A.
Pendahuluan.
An-Nidham adalah sebuah lembaga pendidikan yang bernaung di bawah
payung LP. Ma’arif NU yang berada di
kelurahan Kalisari, kecamatan Sayung, kabupaten Demak. An-Nidham adalah pendidikan
dengan berbagai macam jenjang, mulai dari RA atau Raudhatul Athfal, Mts atau Madrasah
Tsanawiyah hingga MA atau Madrasah Aliyah. Lembaga pendidikan ini di dirikan
oleh beberapa sesepuh desa Kalisari yang waktu itu merasakan perlunya di dirikan
sebuah lembaga pendidikan ynag berbasis Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah guna
mendidik dan menjaga kemurnian akidah masyarakat pada era tantangan Globalisasi
dan Modernisasi yang tidak bisa di bendung lagi ataupun di abaikan begitu saja,
karena mau atau tidak mau, arus globalisasi dan modernisasi akan tetap
berjalan.
Jadi, kalau kita flash back ke belakang tentang asal muasal, visi
misi dan tujuan di dirikannya lembaga An-Nidham ini, maka akan kita temukan
bahwa tujuan utama di dirikannya an-nidham adalah dalam rangka menjaga,
mengembangkan dan melestarikan ajaran ASWAJA ala NU yang mencakup tiga kategori
pokok, yaitu Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Di antara trilogi keilmuan di atas, Aqidah
mestinya mendapatkan tempat yang paling perlu untuk di perhatikan, di jaga, di
ajarkan dan kemudian di jadikan pedoman sebagai pertimbangan utama dalam setiap
gerak dan keputusan yang akan di ambil dan di lakukan oleh An-Nidham sendiri.
Hanya saja, pada tahun-tahun terakhir ini saya pribadi melihat—ini hanya
penilaian subjektif dan saya tidak tahu menahu bagaimana tahun-tahun sebelumnya—perhatian
An-Nidham dan semua komponen yang berkecimpung dalam lembaga ini, kurang atau
saya katakan melemah terhadap pentingnya pengajaran tiga trilogi keilmuan Islam
di atas. Mungkin ini memang gejala umum atau semacam virus yang sedang menjangkiti
alam pemikiran kebanyakan umat Islam sendiri. Dan itu saya kira tidak hanya
terjadi di An-Nidham saja, akan tetapi juga dalam lembaga-lembaga lain yang notabenenya
merupakan lembaga pendidikan berbasis Nahdhatul Ulama, khususnya, dan di luar
NU pada umumnya.
Pada hari-hari ini, saya banyak melihat sebuah fenomena unik yang
terjadi dalam masyarakat kita. Fenomena inilah sebenarnya salah satu problematika
yang menjadi kangker dalam tubuh umat dan menggerogotinya sendiri hingga
akhirnya menjadi lumpuh dan tak berdaya. Penyakit dalam tubuh umat ini sangat
perlu di benahi dan di obati terlebih dahulu, sebelum kita hendak mengobati
penyakit yang dari luar tubuh tubuh kita sendiri. Fenomena ini saya sebut
dengan “fenomena terbalik” . saya melihat bahwa fenomena ini pula yang terjadi
di An-Nidham.
Fenomena terbalik adalah sebuah kenyataan hidup yang memberikan
gambaran dan deskripsi kepada kita bahwa masyarakat kita sekarang ini memiliki
kecenderungan dan paradigma berfikir yang terbalik, baik itu dalam urusan
duniawi ataupun masalah agama. Dalam tulisan sederhana ini saya tidak akan
membahas tentang urusan duniawi, karena tentunya akan menjadikan pembahasan
kali ini menjadi semakin meluas dan panjang, akan tetapi saya akan lebih
memfokuskan pada kajian agama yang memang saya lebih banyak bercengkrama
bersamanya.
B.
Dahulukan
Yang Wajib.
Agama kita, agama Islam, adalah agama yang teratur dalam semua
ajarannya. Ajaran Islam akan mendahulukan hal yang lebih penting dari pada hal
yang penting, mendahulukan hal yang penting dari pada hal yang setengah penting
dan begitu seterusnya. Hanya saja, “fenomena terbalik” lagi-lagi menjadi
paradigma berfikir mayoritas masyarakat kita.
Di sana banyak kita temukan praktek-praktek ritual kegamaan
masyarakat kita yang terbalik. Mereka lebih mendahulukan hal-hal yang bersifat Sunnah
atau bahkan tidak di anjurkan sama sekali oleh ajaran agama—akan tetapi sudah
menjadi tradisi yang membudaya dalam masyarakat—dari pada kewajiban-kewajiban
masyarakat itu sendiri, baik yang bersifat ‘Aini (individual) ataupun Kifa’i
(kolektif).
Salah Kaprah yang sudah
terjadi dalam masyarakat kita ini—menurut pengamatan saya pribadi yang tentunya
cenderung subjektif—adalah salah satu sebab kemunduran umat Islam itu sendiri
dalam berbagai macam percaturan dunia yang semakin kencang. Karena hal ini
bertentangan dengan tuntunan Islam itu sendiri, sehingga dengan begitu, umat Islam
akan kehilangan jati dirinya dan bahkan tidak akan pernah merasa bangga dengan
keislaman dirinya sendiri. Inilah sumber dari segala kemunduran yang kita lihat
dalam tubuh umat itu sendiri.
Mendahulukan hal-hal yang bersifat wajib atas yang lain adalah
sebuah keharusan, akan tetapi apakah ada tuntunan dari agama Islam sendiri yang
secara eksplisit menjelaskan hal di atas? Jawabannya adalah ada, yaitu hadis Nabi
yang di riwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shohih Bukhari atau Al-Imam An-Nawawi
dalam bukunya yang berjudul Al-Arba’in An-Nawawiyah, hadis tersebut berbunyi
sebagai berikut:
وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه
“Tidaklah hambaku
mendekat kepadaku dengan sesuatu amaliah yang paling aku (Allah) Ridhai semisal
hal-hal yang aku wajibkan kepada mereka”.
Dari hadis di atas, kita bisa mengambil
satu kesimpulan bahwa yang harus di dahulukan adalah hal-hal yang bersifat
wajib. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan atau amaliah yang bersifat
sunnah, akan tetapi dia meninggalkan hal-hal yang di wajibkan bagi dia, maka di
sini dia telah terjebak oleh hawa nafsunya sendiri. Hal ini sebagaimana
ungkapan dari orang bijak:
من شغله النفل عن الفرض فهو مغرور
“Siapa saja yang
sibuk mengerjakan hal-hal yang bersifat sunnah hingga akhirnya meninggalkan
sesuatu yang bersifat wajib, maka dia telah tertipu oleh nafsunya sendiri”
Adapun sebaliknya, jika seseorang sibuk
melakukan hal-hal yang bersifat wajib, akan tetapi dia tidak mampu untuk
melakukan hal-hal yang bersifat sunnah, maka Insya Allah ia akan di maafkan
oleh Allah, karena ketidak mampuannya untuk melakukan amaliah sunnah adalah
sebuah udzur tersendiri yang sangat layak untuk di maafkan, di samping
juga tidak adanya tuntutan secara tegas dari Allah sendiri untuk melakukan
amaliah-amaliah sunnah tersebut. Apa yang saya katakan tersebut senada dengan salah
satu ungkapan orang bijak:
من شغله الفرض عن النفل فهو معذور
“Siapa saja yang
sibuk melakukan hal-hal yang bersifat wajib, sedang dia meninggalkan hal-hal
yang bersifat sunnah, maka tindakannya itu akan di maafkan oleh Allah”
C. Hal Paling Wajib.
Setelah kita tahu dari penjelasan di atas,
bahwa mendahulukan hal-hal yang bersifat wajib adalah sebuah keharusan, lalu
kita di hadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru lagi; hal-hal yang wajib itu
banyak, lalu kewajiban manakah yang harus kita di dahulukan di antara
kewajiban-kewajiban yang ada? Pertanyaan singkat ini akan mudah di jawab dan
dengan jawaban yang tepat bagi mereka-mereka yang mau belajar agama atau ngaji.
Jawabannya adalah mengenal Allah atau dalam bahasa Arabnya di kenal dengan
istilah Ma’rifatullah.
Kenapa saya katakana bahwa Ma’rifatullah
adalah hal yang paling wajib? Tidak lain karena tentunya ketika seseorang
hendak melakukan ibadah apapun yang kesemuanya bermuara pada penyembahan dan
penghambaan terhadap Allah, maka mau tidak mau dia harus terlebih dahulu
mengenal siapa yang dia sembah dan bagaimana sifat-sifatnya? Baru setelah itu
dia bisa melakukan berbagai macam ritual peribatan dengan benar. Akan sangat
aneh dan tidak masuk akal, jika seseorang hendak melakukan penyembahan terhadap
Allah, akan tetapi dia malah salah menyembah selain Allah. Semua itu bisa
terjadi karena kesalahan si hamba itu sendiri yang tidak mau mengenal Allah
terlebih dahulu.
Lalu bagaimana cara seseorang bisa mengenal
Allah, sementara ia sendiri tidak pernah bisa melihat Allah? Mengenal Allah
bisa di tempuh dengan cara mengenal sifat-sifatnya yang seharunya kesemuanya
menjadi pelajaran pokok dalam semua lembaga An-Nidham itu sendiri. Di situ
seseorang harus tahu, apa-apa saja sifat-sifat yang layak di tetapkan bagi Allah
dan apa saja sifat-sifat yang tidak layak di tetapkan bagi Allah. Dengan mengetahui
semua hal di atas, baru seseorang layak dan pantas di sebut orang yang Ma’rifat.
Mengenal Allah atau Ma’rifatullah
adalah salah satu hal yang harus di pelajari oleh setiap orang Islam. Karena ia
termasuk dalam cakupan hadis baginda Nabi yang sangat masyhur sekali dan
termasuk hadis yang berpredikat hasan, sebagaimana di kutip oleh Al-Hafidz
As-Suyuthi dalam bukunya Tadribur Rawi dari Al-Hafidz Al-Mizzi. Hadis tersebut
berbunyi:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu adalah sebuah keharusan bagi
setiap muslim”
Ilmu yang wajib di tuntut ini tentunya
bukanlah semua ilmu, karena tentunya tidak semua orang mampu untuk mempelajari
berbagai macam ilmu yang sangat beragam dan banyak sekali itu. Di samping itu,
saat baginda Nabi menyampaikan hadis ini, belum pernah dalam sejarah saya
temukan bahwa baginda Nabi menyuruh para sahabat untuk mempelajari berbagai
macam ilmu yang berkembang saat ini. Dari sini kita bisa tahu bahwa ilmu yang
di wajibkan mempelajarinya oleh baginda Nabi adalah pokok-pokok ilmu agama yang
di antaranya adalah ilmu bagaimana mengenal Allah dengan benar.
D. Kesimpulan Dan Penutup.
Saya kira penjelasan yang saya tulis di
atas sudah cukup jelas dan tidak perlu susah payah untuk di pahami. Dari pemaparan
singkat di atas, tentunya kita sangat menyadari akan pentingnya ilmu agama,
betapa pentingnya ngaji ilmu agama dan betapa pentingnya keberadaan
sebuah lembaga pendidikan yang di dalamnya benar-benar di ajarkan ilmu-ilmu
yang membangun karakter Tauhid dalam jiwa anak didiknya. Lembaga pendidikan ini
tidak hanya menjadi sebuah kendaraan untuk ngojek atau sebagai mesin
pencetak uang, akan tetapi benar-benar lembaga pendidikan yang berusaha sekuat
mungkin untuk membangun bangsa dan mentauhidkan alam semesta, dengan kuatnya
karakter Tauhid dalam jiwa masyarakatnya. Lalu, mampukan An-Nidham mengemban
amanat ini? Sekian. Wa Allahu A’lam Bis Shawab.
Kalisari,
11-Nov-2013 M
Dhiyaul Haq
(Alumnus
Mts. An-Nidham 2002-2003)
0 komentar