Oleh: Dhiyaul Haq*
“Ulama yang memiliki ciri
melekat, yakni faqih fi mashalihil khalqi, akan mampu berperan sebagai
motivator dan pemberi inspirasi”. [Kiyai Sahal Mahfudz].
Malam
itu—tepatnya malam Jum’at pukul 02.00 WIB—ada sms yang masuk ke Hp saya, namun
karena rasa kantuk yang sudah luar biasa, sms itu pun tidak saya perdulikan
sama sekali, yah saya pun kembali mancal sarung. Tapi, baru mulai
sebentar merasakan nyenyaknya tidur, Hp kembali berdering tanda ada telepon
yang masuk, dan ternyata benar. Gus Shobbah—cucu Mbah Moen dan putra Kiyai
Musthofa Aqil—menelepon, ah ada apa ini kok beliau malam-malam begini telepon,
wah gak biasa-biasanya, jangan-jangan ada hal penting yang ingin beliau
bicarakan dengan saya. Yah, telepon saya angkat dan memang ada hal penting yang
beliau kabarkan pada malam itu. Bahkan bagi masyarakat muslim, hal ini sangat
penting sekali, karena berhubungan dengan ilmu yang merupakan ruh Islam. Apakah
hal penting itu? Hal itu adalah wafatnya seorang Kiyai yang bergelar Faqih
Indonesia di millenium ini, sang pendobrak ke-‘jumud’-an pemikiran kaum santri,
penggagas Madzhab fiqh sosial dan yang terpenting adalah beliau merupakan salah
satu Waratsatul Anbiya’ yang di pernah dilahirkan oleh bumi pertiwi ini,
beliaulah Kiyai Sahal Mahfudz.
Membicarakan
sosok seorang kiyai—lebih-lebih yang sekaliber Kiyai Sahal—bukanlah hal yang
mudah, karena membicarakan sosok seorang kiyai sama saja dengan membicarakan
segudang kitab dan ilmu yang membentuk karakter, pemikiran, pergerakan dan
tentunya rasa dalam olah jiwa seorang kiyai. Karena sebagai ulama, seorang
kiyai akan selalu berusaha menjadikan kitab-kitab yang bersumber dari al-Qur’an
dan hadis sebagai barometer setiap tingkah lakunya. Dan Kiyai Sahal telah
membuktikan bahwa memang beliau benar-benar layak disebut sebagai ulama yang
tak lain dan tak bukan adalah pewaris para Nabi.
Tentunya tidak
mudah untuk membaca atau meneropong pemikiran dan “ijtihad” yang telah diproduksi
oleh Kiyai Sahal. Kalau hanya sekedar mampu membaca kitab kuning saja, tidak
akan mempu untuk membaca ijtihad beliau secara utuh, karena apa yang telah
dilahirkan oleh Kiyai Sahal adalah sebuah pergulatan intelektual yang panjang
dan selalu berkembang untuk mencari bentuknya dalam setiap masa. Fiqh—yang
merupakan ilmu spesialis Kiyai Sahal—saat ditangan beliau berubah bagaikan air
yang akan selalu bisa menyesuaikan dengan tempat dimana ia bertempat, sehingga
nampak lentur dan elastis. Berbeda dengan pandangan masyarakat terhadap fiqh
selama ini, yang cenderung kaku dan nampak keras bagaikan batu, ia bisa dirubah
menjadi bermacam-macam bentuknya jika dipukul dengan palu atau alat pukul
lainnya.
Pandangan umum
masyarakat seperti ini pulalah yang dulu menjadi kendala dan tantangan utama
bagi Kiyai Sahal, hingga pertama-tama hal yang dilakukan beliau dalam melakukan
perubahan adalah dengan merubah pola pikir dan pandangan masyarakat terhadap
sesuatu, baik itu masyarakat pesantren sendiri atau diluara pagar pesantren.
Pada akhirnya beliau dapat melunakkan dan menjinakkan tantangan itu dengan
pelan-pelan dan penuh kesabaran, yang tentunya dengan penuh keikhlasan yang
menjadi pondasi utama dalam setiap langkah dan gerakan beliau. Dalam kesempatan
yang singkat dan sederhana ini, saya ingin sedikit melakukan kajian dan
apresiasi terhadap pemikiran dan ijtihad dari seorang Kiyai Sahal, sebagai
bentuk terima kasih atas sumbangan beliau yang berharga dan tentunya sebagai
upaya agar nantinya bisa melahirkan para Al-Fuqoha’ Al-Mu’ashirun [Pakar
Juridis Kontemporer] yang benar-benar bisa membawa kemaslahatan bagi bangsa dan
negara Indonesia, tentunya bagi umat muslim secara khusus.
1.
Sumbangan
Kiyai Sahal Kepada Santri Dan Pesantren.
Sebagai insan pesantren yang dalam setiap sisi kehidupannya selalu
berkutat dengan dunia santri dan pesantren, Kiyai Sahal tidak akan pernah lelah
dan jemu untuk selalu memberikan sumbangsihnya terhadap institusi yang telah
membesarkannya itu, baik sumbangan yang bersifat material maupun pemikiran.
Akan tetapi sumbangan beliau yang bersifat pemikiran tentunya lebih besar dan
kekal, karena manfaatnya akan dapat dirasakan sepanjang masa dan lintas
generasi. Ada banyak sumbangan pemikiran Kiyai Sahal terhadap nalar pemikiran
kaum santri dan pesantren. Hanya saja, tentu ada beberapa pokok pemikiran belau
yang paling krusial tentang santri dan pesantren dan selalu beliau
suarakan—setidaknya menurut saya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, upaya merubah
sisi pandang kaum santri terhadap fiqh. Pada umumnya, kaum santri melihat fiqh
sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh di otak atik oleh
tangan-tangan orang setelah fiqh itu terkodifikasikan. Ia adalah sebuah aturan
suci yang pada akhirnya memunculkan anggapan dan kesan—walaupun hanya sekedar
anggapan dan kesan—bahwa fiqh memiliki kesakralan dan kesucian semisal
al-Qur’an dan Hadis. Cara pandang fiqh yang demikian ini pada akhirnya
menimbulkan gelombang pertanyaan-pertanyan panjang dan beruntun. Apakah
kehidupan yang global dan modern seperti sekarang ini, harus tunduk secara buta
terhadap aturan-aturan fiqh yang tak lain adalah jawaban dari problematika umat
berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun yang lalu? Apakah fiqh yang
harus mengikuti zaman atau zaman yang harus mengikuti aturan fiqh? Lalu
bagaimana jika problematika umat yang berkembang sekarang ini tidak ditemukan
jawabannya dalam literatur fiqh yang sudah ada?
Beberapa pertanyaan di atas akan lebih ruwet lagi, jika kita
tambahkan dengan idiologi bahwa agama islam adalah agama yang Kaffah dan
universal. Kenapa saya katakan menjadi tambah ruwet? Yah karena memang klaim
tadi—meminjam bahasa Kiyai Sahal—adalah klaim kebanggaan yang melahirkan beban
berat[1].
Karena sebagai umat Islam—lebih-lebih kaum intelektualnya, yang dalam hal ini
adalah kaum santri—dituntut untuk mampu membuktikan keluwesan, toleransi dan
elatisitas fiqh dalam menyikapi setiap problematika yang berkembang dalam tubuh
masyarakat Islam yang sudah mendunia ini, tentunya dengan berbagai macam
perbedaan budaya dan tradisinya.
Cara pandang yang demikian dari masyarakat santri, menjadikan Kiyai
Sahal resah, karena tentunya hal itu akan membawa stagnasi pemikiran keislaman
kaum santri. Maka beliau berusaha untuk merubah hal itu. Sebagai upaya untuk
merubah nalar santri yang demikian itu, pertama-tama beliau kembali meneguhkan
dan menjelaskan dengan gamblang apa pengertian dari fiqh itu sendiri. Coba
perhatikan penjelasan beliau tentang fiqh sebagaimana di bawah ini:
“Definisi fiqh
sebagai sesuatu yang digali (Al-Muktasab), menumbuhkan pemahaman bahwa
fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum
praktis. Proses yang umum kita kenal sebagai ijtihad ini bukan saja
memungkinkan adanya perubahan, melainkan juga pengembangan tak terhingga atas
berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan”.[2]
Jadi beliau
ingin mendudukkan fiqh memang pada posisinya, yaitu sebagai hasil kreasi dan
ijtihad manusia yang memang berkompeten untuk berijtihad. Ia adalah aturan yang
sakral, tapi kesakralan itu tidak serta merta menutup setiap kritikan atas
dirinya, karena bagaimanapun kesakralannya tidak bisa menyamai al-Qur’an dan
hadis. Dari sini, beliau pun sebenarnya juga sedang menunjukkan kepada kita,
bahwa pintu ijtihad sebenarnya masih terbuka lebar bagi siapa saja yang mampu,
akan tetapi bukan berarti semua orang mengaku seenaknya berijtihad, tanpa
mempertimbangkan berbagai syarat dan ketentuan-ketentuan seorang mujtahid.
Lalu apakah
dengan ini beliau telah meninggalkan kitab-kitab klasik karya para ulama salaf
yang ada? Apakah dengan ini beliau juga telah menerima cara pandang kegamaan
kaum modernis? Yah...memang sangat wajar jika kemudian pertanyaan di atas dan
semisalnya muncul, hal itu terjadi karena memang kaum modernis pada awal
kemunculannya selalu menggunakan slogan kembali kepada al-Qur’an dan Hadis,
serta meninggalkan dan menanggalkan bermadzhab fiqh. Dari citra yang demikian
inilah kemudian muncul citra lainnya bahwa masyarakat NU adalah masyarakat
tradisional yang tidak menerima perubahan sama sekali dan harus selalu manut
opo jare wong tuo [mengikuti apa kata orang tua], tanpa ada kritisisme sama
sekali. Ini semua kalau boleh saya analisis adalah akibat dari pencitraan
sebagian kaum modernis yang dulu dibawa oleh sebagian umat Islam yang pernah
belajar di luar negeri, akan tetapi mereka melalaikan ‘wajah’ Islam Nusantara itu
sendiri.
Nah, dalam
berfiqh, Kiyai Sahal tidak ingin terjebak dalam dua kutub pemikiran yang sangat
bertolak belakang itu. Beliau tidak kemudian berpihak kepada kelompok modernis
yang menolak secara total apapun bentuk bermadzhab—walaupun sebenarnya mereka
pun bermadzhab—tidak pula beliau berpihak kepada kaum santri yang tekstual an
sich dan tidak menerima perubahan sama sekali. Tapi beliau memilih jalan
tengah, yaitu tetap menjadikan literatur karya ulama salaf sebagai jalan dan
panduan untuk memahami teks-teks Al-Qur’an maupun Hadis, karena memang para
ulama yang telah lebih dahulu itu adalah orang-orang pilihan yang telah
ditetapkan sebagai tangga bagi orang setelahnya untuk memahami dua pusaka umat
Islam di atas. Bagi beliau madzhab adalah metode penggalian hukum, bukan hukum
yang dihasilkan oleh metode itu sendiri[3].
Tapi beliau pun
juga selalu berusaha untuk mengkontekstualisasikan teks-teks fiqh klasik
tersebut sehingga sesuai dengan zaman di mana beliau hidup. Inilah salah satu
gebrakan Kiyai Sahal yang menurut saya sangat berharga bagi dunia santri yang
pada waktu itu masih tenggelam dalam stagnasi pemikirannya sendiri. Tentang
pemahaman syariat secara kontekstual, memerlukan kemampuan tersendiri untuk
membaca kondisi sosial (Muqtadhal Hal). Memang hal ini tidak pernah dan
belum pernah saya temukan dalam syarat-syarat seorang mujtahid, akan tetapi
semua mujtahid mau tidak mau harus mempertimbangkan maslahat (kepentingan) umat
sebagai tolak ukur utama. Sebagai bukti, adalah Imam Syafi’i yang memiliki Qaul
Qadim saat beliau di Baghdad dan Qaul Jadid saat beliau di Mesir.
Padahal ayat al-Qur’an dan hadisnya tetap sama[4].
Berbicara tentang maslahat, berarti secara tidak langsung juga berbicara
tentang kontekstualisasi[5].
Kedua, kembali menghidupkan kajian dan aplikasi Ushul Fiqh
dan Qowaid Fiqh dalam berfiqh. Bagian kedua ini menurut saya adalah
bagian paling penting dalam mengkaji dan mendalami pemikiran Kiyai Sahal.
Kenapa? Yah karena adanya optimalisasi kajian dan aplikasi ilmu Ushul
dan Qawaid, berarti era baru fiqh pesantren telah di mulai. Ilmu Ushul
Fiqh dan Qawaid Fiqh adalah dua ilmu yang dijadikan oleh Kiyai Sahal
sebagai epistemologi utama dalam menjawab tantangan modern dan globalisasi.
Tidak hanya
berhenti pada tataran optimalisasi Ushul dan Qowaid saja, bahkan
Kiyai Sahal mengajak kita untuk meloncat dengan menggunakan nalar Maqashid
Syari’ah yang telah digagas oleh Asy-Syathiby melalui master picenya, Al-Muwafaqat
dan disempurnakan kembali oleh Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur melalui buku
Al-Maqashidus Syari’ah. Dalam masalah ini, beliau berusaha mengajak kita untuk
tidak hanya berkutat pada ‘Illat Ahkam saja, yang ujung-ujungnya hanya
akan menjadikan seorang Faqih dikungkung dan dibatasi oleh metodologi Qiyas
saja dalam menyikapi segala macam problematika yang aktual, tapi tidak pula
serta merta beliau meninggalkan Qiyas—dengan berbagai perangkatnya—sama
sekali. Yah lagi-lagi beliau bersikap moderat dengan berusaha untuk
mensinergikan antara ‘Illatul Ahkam dan Hikmatul Ahkam sehingga
yang muncul adalah fiqh yang berwajah etik, bukan yang berwajah legal formal.
Dalam tataran metodologinya, upaya sinergisasi ini adalah dengan
mengintegrasikan hikmah di balik sebuah hukum ke dalam ‘Illat atau
alasan yang mendasari sebuah hukum[6].
Kenapa harus
ada integrasi antara ‘illatul ahkam dengan hikmahnya? Sekali lagi semua
itu adalah sebagai upaya dan usaha untuk menjadikan maslahat umat sebagai
pertimbangan utama. Karena memang semua hukum islam harus di kembalikan kepada Jalbul
Maslahah (upaya memperoleh/menghasilkan sebuah kemaslahatan) dan Dar’ul
Mafsadah (menolak apapun bentuk kerusakan). Nah, jika sebuah hukum fiqh,
tidak lagi menjadikan dua pokok hal diatas sebagai pertimbangan, maka perlu
dipertanyakan keabsahan hukum tersebut. Adanya upaya integrasi hukum semisal diatas akan lebih menampakkan
wajah fiqh yang sejuk, mengayomi dan beretika. Bukan fiqh yang galak,
keras, tirani dan tentunya hanya menimbulkan monopoli kekuasaan terhadap
kepentingan rakyat.
Wajah fiqh yang
etik—sebagaimana yang dikehendaki oleh Kiyai Sahal—tidak hanya menjadikan Lahiriyah
sebagai tolak ukur secara total tentang keberhasilan seseorang dalam
berislam. Akan tetapi lebih menekankan pada sisi Bathiniyah yang
tentunya juga tidak mengesampingkan sisi lahirnya. Berbeda dengan kesan fiqh
yang legal formal, karena yang terjadi adalah kemungkinan adanya manipulasi (Hilah)
terhadap aturan dan ajaran fiqh itu sendiri. Hal ini sebagaimana kisah Qadhi
Abu Yusuf yang dituturkan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’-nya[7].
Fiqh yang
beretika akan lebih banyak digemari dan dilaksanakan oleh para pemeluknya
dengan senang hati, karena dia menyentuh bagian paling dalam diri manusia,
yaitu hati, jiwa dan rasa seorang hamba. Berbeda dengan fiqh yang bercorak
formal—walaupun dalam satu kondisi juga diperlukan, tapi tentunya dalam
batas-batas tertentu—hanya akan menyentuh aspek lahiriyah para pemeluknya,
sehingga ketundukan mereka lebih karena rasa takut dan khawatir akan sebuah
institusi yang berkuasa, bukan kepada Allah, Sang Tuhan alam semesta. Kurang
lebih dua hal pokok inilah yang dijadikan pijakan oleh kiyai sahal dalam
melakukan segala macam gerakan dan menyikapi problematika umat yang terus dan
terus berkembang, walaupun semestinya masih banyak yang lain, tapi dalam
kesematan kali ini saya cukupkan dua ini saja dulu.
2.
Beberapa
Hasil ‘Ijtihad’ Fiqh Sosial Kiyai Sahal.
Setelah melalui pergulatan panjang dan pencarian yang melelahkan
dalam berfiqh, akhirnya kiyai Sahal menemukan satu pola berfiqh yang nampaknya
cocok dengan kondisi umat beragama di Nusantara ini. Yakni Fiqh Sosial yang
tentunya telah direalisasikan oleh beliau semenjak berpuluh-puluh tahun yang
lalu. Mbah Sahal bukanlah seorang ulama yang hanya pandai untuk berargumen,
berwacana dan hanya menggulirkan ide-ide saja, tanpa ada tindak lanjut yang
jelas—seperti kebanyakan para pemikir sekarang yang hanya panda melontarkan
ide. Akan tetapi beliau juga handal dan mahir untuk merealisasikan ide-ide
brilian yang sebelumnya telah godok masak-masak dalam kajian Fiqh, Ushul
Fiqh dan Pesantren itu.
Ada beberapa keberhasilan yang telah dicapai oleh Kiyai Sahal
melalu konsep atau madzhab Fiqh Sosial-nya ini. Tentunya tidak semua
keberhasilan itu mengundang simpati dan dercak kagum masyarakat, bahkan tak
jarang mengundang cercaan dan hujatan dari berbagai kalangan masyarakat dengan
berbagai strata intelektualitasnya. Bahkan masyarakat pesantren sendiri pun
tidak sedikit yang mencela dan mencemooh seoarang Kiyai Sahal serta menganggap
beliau sebagai kiyai liberal. Semua hal itu beliau lalui dengan tenang dan
sikap sebijak mungkin, karena tentunya sebuah pemikiran yang dianggap baru dan
tidak sesuai dengan mainstrem pasti mendapatkan celaan dan cemoohan dari
masyarakat umum. Tapi waktulah yang akan membuktikan kebenaran dari pemikiran
itu sendiri. Dan ternyata benar, madzhab Fiqh Sosial Kiyai Sahal telah menjadi
sebuah institut kajian tersendiri dalam kampus STAIMAFA Kajen.
Dari beberapa keberhasilan kiyai sahal itu ada baiknya saya contohkan
beberapa problematika masyarakat yang telah dicarikan jawaban dan solusinya
oleh beliau, yang terkadang jawaban dan solusi ini terkesan kontroversial dan
aneh ditelinga sebagian masyarakat NU dan kelompok Islam lainnya, tapi jika
sudah dijelaskan kemana arah dari pemikiran beliau dengan dalil-dalilnya, maka
hal itu bisa menjadi jelas. Diantara problematika tersebut adalah sebagai
berikut:
Pertama, Lokalisasi
para PSK. Masalah lokalisasi PSK ini adalah salah satu ijtihad Kiyai Sahal yang
dianggap sangat kontroversial dan nyleneh oleh sebagian kawan-kawan kita
didunia Islam. Bahkan tidak sedikit yang kemudian mengelompokkan beliau ke
dalam bagian para pemikir liberal lantaran beberapa pemikiran beliau yang nyleneh,
dan diantaranya adalah masalah ini. Ada baiknya jika sebelum mengkaji lebih
mendalam lagi, kita tampilkan secara utuh tulisan Kiyai Sahal sendiri tentang
masalah ini. Beliau berkata:
“Contoh lain,
misalnya kaidah Idza Ta’aradha Mafsadatani Ru’iya A’dzamuhuma Dhararan Bi
Irtikabi Akhaffihima. Dalam konteks Fiqh Sosial, kaidah ini bisa
diaplikasikan untuk, misalnya, melihat fenomena lokalisasi perempuan pekerja
seks. Protitusi jelas merupakan sesuatu yang dilarang agama. Akan
tetapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi bukanlah persoalan
yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam itu kita dihadapkan
pada dua pilihan yang sama-sama Mafsadah, yaitu membiarkan protitusi tidak
terkontrol ditengah masyarakat atau melokalisir sehingga prostitusi bisa
terkontrol. Pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan
pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya
lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan Fiqh Sosial membenarkan tindakan
lokalisasi terhadap para perempuan pekerja seks komersial”.
Perhatikan beberapa susunan kalimat yang saya garis bawahi. Disana
bisa dipastikan bahwa seorang Kiyai Sahal tidak pernah dan tidak mungkin
melagalkan perzinahan yang dibahasakan dengan prostitusi. Hanya saja sebagai
seorang Faqih Fi Mashalihil Kholqi beliau menegaskan bahwa sebagai
problem sosial yang komplek, prostitusi tidak bisa serta merta dilarang secara
serampangan. Kalau hanya sekedar mengharamkan tanpa ada sebuah solusi yang
riil, itu tak lebih dari isapan jempol belaka. Siapa yang akan berani menanggung
secara penuh semua kebutuhan hidup para PSK yang sebanyak itu? Dengan berbagai
latar belakang kehidupan dan karakteristik masing-masing. Mungkin kalau satu
atau dua atau bahkan 100 orang PSK, mungkin masih ada orang-orang yang siap,
tapi bagaimana kalau itu jutaan PSK?
Jadi masalah yang kita hadapi ini tidak sekedar masalah fiqh an
sich, tapi sudah menjelma menjadi masalah ekonomi, sumber daya manusia, politik
dan lain sebagainya. Sehingga dalam menjawab masalah ini, pun kita harus
memandang kesemua aspek yang telah saya sebutkan tadi secara holistik dan
komprehensif. Sehingga ijtihad yang dihasilkan berkenaan dengan problem ini pun
nantinya sesuai dengan kemaslahatan umat secara umum.
Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang telah Kiyai Sahal sampaikan di
atas, bisa dimasukkan dalam kategori Tahqiqul Manath[8]
yang antara satu mujtahid dan yang lain sangat memungkinkan sekali terjadi
perbedaan, walaupun memiliki satu dasar yang sama. Karena pada dasarnya semua
sepakat bahwa yang namanya prostitusi adalah sesuatu yang dilarang oleh agama
dan tentunya bertentangan dengan norma-norma kesusilaan ala Indonesia. Inilah
yang dalam istilah ushul disebut Manathul Hukmi. Hanya saja dalam taraf
penanggulangan prostitusi ini secara realistis (Tahqiq), antara satu
ulama dan yang lain berbeda pendapat. Sepanjang pengamatan saya pribadi, guru
saya KH. M. Najih Maimoen termasuk ulama yang tidak mensetujui adanya
lokalisasi PSK. Beliau berdalih bahwa dalam praktek Amar Ma’ruf Nahi Munkar
lokalisasi tidak menyelesaikan masalah, bahkan malah ada kesan melegalkan
protitusi itu sendiri. Begitu juga guru saya KH. Bahauddin Nur Salim
Al-Hafidz—walaupun tidak pernah secara eksplisit beliau mengkritik Kiyai Sahal—pernah
melontarkan sebuah keritikan seputar masalah ini, beliau berkata: “Kalau prostitusi
tidak dilokalisir, tentunya suatu saat ada gebrekan maka akan bisa menjadikan
para pelaku kapok dan tidak mengulangi lagi. Beda kalau dilokalisir dan resmi,
maka yang muncul tidak ada keberanian untuk melakukan grebekan langsung, karena
menyalahi undang-undang yang sah dan dilegalkan oleh pemerintahan negara”.
Walhasil adalah Ikhtilaful Ummah Rohmah. Perbedaan yang ada,
tentunya bukan hanya karena mencari sensasi belaka, akan tetapi memang
benar-benar demi kemaslahatan umat secara umum, sehingga bisa terbentuk sebuah
negara yang aman dan tentram. Kiyai Sahal melihat masalah lebih kompleks,
sementara Gus Najih lebih kepada permasalahan Nahi Munkar, sedang Gus
Baha’ lebih pada masalah politik. Dan masing-masing memiliki kecenderungan dan
pertimbangan ilmiah masing-masing pula. Menurut saya pribadi, permasalah
lokalisasi PSK adalah problematika yang terus bisa berkembang dan solusi yang
dipakai pun tidak hanya satu saja seperti apa yang diusulkan oleh Kiyai Sahal
dan para kiyai-kiyai lainnya. Ini bukanlah solusi final yang tidak menerima
digugat atau dikritik sama sekali, hanya saja kritik dan gugatan itu tentunya
tidak hanya memerlukan sebuah semangat yang menggebu-gebu dalam prakteknya,
tapi lebih dari itu semua, memerlukan sebuah kejernihan berfikir, keilmuan yang
memadai dan tentunya kinerja intelektual yang melelahkan. Dan memang itulah
tugas para Fuqaha’ Kontemporer yang telah ditunggu-tunggu oleh
masyarakat peran dan aksinya.
Dalam nalar berfikir Kiyai Sahal yang ada adalah sebuah solusi bagi
para PSK, tidak hanya sekedar hukum halal atau haram saja. Pelarangan adanya
lokalisasi malah akan menimbulkan problem baru, tidak hanya masalah tidak
terkontrolnya PSK, akan tetapi juga masalah ekonomi, pendidikan dan lain
sebagainya. Nah dengan melihat problem ini dari berbagai sisi inilah beliau
kemudian menyatakan bahwa dalam kaca mata Fiqh Sosial, pilihan lokalisasi
protitusi adalah hal yang sesuai dengan kondisi sekarang ini. Karena beliau
memang benar-benar ingin menampilkan fiqh bukan hanya sebagai paradigma
kebenaran ortodoksi, akan tetapi lebih sebagai paradigma pemaknaan sosial dan counter
discours terhadap hegemoni barat dan kapitalis yang mau tidak mau akan
membawa masyarakat Indonesia terseret lebih jauh menuju jurang kehidupan sekuler.
Fiqh yang hanya berwajah halal haram—tanpa ada sebuah solusi, baik yang
bersifat universal ataupun lokal—hanya akan menjadikan masyarakat
termarjinalkan dari dirinya sendiri, karena diakui atau tidak, kemajuan,
modernisasi dan globalisasi tidak bisa atau sangat sulit untuk dibendung
lajunya. Dan pisau analisis yang dipakai oleh Kiyai Sahal adalah Qawa’id
Fiqh, sebagaimana disebut di atas.
Kedua, dakwah yang
partisipatif untuk kaum dhu’afa. Ya...sekali lagi Kiyai Sahal tidak hanya ingin
menjadikan fiqh sebagai sebuah aturan dan konsep keilmuan yang hanya asyik saat
dibaca didepan santri dan menguap hanya diruang diskusi dan Mudzakarah.
Tapi beliau ingin menunjukkan bahwa fiqh yang selama ini dianggap sebagai
ilmunya kaum santri yang kolot dan terbelakang pun bisa ikut andil dalam upaya
pembangunan bangsa dan pengentasan kemiskinan, atau paling tidak bisa menjadi
upaya meminimalisir angka kemiskinan dalam tubuh umat Islam itu sendiri.
Bagaimanakah dakwah yang partisipatif untuk kaum dhu’afa itu? Sepanjang
pembacaan saya tentang pemikiran Kiyai Sahal, dakwah partisipatif yang dimaksud
adalah dengan selalu memperhatikan secara langsung apa-apa saja yang sekarang
menjadi kebutuhan masyarakat kita dan ini dalam bahasa pesantren biasa di sebut
dengan dakwah Bil Hal. Dalam hal ini, dakwah yang partisipatif bagi kaum
dhu’afa adalah dengan selalu berusaha untuk mengangkat derajat mereka secara
ekonomi, yang asalnya adalah hanya pengemis, maka untuk selanjutnya bisa
menjadi pemberi. Yang asal muasalnya hanya seorang pekerja buruh, maka
diupayakan bisa menjadi pengusaha sendiri, dan seterusnya. Inilah yang disebut
dengan dakwah partisipatif untuk kaum dhu’afa.
Dalam tataran praktek, Kiyai Sahal sudah dan bahkan mengembangkan
dakwah partisipatif ini menjadi sebuah program yang berdampak luar biasa.
Pertama-tama beliau melakukan kritik terhadap praktik ibadah sosial yang tidak
produktif, yaitu praktek pembagian zakat mal yang tidak ada kejelasan akan
dibawa kemana harta zakat itu. Beliau menyatakan bahwa zakat mal adalah zakat
yang produktif, karena ia tidak hanya memberikan ikan kepada mustahiq, akan
tetapi juga memberikan kail. Bisa dilihat dan diperhatikan, apa keterampilan
yang dimiliki oleh para mustahiq tersebut. Jika memang dia punya keterampilan
menjahit, maka hendaknya kita belikan dia alat jahit dan tentunya diajari juga
untuk menjahit. Jadi sebenarnya zakat adalah sebuah ibadah yang sangat
mendukung pembangunan ekonomi masyarakat muslim, dan tentunya tidak hanya zakat
saja, akan tetapi juga yang lainnya, semisal sodaqoh, infaq dan semisalnya.
Beliau sendiri saat awal-awal pulang dari Makkah telah
mempraktekkan pendayagunaan zakat mal
ini. Di desa Kajen sendiri, beliau melihat ada seorang pengayuh becak yang giat
melakukan kerjanya ini. Dari pagi-pagi sekali beliau telah mengayuh becaknya
untuk ke pasar agar bisa mendapatkan penumpang, hanya saja becak yang beliau
bawa adalah becak milik orang non pribumi (dalam hal ini adalah cina) dan harus
selalu membayar setor kepada orang cina tadi. Nah pada saat waktu pembagian
zakat tiba, beliau Mbah Sahal, mengumpulkan semua harta zakat ada, baik yang
berupa zakat mal, zakat fithrah dan infaq di salurkan kepada tukang becak tadi.
Penyaluran zakat dan infaq kepada beliau tadi tidak hanya dengan memberikan
uang secara Cuma-Cuma, akan tetapi dengan membelikan becak kepada tukang becak
tadi. Nah lambat laun, dia tidak hanya menjadi seorang yang mengemudikan becak
milik orang lain, cina lagi, akan tetapi ia mengemudikan becaknya sendiri,
hingga akhirnya dia bisa membeli 2 buah becak. Yang satu dikemudikan sendiri
dan yang lain disewakan kepada orang lain. Dari sini dia akhirnya tidak di
kejar untuk membayar setoran, ditambah lagi dia sudah tidak harus sampai sore
mengemudi becak. Cukup sampai jam 3 sore dia sudah pulang dan akhirnya bisa
kumpul-kumpul ikut pengajian di mushalla dan masjid. Memang ia tidak lantas
menjadi orang kaya, akan tetapi paling tidak secara taraf ekonomi ia meningkat[9].
Kisah diatas
adalah seklumit dakwah partisipatif yang telah dilakukan oleh beliau Kiyai
Sahal mahfudz yang kesemuanya berangkat dari pemahaman akan nilai-nilai fiqh
dan keagamaan islam yang mendalam, holistic dan tentunya komprehensif. Sehingga
yang muncul adalah semangat untuk menjadi seorang Ulama dan Fuqoha’ yang tidak
hanya pandai membaca kitab kuning, pandai menghapalkan Alfiyah dan buku-buku
agama yang lain. Apakah itu semua jelek dan salah? Jawabnya tentu tidak, bahkan
harus bisa seperti itu kalau dimungkinkan. Akan tetapi jangan hanya berhenti
pada taraf dan level yang begitu saja, karena dibelakang masyarakat santri, ada
umat yang menunggu hasil kinerja santri secara riil demi membangun bangsa dan
negara, sehingga nantinya akan terbentuk sebuah negara yang Loh Jinawi
atau dalam terminologi islam biasa disebut dengan Baldah Thoyyibah Wa Rabbun
Ghafur.
Nah setelah
seminggu yang lalu kita ditinggalkan oleh salah seorang faqih kontemporer yang
telah kita bedah dan bahas pemikirannya diatas, yaitu KH. Dr. MA. Sahal Mahfudz.
Kira-kira siapakah yang akan berani melanjutkan apa yang telah beliau rintis
dan bangun itu? Ibarat perjalanan, beliau telah berhasil babat dalan
bagi kaum santri dengan mendapatkan bermacam-macam omelan dan cemoohan, itu
semua telah beliau lewati hingga akhirnya saat kembali pada sang Khaliq,
trobosannya ini sudah nampak membuahkan hasil, tinggal penjagaan dan
melanjutakan tugas berat ini. Lalu siapkah kalian para santri yang sudah siap
untuk menjadi fuqoha’ kontemporer selanjutnya? Bukankah demikian? Wallahu
A’lam Bis Showab.
* Penulis adalah
salah satu santri PP. Al-Anwar, Rembang asuhan KH. Maemoen Zubaer. Dan sekarang
ikut aktif dalam forum Santri Menulis setiap malam Jum’at di Ma’had Aly
Al-Falah, Genuksari dan forum dwi mingguan Lincak Jebol.
[1] KH. DR. MA.
Sahal Mahfudz (2004), Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
[2] Ibid. Hal:
xxix.
[3] Ibid. Hal: 39.
[4] Ibid. Hal: 42.
[5] Ibid. Hal: 40.
[6] Ibid. Hal: xlix.
[7] Lihat Muhammad
bin Muhammad Al-Ghazali (tt), Ihya’ Ulumiddin, Surabaya: tokok kitab
Al-Hidayah. Vol: 1 hal: 19.
[8] Dalam kajian
Ushul Fiqh istilah Tahqiqul Manath biasa diartikan sebagai penetapan
sebuah ‘Illatul Hukmi yang sudah disepakati oleh para mujtahid pada satu
bentuk permasalan lain, yang berada diluar hukum asal tadi. Lihat syaikh
Zakariya Al-Anshary (tt), Ghoyatul Wushul Fi Syarhi Lubbil Ushul,
Surabaya: Al-Haromain. Hal: 126.
[9] KH. DR. MA.
Sahal Mahfudz (2004), Nuansa Fiqh Sosial. Op. Cit. Hal: 122-123.
0 komentar