Advertise 728x90

BELAJAR MANAGEMEN PERBEDAAN ALA KYAI MAKSUM

Written By Unknown on Saturday, June 21, 2014 | 9:51 AM

Hari-hari ini, perbedaan nampaknya menjadi drakula yang sangat menakutkan dan siap menggigit siapa saja yang menjadi pelakunya. Apalagi jika kita merunut sejarah kehidupan manusia yang berkisah bahwa Nabiyullah Adam—yang notabenenya adalah bapak semua manusia—pun pernah mempunyai catatan perbedaan dengan Iblis, yang kemudian itu berimbas dengan munculnya iblis sebagai musuh bebuyutan bagi beliau dan anak turunnya. Peristiwa pembunuhan pertama yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil pun menambah rentetan sejarah kelam tentang konflik kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perbedaan. Lebih mengerikan lagi adalah konflik kemanusiaan yang mengakibatkan jatuhnya ratusan atau bahkan ribuan nyawa di berbagai belahan dunia. Dan lagi-lagi semua itu terjadi karena adanya perbedaan, entah itu perbedaan dalam hal agama, sekte, suku atau bahkan hanya gara-gara beda pilihan politik.

            Begitu mengerikankah makhluk yang bernama perbedaan itu? Ia benar-benar menjelma menjadi keris ‘Empu Gandring’ yang selalu meminta tumbal darah manusia. Penulis pun sempat berangan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah pada era orde baru dulu dengan berusaha menyeragamkan pemahaman akan Pancasila dan UUD, yang jika dianalisis dengan metode positive thingking (Husnu Dzon) dan mempertimbangkan dampak negative dari adanya perbedaan, maka apa yang mereka lakukan sangatlah wajar. Akan tetapi, angan-angan penulis tersebut di atas dimentahkan oleh realitas orde baru yang berbicara lain. Upaya meminimalisir konflik pun ternyata berbalik menjadi pemicu konflik dengan wajah baru. Itulah realitas yang digambarkan oleh pemerintahan orde baru dengan penyeragamannya pancasila dan UUD.
            Lalu kita harus bagaiamana? Apakah memang kita harus mengikuti apa yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru yang berusaha mengekang berbagai macam kreativitas dan melarang adanya perbedaan? Atau malah memang harus ada perbedaan? Kalau memang harus ada perbedaan, lalu bagaimana perbedaan itu tidak menjadi akar permasalahan dan konflik kemanusiaan sebagaimana telah terjadi pada ratusan tahun yang lalu? Sederet pertanyaan-pertanyaan di atas inilah yang ingin penulis jawab dalam tulisan sederhana yang sedikit mengetengahkan pemikiran KH. Ali Maksum Jogja dalam buku beliau yang berjudul Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

            Memang penulis akui bahwa kitab sederhana di atas bukanlah buku yang secara khusus dan eksplisit mengupas tentang perbedaan dan pernak pernik yang berhubungan dengannya. Tetapi penulis menemukan beberapa ungkapan Kiai Ali Maksum dalam kitab tersebut yang bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan sikap saling menghormati dan dewasa dalam menyikapi perbedaan. Karena bagi penulis, perbedaan adalah hal yang niscaya dan tidak mungkin bisa dienyahkan dari muka bumi ini. Jadi jalan satu-satunya agar perbedaan tidak menimbulkan konflik adalah dengan mengetahui menegemen perbedaan atau bisa juga di sebut dengan menegemen konflik. Paparan berikut di bawah ini adalah beberapa kiat yang menurut hemat penulisa sangat berguna dalam menghindari konflik akibat adanya perbedaan.

·      Perbedaan Sudah Ada Pada Zaman Baginda Nabi.

Sebenarnya perbedaan (Khilaf) bukanlah hal baru yang kemudian menjadikan seseorang tercengang dan terkaget-kaget. Sebagaimana telah kami paparkan di atas bahwa perbedaan merupakan hal yang sudah ada semenjak masa Nabi Adam, maka bisa disimpulkan bahwa perbedaan adalah sesuatu Sunnatullah dan bukan sesuatu yang aneh. Bahkan pada era baginda Nabi Muhammad masih hidup pun, perbedaan antara para sahabat tidak bisa di hindari. Dan saat para sahabat berbeda pandangan dan pendapat, baginda nabi selaku guru besar mereka pun tidak serta merta mencela salah satu dan mengunggulkan yang lain. beliau membenarkan ijtihad masing-masing kelompok dan andaikan mensetujui pendapat salah satunya, beliau tidak serta merta mencela yang lain.
Coba saja kita perhatikan bagaimana hadis yang menjelaskan tentang peristiwa perintah sholat Ashar di Bani Quraidzoh yang sangat masyhur itu, bisa menjadi pembelajaran bagi kita untuk dewasa dalam menghadapi perbedaan. Dalam hadis tersebut dikisahkan bahwa baginda Nabi bersabda:
ألا لا يصلين أحدكم العصر إلا في بني قريظة
ingatlah, jangan ada di antara kalian yang melakukan sholat kecuali di perumahan Bani Quraidzah
Maka para sahabat pun bergegas berangkat menuju ke perkampungan Yahudi Bani Quraidzah, akan tetapi ditengah jalan waktu ashar sudah masuk dan hampir habis. Ada sebagian sahabat yang kemudian melakukan shalat ashar di tengah jalan, namun sebagian yang lain tidak dan terus berjalan menuju ke Bani Quraidzah dengan alasan menuruti perintah baginda Nabi di atas. Nah disinilah kemudian terjadi perbedaan pendapat antara para sahabat yang sedang berjalan menuju ke Bani Quraidzah dalam memahami sabda Nabi. Sebagian dari mereka memahami bahwa ucapan baginda Nabi di atas adalah dorongan agar para sahabat bergegas berangkat menuju Bani Quraidzah, bukan berarti mereka harus melakukan sholat di sana jika memang waktunya sudah masuk dan bahkan sudah hampir habis. Sementara yang lain memahami bahwa perintah baginda Nabi ya seperti apa yang beliau dawuhkan, bukan hanya karena beliau menginginkan agar bergerak cepat menuju Bani Quraidzah, akan tetapi memang perintah sholat Ashar diperkampungan Bani Quraidzah.

Lalu bagaimana sikap baginda Nabi menanggapi perbedaan para sahabatnya ini? Ya beliau tidak kemudian menyalahkan atau bahkan mencaci salah satu dari kelompok sahabatnya itu. Akan tetapi beliau malah mengiyakan kedua pendapat yang ada dengan penuh bijaksana. Ini adalah salah satu saja dari beberapa perbedaan pendapat yang terjadi pada masa baginda Nabi, dan tentunya masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang terjadi pada era beliau yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dalam tulisan sederhana ini.

·      Berdasarkan Semangat Ilmiah.

Sering kali sebuah perbedaan muncul bukan karena semangat ilmiah, akan tetapi lebih karena fanatisme. Entah itu fanatik terhadap seseorang, kelompok, golongan, organisasi ataupun yang lain. Sikap fanatik—dengan alasan apapun—akan membawa seseorang menjadi pribadi yang kaku, merasa paling benar, paling hebat dan diliputi perasaan wah lainnya. Ia akan menutup mata, telinga dan bahkan hatinya untuk menerima kebenaran dari pihak luar. Walaupun nyata-nyata apa yang dia yakini adalah sebuah kesalahan. Ini semua muncul karena sikap fanatik yang membutakan mata hati seseorang.
Lalu apa penyebab munculnya sikap fanatik buta dalam diri seseorang? Kalau menurut penulis pribadi, hal itu muncul karena minimnya keilmuan yang dimiliki oleh seseorang. Ilmu dan pengetahuan yang luas, akan membawa seseorang pada kondisi di mana dia hanya akan tunduk pada sebuah kebenaran ilmiah. Penulis masih ingat betul sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Imam Ali Karramallahu Wajhah dan sering sekali dikutip oleh Imam Al-Ghazali. Imam Ali berkata:
اعرف الحق بالحق, لا تعرف الحق بالرجال فتهلك.
ketahuilah kebenaran dengan kebenaran itu sendiri. Jangan kau ketahui sebuah kebenaran melalui orang yang membawanya, karena hal itu akan membawamu pada kerusakan
Orang yang selalu menyandarkan sikap dan tindak tanduknya pada kebenaran ilmiah, tidak akan menjadi orang yang kuper dan jijik terhadap setiap perubahan dan pembaharuan. Tapi dalam waktu yang sama juga, ia tidak menjadi orang yang lepas control, liberal dan bebas tanpa ikatan pula. Ia adalah orang yang moderat dalam pemikiran, sikap, tingkah laku, kehidupan dan bahkan dalam beribadah kepada Allah sekalipun. Ia selalu bersandar pada ungkapan Imam Syafi’I:
رأيي صواب يحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
pendapatku (mungkin) benar, akan tetapi juga mungkin salah. (sedang) pendapat dari selainku (mungkin salah), akan tetapi juga sangat mungkin benar

·      Klasifikasi permasalahan.

Klasifikasi masalah yang penulis maksud adalah memperjelas lagi apakah masalah yang dikhilafkan itu masuk dalam ranah Qoth’I atau hanya sebatas Dzonni. Apakah masalah itu masuk dalam ranah Ushul atau Furu’ atau apakah problem itu masuk dalam ranah masalah yang di sepakati (Mujma’ ‘Alaihi) ataukah yang tidak (Mukhtalaf Fihi). Atau malah jangan-jangan masalah itu hanya beda dalam sisi metodologi dan penyikapan saja yang sama sekali tidak menyentuh masalah pokok. Kenapa harus ada klasifikasi semacam ini? Ya agar konflik tidak timbul hanya gara-gara salah faham atau hanya karena perbedaan dalam sebuah masalah yang sebenarnya sangat tidak mendasar sama sekali. Banyak kita temui konflik dewasa ini terjadi karena adanya kesalah fahaman dan tidak adanya komunikasi yang intensif antara dua belah pihak yang berbeda. Dan Kiai Ali Maksum dengan tegas mengkritisi sekaligus menolak konflik yang muncul hanya karena masalah kecil semacam ini. Coba saja perhatikan ungkapan Kiai Ali dalam mukoddimah kitabnya sebagai berikut:
وهو من مسائل الفروع الخلافية فلا يجوز بشأنه إثارة الفتن والجدال والإنكار على القائل والعامل به ولا على المخالف, ولا ينبغي أن يقع بينهما ما لاينبغي وقوعه بين أخوين مسلمين
ia (hadiah pahala bacaan) termasuk dalam ranah masalah-masalah cabang (furu’) yang dikhilafkan. Maka tidak boleh ada saling fitnah, saling bertengkar atau pun saling mengingkari dalam masalah ini. (Baik pengingkaran kepada) orang yang mengatakan pendapat itu dan mengamalkannya ataupun kepada orang yang berbeda dengan pendapatnya. Sangat tidak patut (jika hanya karena masalah itu) terjadi apa saja yang tidak seharusnya terjadi antara dua orang saudara sesama muslim
Dari ungkapan beliau di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa masalah Furu’ (cabang) dan masalah yang dikhilafkan (khilafiyyah) hendaknya jangan sampai menimbulkan konflik yang berupa saling fitnah, hujatan, caci maki atau bahkan pengingkaran. Karena masing-masing mempunyai argumentasi yang dijadikan pegangan, sebagaimana hal itu pun di ungkap oleh Mbah Ali dalam tulisan beliau selanjutnya, beliau berkata:
ولئن كان للمانع مستند فإن لغيره مستندا كذلك
jika orang yang tidak setuju memiliki dalil, maka orang lain (yang setuju) juga mempunyai dalil

·      Kaidah-kaidah perbedaan dan adab-adabnya.

Sepanjang pengetahuan penulis, perbedaan terbagi menjadi 2 kelompok: Pertama perbedan yang tercela. Kedua adalah perbedaan yang terpuji.
a.    Perbedaan yang tercela.
Perbedaan yang tercela adalah perbedaan yang memunculkan konflik. Dan perbedaan ini bisa terjadi karena ada beberapa penyebab yang kembali kepada akhlak orang yang berpendapat. Di antara beberapa penyebabnya adalah sebagai berikut:
1.   الغرور بالنفس والإعجاب بالرأي [tertipu oleh dirinya sendiri dan merasa pendapatnyalah yang terbaik].
2.   سوء الظن والمسارعة إلى اتهام الآخرين بغير بينة [berperasangka jelek dan terburu-buru menuduh orang lain tanpa ada bukti yang valid].
3.   الحرص على الزعامة أو الصدارة أو المنصب [keinginan kuat untuk mendapatkan kekuasaan atau menjadi pemimpin atau memperoleh kedudukan tertentu].
4.   اتباع الهوى وحب الدنيا [mengikuti kesenangan nafsu dan cinta terhadap dunia].
5.   التعصب لأقوال الأشخاص والمذاهب والطوائف [fanatik buta terhadap pendapat perorangan atau madzhab atau sekte/kelompok].
6.   العصبية لبلد أو إقليم أو حزب أو جماعة أو قائد [fanatik terhadap sebuah negara/daerah tertentu/partai tertentu/kelompok tertentu/pemimpin].
7.   قلة العلم في صفوف كثير من المتصدرين  [minimnya ilmu yang ada pada diri kebanyakan para pemimpin].
8.   عدم التثبت في نقل الأخبار وسماعها [tidak adanya klarifikasi yang jelas dan kuat dalam mengutip sebuah berita ataupun mendengarkannya].
Kedelapan penyebab di atas adalah hal-hal yang menyebabkan perbedaan tidak hanya berujung pada perbedaan saja, bahkan bisa membawa masing-masing yang berpendapat terperangkap dalam jurang konflik berdarah, dan nampaknya pada era sekarang ini umat islam benar-benar terjangkiti virus konflik tersebut.
b.   Perbedaan yang terpuji.
Perbedaan yang terpuji adalah perbedaan karena adanya pendapat yang bermacam-macam dalam satu bingkai persatuan. Akar dari munculnya perbedaan ini adalah perbedaan pemikiran dan tatacara memahami sebuah permasalahan. Semisal perbedaan dalam masalah cabang-cabang syariat atau perbedaan dalam beberapa masalah keyakinan (akidah) yang tidak sampai menyentuh pokok-pokok yang pasti (Qoth’i).
Di antara contoh perbedaan yang terpuji adalah perbedaan yang berkaitan dengan sikap seseorang dalam perpolitikan, metodologi untuk melakukan perbaikan dan perubahan dalam masyarakat, perbedaan dalam menilai sebagian cabang keilmuan, semisal ilmu mantiq, ilmu filsafat, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan masih banyak ilmu yang lainnya. Perkhilafan yang semacam ini pada dasarnya bukanlah perkhilafan yang tercela. Hanya saja oknum-oknum  pelakunyalah yang sering menjadikan perbedaan dalam ranah ini seakan menjadi perbedaan yang sangat mendasar. Sekali lagi, penulis katakana bahwa oknum yang tidak bertanggung jawab dan tidak memiliki akhlak yang mulia adalah sumber dari konflik yang timbul karena perbedaan yang kedua ini.
c.    Kaidah-kaidah perbedaan secara ilmiah.
Berikut ini adalah beberapa kaidah yang hendaknya diperhatikan oleh setiap intelektual muslim dalam perbedaan:
1.   Mengembalikan perbedaan kepada al-Qur’an dan sunnah baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagai wujud ketundukan seseorang pada firman Allah yang berarti: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (hadis setelah beliau wafat)”. Tentunya pengembalian kepada al-Qur’an dan sunnah ini tidaklah dengan mengembalikan secara literalis total terhadap teks-teks kedua pusaka tersebut, akan tetapi dengan tatacara dan metodologi yang telah dikembangkan para ulama yang memang pakarnya dalam memahami kedua pusaka umat Islam di atas. Karena realitas sekarang ini, banyak perpecahan, Takfir dan konflik yang timbul hanya gara-gara masing-masing personal mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang paling berhak untuk menafsirkan kedua pusaka Islam di atas.
2.   Mengikuti metode yang moderat. Sebagai wujud ketundukan terhadap firman Allah yang berarti: “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Terlalu berlebihan dalam segala hal adalah sebuah pemikiran atau madzhab yang ditolak oleh Islam. Jadi hendaknya perbedaan itu bisa memberikan kemudahan, keringanan dan bisa memperhatikan kondisi sebuah masyarakat dimana perbedaan itu dimunculkan sebagai problem solving. Kemaslahatan umum seharusnya di jadikan pertimbangan dalam setiap sikap.
3.   Membedakan antara masalah-masalah yang pasti (Qoth’i) dan tidak pasti (Dzonni). Juga hendaknya di bedakan pula masalah-masalah yang Muhkamat dan Mutasyabihat dalam ajaran Islam ini.
4.   Hendaknya tidak memberikan keputusan dan kepastian sepihak dalam masalah-masalah yang sifatnya ijtihadiyah. Sebuah ijtihad jika muncul karena mengikuti sebuah metode yang benar dan tidak karena hawa nafsu, maka hendaknya dihormati dan tidak serta merta diingkari begitu saja. Seorang mujtahid tidaklah boleh mencela dan mengingkari mujtahid lainnya, begitu juga seorang simpatisan (Muqollid) pun hendaknya tidak mencela dan mengingkari simpatisan yang lain. apalagi jika ijtihad ini berkenaan hanya dalam masalah metodologi atau tatacara, bukan hal inti.
5.   Orang yang hendak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, harus mengetahui segala macam pendapat ulama dan perkhilafannya seputar masalah yang akan dia inkari. Karena jangan-jangan ia mengingkari sebuah permasalah yang salah menurut pemahamannya, akan tetapi ternyata dalam pemahaman ulama lain, sesuatu tersebut benar. Perbedaan adalah fitrah. Jadi jangan di kotori hanya dengan salah paham saja. Fanatik terhadap satu madzhab saja/pendapat perorangan saja dan menganggap yang lain salah, mempunyai potensi besar untuk membuat kerancauan dan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat.
6.   Menyamakan persepsi dan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang terjadi perbedaan seputarnya. Sehingga benar-benar masalah yang diperkhilafkan bukanlah hanya karena kesalahan persepsi dalam sebuah istilah.
7.   Kajian yang secara holistic (Syumul), tidak hanya sepihak saja. Karena banyak perbedaan terjadi hanya karena perbedaan sisi pandang atau hanya dengan menggunakan sisi pandang yang parsial.
8.   Mempertimbangkan Maqoshid Syariah dan akibat dari sebuah pendapat.
9.   Mendahulukan Amaliah Qolbiyah (amal hati) dari pada amal anggota tubuh yang lain.
10.  Memperhatikan kepentingan umat Islam secara umum, jangan hanya mempertimbangkan kepentingan pribadi.
11.  Saling tolong menolong dalam merealisasikan gerakan yang di sepakati (Muttafaq Alaihi). Problem kita umat Islam sekarang ini adalah seringnya perkhilafan terjadi hanya pada masalah yang tidak ada kesepakatan di dalamnya.  
12.  Selalu berusaha terbuka dengan hal baru, jangan menutup diri dan pikiran kita terhadap hal baru yang masuk/pemikiran baru yang masuk.
d.   Adab-Adab Perbedaan.
Berikut ini adalah adab-adab yang berhubungan dengan perbedaan pendapat, tepatnya dalam masalah ucapan yang digunakan dalam berbeda pendapat:
1.   Menggunakan kata-kata yang baik. Di antara perkataan yang baik adalah memanggil pihak lawan dengan panggilan yang baik, adab seperti inilah yang disebut dengan Mauidzoh Hasanah dalam al-Qur’an. 
2.   Menggunakan isyarah dalam menunjukkan kesalahan pihak lawan. Jangan langsung dengan mencela orang lain yang salah.
3.   Hendaknya memuji lawan yang berbeda pendapat dengan kita saat dia mengeluarkan pendapat yang benar. Jadi ambillah kebenaran dari siapa saja, walaupun itu adalah lawanmu sendiri.
4.   Hendaknya menghindari hal-hal berikut:

a. Jangan menggunakan redaksi dan kata-kata yang bisa membawa perbedaan itu menuju ke sebuah konflik dan bisa menimbulkan fitnah.
b. Jangan memperlihatkan kata-kata yang kasar. Tujuannya adalah untuk meremehkan yang lain.
c.  Jangan Ghibah. Bentuk Ghibah yang ada dalam perbedaan pendapat adalah saat kita menyebutkan pendapat lawan, maka hendaknya kita jangan sampai menggunakan kata-kata yang merendahkan pihak lawan. Atau membuka aib lawan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah yang sedang dibahas.
d. Jangan berbohong. Terkadang orang yang berbeda pendapat sebenarnya tidak mampu untuk beradu argument dengan benar. Akan tetapi dia malu, nah sebagai upaya menutupi kelemahannya itu maka ia mengatakan apa saja yang tidak berdasar. Disinilah ia jatuh dalam kebohongan.
e. Janganlah Selalu berbicara dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.
f. Jangan Cepat-cepat mencela pihak lawan saat nampak ia salah.
g. Jangan mengeraskan suara di atas kadar rata-rata yang dibutuhkan oleh orang lain yang mendengar.
h.  Jangan menghina lawan.
i.  Jangan menggunakan kata-kata yang tidak mudah dipahami dan metode yang tidak jelas.
·   Kesimpulan.
Perbedaan adalah sebuah masalah yang sudah niscaya, lumrah dan wajar. Janganlah perbedaan memunculkan konflik dalam sebuah masyarakat, akan tetapi hendaknya perbedaan itu dijadikan sebagai upaya untuk mendewasakan dan memberi kemudahan bagi masyarakat. Karena perbedaan para intelektual muslim (ulama’) merupakan rohmat bagi masyarakat secara umum, sebab masyarakat tidaklah memiliki kekuatan yang sama dalam mengemban amanah syariah (Taklifat).
Nah yang menjadi masalah adalah bagaimana sebuah perbedaan tidak menimbulkan konflik? Menurut penulis sendiri, sebuah perbedaan tidak menimbulkan sebuah konflik jika mau menetapi beberapa adab-adab dan kaidah-kaidah yang telah kami sebutkan di atas. Andaikan saja orang yang bodoh dan bukan ahlinya itu diam saja, tidak ikut-ikut berbicara, niscaya konflik akan sangat mudah sekali diredam. Jadi problem utama konflik itu adalah minimnya keilmuan pada masing-masing orang yang berbeda pendapat. Masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar. Jadi semua tergantung masyarakatnya sendiri, bukanlah demikian?
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger