Malam itu, suasana sepi nan lengang menyelimuti kota Beirut yang sudah Nampak tua. Jalan-jalan kelihatan sepi, yang terdengar hanya iringan rintikan gerimis yang jatuh di punggung jalan berselimut aspal hitam, bagaikan paduan alat music yang mendendangkan simfoni dengan merdu. Aneh, kemana penduduk kota ini? Apakah mereka tidak tahu kalau malam ini adalah malam tahun baru? Tapi, yang lebih aneh lagi, kenapa pula aku tidak bisa tidur?
Tanpa sadar, mata ini
berkeliling mengamati suasana jalan yang lengang lewat jendela apartemen yang
rapat tertutup. Kedua mata ini berkeliling mengamati gereja St. Maria, tempat
peribadatan kaum Kristen ortodoks yang malam itu masih menampakkan sisa-sisa
keceriaan, setelah pada malam-malam sebelumnya di hiasi dengan berbagai
kerlap-kerlip lampu warna-warni, bekas perayaan natal umat kristiani beberapa
hari yang lalu.
Gereja St. Maria adalah salah
satu gereja tertua yang ada di negeri bidadari ini. Jika di amati lebih teliti
lagi, bangunan gereja ini dari depan mirip dengan bangunan masjid, dengan kubah
di bagian tengah gereja dan 2 menara yang menjulang tinggi, masing-masing
berada berada di bagian sudut bangunan gereja. Mungkin kalau ada seorang muslim
melihat gereja ini pertama kali dan tidak memperhatikan beberapa salip yang
terpampang dengan tegak di atas kubah dan ujung 2 menara tadi, pasti seketika
dia akan mengira bahwa bangunan tua ini adalah masjid. Hal ini berbeda dengan
gereja-gereja yang umum kita temukan di Indonesia, yang lebih menampakkan kesan
mewah dan ala bangunan modern yang penuh glamor, sehingga sangat Nampak sekali
perbedaan gereja dan tempat peribadatan umat lain, semisal masjid. Tembok gereje
tua tersebut tersusun dari tumpukan bebatuan besar yang di balut dengan cat
orenj kecokelat-cokelatan, hingga tampak kelihatan tua dan berkesan kuno bagi
orang yang melihatnya.
Sementara itu, 20 meter di sebelah
kiri gereja tua ini, terdapat kasino judi yang di jadikan tempat nongkrong dan
kongkow-kongkow oleh orang-orang tua—atau bahkan lanjut usia—di Beirut ini, yah…tempat
berkumpulnya orang-orang tua yang sudah frustasi akan kehidupan dunia, bukannya
taubat, eh malah mereka menghabiskan waktu dan hari-harinya di kasino tersebut.
Di sana mereka asyik berjudi, asyik minum-minuman, menghisap cerutu ataupun syisa[1]
dengan selang yang panjang, mereka asyik mendengarkan musik dan lain
sebagainya, semoga mereka di beri hidayah. Yah, inilah salah satu keunikan Negara
yang disebut sebagai Parisnya Timur Tengah, di sana kita menemukan kondisi
masyarakat yang benar-benar majemuk dan di suguhi sebuah budaya yang sangat
plural tanpa ada sekat-sekat yang begitu berarti kecuali keimanan itu sendiri,
kita di suguhi sebuah pemandangan Universitas Islam yang berhadap-hadapan
secara langsung dengan gereja kaum kristiani, disamping itu juga ada kasino
tempat judi yang tak pernah sepi dari gelak tawa, walaupun di tengah malam yang gelap gulita, uff…memang serasa aneh
dunia ini.
Ah…lelah juga akhirnya mata
ini dan mulutku pun sudah mulai menguap, yah apa daya, akupun beranjak menuju
ranjang untuk kemudian membaringkan tubuh yang lelah ini, setelah melakukan
aktivitas sehari penuh. Ya…aku hanya ingin menikmati malam tahun baru dengan
tidur nyenyak. Akhirnya kantuk yang kutunggu-tunggu pun datang juga…selamat dating
kantuk, sudah lama aku menunggumu dan aku pun terbang kedunia lain yang tak aku
ketahui, dunia antah berantah di sana, di alam khayalku. Tiba-tiba…tak ada
angin tak ada badai, suara jeritan bercampur tangisan pilu mengusik telingaku,
ah…ini mungkin awal dari mimpi indahku dan tidur pun aku lanjutkan. Tapi aneh,
tangisan itu semakin dekat dan tambah histeris yang bukan hanya mengusik
telingaku, akan tetapi juga mengusik rasa ingin tahuku, apa yang terjadi di
luar sana? Apakah perang Lebanon[2]
terulang lagi antara kelompok Syiah yang menamakan diri mereka Hizbullah dan Israel
terulang lagi? Dan suara jeritan serta tangisan tadi adalah peluit di mana
perang telah di mulai?
Bergegas aku turun dari
ranjang, aku cari dari mana arah suara tangisan tadi muncul. Yah akhirnya aku
temukan juga. Ternyata suara tadi adalah milik dari seorang gadis yang lari
sempoyongan dari arah lorong sempit di samping St. Maria. Sungguh anggun sekali
gadis itu, mataku belum pernah menikmati wajah secantik itu. Wajah cantik itu
di hiasi dengan 2 pasang bola mata yang jernih sejernih mata air pegunungan,
indah seindah mata kijang, di tambah lagi dengan bibir yang merah merekah bagai
bunga mawar yang sedang merekah, lengkap sudah kecantikannya. Rambut terurai
panjang nan hitam legam sehitam gelapnya malam, menambah keelokan dan
bersinarnya wajah gadis itu. Sungguh kawan, putih alami, cantik, indah, anggun
nan elok ini menjadikan bulan purnama pun malu untuk bersanding dengannya. Akan
tetapi, kenapa di tengah malam seperti ini ia berlari-lari sambil menangis
tersedu-sedu?
Rasa heran masih menyelimuti
hatiku yang terus bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan gadis cantik tadi? Atau
mungkin dia bukan manusia, akan tetapi jin wanita yang menampakkan dirinya di
depan mataku? Tak lama kudengar suara teriakan dari arah yang sama. Tapi bukan
tangisan ataupun jeritan yang aku dengar, melainkan umpatan dan kata-kata kotor
yang menjadikan telinga memerah dan panas,”dasar gadis binal, gadis kafir
“ dan lain sebagainya. Pemilik suara kotor tadi adalah 3 orang lelaki bertubuh
tambun dengan jenggot yang sudah memutih dan lebat menghiasi wajah mereka, di
tambah lagi dengan gamis hitam kemerah-merahan dan tongkat kecil di genggaman
tangan mereka, menjadikan siapa saja yang melihat perawakan mereka jadi
merinding. Kembali pertanyaan-pertanyaan yang aneh muncul di kepalaku, “Apakah
mereka adalah sekumpulan bangsa jin yang sedang terjadi konflik antara mereka
sendiri?”.
Dari serangkaian tontonan tadi, yang menjadikan darahku mendidih adalah
saat mataku menyaksikan secara langsung ketiga orang tambun tadi memukuli bidadariku
tadi. Ingin rasanya aku keluar asrama untuk menolong untuk menolong sang
bidadari, tapi apa daya, pasti satpam asrama akan melarangku, lebih-lebih aku
adalah orang asing di negeri ini. Aku belingsatan sambil berjalan kesana
kemari untuk mencari cara agar bisa keluar atau paling tidak mencarikan
bantuan. Aku keluar kamar berharap bertemu dengan orang Arab asli dan bisa
meminta bantuan padanya agar bisa membantu bidadariku tadi, tapi semua itu
nihil, semua penduduk asrama telah di buai mimpi indah masing-masing dalam
tidurnya yang nyenyak setelah beraktivitas seharian penuh. Ya, aku lemah,
benar-benar lemah di hadapkan pada sebuah kenyataan takdir tuhan yang tidak
pernah terduga ini, maka tidak ada jalan lagi kecuali dengan meminta
pertolongan pada-Nya. Aku mulai munajatku, aku panjatkan doa-doa yang pernah
aku hapalkan waktu kecil dulu, aku panjatkan wirid-wirid yang pernah di ijazahkan
oleh kiai-kiaiku di desa dulu, dengan harapan semoga Allah menolong gadis yang
teraniaya ini.
Setelah kubaca, kupanjatkan dan kumunajatkan semua yang aku tahu, dengan
segenap hati kulihat kondisi luar melalui jendela kamar, akan tetapi,
pemandangan tragis itu belum berhenti juga, ee malah semakin menjadi-jadi,
mereka bertiga bukan lagi memukuli sang bidadari tadi, bahkan mereka sudah
menodongkan senjata api ke arah kepala sang bidadari. Oh…sungguh hinanya
diriku, dengan kedua mataku ini, aku saksikan adegan kelaliman secara live tapi
ironis karena aku tak mampu berbuat apa-apa, aku hanya bisa mengumpat diriku
sendiri dengan berbagai kelemahan dan kekurangannya. Di saat-saat kondisi
bingung plus menegangkan seperti ini—tanpa aku suruh dan aku sadari—mulutku
memanggil-manggil nama baginda Nabi Muhammad, “Wa Muhammadah, tolonglah kami
duhai Muhammad”[3].
Dengan suara serak yang semakin lama tak lagi terdengar di telinga, aku panggil-panggil
nama beliau. “Ya Allah, ya Allah”, rintihan itu pun tak pernah pula
lepas dari mulut dan hatiku. Tiba-tiba terdengar suara tembakan di luar sana,
yah dua kali suara letusan peluru terdengar dengan jelas. Akalku tak lagi mampu
untuk berfikir dengan jernih, yang terbayang hanya baju putih bidadariku yang
bersimpah darah dan tubuh indah yang tergeletak di atas tanah. Aku kelabakan,
aku berusaha mencari jalan untuk keluar agar bisa melihat secara langsung apa
yang terjadi di luar. Akan tetapi satpam galak sudah berjaga-jaga di depan
sana, nampaknya dia pun paham kalau ada peristiwa berbahaya di luar sana. Aku pun
melihat kea rah jendela, akan tetapi sekali lagi aku tak bisa melihat dengan
jelas apa yang terjadi di luar sana. Aku tak lagi melihat tubuh bidadariku di
luar sana. Duh gusti, apa yang terjadi dengannya??? (Bersambung).
[1] Syisa adalah sejenis peralatan semisal rokok yang tersusun dari tempat
semacam tangki kecil di bagian bawah dan ada alat penghisap dengan selang
panjang di ujungnya. Biasanya orang-orang Arab menghisap sesuatu yang keluar
dari selang tadi, hampir sama dengan rokok.
[2] Perang di
Lebanon antara Syiah dan Israel terjadi 2 kali. Pertama pada tahun 1982-2000,
yang berarti perang ini terjadi hamper selama 18 tahun lamanya. Yang kedua
terjadi pada tahun 2006 yang pada akhirnya Israel pun di kalahkan oleh kelompok
militant Syiah yang ada.
[3] Ini adalah
praktek Tawassul yang berarti meminta pertolongan kepada Allah dengan
menyebutkan nama-nama Nabi/Wali dengan harapan agar hajat terpenuhi dan bala’
tertolak. dengan tetap meyakini bahwa hanya Allahlah yang menciptakan
memberikan hajat dan menolak bala’.
0 komentar