Advertise 728x90

Mendung Di Langit Beirut (I)

Written By Unknown on Saturday, October 12, 2013 | 9:01 PM


             


           Malam itu, suasana sepi nan lengang menyelimuti kota Beirut yang sudah Nampak tua. Jalan-jalan kelihatan sepi, yang terdengar hanya iringan rintikan gerimis yang jatuh di punggung jalan berselimut aspal hitam, bagaikan paduan alat music yang mendendangkan simfoni dengan merdu. Aneh, kemana penduduk kota ini? Apakah mereka tidak tahu kalau malam ini adalah malam tahun baru? Tapi, yang lebih aneh lagi, kenapa pula aku tidak bisa tidur?

           Tanpa sadar, mata ini berkeliling mengamati suasana jalan yang lengang lewat jendela apartemen yang rapat tertutup. Kedua mata ini berkeliling mengamati gereja St. Maria, tempat peribadatan kaum Kristen ortodoks yang malam itu masih menampakkan sisa-sisa keceriaan, setelah pada malam-malam sebelumnya di hiasi dengan berbagai kerlap-kerlip lampu warna-warni, bekas perayaan natal umat kristiani beberapa hari yang lalu.

         Gereja St. Maria adalah salah satu gereja tertua yang ada di negeri bidadari ini. Jika di amati lebih teliti lagi, bangunan gereja ini dari depan mirip dengan bangunan masjid, dengan kubah di bagian tengah gereja dan 2 menara yang menjulang tinggi, masing-masing berada berada di bagian sudut bangunan gereja. Mungkin kalau ada seorang muslim melihat gereja ini pertama kali dan tidak memperhatikan beberapa salip yang terpampang dengan tegak di atas kubah dan ujung 2 menara tadi, pasti seketika dia akan mengira bahwa bangunan tua ini adalah masjid. Hal ini berbeda dengan gereja-gereja yang umum kita temukan di Indonesia, yang lebih menampakkan kesan mewah dan ala bangunan modern yang penuh glamor, sehingga sangat Nampak sekali perbedaan gereja dan tempat peribadatan umat lain, semisal masjid. Tembok gereje tua tersebut tersusun dari tumpukan bebatuan besar yang di balut dengan cat orenj kecokelat-cokelatan, hingga tampak kelihatan tua dan berkesan kuno bagi orang yang melihatnya.

             Sementara itu, 20 meter di sebelah kiri gereja tua ini, terdapat kasino judi yang di jadikan tempat nongkrong dan kongkow-kongkow oleh orang-orang tua—atau bahkan lanjut usia—di Beirut ini, yah…tempat berkumpulnya orang-orang tua yang sudah frustasi akan kehidupan dunia, bukannya taubat, eh malah mereka menghabiskan waktu dan hari-harinya di kasino tersebut. Di sana mereka asyik berjudi, asyik minum-minuman, menghisap cerutu ataupun syisa[1] dengan selang yang panjang, mereka asyik mendengarkan musik dan lain sebagainya, semoga mereka di beri hidayah. Yah, inilah salah satu keunikan Negara yang disebut sebagai Parisnya Timur Tengah, di sana kita menemukan kondisi masyarakat yang benar-benar majemuk dan di suguhi sebuah budaya yang sangat plural tanpa ada sekat-sekat yang begitu berarti kecuali keimanan itu sendiri, kita di suguhi sebuah pemandangan Universitas Islam yang berhadap-hadapan secara langsung dengan gereja kaum kristiani, disamping itu juga ada kasino tempat judi yang tak pernah sepi dari gelak tawa, walaupun di tengah malam  yang gelap gulita, uff…memang serasa aneh dunia ini.

            Ah…lelah juga akhirnya mata ini dan mulutku pun sudah mulai menguap, yah apa daya, akupun beranjak menuju ranjang untuk kemudian membaringkan tubuh yang lelah ini, setelah melakukan aktivitas sehari penuh. Ya…aku hanya ingin menikmati malam tahun baru dengan tidur nyenyak. Akhirnya kantuk yang kutunggu-tunggu pun datang juga…selamat dating kantuk, sudah lama aku menunggumu dan aku pun terbang kedunia lain yang tak aku ketahui, dunia antah berantah di sana, di alam khayalku. Tiba-tiba…tak ada angin tak ada badai, suara jeritan bercampur tangisan pilu mengusik telingaku, ah…ini mungkin awal dari mimpi indahku dan tidur pun aku lanjutkan. Tapi aneh, tangisan itu semakin dekat dan tambah histeris yang bukan hanya mengusik telingaku, akan tetapi juga mengusik rasa ingin tahuku, apa yang terjadi di luar sana? Apakah perang Lebanon[2] terulang lagi antara kelompok Syiah yang menamakan diri mereka Hizbullah dan Israel terulang lagi? Dan suara jeritan serta tangisan tadi adalah peluit di mana perang telah di mulai?

             Bergegas aku turun dari ranjang, aku cari dari mana arah suara tangisan tadi muncul. Yah akhirnya aku temukan juga. Ternyata suara tadi adalah milik dari seorang gadis yang lari sempoyongan dari arah lorong sempit di samping St. Maria. Sungguh anggun sekali gadis itu, mataku belum pernah menikmati wajah secantik itu. Wajah cantik itu di hiasi dengan 2 pasang bola mata yang jernih sejernih mata air pegunungan, indah seindah mata kijang, di tambah lagi dengan bibir yang merah merekah bagai bunga mawar yang sedang merekah, lengkap sudah kecantikannya. Rambut terurai panjang nan hitam legam sehitam gelapnya malam, menambah keelokan dan bersinarnya wajah gadis itu. Sungguh kawan, putih alami, cantik, indah, anggun nan elok ini menjadikan bulan purnama pun malu untuk bersanding dengannya. Akan tetapi, kenapa di tengah malam seperti ini ia berlari-lari sambil menangis tersedu-sedu?

                   Rasa heran masih menyelimuti hatiku yang terus bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan gadis cantik tadi? Atau mungkin dia bukan manusia, akan tetapi jin wanita yang menampakkan dirinya di depan mataku? Tak lama kudengar suara teriakan dari arah yang sama. Tapi bukan tangisan ataupun jeritan yang aku dengar, melainkan umpatan dan kata-kata kotor yang menjadikan telinga memerah dan panas,”dasar gadis binal, gadis kafir “ dan lain sebagainya. Pemilik suara kotor tadi adalah 3 orang lelaki bertubuh tambun dengan jenggot yang sudah memutih dan lebat menghiasi wajah mereka, di tambah lagi dengan gamis hitam kemerah-merahan dan tongkat kecil di genggaman tangan mereka, menjadikan siapa saja yang melihat perawakan mereka jadi merinding. Kembali pertanyaan-pertanyaan yang aneh muncul di kepalaku, “Apakah mereka adalah sekumpulan bangsa jin yang sedang terjadi konflik antara mereka sendiri?”.

             Dari serangkaian tontonan tadi, yang menjadikan darahku mendidih adalah saat mataku menyaksikan secara langsung ketiga orang tambun tadi memukuli bidadariku tadi. Ingin rasanya aku keluar asrama untuk menolong untuk menolong sang bidadari, tapi apa daya, pasti satpam asrama akan melarangku, lebih-lebih aku adalah orang asing di negeri ini. Aku belingsatan sambil berjalan kesana kemari untuk mencari cara agar bisa keluar atau paling tidak mencarikan bantuan. Aku keluar kamar berharap bertemu dengan orang Arab asli dan bisa meminta bantuan padanya agar bisa membantu bidadariku tadi, tapi semua itu nihil, semua penduduk asrama telah di buai mimpi indah masing-masing dalam tidurnya yang nyenyak setelah beraktivitas seharian penuh. Ya, aku lemah, benar-benar lemah di hadapkan pada sebuah kenyataan takdir tuhan yang tidak pernah terduga ini, maka tidak ada jalan lagi kecuali dengan meminta pertolongan pada-Nya. Aku mulai munajatku, aku panjatkan doa-doa yang pernah aku hapalkan waktu kecil dulu, aku panjatkan wirid-wirid yang pernah di ijazahkan oleh kiai-kiaiku di desa dulu, dengan harapan semoga Allah menolong gadis yang teraniaya ini.

           Setelah kubaca, kupanjatkan dan kumunajatkan semua yang aku tahu, dengan segenap hati kulihat kondisi luar melalui jendela kamar, akan tetapi, pemandangan tragis itu belum berhenti juga, ee malah semakin menjadi-jadi, mereka bertiga bukan lagi memukuli sang bidadari tadi, bahkan mereka sudah menodongkan senjata api ke arah kepala sang bidadari. Oh…sungguh hinanya diriku, dengan kedua mataku ini, aku saksikan adegan kelaliman secara live tapi ironis karena aku tak mampu berbuat apa-apa, aku hanya bisa mengumpat diriku sendiri dengan berbagai kelemahan dan kekurangannya. Di saat-saat kondisi bingung plus menegangkan seperti ini—tanpa aku suruh dan aku sadari—mulutku memanggil-manggil nama baginda Nabi Muhammad, “Wa Muhammadah, tolonglah kami duhai Muhammad[3]. Dengan suara serak yang semakin lama tak lagi terdengar di telinga, aku panggil-panggil nama beliau. “Ya Allah, ya Allah”, rintihan itu pun tak pernah pula lepas dari mulut dan hatiku. Tiba-tiba terdengar suara tembakan di luar sana, yah dua kali suara letusan peluru terdengar dengan jelas. Akalku tak lagi mampu untuk berfikir dengan jernih, yang terbayang hanya baju putih bidadariku yang bersimpah darah dan tubuh indah yang tergeletak di atas tanah. Aku kelabakan, aku berusaha mencari jalan untuk keluar agar bisa melihat secara langsung apa yang terjadi di luar. Akan tetapi satpam galak sudah berjaga-jaga di depan sana, nampaknya dia pun paham kalau ada peristiwa berbahaya di luar sana. Aku pun melihat kea rah jendela, akan tetapi sekali lagi aku tak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di luar sana. Aku tak lagi melihat tubuh bidadariku di luar sana. Duh gusti, apa yang terjadi dengannya??? (Bersambung).


[1] Syisa adalah sejenis peralatan semisal rokok yang tersusun dari tempat semacam tangki kecil di bagian bawah dan ada alat penghisap dengan selang panjang di ujungnya. Biasanya orang-orang Arab menghisap sesuatu yang keluar dari selang tadi, hampir sama dengan rokok.
[2] Perang di Lebanon antara Syiah dan Israel terjadi 2 kali. Pertama pada tahun 1982-2000, yang berarti perang ini terjadi hamper selama 18 tahun lamanya. Yang kedua terjadi pada tahun 2006 yang pada akhirnya Israel pun di kalahkan oleh kelompok militant Syiah yang ada.
[3] Ini adalah praktek Tawassul yang berarti meminta pertolongan kepada Allah dengan menyebutkan nama-nama Nabi/Wali dengan harapan agar hajat terpenuhi dan bala’ tertolak. dengan tetap meyakini bahwa hanya Allahlah yang menciptakan memberikan hajat dan menolak bala’.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger