Advertise 728x90

Santri Sejati, Baqi Bin Makhlad Al-Andalusy

Written By Unknown on Monday, December 23, 2013 | 4:04 PM


         
Salah satu murid dari Imam Ahmad bin Hanbal yang benar-benar mendapatkan predikat santri sejati adalah Imam Al-Hafidz Abu Abdirrahman Baqi Bin Makhlad Al-Andalusy. Beliau lahir pada tahun 201 H dan wafat pada tahun 272 H. Beliau adalah salah satu ulama yang sering melakukan Rihlah atau perjalanan jauh guna mendapatkan ilmu. Ketika menginjak umur 20 tahun, beliau melakukan Rihlah menuju ke kota Baghdad dengan berjalan kaki. Semua itu beliau lakukan hanya untuk belajar dan mengaji kepada Al-Imam ahmad Bin Hanbal.
            Imam Baqi berkisah tentang perjalanan beliau sendiri, untuk bisa bertemu dengan sang guru idamannya, beliau berkata: “Saat aku sudah mendekati kota Baghdad, aku mendengar sayup-sayup berita tentang inkuisisi atau Mihnah yang sedang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Aku juga tahu bahwa beliau tidak boleh memberikan pelajaran, disamping memang ada larangan berkumpul atau ngaji kepada beliau. Saat mengetahui kabar tersebut, aku merasa sedih dan sangat susah sekali. Kesedihan yang aku alami ini berlanjut hingga tidak ada pekerjaan apapun yang aku lakukan saat aku meletakkan barang-barang bawaan dan bekal dalam kamar yang sewaan di salah satu apartemen di baghdad. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke masjid, karena ingin ikut serta duduk di beberapa halaqah yang banyak ditemukan dalam masjid-masjid Baghdad pada waktu itu, disamping juga ingin mendengarkan masalah apa saja yang sedang didiskusikan dalam Halaqah tersebut.
            Di sana aku tertarik untuk mengikuti sebuah Halaqah yang nampak besar dan ramai. Ternyata disana terdapat seorang lelaki yang sedang berbicara dan menyingkap tentang para rawi hadis. Satu waktu lelaki tersebut menyatakan bahwa si A adalah orang yang lemah, sedang si B adalah orang yang kuat. Dia mengatakan bahwa si C adalah orang Tsiqqah (terpercaya), sementara si D adalah seorang pembohong. Lalu aku bertanya kepada orang yang ada didekatku: “Siapakah lelaki ini?”, dia menjawab: “Dia adalah Yahya bin Ma’in”. Lalu aku melihat ada sebuah tempat kosong disamping Yahya Bin Ma’in tadi, maka aku pun mendekat untuk mengisi tempat tersebut. Setelah aku duduk disamping lelaki tadi, maka aku memberanikan diri untuk bertanya: “wahai Abu Zakariya, aku ini adalah seorang lelaki asing yang jauh dari kampung halamanku. Aku ke sini hendak bertanya, jadi mohon jangan meremehkan aku”. Beliau berkata kepadaku: “Katakanlah sekarang juga, apa pertanyaanmu?”. Maka aku pun menyampaikan kepadanya beberapa dari pakar hadis yang pernah aku temui, sebagian dari mereka di hukumi baik dan Tsiqqah, sedang yang lain lagi tidak.
            Pada akhir majlis tersebut, aku bertanya tentang Hisyam bin ‘Ammar, karena memang aku banyak mengambil hadis dari beliau. Maka Yahya pun menjawab: “Abul Walid Hisyam Bin Ammar, orang yang banyak melakukan shalat, beliau dari Damaskus dan seorang yang Tsiqqah, bahkan melebihi Tsiqqah. Andaikan dibawah Rida’nya terdapat kesombongan ataupun dia membawa kesombonga, niscaya hal itu tidak akan membahayakan bagi ke-Tsiqqahan-nya karena kebaikan dan keutamannya.
            Sebelum aku bertanya lagi, orang-orang peserta Halaqah itu berteriak-teriak: “Semoga kau dirahmati Allah, sudah cukup pertanyaan-pertanyaan yang kau sampaikan, yang lain pun juga punya pertanyaan”. Lalu sambil berdiri aku bertkata: “aku memintamu untuk menjelaskan padaku tentang Ahmad bin Hanbal?”. Seketika Yahya bin Ma’in memandangku dengan terheran-heran. Lalu beliau berkata kepadaku: “Layakkah orang sepertiku untuk menjelaskan tentang posisi Ahmad bin Hanbal? Beliau adalah pemimpin muslim sejati, beliau adalah orang Islam paling baik dan paling utama”.
            Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Yahya bin Ma’in, aku pun keluar dan meminta ditunjukkan rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Maka ada seseorang yang dengan baik menunjukkan kepadaku di manakah rumah Imam Ahmad, setelah sampai didepan pintu rumah itu, aku pun mengetuk pintu rumah. Setelah menunggu sebentar, keluarlah seorang lelaki yang dengan pandangan heran memperhatikan diriku, sebagai seorang lelaki yang belum pernah beliau kenal sama sekali. Mengerti kalau aku sedang diperhatikan, maka aku pun memberanikan diri untuk berkata: “Duhai Abu Abdillah, aku adalah seorang lelaki asing yang jauh dari kampung halaman dan ini adalah pertama kalinya aku masuk ke daerah ini. Aku adalah seorang pencari ilmu hadis dan seorang pengumpul hadis. Aku melakukan perjalanan ke sini hanya untuk bertemu denganmu”.
Beliau berkata kepadaku: “Masuklah lewat jalan yang menuju ke dalam rumah, jangan sampai ada yang melihatmu”.
“Dari manakah asalmu?”. Tanya beliau. “Maroko”, jawabku.
 “Oh, berarti kau berasal dari Afrika?”
“Bahkan lebih jauh dari Afrika, karena untuk sampai ke afrika aku melewati melewati lautan terlebih dahulu”.
“Jauh sekali asalmu wahai anak muda. Insya Allah aku akan berusaha untuk membantumu, karena membantu orang-orang sepertimu untuk mendapatkan apa yang dicari sangatlah menjadikanku bahagia. Hanya saja, kondisiku sekarang adalah orang yang sedang dicoba oleh Allah dengan sesuatu yang mungkin anda sendiri sudah tahu tentang apa yang menimpaku”.
“Benar, aku sudah mengetahui apa yang telah menimpa anda saat perjalananku sudah mulai mendekati daerah ini. Wahai Abu Abdillah, aku disini adalah orang asing dan tidak ada yang mengenaliku. Apakah mengijinkanku untuk datang kepadamu setiap hari dengan memakai pakaian seorang pengemis, lalu saat sudah mendekati pintu, aku akan mengucapkan kata-kata yang sering diucapkan oleh para pengemis, kemudian anda keluar untuk menemuiku. Sungguh aku sudah merasa cukup andaikan  setiap harinya anda hanya mengajariku satu hadis saja”.
“Baiklah, tapi dengan syarat kamu tidak boleh menghadiri Halaqah ataupun guru hadis selain aku”.
“Baiklah, aku terima syarat anda itu”
Setelah kejadian itu, aku pun mulai menampakkan diriku sebagai  seorang pengemis. Aku memegang tongkat ditangan kananku dan menutup kepalaku dengan selendang. Alat-alat untuk mencatat pelajaran aku sembunyikan dalam lengan bajuku yang besar—karena memang lengan baju orang Arab pada waktu itu besar-besar—kemudian aku mendatangi rumah Imam Ahmad dan berteriak: “maukah anda mendapatkan pahala wahai orang yang dirahmati Allah”. Yah, kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh para pengemis didaerah baghdad pada waktu itu. Kemudian keluarlah Imam Ahmad dan membawaku masuk ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rumah. Nah, didalam rumah itulah beliau mengajariku hadis-hadis baginda Nabi. Setiap harinya beliau bercerita kepadaku tentang satu, dua atau bahkan lebih dari tiga hadis, hingga akhirnya terkumpulkan dalam catatanku lebih dari 300 buah hadis Nabi.
Lama sekali aku belajar kepada Imam Ahmad bin hanbal dengan model dan tata cara yang sedemikian aneh itu. Hingga akhirnya meninggallah raja yang melakukan siksaan dan inkuisisi terhadap Imam Ahmad. Dan ternyata yang menggantikan posisi dari raja tersebut adalah raja yang berfaham Aswaja, sehingga bebaslah Imam Ahmad dari tuduhan-tuduhan yang selama ini disematkan pada beliau. Mulailah imam ahmad di kenal dimana-mana, bahkan beliau muncul sebagai orang yang dimuliakan oleh masyarakat, orang yang sangat dihormati dan orang yang sangat dielu-elukan karena keteguhan beliau dalam bersikap dan keilmuan beliau yang mendalam tentang masalah hadis. Banyak orang-orang yang datang kepada beliau dari berbagai macam daerah hanya untuk belajar Hadis.
Kendati beliau sudah menjadi orang yang terkenal, dihormati dimana-mana tapi beliau masih benar-benar mengingatku dan telah benar-benar mengetahui serta menghargai kesabaran, keteguhan, keinginan dan kekuatanku dalam belajar kepada beliau. Hal itu bisa aku ketahui saat suatu hari aku masuk masjid untuk mengikuti Halaqah hadis beliau, maka beliau pun menyuruh para hadirin untuk memberiku jalan agar aku duduk didekat beliau dan dengan bangganya beliau berkata: “inilah orang yang benar-benar berhak menyandang predikat Tholibul Ilmi atau sang pencari ilmu sejati”. Kemudian beliau mengisahkan apa yang aku lakukan demi belajar kepada beliau disaat masa-masa masih terjadi fitnah yang besar terhadap beliau.
Pada akhirnya beliau memberikan pelajaran hadis kepadaku dengan metode Munawalah dan dalam waktu yang lain aku membaca hadis kepada beliau—biasa disebut dengan sistem Sorogan dalam bahasa pesantren—atau beliau yang membacakan hadis kepadaku—yang mana sistem ini biasa disebut Bandongan dalam dunia pesantren—hingga akhirnya suatu hari aku menderita sakit yang menjadi penghalang bagiku untuk menghadiri Halaqah beliau. Beliau pun mencari-cariku, akan tetapi beliau tidak menemukanku di sana. Beliau pun bertanya tentang diriku, dan saat itulah beliau mendapat kabar bahwa memang aku sedang sakit, sehingga berhalangan untuk ikut menghadiri Halaqah hadis beliau yang berkah itu. Saat mengetahui bahwa aku sakit, seketika beliau bangkit dan berjalan menuju ke tempat tinggalku untuk menjengukku dengan ditemani oleh orang-orang yang menghadiri Halaqah beliau di masjid sana.
Hari itu, aku sedang berbaring kesakitan di atas ranjang. Pakaian yang kumiliki seadanya, aku jadikan sebagai selimut, sedang selimut yang ada aku jadikan sebagai alas tubuhku dan kitab-kitab yang aku gunakan untuk belajar kepada Imam Ahmad ada disamping kepalaku. Tiba-tiba aku mendengar ada suara agemuruh dan ramai ditempat tinggal yang aku sewa itu. Aku mendengar orang-orang disana berkata: “dia ada disana, lihatlah kalian semua. Ini adalah panutan umat Islam sedang berkunjung ke penginapan ini”. Lalu datanglah pemilik penginapan ini kepadaku sambil berkata: “wahai Abu Abdurrahman, lihatlah, ini adalah panutan umat Islam, Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau kesini untuk menjengukmu”. Lalu masuklah Imam Ahmad dan duduk disamping kepalaku, sementara penginapan ini sudah dipenuhi oleh orang-orang yang mengikuti beliau. Sebagian dari mereka ikut masuk ke dalam kamarku dengan masing-masing memegang pena ditangannya. Imam ahmad berkata kepadaku:
يا أبا عبد الرحمن أبشر بثواب الله. أيام الصحة لا سقم فيها. وأيام السقم لا صحة فيها أعلاك الله بالعافية ومسح عنك بيمينه الشافية.
“wahai Abu Abdirrahman, bahagialah dengan pahala yang telah disiapkah oleh Allah. Memang ada kalanya hari-hari itu penuh dengan kesehatan yang tidak ada rasa sakit sama sekali, atau sebaliknya, penuh dengan rasa sakit yang tidak ada kesehatan sama sekali. Semoga Allah memuliakan dirimu dengan kesehatan dan memberimu rahmat dengan kesembuhan”. Saat beliau mengatakan ucapannya tadi, aku melihat pena-pena yang ada ditangan orang-orang itu bergerak-gerak menulis apa saja yang telah diucapkan oleh Imam Ahmad. Sungguh luar biasa kekuatan ilmu itu.
            Setelah beliau pulang, pemilik penginapan itu mendatangiku beserta keluarganya. Mereka menjengukku, mereka memperlakukanku dengan baik semenjak kunjungan imam ahmad itu. Bahkan mereka melayaniku, satu datang membawa kasur, satu lagi membawa selimut, sedang yang lain membawakan manisan, wewangian dan makanan-makanan yang enak untukku, semua itu adalah berkah dari dijenguk oleh orang alim seperti Imam Ahmad bin Hanbal.


Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger