Masyarakat
muslim Indonesia adalah salah satu komunitas muslim yang paling
banyak memiliki aneka ragam tradisi dan kreativitas budaya. Hal itu
bisa kita lihat dari bermacam-macamnya tradisi yang tumbuh berkembang
dengan subur dalam tubuh masyarakat kita, dari tradisi yang terbentuk
oleh serangkaian dialektika antara ajaran Islam yang dibawa oleh para
dai dari Arab ke Indonesia dengan tradisi masyarakat setempat maupun
tradisi yang merupakan hasil transformasi tradisi kuno jawa untuk
kemudian diislamkan dengan cara memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam
tubuh tradisi itu sendiri, hingga pada akhirnya tradisi itu memiliki
'pakaian' yang sama dengan tradisi Budha-Hindu, hanya saja secara
substansial nafas Islami adalah sesuatu yang dominan di dalamnya.
Diantara
bermacam-macam tradisi diatas adalah sebuah acara ceremonial yang
biasa disebut dengan Tahlilan.
Umumnya acara tahlilan ini diselenggarakan oleh masyarakat kita
dalam rangka untuk mendoakan salah satu keluarga yang sudah
meninggal, baik itu dilakukan saat hari-hari awal kematian ataupun
jauh-jauh hari setelahnya, sebagai momen untuk mengenang keluarga
yang telah meninggal tadi. Tradisi ini telah berkembang dalam
masyarakat muslim Indonesia—khususnya Jawa—semenjak
berpuluh-puluh tahun lamanya, yang mana tradisi ini muncul sebagai
satu bentuk akulturasi Islam dengan budaya jawa yang telah hidup
sebelumnya. Panjangnya kurun waktu yang ditempuh oleh tradisi ini,
disamping kapasitas pembawanya, telah menimbulkan sebuah dampak
psikis yang luar biasa dalam jiwa masyarakat muslim kita, yaitu
peralihan tradisi ini dari maqam
tradisi meningkat kepada maqam
ajaran agama yang tidak bisa—atau lebih tepatnya tidak mau—menerima
kritik keagamaan dan sosial terhadapnya. Puncak dari dampak psikis
yang ditimbulkan oleh rentan waktu yang panjang ini adalah sikap
masyarakat kita yang memposisikan tradisi kita yang satu ini sebagai
salah satu barometer untuk mengukur ketakwaan seseorang. Apakah ini
merupakan sesuatu yang benar? Dalam tulisan sederhana ini saya tidak
ingin membahas benar atau tidaknya ungkapan diatas, akan tetapi saya
ingin lebih menekankan pada substansi dari Tahlilan
itu sendiri. Sudahkah masyarakat kita benar-benar memahani substansi
dari tradisi ini? Bisakah tahlilan menjadi salah satu media untuk
membangun masyarakat yang bermental Islami dan berpikiran progresif
dalam menghadapi tantangan modernitas yang tidak bisa dielakkan lagi?
Atau malah dia hanya menjadi semacam onggokan
patung yang dipahat puluhan tahun yang lalu oleh para kaum
intelektual kita dan pada akhirnya hanya bisa dinikmati oleh anak
cucunya sebagai sebuah karya seni yang sangat indah dan sakral, tanpa
bisa disentuh oleh tangan-tangan lainnya karena hal itu akan merusak
kesakralan dan keindahan patung tersebut? Semua ini saya katakan
karena pada kenyataannya para pelaku setia tradisi ini belum bisa
memposisikan dirinya sebagai agent of change dalam masyarakatnya
sendiri, bahkan mereka sendiri—yang notabenenya adalah masyarakat
'santri'—tidak banyak yang aktif untuk membangun masyarakatnya,
malah lebih terkesan pasif dan diam saja. Padahal masyarakat secara
umum mengidam-idamkan sebuah gerakan riil dari masyarakat santri ini
yang tentunya pergerakan ini bertujuan utama untuk membangun
masyarakat yang lebih berperadaban dan memiliki kreativitas yang
tinggi, sehingga mereka bisa menjadi semacam counter discours dari
pergerakan dan kebudayaan transnasional yang masuk dari luar negeri,
baik itu dari timur tengah maupun dari barat.
**********
Kata
“Tahlilan”
diambil dari salah satu kata dalam bahasa Arab “Tahlil”
yang tak lain adalah bentuk masdar dari kata kerja “Hallala”
dan mempunyai arti pembacaan kalimat tauhid Laa
Ilaha Illa-llaah, hanya
saja ia telah menjadi sebuah
term yang sudah tumbuh dan berkembang dengan subur dalam kultur
masyarakat kita. Sehingga sebagai sebuah term yang sudah keluar dari
lingkaran makna etimologinya, ia menemukan maknanya sendiri yang
sangat berbeda dari makna asalnya, karena saat ia berposisi sebagai
sebuah term tertentu ia telah mengalami penyempitan makna dari makna
bahasanya, yaitu acara kumpul-kumpul di tempat tertentu untuk
melakukan sebuah ritual tertentu pula yang tersusun dengan begitu
rapinya. Sehingga ketika sebuah acara yang tidak mempunyai kemiripan
dengan bentuk dan susunan dari tradisi tadi, maka tidak bisa
dikatakan sebagai tahlilan, walaupun dalam acara tersebut banyak
dilantunkan kalimat thayyibah tersebut. Hanya saja tentunya antara
makna etimologi dan makna terminologinya terdapat sebuah benang merah
yang menghubungkan antara keduanya, yang tak lain dan tak bukan
adalah pesan ketauhidan yang sebenarnya menjadi inti utama dari
serangkaian acara ceremonial ini dan pesan inilah sebenarnya jarang
ditangkap oleh para fans
tradisi kita yang satu ini.
Dalam memahami makna tauhid yang terkandung dalam
kalimat tahlil itu kita bisa melihat bagaimana seorang Imam Asy'ari
memaknai kalimat tauhid tersebut. Beliau berkata: “tidak ada
pencipta kecuali Allah semata”. Dari interpretasi Asy'ari yang
demikian atas kalimat tahlil, kita bisa mengambil dua poin sekaligus.
Pertama,
Seorang muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini—baik itu hal yang baik ataupun hal yang jelek—adalah
sesuia dengan ilmu, kehendak dan hanya ciptaan Allah saja, tidak ada
pencipta selain Allah. Hanya saja Allah tidak meridhai perbuatan
jelek seorang hamba. Disinilah nampak jelas perbedaan antara kehendak
dan ridha Allah. Kedua,
Setelah seorang muslim meyakini bahwa yang menghendaki dan
menciptakan segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah Allah,
maka dia pun juga harus meyakini bahwa makhluk pun juga diberi
keleluasaan oleh Allah dalam berusaha dan berikhtiar, walaupun yang
menciptakan semua yang ada di dunia ini adalah Allah, hanya saja
ikhtiar dan usaha seorang hamba pun tidak bisa lepas dari pengetahun,
kehendak dan penciptaan Allah. Atas dasar pondasi dua poin inilah
dulu peradaban Islam dibangun dengan begitu megah dan dengan begitu
indahnya. Sehingga pada waktu itu umat Islam benar-benar layak untuk
mendapatkan label Khaira
Ummah yang
sangat spektakuler itu.
Label
Khaira
Ummah satu
sisi memberikan sebuah kebanggaan tersendiri dalam jiwa kita umat
Islam, akan tetapi pada sisi lain juga menimbulkan rasa sedih dan
susah, karena tentunya kita harus bisa membuktikan bahwa kita memang
benar-benar layak mendapatkan label ini. Karena tanpa adanya
pembuktian yang lebih raelistis dalam kehidupan yang nyata, pujian
Al-Qur'an yang demikian hanya akan menjadi sebuah fantasi belaka atau
hanya manjadi sebuah mimpi di siang bolong, karena tentunya Allah
tidak akan menjadikan umat ini sebagai umat pilihan tanpa adanya
usaha dari umat tersebut sebagai bentuk dari sunnatullah
yang telah berlaku didunia yang fana ini.
Upaya
untuk merealisasikan pujian dan janji Allah di atas salah satunya—dan
bahkan paling utama dan pertama—adalah dengan benar-benar memahami
makna dari kalimat tauhid di atas dan benar-benar menjadikannya
sebagai pedoman hidup. Karena substansi dari kalimat tauhid,
sebagaimana telah saya jelaskan di atas, merupakan sebuah counter
discours
terhadap peradaban materialistik yang sekarang sedang tumbuh subur
menjadi idiologi hampir mayoritas penduduk bumi. Dari idiologi
materialistik ini pulalah peradaban kapitalis barat, yang sekarang
dipeluk oleh dunia barat dan diikuti oleh mayoritas dunia timur,
lahir untuk kemudian berkembang biak dan menampilkan bermacam-macam
varian yang sekarang banyak kita lihat di supermarket-supermarket
idiologi yang tersebar di hampir seluruh Indonesia dengan begitu rapi
dan teratur, seperti liberalisme pasar, demokrasi, human right,
persamaan gender dan masih banyak lainnya1.
- Deskripsi Umum Kapitalisme dan Sosialisme.
Budaya
kapitalis ini bermula dari buah pemikiran kapitalisme yang
dikembangkan oleh seorang pakar Ekonomi berkebangsaan Inggris yang
bernama Adam Smith (1723-1790), bahkan bisa dikatakan bahwa semua
pemikiran kapitalisme bersumber dari ajaran-ajarannya. Pada tahun
(1766)
ia
menulis
sebuah buku yang berjudul “An Inquiry Into The Nature And Causes of
Wealth of Nation” yang merupakan buku politik ekonomi. Gagasan
besar Adam Smith adalah politik ekonomi pasar bebas, yang bergerak
menurut mekanisme yang bebas juga, yang secara otomatis bisa
memproduksi barang dan jasa yang disenangi sekaligus diperlukan oleh
konsumen2.
Semua
itu pada dasarnya merupakan satu bentuk perlawanan terhadap kekuasaan
greja yang sama sekali menolak nilai-nilai saintifik dan hanya
menunggu sang juru selamat yakni Yesus, tanpa ada sebuah upaya untuk
melakukan perubahan. Dan bahkan pihak gereja banyak melakukan
inkuisisi atau mahkamah pemeriksaan yang menguji keimanan seseorang,
dimana bagi siapa saja yang berbeda dengan keyakinan gereja maka akan
disiksa dan dihukum. Hingga pada akhirnya muncullah
perlawanan-perlawanan dari berbagai pihak karena adanya sebuah
doktrin yang tidak bisa diterima oleh kemanusiaan ini3.
Disamping juga kapitalisme ini hanya untuk memenuhi keserakahan
manusia-manusia barat yang otaknya sudah termaterialistikan itu,
walaupun sebenarnya manusia timur pun juga sudah banyak yang berganti
haluan menjadi seorang kapitalis 'sejati', mekipun jika mereka
disebut demikian maka mereka akan menolaknya, akan tetapi sikap dan
gaya berfikir mereka adalah sebuah bukti yang tak terbantahkan.
Bahkan sampai taraf pedesaan sekalipun kita akan menemukan
budaya-budaya yang dulunya adalah budaya nyedulur,
sekarang sudah menjadi budaya yang kapitalis ini. Contoh paling
konkret adalah urusan pernikahan misalnya. Dalam kasus ini saya
menjadikan Lebanon sebagai sample yang di sana banyak saya temukan
kaum lelaki yang menjadi perjaka tua, karena berat dan tingginya
persyaratan seseorang untuk menikahi seorang gadis, yang kesemua
syarat itu diukur berdasarkan materi. Dan mungkin budaya itu pun
sekarang juga sudah mulai menjadi virus di Indonesia yang notabenenya
adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan
merupakan dunia timur yang lebih mengedapankan tenggang rasa dari
pada materi. Akan tetapi kenyataan yang ada adalah semuanya sudah
terpengaruh oleh kampanye materialistik barat ini.
Sebagai antitesis dari peradaban kapitalis ini,
muncul peradaban sosialis yang sebenarnya juga merupakan anak cabang
dari pola pikir materialistik ini pula, hanya saja mempunyai
penekanan yang berbeda. Pola pikir sosialis ini sebenarnya adalah
sebuah pemikiran yang muncul dari hal yang sederhana, karena ia
muncul dari sikap kritis Karl Marx berkenaan dengan produksi dan
hubungan antara kapital dan kerja. Kapital dalam hal ini
direpresentasikan dengan para pemilik modal atau bos-bos kapitalis
yang ada dan mereka walaupun minoritas akan tetapi lebih superior,
sedangkan kerja yang direpresentasikan dengan kaum buruh yang
walaupun mereka mayoritas akan tetapi mereka inferior. Semestinya
hubungan antara kapital dan kerja adalah hubungan paralel yang
seimbang, akan tetapi pada kenyataannya kaum kapitalis, yang tak lain
adalah kaum borjuis menjadi lebih kaya dan kaya, karena pada akhirnya
mereka pulalah yang memiliki barang-barang hasil produksi, memiliki
alat-alat produksi dan semua keuntungan yang ada, sementara kaum
pekerja yaitu para buruh hanya diopahi saja sebagai ganti dari tenaga
kerjanya.
Kaum buruh tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya
hingga mencapai taraf yang sama dalam kehidupan dengan kaum kapitalis
borjuis, karena mereka terjebak dalam pola hubungan kerja yang justru
membuatnya terasing dari hasil produksi dan surplus pekerjaannya, ini
adalah merupakan satu bentuk pembodohan terhadap kaum buruh. Bahkan
di Perancis—yang pada waktu itu masih dikuasai kaum borjuis—rakyat
kecil dan buruh diinjak-injak harga dirinya dengan pembagian gaji
yang tidak seimbang dengan kerja, disinilah terjadi perbudakan
besar-besaran dan malapetaka kemanusiaan4.
Kemudian Marx sendiri punya gagasan bahwa merubah nasib kaum buruh
dan rakyat kecil ini tidak bisa terealisasikan kecuali dengan
menguasai semua alat-alat produksi kaum kapitalis borjuis yang pada
waktu itu berkuasa. Cara menguasai semua alat-alat produksi itu hanya
bisa dengan menggunakan kekuatan politik yang pada akhirnya mendorong
dia untuk membentuk partai komunis, yang selanjutnya partai ini
menjadi wadah perjuangan kaum buruh dan rakyat kecil yang sebenarnya
mereka adalah mayoritas masyarakat di dunia ini5.
Hanya saja, dalam kenyataan selanjutnya partai komunis
ini membutuhkan para politbiro sebagai representasi dari kaum
proletar, yang pada akhirnya orang-orang politbiro ini menjadi
diktator baru yang menyengsarakan rakyat, walaupun atas nama diktator
proletariat. Lihat saja bagaimana Vladimir Lenin yang menjadi
pengikut setia dari ajaran-ajaran Karl Marx pada tahap selanjutnya
menjadi penguasa paling bengis dan kejam, karena ia banyak terobsesi
taktik-taktik revolusi dan tak henti-hentinya menekankan pentingnya
menggunakan kekerasan dalam rangka untuk melakukan revolusi guna
menggulingkan sebuah kekuasaan yang kapital. Memang dalam
kenyataannya, lenin berhasil melakukan revolusi yang pada waktu itu
telah mampu menggulingkan kekuasaan kaisar Tsar Nicolas II, yang mana
penggulingan itu sangat terkenal dengan revolusi Bolshevik pada tahun
1917 dan kemudian mendirikan negara komunis di Rusia. Menurutnya
problem apapun yang berhubungan dengan perjuangan kelas tidak dapat
diselesaikan tanpa adanya kekerasan, sehingga kekerasan dalam
idiologi komunis adalah sesuatu yang inheren sebagaimana dinyatakan
oleh Marx sendiri tentang pentingnya ada diktator proletar6.
Setelah saya paparkan secara sederhana dua idiologi
besar yang pernah hidup dan berkuasa di dunia ini—bahkan mungkin
sekarang pun masih hidup dan berkuasa—maka kita bisa menyimpulkan
bahwa idiologi pasar yang sekarang berkembang secara umum adalah
idiologi kapitalis yang tidak hanya dipelajari dibangku sekolahan,
akan tetapi juga sudah mengakar dan menjadi maindset berfikir
masyarakat dunia pada umumnya, begitu juga masyarakat Indonesia.
Bahkan negara-negara yang secara tegas mengikuti paham komunisme
sekalipun, seperti cina misalnya, dalam sistem perekonomiannya pun
mereka lebih memilih sistem pasar bebas yang tak lain lahir dari
rahim kapitalisme. Lihat saja bagaimana barang-barang buatan luar
negeri lebih menguasai dan mudah ditemukan di Indonesia dari pada
buatan dalam negeri sendiri. Karena memang akibat dari pasar bebas
ini, kemudian perusahaan-perusahaan asing bisa dengan leluasa untuk
melakukan impor barang-barang produksinya ke dalam negeri tanpa ada
tading aling-aling, lalu di mana peran ajaran Islam yang kita
bangga-banggakan itu untuk menghadapi kekuatan kapitalis yang sudah
mengglobal seperti ini? Dimana peran tahlilan sebagai counter
discours atas kedua ajaran di atas? Kenapa umat Islam hanya menjadi
buruh dalam rumahnya sendiri? Semua pertanyaan-pertanyaan ini adalah
sebuah PR bagi siapa saja yang mengaku sebagai muslim dan meyakini
bahwa Islam adalah agama yang benar dan sempurna.
2.
Tahlilan
sebagai solusi.
Tahlilan dengan pengertian yang telah saya jelaskan di
atas sebenarnya mengajak kita umat Islam untuk bersikap moderat dalam
menyikapi segala kemelut dan problematika yang berkembang di dunia
ini, dengan sikap yang moderat ini kita tidak kemudian terjebak
dalama ekstrim kanan, yang direpresentasikan oleh kapitalisme, maupun
ekstrim kiri, yang direpresantisikan oleh sosialisme. Karena konsep
Khaliqiyyatullah dan Kasb yang selama ini dibawa dan
dikembangkan oleh NU melalui doktrin ASWAJA memberikan satu pandangan
hidup yang seimbang dan moderat. Dengan konsep Khaliqiyyatullah
manusia tidak akan kemudian meyakini dan merasa bahwa semua yang
dimilikinya—baik itu yang bersifat materi maupun yang bersifat non
materi—adalah murni hasil kerjanya sendiri, akan tetapi itu tidak
lepas dari anugrah Allah, sehingga sikap-sikap materialistik dengan
sendirinya luntur dan hilang dari semua tingkah lakunya.
Keyakinan bahwa apa yang dimilikinya bukan merupakan murni hasil
jerih payahnya sendiri, akan tetapi anugrah Allah, secara otomatis
menuntun seorang muslim menjadi tidak segan-segan untuk melakukan
kegiatan sosial berupa bersedekah, infak, zakat dan semisalnya.
Karena sebagai implementasi konsep Fadhlullah atau anugrah
Allah seseorang muslim pun juga harus berusaha untuk berbagi dengan
saudaranya sesama muslim walaupun tanpa imbalan, karena semuanya
berdasarkan anugrah atau pemberian dengan sukarela dan secara
otomatis konsep ini bersitegang dengan konsep kapitalisme yang
kesemuanya diukur dengan materi.
Adapun konsep Kasb adalah satu bentuk peniadaan
nilai fatalistik dalam menata kehidupan yang lebih baik lagi. Karena
jika konsep yang pertama tidak diimbangi dengan konsep kasb
ini, maka kesan yang muncul adalah kesan fatalistik yang menjadikan
manusia untuk bermalas-malasan, enggan bekerja dan hanya bisa
berangan-angan tanpa ada tindakan nyata. Secara otomatis konsep Kasb
menjadi lawan utama dari konsep sosialime yang pada akhirnya
menyandarkan kepentingan para proletar kepada orang-orang di
politbiro yang kemudian memunculkan wajah diktator dalam sebuah
negara. Konsep sosialisme yang pada akhirnya menuntut adanya kesamaan
dan pemerataan segala hal bagi semua rakyat, hanya akan memunculkan
diktator-diktator dari orang-orang yang duduk di politbiro untuk
kemudian semua hal yang berkenaan dengan kemajuan rakyat dibatasi
oleh negara, sehingga pada akhirnya rakyat menjadi bodoh dan tidak
tahu akan perkembangan dunia luar. Tujuan pembodohan ini adalah
kelanggengan kekuasaan seorang diktator dalam satu wilayah tertentu.
Berbeda dengan itu, Islam hadir dengan konsep kasb yang
menimbulkan sebuah tuntutan bagi manusia untuk aktif, dinamis,
progresif dan selalu inovativ untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan
ini. Karena memang kreatifitas manusia adalah anugrah Allah yang
harus di syukuri oleh manusia dengan selalu giat dalam bekerja dan
selalu berfikir maju ke depan. Akan tetapi tidak kemudian menjadi
seorang kapitalis seperti orang-orang barat di atas.
Sifat seimbang dan moderat dalam berbagai hal
inilah—baik dalam berfikir, bertindak, bekerja dan dalam menyikapi
segala hal—sebenarnya yang menjadi ciri khas dari umat ideal atau
khaira ummah, yaitu sikap wasathiyah yang telah ditetapkan
oleh al-Qur'an sendiri sebagai keistimewaan umat baginda Nabi
Muhammad, sebagaimana hal itu tertera dengan jelas dalam surat
al-Baqarah yang berbunyi:
وكذلك
جعلناكم أمة وسطا
“dan begitulah kami jadikan
kalian sebagai umat yang wasath atau moderat”
Dan yang memiliki corak wasathiyah
ini tak lain dan tak bukan adalah kaum Aswaja itu sendiri,
sebagaimana hal itu bisa kita ketahui secara tegas dari penjelasan
makna kalimat tahlil yang telah saya paparkan di atas tadi. Bermula
dari sebuah iman yang moderat dan kemudian teraplikasikan dalam
kehidupan nyata yang moderat juga, karena memang tindakan seorang
hamba adalah merupakan pengejawantahan dari keyakinannya. Jika memang
keyakinan itu radikal, maka tindakan yang muncul pun bersifat
radikal, begitu juga sebaliknya. Jadi sebagai pengusung faham moderat
ini, pertama yang harus diperbaiki adalah keyakinan kita agar tidak
bersifat radikal, akan tetepi bersifat moderat.
Hanya saja, bagaimana kita kemudian mengembangkan
konsep ASWAJA ini dalam tataran dunia nyata sekarang ini yang memang
kita harus benar-benar siap untuk bertanding dan berlomba dengan
berbagai macam konsep asing di luar ajaran Islam semisal konsep
kapitalisme dan sosialisme di atas? Disinilah kelemahan umat Islam
sekarang, lebih-lebih kelompok mayoritas yang notabenenya adalah
pengikut ASWAJA. Mereka menderita penyakit intelektual, penyakit
mental, penyakit idola dan masih banyak penyakit-penyakit kronis
lainnya yang harus di obati dengan segera jika tidak ingin mati
ditelan sejarah. Di sini ungkapan seorang Syakib Arsalan mendapatkan
momentumnya bahwa: “Al-Islam Mahjubun Bil Muslimin”, jadi
Islam itu yang menghalangi dia untuk lebih berkembang dan dinamis
adalah kaum muslimnya sendiri. Contoh kecil adalah acara tahlilan
yang kita lakukan selama ini, tentunya substansi tahlilan tidak hanya
sekedar acara kumpul-kumpul yang kemudian diikuti membaca berbagai
macam bacaan tanpa adanya sebuah pembangunan mental dan karakter
manusia yang berjiwa tahlil itu sendiri. Karena acara kumpul-kumpul
yang merupakan acara ceremonial dan tradisi—bagi saya—hanyalah
sebuah simbol yang bertutur kepada kita agar membangun masyarakat
yang bermental tauhid kuat dan punya solidaritas tinggi terhadap yang
lainnya. Dari tahlil pula kita hendaknya memahami bahwa posisi ilmu
sangat vital dan urgent dalam kehidupan seorang muslim, karena itu
adanya sebuah lembaga pendidikan yang berkompeten dan punya visi
serta misi yang jelas dengan menjadikan ajaran tauhid tadi sebagai
sumber inspirasi adalah sebuah keharusan dalam rangka memuluskan
jalan terbentuknya mentalitas tahlil yang kuat dalam masyarakat.
Dalam tataran ekonomi, kita hendaknya lebih
mengedapankan pembangunan ekonomi menengah ke bawah yang memang itu
merupakan basis mayoritas masyarakat Indonesia yang lemah. Akan
tetapi karena lemahnya mental tauhid kaum muslimin, banyak kita temui
mall-mall, supermarket, indomart dan semisalnya banyak berdiri
dimana-mana dan diminati oleh hampir kebanyakan kaum muslimin,
sehingga kaum papa dan para pekerja UKM pun akan semakin miskin dan
kere, lagi-lagi yang untung adalah kaum borjuis yang sekarang
pun saya kira juga sudah banyak kaum borjuis muslim. Di antara upaya
membangun masyarakat kita agar menjadi masyarakat Madani adalah kita
juga harus mulai membina dan mengembangkan orang-orang yang
berpotensi dan memiliki kredebilitas, tanpa ada rasa saling
dirugikan, akan tetapi semua itu adalah dalam rangka membangun
masyarakat muslim yang lebih baik dan berkembang. Masih banyak
sebenarnya yang ingin saya paparkan, akan tetapi karena waktu sudah
malam dan saya sudah mulai lelah juga ngantuk, jadi saya cukupkan
sampai sekian dulu tulisan ini, kapan-kapan kita sambung lagi diskusi
dengan tulisan ini. Semoga kita tidak termasuk orang yang menjadikan
tahlilan sebagai simbol belaka, bukankah begitu?
Kalisari, 1-Dz. Qa'dah-1434 H
1Tim
Hidayatullah (2010), Spektrum Peradaban Islam, Surabaya:
Optima. Hal: 194-195.
2Ibid.
Hal: 189.
3Dalam
dunia Islam pernah terjadi sebuah peristiwa sejarah yang hampir sama
dengan polemik inkuisisi gereja kristen ini, yakni peristiwa dimana
pemerintahan Abbasiyah yang pada waktu itu di bawah kepemimpinan
Al-Ma'mun menetapkan Mu'tazilah sebagai sebuah aliran resmi negara.
Di sana Al-Ma'mun menyuruh para pemimpin keagamaan—yang tentunya
dari kalangan Mu'tazilah—untuk menguji setiap orang agar mau
menerima idiologi bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Sehingga dalam
sejarah Islam kita sering mendengar kisah Mihnah khalqil Qur'an
(inkusisi kemakhlukan Qur'an) dan kepahlawanan seorang Imam
Ahmad bin Hanbal yang tidak mau menuruti permintaan mereka sehingga
dihukum cambuk. Lihat KH.M. Najih Maimoen (tt), Haqiqatu Ahlis
Sunnah Wal Jama'ah bi Aqlamil Ulama Dzawil Bara'ah, Sarang:
al-Maktabah Al-Anwariyah. Hal:29.
4Tim
Hidayatullah, Op. Cit. Hal: 199.
5
Ibid. hal: 200
6
Ibid.
0 komentar