Hari-hari ini, perbedaan nampaknya
menjadi drakula yang sangat menakutkan dan siap menggigit siapa saja yang
menjadi pelakunya. Apalagi jika kita merunut sejarah kehidupan manusia yang
berkisah bahwa Nabiyullah Adam—yang notabenenya adalah bapak semua manusia—pun
pernah mempunyai catatan perbedaan dengan Iblis, yang kemudian itu berimbas
dengan munculnya iblis sebagai musuh bebuyutan bagi beliau dan anak turunnya.
Peristiwa pembunuhan pertama yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil pun
menambah rentetan sejarah kelam tentang konflik kemanusiaan yang ditimbulkan
oleh perbedaan. Lebih mengerikan lagi adalah konflik kemanusiaan yang
mengakibatkan jatuhnya ratusan atau bahkan ribuan nyawa di berbagai belahan
dunia. Dan lagi-lagi semua itu terjadi karena adanya perbedaan, entah itu
perbedaan dalam hal agama, sekte, suku atau bahkan hanya gara-gara beda pilihan
politik.
Begitu
mengerikankah makhluk yang bernama perbedaan itu? Ia benar-benar menjelma
menjadi keris ‘Empu Gandring’ yang selalu meminta tumbal darah manusia. Penulis
pun sempat berangan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah pada era orde baru
dulu dengan berusaha menyeragamkan pemahaman akan Pancasila dan UUD, yang jika
dianalisis dengan metode positive thingking (Husnu Dzon) dan
mempertimbangkan dampak negative dari adanya perbedaan, maka apa yang mereka
lakukan sangatlah wajar. Akan tetapi, angan-angan penulis tersebut di atas
dimentahkan oleh realitas orde baru yang berbicara lain. Upaya meminimalisir
konflik pun ternyata berbalik menjadi pemicu konflik dengan wajah baru. Itulah
realitas yang digambarkan oleh pemerintahan orde baru dengan penyeragamannya pancasila
dan UUD.
Lalu
kita harus bagaiamana? Apakah memang kita harus mengikuti apa yang dilakukan
oleh pemerintahan orde baru yang berusaha mengekang berbagai macam kreativitas
dan melarang adanya perbedaan? Atau malah memang harus ada perbedaan? Kalau
memang harus ada perbedaan, lalu bagaimana perbedaan itu tidak menjadi akar
permasalahan dan konflik kemanusiaan sebagaimana telah terjadi pada ratusan
tahun yang lalu? Sederet pertanyaan-pertanyaan di atas inilah yang ingin
penulis jawab dalam tulisan sederhana yang sedikit mengetengahkan pemikiran KH.
Ali Maksum Jogja dalam buku beliau yang berjudul Hujjah Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Memang
penulis akui bahwa kitab sederhana di atas bukanlah buku yang secara khusus dan
eksplisit mengupas tentang perbedaan dan pernak pernik yang berhubungan
dengannya. Tetapi penulis menemukan beberapa ungkapan Kiai Ali Maksum dalam
kitab tersebut yang bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan sikap saling
menghormati dan dewasa dalam menyikapi perbedaan. Karena bagi penulis,
perbedaan adalah hal yang niscaya dan tidak mungkin bisa dienyahkan dari muka
bumi ini. Jadi jalan satu-satunya agar perbedaan tidak menimbulkan konflik
adalah dengan mengetahui menegemen perbedaan atau bisa juga di sebut dengan
menegemen konflik. Paparan berikut di bawah ini adalah beberapa kiat yang menurut
hemat penulisa sangat berguna dalam menghindari konflik akibat adanya
perbedaan.
· Perbedaan Sudah Ada Pada Zaman Baginda Nabi.
Sebenarnya perbedaan (Khilaf) bukanlah hal baru yang
kemudian menjadikan seseorang tercengang dan terkaget-kaget. Sebagaimana telah
kami paparkan di atas bahwa perbedaan merupakan hal yang sudah ada semenjak
masa Nabi Adam, maka bisa disimpulkan bahwa perbedaan adalah sesuatu Sunnatullah
dan bukan sesuatu yang aneh. Bahkan pada era baginda Nabi Muhammad masih hidup
pun, perbedaan antara para sahabat tidak bisa di hindari. Dan saat para sahabat
berbeda pandangan dan pendapat, baginda nabi selaku guru besar mereka pun tidak
serta merta mencela salah satu dan mengunggulkan yang lain. beliau membenarkan
ijtihad masing-masing kelompok dan andaikan mensetujui pendapat salah satunya,
beliau tidak serta merta mencela yang lain.
Coba saja kita perhatikan bagaimana hadis yang menjelaskan tentang
peristiwa perintah sholat Ashar di Bani Quraidzoh yang sangat masyhur itu, bisa
menjadi pembelajaran bagi kita untuk dewasa dalam menghadapi perbedaan. Dalam
hadis tersebut dikisahkan bahwa baginda Nabi bersabda:
ألا لا يصلين أحدكم
العصر إلا في بني
قريظة
“ingatlah,
jangan ada di antara kalian yang melakukan sholat kecuali di perumahan Bani
Quraidzah”
Maka para sahabat pun
bergegas berangkat menuju ke perkampungan Yahudi Bani Quraidzah, akan tetapi
ditengah jalan waktu ashar sudah masuk dan hampir habis. Ada sebagian sahabat yang
kemudian melakukan shalat ashar di tengah jalan, namun sebagian yang lain tidak
dan terus berjalan menuju ke Bani Quraidzah dengan alasan menuruti perintah
baginda Nabi di atas. Nah disinilah kemudian terjadi perbedaan pendapat antara
para sahabat yang sedang berjalan menuju ke Bani Quraidzah dalam memahami sabda
Nabi. Sebagian dari mereka memahami bahwa ucapan baginda Nabi di atas adalah
dorongan agar para sahabat bergegas berangkat menuju Bani Quraidzah, bukan
berarti mereka harus melakukan sholat di sana jika memang waktunya sudah masuk
dan bahkan sudah hampir habis. Sementara yang lain memahami bahwa perintah
baginda Nabi ya seperti apa yang beliau dawuhkan, bukan hanya karena
beliau menginginkan agar bergerak cepat menuju Bani Quraidzah, akan tetapi
memang perintah sholat Ashar diperkampungan Bani Quraidzah.
Lalu bagaimana sikap baginda Nabi
menanggapi perbedaan para sahabatnya ini? Ya beliau tidak kemudian menyalahkan
atau bahkan mencaci salah satu dari kelompok sahabatnya itu. Akan tetapi beliau
malah mengiyakan kedua pendapat yang ada dengan penuh bijaksana. Ini adalah salah
satu saja dari beberapa perbedaan pendapat yang terjadi pada masa baginda Nabi,
dan tentunya masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang terjadi pada era beliau
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dalam tulisan sederhana ini.
· Berdasarkan Semangat Ilmiah.
Sering kali sebuah perbedaan muncul bukan karena semangat ilmiah,
akan tetapi lebih karena fanatisme. Entah itu fanatik terhadap seseorang,
kelompok, golongan, organisasi ataupun yang lain. Sikap fanatik—dengan alasan
apapun—akan membawa seseorang menjadi pribadi yang kaku, merasa paling benar,
paling hebat dan diliputi perasaan wah lainnya. Ia akan menutup mata,
telinga dan bahkan hatinya untuk menerima kebenaran dari pihak luar. Walaupun
nyata-nyata apa yang dia yakini adalah sebuah kesalahan. Ini semua muncul
karena sikap fanatik yang membutakan mata hati seseorang.
Lalu apa penyebab munculnya sikap fanatik buta dalam diri
seseorang? Kalau menurut penulis pribadi, hal itu muncul karena minimnya
keilmuan yang dimiliki oleh seseorang. Ilmu dan pengetahuan yang luas, akan
membawa seseorang pada kondisi di mana dia hanya akan tunduk pada sebuah
kebenaran ilmiah. Penulis masih ingat betul sebuah ungkapan yang disampaikan
oleh Imam Ali Karramallahu Wajhah dan sering sekali dikutip oleh Imam Al-Ghazali.
Imam Ali berkata:
اعرف
الحق بالحق, لا تعرف الحق بالرجال فتهلك.
“ketahuilah kebenaran dengan kebenaran itu sendiri. Jangan
kau ketahui sebuah kebenaran melalui orang yang membawanya, karena hal itu akan
membawamu pada kerusakan”
Orang yang selalu menyandarkan sikap dan tindak tanduknya pada
kebenaran ilmiah, tidak akan menjadi orang yang kuper dan jijik terhadap setiap
perubahan dan pembaharuan. Tapi dalam waktu yang sama juga, ia tidak menjadi
orang yang lepas control, liberal dan bebas tanpa ikatan pula. Ia adalah orang
yang moderat dalam pemikiran, sikap, tingkah laku, kehidupan dan bahkan dalam
beribadah kepada Allah sekalipun. Ia selalu bersandar pada ungkapan Imam
Syafi’I:
رأيي
صواب يحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
“pendapatku (mungkin) benar, akan tetapi juga mungkin salah.
(sedang) pendapat dari selainku (mungkin salah), akan tetapi juga sangat
mungkin benar”
· Klasifikasi permasalahan.
Klasifikasi masalah yang penulis maksud adalah memperjelas lagi
apakah masalah yang dikhilafkan itu masuk dalam ranah Qoth’I atau hanya
sebatas Dzonni. Apakah masalah itu masuk dalam ranah Ushul atau Furu’
atau apakah problem itu masuk dalam ranah masalah yang di sepakati (Mujma’
‘Alaihi) ataukah yang tidak (Mukhtalaf Fihi). Atau malah
jangan-jangan masalah itu hanya beda dalam sisi metodologi dan penyikapan saja
yang sama sekali tidak menyentuh masalah pokok. Kenapa harus ada klasifikasi
semacam ini? Ya agar konflik tidak timbul hanya gara-gara salah faham atau
hanya karena perbedaan dalam sebuah masalah yang sebenarnya sangat tidak
mendasar sama sekali. Banyak kita temui konflik dewasa ini terjadi karena
adanya kesalah fahaman dan tidak adanya komunikasi yang intensif antara dua
belah pihak yang berbeda. Dan Kiai Ali Maksum dengan tegas mengkritisi
sekaligus menolak konflik yang muncul hanya karena masalah kecil semacam ini.
Coba saja perhatikan ungkapan Kiai Ali dalam mukoddimah kitabnya sebagai
berikut:
وهو من مسائل الفروع
الخلافية فلا يجوز بشأنه إثارة الفتن والجدال والإنكار على القائل والعامل به ولا
على المخالف, ولا ينبغي أن يقع بينهما ما لاينبغي وقوعه بين أخوين مسلمين
“ia (hadiah pahala bacaan) termasuk dalam ranah
masalah-masalah cabang (furu’) yang dikhilafkan. Maka tidak boleh ada saling
fitnah, saling bertengkar atau pun saling mengingkari dalam masalah ini. (Baik
pengingkaran kepada) orang yang mengatakan pendapat itu dan mengamalkannya
ataupun kepada orang yang berbeda dengan pendapatnya. Sangat tidak patut (jika
hanya karena masalah itu) terjadi apa saja yang tidak seharusnya terjadi antara
dua orang saudara sesama muslim”
Dari ungkapan beliau di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa
masalah Furu’ (cabang) dan masalah yang dikhilafkan (khilafiyyah)
hendaknya jangan sampai menimbulkan konflik yang berupa saling fitnah, hujatan,
caci maki atau bahkan pengingkaran. Karena masing-masing mempunyai argumentasi
yang dijadikan pegangan, sebagaimana hal itu pun di ungkap oleh Mbah Ali dalam
tulisan beliau selanjutnya, beliau berkata:
ولئن
كان للمانع مستند فإن لغيره مستندا كذلك
“jika orang yang tidak setuju memiliki dalil, maka orang lain
(yang setuju) juga mempunyai dalil”
· Kaidah-kaidah perbedaan dan adab-adabnya.
Sepanjang pengetahuan penulis, perbedaan terbagi menjadi 2
kelompok: Pertama perbedan yang tercela. Kedua adalah perbedaan yang terpuji.
a.
Perbedaan yang
tercela.
Perbedaan yang tercela adalah perbedaan yang memunculkan konflik.
Dan perbedaan ini bisa terjadi karena ada beberapa penyebab yang kembali kepada
akhlak orang yang berpendapat. Di antara beberapa penyebabnya adalah sebagai
berikut:
1.
الغرور بالنفس والإعجاب بالرأي [tertipu oleh dirinya
sendiri dan merasa pendapatnyalah yang terbaik].
2.
سوء الظن والمسارعة إلى اتهام الآخرين بغير بينة [berperasangka
jelek dan terburu-buru menuduh orang lain tanpa ada bukti yang valid].
3.
الحرص على الزعامة أو الصدارة أو المنصب
[keinginan kuat untuk mendapatkan kekuasaan atau menjadi pemimpin atau memperoleh kedudukan tertentu].
4.
اتباع الهوى وحب الدنيا [mengikuti
kesenangan nafsu dan cinta terhadap dunia].
5.
التعصب لأقوال الأشخاص والمذاهب والطوائف [fanatik
buta terhadap pendapat perorangan atau madzhab atau sekte/kelompok].
6.
العصبية لبلد أو إقليم أو حزب أو جماعة أو قائد
[fanatik terhadap sebuah negara/daerah tertentu/partai tertentu/kelompok
tertentu/pemimpin].
7.
قلة العلم في صفوف كثير من المتصدرين [minimnya ilmu yang ada pada diri kebanyakan para pemimpin].
8.
عدم التثبت في نقل
الأخبار وسماعها [tidak adanya klarifikasi yang jelas dan kuat dalam mengutip
sebuah berita ataupun mendengarkannya].
Kedelapan penyebab di atas adalah hal-hal yang menyebabkan
perbedaan tidak hanya berujung pada perbedaan saja, bahkan bisa membawa
masing-masing yang berpendapat terperangkap dalam jurang konflik berdarah, dan
nampaknya pada era sekarang ini umat islam benar-benar terjangkiti virus
konflik tersebut.
b.
Perbedaan yang
terpuji.
Perbedaan yang terpuji adalah perbedaan karena adanya pendapat yang
bermacam-macam dalam satu bingkai persatuan. Akar dari munculnya perbedaan ini
adalah perbedaan pemikiran dan tatacara memahami sebuah permasalahan. Semisal
perbedaan dalam masalah cabang-cabang syariat atau perbedaan dalam beberapa
masalah keyakinan (akidah) yang tidak sampai menyentuh pokok-pokok yang pasti (Qoth’i).
Di antara contoh perbedaan yang terpuji adalah perbedaan yang
berkaitan dengan sikap seseorang dalam perpolitikan, metodologi untuk melakukan
perbaikan dan perubahan dalam masyarakat, perbedaan dalam menilai sebagian
cabang keilmuan, semisal ilmu mantiq, ilmu filsafat, ilmu kalam, ilmu tasawuf
dan masih banyak ilmu yang lainnya. Perkhilafan yang semacam ini pada dasarnya
bukanlah perkhilafan yang tercela. Hanya saja oknum-oknum pelakunyalah yang sering menjadikan perbedaan
dalam ranah ini seakan menjadi perbedaan yang sangat mendasar. Sekali lagi,
penulis katakana bahwa oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki
akhlak yang mulia adalah sumber dari konflik yang timbul karena perbedaan yang
kedua ini.
c.
Kaidah-kaidah
perbedaan secara ilmiah.
Berikut ini adalah beberapa kaidah yang hendaknya diperhatikan oleh
setiap intelektual muslim dalam perbedaan:
1.
Mengembalikan
perbedaan kepada al-Qur’an dan sunnah baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagai wujud
ketundukan seseorang pada firman Allah yang berarti: “Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (hadis setelah beliau wafat)”. Tentunya pengembalian
kepada al-Qur’an dan sunnah ini tidaklah dengan mengembalikan secara literalis
total terhadap teks-teks kedua pusaka tersebut, akan tetapi dengan tatacara dan
metodologi yang telah dikembangkan para ulama yang memang pakarnya dalam
memahami kedua pusaka umat Islam di atas. Karena realitas sekarang ini, banyak
perpecahan, Takfir dan konflik yang timbul hanya gara-gara masing-masing
personal mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang paling berhak untuk
menafsirkan kedua pusaka Islam di atas.
2.
Mengikuti
metode yang moderat. Sebagai wujud ketundukan terhadap firman Allah yang berarti:
“Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
Terlalu berlebihan dalam segala hal adalah sebuah pemikiran atau madzhab yang
ditolak oleh Islam. Jadi hendaknya perbedaan itu bisa memberikan kemudahan,
keringanan dan bisa memperhatikan kondisi sebuah masyarakat dimana perbedaan
itu dimunculkan sebagai problem solving. Kemaslahatan umum seharusnya di
jadikan pertimbangan dalam setiap sikap.
3.
Membedakan
antara masalah-masalah yang pasti (Qoth’i) dan tidak pasti (Dzonni).
Juga hendaknya di bedakan pula masalah-masalah yang Muhkamat dan Mutasyabihat
dalam ajaran Islam ini.
4.
Hendaknya tidak
memberikan keputusan dan kepastian sepihak dalam masalah-masalah yang sifatnya
ijtihadiyah. Sebuah ijtihad jika muncul karena mengikuti sebuah metode yang
benar dan tidak karena hawa nafsu, maka hendaknya dihormati dan tidak serta
merta diingkari begitu saja. Seorang mujtahid tidaklah boleh mencela dan
mengingkari mujtahid lainnya, begitu juga seorang simpatisan (Muqollid)
pun hendaknya tidak mencela dan mengingkari simpatisan yang lain. apalagi jika
ijtihad ini berkenaan hanya dalam masalah metodologi atau tatacara, bukan hal
inti.
5.
Orang yang
hendak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, harus mengetahui segala macam
pendapat ulama dan perkhilafannya seputar masalah yang akan dia inkari. Karena
jangan-jangan ia mengingkari sebuah permasalah yang salah menurut pemahamannya,
akan tetapi ternyata dalam pemahaman ulama lain, sesuatu tersebut benar. Perbedaan
adalah fitrah. Jadi jangan di kotori hanya dengan salah paham saja. Fanatik
terhadap satu madzhab saja/pendapat perorangan saja dan menganggap yang lain
salah, mempunyai potensi besar untuk membuat kerancauan dan kekacauan dalam
kehidupan bermasyarakat.
6.
Menyamakan
persepsi dan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berkaitan dengan
permasalahan yang sedang terjadi perbedaan seputarnya. Sehingga benar-benar
masalah yang diperkhilafkan bukanlah hanya karena kesalahan persepsi dalam
sebuah istilah.
7.
Kajian yang
secara holistic (Syumul), tidak hanya sepihak saja. Karena banyak
perbedaan terjadi hanya karena perbedaan sisi pandang atau hanya dengan
menggunakan sisi pandang yang parsial.
8.
Mempertimbangkan
Maqoshid Syariah dan akibat dari sebuah pendapat.
9.
Mendahulukan Amaliah
Qolbiyah (amal hati) dari pada amal anggota tubuh yang lain.
10.
Memperhatikan
kepentingan umat Islam secara umum, jangan hanya mempertimbangkan kepentingan
pribadi.
11.
Saling tolong
menolong dalam merealisasikan gerakan yang di sepakati (Muttafaq Alaihi).
Problem kita umat Islam sekarang ini adalah seringnya perkhilafan terjadi hanya
pada masalah yang tidak ada kesepakatan di dalamnya.
12.
Selalu berusaha
terbuka dengan hal baru, jangan menutup diri dan pikiran kita terhadap hal baru
yang masuk/pemikiran baru yang masuk.
d.
Adab-Adab
Perbedaan.
Berikut ini adalah adab-adab yang berhubungan dengan perbedaan
pendapat, tepatnya dalam masalah ucapan yang digunakan dalam berbeda pendapat:
1.
Menggunakan
kata-kata yang baik. Di antara perkataan yang baik adalah memanggil pihak lawan
dengan panggilan yang baik, adab seperti inilah yang disebut dengan Mauidzoh
Hasanah dalam al-Qur’an.
2.
Menggunakan
isyarah dalam menunjukkan kesalahan pihak lawan. Jangan langsung dengan mencela
orang lain yang salah.
3.
Hendaknya
memuji lawan yang berbeda pendapat dengan kita saat dia mengeluarkan pendapat
yang benar. Jadi ambillah kebenaran dari siapa saja, walaupun itu adalah
lawanmu sendiri.
4.
Hendaknya
menghindari hal-hal berikut:
a. Jangan
menggunakan redaksi dan kata-kata yang bisa membawa perbedaan itu menuju ke
sebuah konflik dan bisa menimbulkan fitnah.
b. Jangan
memperlihatkan kata-kata yang kasar. Tujuannya adalah untuk meremehkan yang
lain.
c. Jangan Ghibah.
Bentuk Ghibah yang ada dalam perbedaan pendapat adalah saat kita menyebutkan
pendapat lawan, maka hendaknya kita jangan sampai menggunakan kata-kata yang merendahkan
pihak lawan. Atau membuka aib lawan yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan masalah yang sedang dibahas.
d. Jangan
berbohong. Terkadang orang yang berbeda pendapat sebenarnya tidak mampu untuk
beradu argument dengan benar. Akan tetapi dia malu, nah sebagai upaya menutupi
kelemahannya itu maka ia mengatakan apa saja yang tidak berdasar. Disinilah ia
jatuh dalam kebohongan.
e. Janganlah Selalu
berbicara dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.
f. Jangan Cepat-cepat
mencela pihak lawan saat nampak ia salah.
g. Jangan
mengeraskan suara di atas kadar rata-rata yang dibutuhkan oleh orang lain yang
mendengar.
h. Jangan menghina
lawan.
i. Jangan
menggunakan kata-kata yang tidak mudah dipahami dan metode yang tidak jelas.
· Kesimpulan.
Perbedaan adalah sebuah masalah yang sudah niscaya, lumrah dan wajar.
Janganlah perbedaan memunculkan konflik dalam sebuah masyarakat, akan tetapi
hendaknya perbedaan itu dijadikan sebagai upaya untuk mendewasakan dan memberi
kemudahan bagi masyarakat. Karena perbedaan para intelektual muslim (ulama’)
merupakan rohmat bagi masyarakat secara umum, sebab masyarakat tidaklah
memiliki kekuatan yang sama dalam mengemban amanah syariah (Taklifat).
Nah yang menjadi masalah adalah bagaimana sebuah
perbedaan tidak menimbulkan konflik? Menurut penulis sendiri, sebuah perbedaan
tidak menimbulkan sebuah konflik jika mau menetapi beberapa adab-adab dan
kaidah-kaidah yang telah kami sebutkan di atas. Andaikan saja orang yang bodoh
dan bukan ahlinya itu diam saja, tidak ikut-ikut berbicara, niscaya konflik
akan sangat mudah sekali diredam. Jadi problem utama konflik itu adalah
minimnya keilmuan pada masing-masing orang yang berbeda pendapat. Masing-masing
merasa pendapatnya yang paling benar. Jadi semua tergantung masyarakatnya
sendiri, bukanlah demikian?
0 komentar