan dalam surat al-Qoshosh ayat 4-6 yang
menyatakan bahwa: “Sesungguhnya Fira'un telah berbuat sewenang-wenang di
muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan
dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan kaum wanita
mereka hidup (untuk diperbudak)”. Munculnya sikap sewenang-wenang dan menindas adalah imbas
dari tidak adanya sikap moderat dalam diri Fir’aun dan kaumnya sendiri.
Fir’aun
adalah satu gambaran nyata untuk menunjukkan satu sikap manusia yang terlalu
ekstrim dan melewati batas, sehingga ia menganggap dirinya sebagai tuhan, yang notabenenya
berhak melakukan tindakan apapun tanpa harus ada kontrol dari orang lain. Ia
menganggap bahwa tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang telah ia lakukan
sah-sah saja, karena memang dirinya adalah tuhan yang segala tindak tanduknya
tidak boleh dicegah ataupun dianggap salah. Sedang kaum fir’aun itu sendiri
merupakan gambaran nyata dari sikap inferior, lemah dan tertindas. Penindasan
dan sikap sewenang-wenang dari seorang raja, serta jiwa budak, inferior dan
tertindas dari rakyatnya adalah akibat dari tidak adanya ruh moderat dalam jiwa
mereka.
Selain
sikap moderat dalam berfikir, Islam mengajarkan manusia untuk bersikap moderat
dalam bertindak. Tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita semua, kisah sahabat
Nabi yang bernama Abdullah Bin ‘Amr Bin Al-Ash. Dikisahkan bahwa beliau adalah
salah satu sahabat yang paling giat dan kuat dalam beribadah, hingga beliau
tidak pernah sama sekali meninggalkan sholat tahajjud di malam hari dan puasa
di siang harinya. Akhirnya, apa yang telah dilakukan oleh Ibnu ‘Amr itu sampai
kepada baginda Nabi, maka baginda Nabi pun memanggilnya dan bertanya: “Wahai
Abdullah, aku menerima kabar bahwa engkau selalu puasa di siang hari dan sholat
di malam harinya?”, aku menjawab: “Benar ya Rasulullah”. Beliau berkata:
“Jangan kau lakukan hal itu. (karena) Tubuhmu mempunyai hak, matamu mempunyai
hak, istrimu mempunyai hak dan tamumu pun juga mempunyai hak. Jadi cukup bagimu
untuk berpuasa setiap bulan 3 hari saja. Karena dalam setiap kebaikan terdapat
pahala sepuluh kali lipatnya. Dan (puasa setiap bulan 3 hari) itu sama saja
dengan puasa satu tahun penuh”. Aku berkata lagi: “Ya Rasulullah, saya masih
kuat”. Beliau berkata: “kalau begitu, maka berpuasalah seperti puasanya Nabi
Daud, jangan kau tambahi lebih dari itu”.
Dari
penjelasan Nabi di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa dalam beribadah pun
sikap moderat harus tetap dijadikan pertimbangan. Dewasa ini, kita banyak
melihat praktek-praktek kehidupan yang terlalu berlebihan, entah itu dalam praktek
keberagamaan maupun kehidupan duniawi. Disana banyak kita temukan orang-orang
yang dengan bangganya melakukan ritual ditengah malam secara bersama-sama
dengan pengeras suara, sementara hal itu mengganggu masyarakat lain yang sedang
beristirahat. Mungkin mereka punya anggapan bahwa apa yang mereka lakukan
adalah suatu amalan yang paling utama dan yang pertama harus dilakukan,
sehingga mereka tidak merasa perlu memperhatikan saudara muslim lainnya yang terganggu oleh aktifitasnya.
Apakah sikap yang demikian itu bisa dibenarkan? Kalau kita menggunakan kaca
mata moderat yang telah kami paparkan di atas, tentunya tindakan yang demikian
itu tidak bisa dibenarkan. Karena pada dasarnya, semua bentuk amaliah yang
diniati karena Allah bisa bernilai ibadah. Bukan berarti orang yang melakukan
sebuah ritual di tengah malam dengan suara yang keras, itu lebih ahli ibadah
dari pada orang yang tidur pulas, karena tidur yang dilakukannya itu dengan
tujuan agar paginya ia bisa berkerja mencari nafkah yang menjadi tanggung
jawabnya.
Bahkan
Islam pun juga mengajari kita untuk bersikap moderat dan arif dalam
berinteraksi dengan budaya lokal. Cerita tentang keengganan para sahabat Nabi
untuk melakukan Sa’i antara Shofa dan Marwah yang disebabkan trauma akan budaya
Jahiliyyah, merupakan data penting yang menguatkan penjelasan kami tersebut.
Ya, para sahabat enggan untuk melakukan Sa’i karena memang dahulunya Sa’i
adalah sebuah ritual ibadah yang bercampur dengan budaya syirik, yaitu
keharusan mengusap berhala yang berada di puncak Shofa maupun Marwah. Akan
tetapi Islam—melalui penjelasan al-Qur’an—menyatakan bahwa melakukan praktek
Sa’i tidak apa-apa, hanya saja bentuk kesyirikannya dihilangkan. Begitu juga
tentang bangunan Ka’bah, baginda Nabi pernah berkata kepada Sayyidah A’isyah:
“Andaikan kaummu bukanlah orang yang baru saja lepas dari kekufuran, niscaya
aku akan merobohkan Ka’bah dan membangunnya kembali sesuai dengan fondasi
bangunan Nabi Ibrahim dulu”. Ya, saat baginda Nabi menguasai kota Makkah,
beliau tidak serta merta langsung mengembalikan bangunan Ka’bah seperti
sediakala saat dibangung oleh Nabiyullah Ibrahim, padahal beliau saat itu
adalah penguasa kota Makkah yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menetapkan
kebijakan. Semua itu tidak beliau lakukan, karena beliau khawatir akan
menjadikan penduduk Makkah yang baru saja masuk Islam, lari dari ajaran Islam
itu sendiri, sedang mengembalikan bangunan Ka’bah seperti semula bukanlah
keharusan yang tidak bisa ditolerir.
Walhasil,
moderat adalah sebuah sikap yang harus kita terapkan dalam semua aspek
kehidupan. Baik itu dalam cara berfikir, tingkah laku, ritual maupun dalam
berinteraksi dengan budaya lokal yang sudah ada terlebih dahulu. Setidaknya,
beberapa argumentasi yang telah kami uraikan di atas bisa menjadi referensi bahwa
memang Islam mengajarkan pemeluknya, dan manusia secara umum, untuk bersikap
moderat, sehingga hal itu bisa membawa kesejahteraan di dunia maupun di
akherat. Kalau Islam saja mengajak kita untuk bersikap moderat, bagaimana
dengan anda?
0 komentar