Advertise 728x90

Mendung Di Langit Beirut (II)

Written By Unknown on Saturday, October 26, 2013 | 6:52 PM


            Telingaku menangkap sayup-sayup alunan indah suara yang sudah tak asing lagi baginya. Alunan merdu suara Adzan yang mengingatkanku akan masjid kecil nan tua di kampung halamanku, di mana aku memulai petualangan ilmiah dari tempat itu. Masjid itu nampak kelihatan tua dan  penuh wibawa. Entah kenapa?? aku pun sampai sekarang tidak tahu menahu, apa gerangan yang menjadikan masjid tua di kampungku itu nampak sekali wibawanya. Apakah karena memang di bangun oleh seorang wali yang benar-benar ikhlas dan tanpa pamrih atau malah karena bangunannya yang sudah kuno dan belum ada upaya renovasi? Atau mungkin juga karena masjid itu merupakan satu-satunya masjid desa yang di dalamnya masih terjadi proses transmisi ilmiah melalui metodologi ulama-ulama kuno? Wallahu A’lam, aku pun tidak tahu apa makna di balik semua itu.
Dulu sekali, aku masih ingat bagaimana kakek mengajakku berangkat ke masjid untuk melakukan jama’ah shalat Maghrib, yah karena memang waktu itu aku adalah cucu pertama laki-laki yang lahir di lingkungan keluarga besar kami, sehingga kakek benar-benar mencurahkan perhatiannya kepada cucu laki-lakinya yang satu ini, walaupun sebenarnya, kakek pun sudah punya cucu laki-laki yang lebih dulu dariku, yaitu anak dari bude, kakaknya bapaku. Hanya saja mereka tinggal di Jakarta yang sangat jauh dari beliau, kakek.  Setelah selesai Shalat, biasanya aku bermain bersama kawan-kawan di halaman depan masjid, yang waktu itu masih diselimuti oleh rumput-rumput hijau nan indah. Kami bermain-main dengan riang, kadang bermain petak umpet, kadang gobak sodor, main klereng dan lain sebagainya.
Permainan sederhana anak kampung seperti itu tak terasa telah mengukir sebuah mentalitas kesederhanaan yang sangat tertanam dalam jiwaku—entah apakah teman-temanku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan atau tidak—hanya saja hal itu benar-benar aku rasakan sekali saat ini. Apalagi jika di bandingkan dengan permainan anak-anak sekarang yang secara tidak langsung telah mendidik seorang bocah untuk bermental materialis, anak-anak sekarang sudah tidak kenal lagi yang namanya main klereng, gobak sodor, petak umpet, dakonan dan lain sebagainya, mereka di sibukkan dengan mainan semisal HP, facebook, twitter dan permainan lainnya yang nampak molek dan mewah dimata orang-orang ‘modern’ sekarang. Sungguh aku kangen pada suasana itu, aku kangen pada kalian kawan-kawan, ada kang Lukman, ada kang Mun, ada kang Sinin, kang Limin, lek himam dan yang lainnya. Ah..mereka mungkin sekarang udah sibuk dengan segala aktivitasnya masing-masing, karena memang mereka kebanyakan sudah berkeluarga, paling yang belum hanya aku dan lek Himam...hehehe...memang kami berdua dari dulu adalah rival dalam segala hal, mungkin dia pun sekarang akan menjadi rival abadi dalam menjaga ke-joko-an...hahaha.
Tapi di antara permainan sederhana itu, gobak sodor adalah permainan yang menempati peringkat pertama dari sekian permainan yang aku sukai. Nama gobak sodor mungkin hanya di kenal di tanah jawa, adapun di daerah lain seperti di Riau permainan ini lebih di kenal dengan nama Galah Panjang, sedang di Riau Daratan lebih di kenal dengan main Cak Bur atau Main Belon. Sementara di daerah Jawa Barat, permainan ini lebih di kenal dengan Galah Asin atau Galasin. Di negara Taiwan, permainan ini di lakukan di kelas Physical Education untuk anak usia dini. Ada kemungkinan juga nama permainan ini berasal dari kata “Go Back To The Door” yang berarti kembali kembali ke pintu.
Permainan yang terdiri dua kelompok, yang masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 5 orang itu terlihat sangat indah dan rapi sekali. Kedua kelompok ini masing-masing adalah sebagai penjaga dan pemain secara bergantian. Pemain yang menjadi penjaga diharuskan menjaga satu orang pemain lawan, dan yang bertugas pada garis tengah area permaian mengatur semua pergerakan lawan (mengepung lawan). permainan dinyatakan selesai atau berganti jaga pada saat pemain yang menjaga menyentuh anggota tubuh pemain lawan atau sebaliknya. pemaian dinyatakan menang apa bila meraik kemenangan terbanyak pada waktu permainan yang ditentukan.
Di sana, kita diajari bagaimana untuk menjadikan persatuan, kekompakan dan saling pengertian antara satu orang dan yang lainnya sebagai kunci dari sebuah keberhasilan. Di samping kita juga belajar untuk selalu optimis bahwa jalan untuk menuai kesuksesan pasti ada. Bagaimana tidak? Karena kita di latih untuk melihat bahwa celah sekecil apa pun bisa kita manfaatkan untuk masuk, lepas dari cengkraman musuh dan menuai kesuksesan. Aku yang waktu itu tergolong anak yang paling kecil saja—karena memang waktu itu umurku di bawah teman-teman yang rata-rata sudah berumur 14/15 tahun, sementara aku mungkin baru berumur sekitar 10/11 tahun—sering memenangkan permainan, karena adanya bantuan dari teman-temanku itu. Memang aku tidak benar-benar memahami bagaimana sebenarnya teknis permainan itu yang benar, aku hanya lari kalo di suruh lari dan keluar dari kotakan jika di suruh keluar. Kotakan itu maksudnya adalah garis-garis berbentuk kotak-kotak yang kami buat di atas tanah yang sedikit berpasir, kami menggunakan kayu untuk membuat garis-garis itu di atas tanah. Biasanya permainan itu di mulai setelah pengajian di masjid selesai di laksanakan atau bisa juga kami lakukan langsung setelah shalat Maghrib jika kami memilih tempat di belakang pesantren yang berlokasi di samping masjid.
Memang dulu masih banyak anak-anak muda di kampung kami yang rajin ngaji kitab klasik atau biasa juga di sebut dengan kitab kuning. Di mulai semenjak Ashar, Maghrib hingga setelah shalat Subuh, di masjid dan pesantren nampak berjejalan orang-orang yang ngaji, dari yang hanya ngaji al-Qur’an, hanya ngaji kitab kuning yang kecil-kecil saja, hingga yang ngaji Nahwu, Sharaf dan kitab-kitab fiqh besar lainnya. Susunan kultural masyarakat semacam ini, secara tidak langsung pun mencerdaskan kami anak-anak kecil, sehingga jangan aneh jika saya yang walaupun masih kecil pun sudah mengenal dan akrab dengan berbagai literatur Islam semacam Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Amrithi, Alfiah, Tafsir Jalalain dan lain sebagainya, karena memang kultur budaya di kampungku secara tidak langsung telah menayangkan dan memperkenalkan kitab-kitab ‘sakral’ itu kepada kami. Aku masih ingat bagaimana aku dulu setelah shalat Isya’ belajar Nahwu dan Sharaf dengan menggunakan Matan Jurumiyah dan Amtsilah Tashrifiyyah sebagai kitab Nahwu dan Sharaf pertama yang kukenal. Aku pun masih ingat bagaimana sulitnya men-tathbiq[1]-kan wazan-wazan[2] sharaf pada kata-kata lain yang tidak tertera pada kitab Amtsilah, semisal kata “Wafaqa” yang diikutkan wazan “Fa’ala” yang dulu masya Allah dengan susah payah aku hapalkan, dan akhirnya hapal juga.
Akan tetapi setelah aku teliti dan amati dengan seksama, budaya dan tradisi ‘ngaji’ seperti dulu nampaknya sudah tidak digemari oleh masyarakat kampungku lagi. Budaya dan tradisi itu telah ditinggalkan oleh fans-fansnya, coba lihat saja, sekarang pondok yang sudah di bangun dengan megah itu pun hanya nganggur, tidak ada yang mengisinya dengan ngaji-ngaji seperti dulu semasa aku masih kecil. Masjid yang dulunya menjadi tempat dan pusat trasmisi ilmiah itu pun hanya ramai di saat-saat hari besar umat Islam saja, semisal hari Jum’at, hari raya—baik Idul Fitri atau Idul Adha—dan untuk hari-hari yang lain, masjid itu nampak sepi dan lengang, tidak ada aktivitas ilmiah yang terprogram dengan baik di dalamnya. Ya Alhamdulillah, setelah shalat Maghrib masih ada beberapa kegiatan di Masjid dan Pesantren itu, ya walaupun hanya setelah Maghrib saja, akan tetapi lumayan di banding  jika tidak ada sama sekali.
Asyhadu Anna Amiral Mu’minina ‘Aliyyan Hujjatullah[3], suara aneh ini menyadarkanku dari mimpi panjang akan kampung halaman yang indah nan menyenangkan itu. Aku pun tersentak dan kaget lalu bangun, oh ternyata aku masih di bumi bidadari ini, bumi Lebanon yang sangat eksotik dengan berbagai pernak pernik kehidupannya yang memamerkan kemolekkan dan keanggunan dirinya, sekaligus sebagai pernyataan bahwa ialah satu-satunya anak kandung Eropa di Tim Teng ini. Yah, suara aneh tadi berasal dari masjid-masjid orang-orang Syiah yang banyak aku  temukan di Lebanon, dan memang merekalah yang menjadi mayoritas di tanah Lebanon ini. Biasanya Adzan orang-orang Syiah itu dikumandangkan setelah Adzan kaum Sunni di kumandangkan, bahkan Adzan itu seringnya dikumandangkan di saat orang-orang Sunni tengah melakukan shalat Subuh berjama’ah di Masjid atau di Mushalla sekitar rumah mereka, baru kemudian Adzan kaum Syiah itu terdengar di kumandangkan. Ya memang ada beberapa perbedaan antara praktek Adzan dari kelompok Sunni dan Syiah ini, di antaranya adalah apa yang telah aku tuturkan di atas. Ada juga yang lain semisal dengan menyebut kalimat “Hayya ‘Ala Kharil Amal[4] setelah membaca “Hayya ‘Alal Falaah[5] yang juga sama-sama di ucapkan oleh orang-orang Sunni saat Adzan.
Memang Lebanon adalah negara yang unik sekaligus membingungkan. Diantara keunikan Lebanon adalah adanya beberapa sekte yang tumbuh berkembang dengan subur dalam denyut nadi kehidupan masyarakatnya, baik itu sekte yang berkembang dalam tubuh umat Islam sendiri maupun  yang non muslim seperti kristen misalnya. Dalam tubuh umat Islam saja, kita kenal ada Sunni, Wahhabi dan Syiah yang kesemuanya pun berkembang dengan subur di sana dengan disertai dakwah-dakwah yang sangat militan, sehingga sangat terasa sekali persaingan antar kelompok. Syiah sendiri ada yang Alawite, Ja’fari, Islma’ili dan lain sebagainya. Wahhabi sendiri ada yang sudah berafiliasi dengan semisal Jama’ah Islamiyah, Ikhwanul Muslimin dan kelompok-kelompok garis keras lainnya dan ada pula yang bersikeras tidak mau dengan pemerintahan yang sah, mereka ingin mendirikan kekhilafahan sendiri di negara Lebanon, akan tetapi sampai sekarang mereka pun belum berhasil. Ada juga kelompok seperti Hizbut Tahrir dan bahkan Lebanon lah kampung halaman dari kelompok ini, hanya saja mereka pun juga nampak kurang berhasil di sana.
Aku pun bergegas bangun menuju kamar mandi untuk wudhu, walaupun cuaca dingin yang menusuk tulang menghalangiku. Kemudian aku pun ikut jama’ah bareng bersama teman-teman yang lain, lebih-lebih ini adalah Subuh hari jum’at yang biasanya Imam Abdul Hakim adalah orang yang bertugas sebagai Imam. Beliau adalah seorang berkulit hitam asal Habasyah atau Etiopia, akan tetapi bacaan Qur’annya sangat menyentuh dan nikmat sekali untuk di dengarkan. Ya..dia memang hapal Al-Qur’an 30 juz dan asyiknya lagi, saat dia menjadi Imam pada hari jum’at, dia selalu membaca surat Alif Lam Mim Tanzil yang memang di sunnahkan untuk di baca saat shalat Subuh[6].
Selesai shalat aku duduk di samping jendela kamar sambil menunggu air yang kupanaskan mendidih, aku pun berusaha mengumpulkan bayang-bayang kejadian tadi malam yang sempat mengusik kenyamanan tidurku yang nyenyak. Aku masih bingung plus linglung, apakah kejadian tadi malam itu nyata atau hanya hayalan yang merupakan kembang tidurku saja? Tiba-tiba lamunanku buyar oleh panggilan dari arah belakangku, suara itu sudah tak asing lagi kudengar, “Din, ngopi sek, isuk-isuk kok wes nglamun, ati-ati lo kesambet cewek lubnan kowe...hehehe, iki lo godhok banyu kok di tinggal nglamun, untung ono aku seng ngangkat banyumu seng wes mateng iki[7]. Ia adalah Majid, kawanku asal Pati, ia datang sambil menyodorkan segelas kopi Nescafe dengan asap yang masih mengepul kepadaku. Sruuppp...sruuppp...dua sruputan dari mulutku menjawab tawaran Majid.
“Gimana malam tahun barumu Din?”, tanya Majid kepadaku.
“Yah gitulah Jid, molor di atas ranjang adalah pilihanku”, jawabku sekenanya sambil sedikit cengengesan.
“Wah, mestinya kita jalan-jalan ke Down Town, di sana rame, orang-orang Lebanon sendiri pun biasanya merayakan tahun baru di sana”.
“Ah...gak usah dengerin Majid Din, ini lo ada berita menarik”, potong Hilman yang sekonyong-konyong datang sambil memberikan sebendel koran Nidaul Wathan kepadaku.
“Berita apa tho Man”, timpalku.
“Udah baca aja...! nanti tahu sendiri”, koran pun aku ambil lalu ku baca halaman pertama dan di situ terpampang sebuah berita yang hampir saja menjadikan denyut nadiku berhenti, dengan jelas di sana tertulis:
“GADIS MUDA DI ANIAYA PADA MALAM TAHUN BARU. Dua orang polisi menemukan 3 orang pria yang sedang memukuli dan hampir saja membunuh seorang gadis muda dengan nama Nada, berumur 21 tahun. Akhirnya 1 di antara 3 orang pelaku penganiayaan itu di tangkap oleh polisi setelah di lumpuhkan dengan timah panas, sedang 2 orang lainnya melarikan diri. Setelah di lakukan penyelidikan dengan lebih lanjut, di ketahui berdasarkan pengakuan korban bahwa penyebab utama penyiksaan yang menimpa dirinya adalah karena dia mengikuti perayaan tahun baru dan tidak mau memakai Jilbab. Hal itu menyebabkan ketiga pria tadi—yang tak lain dan tak bukan adalah ayah, kakak dan paman sang gadis—memvonisnya dirinya kafir, karena di anggap menyerupai orang-orang Nashrani dan menentang hukum Islam dengan tidak mau memakai Jilbab, sehingga berkonsekwensi harus di bunuh. Sampai sekarang polisi masih melacak keberadaan 2 orang pelaku lainnya”.
Aku hanya bisa mengelus dada dan beristighfar setelah membaca berita menyedihkan pagi ini, seribu pertanyaan berjubel di benakku: “Benarkah islam mengajarkan tindakan kekerasan seperti hal di atas? Bukankah yang di wajibkan mengenakan Jilbab[8] hanya Ummahatul Mu’minin saja, sementara yang selain mereka hanya di wajibkan menutup Aurat saja?” Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bersileweran di benakku yang entah dari mana datangnya, saat-saat semua pertanyaan itu menjadikan kepalaku pusing, tiba-tiba suara Fahd kembali menyegarkan otakku lagi.
“Din, sekarang tugas kita ke pasar untuk belanja bahan makanan. Kita sudah hampir kehabisan bahan makanan sekalian nanti mampir dulu di PCINU Lebanon dulu sebelum pulang. Aku ingin ketemu mas Kamil, katanya ada berita dan kabar terbaru yang bagus tentang kegiatan ke-NU-an di Lebanon ini”.   Aku hanya bisa mengangguk isyarat “iya”. (Bersambung ke bagian 3).


[1] Mempraktekkan.
[2] Wazan adalah bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab yang di jadikan timbangan dan ukuran benar tidaknya Syakal atau harakat sebuah kata. Makna seperti ini mungkin karena menyesuaikan dengan arti dari kata wazan sendiri secara bahasa yang berarti timbangan.
[3] Artinya adalah saya bersaksi bahwa Amirul Mu’minin Ali Bin Abi Thalib adalah hujjah Allah atau lambang argumentasi Allah di muka bumi ini. 
[4] Artinya adalah marilah kita semua melakukan amal ibadah paling baik, yaitu Shalat.
[5] Artinya adalah marilah menuju kepada keberuntungan, yaitu Shalat.
[6] Tentang kesunnahan ini sebagaimana keterangan Hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah selalu membaca Surat Alif Lam Mim Tanzil dan Ad-Dahr pada saat Shalat Subuh hari Jum’at. Lihat Al-Hafidz Ibnu Hajar (tt), Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Semarang: Pustaka Alawiyah. Hal: 58. Hadis nomer: 310.
[7] Artinya: “Din minum kopi dulu, pagi-pagi kok udah melamun, nanti kesambet oleh cewek Lebanon lo..hehehe, ini lo, masak air kok di tinggal melamun, untung ada aku yang mengangkat air yang sudah mendidih ini”.
[8] Jilbab yang di maksud adalah pakaian luar yang di pakai oleh wanita dan pakaian ini menutup semua tubuh seorang wanita dari kepala sampai ujung kaki, bukan jilbab yang mempunyai arti kerudung sebagaimana di kenal oleh masyarakat indonesia sekarang pada umumnya. Lihat saja Majduddin Al-Fairuz Abadi (2005), Al-Qamus Al-Muhith, Beirut: Muassasah Ar-Risalah. Hal: 68. Maddah: Jim Lam Ba’.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

1 komentar:

avatar

ayo kawan2 di komentari dan di kritik, biar terus belajar.

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger