Advertise 728x90

Tahlilan: Upaya Moderasi Peradaban

Written By Unknown on Thursday, September 12, 2013 | 10:08 AM

Masyarakat muslim Indonesia adalah salah satu komunitas muslim yang paling banyak memiliki aneka ragam tradisi dan kreativitas budaya. Hal itu bisa kita lihat dari bermacam-macamnya tradisi yang tumbuh berkembang dengan subur dalam tubuh masyarakat kita, dari tradisi yang terbentuk oleh serangkaian dialektika antara ajaran Islam yang dibawa oleh para dai dari Arab ke Indonesia dengan tradisi masyarakat setempat maupun tradisi yang merupakan hasil transformasi tradisi kuno jawa untuk kemudian diislamkan dengan cara memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam tubuh tradisi itu sendiri, hingga pada akhirnya tradisi itu memiliki 'pakaian' yang sama dengan tradisi Budha-Hindu, hanya saja secara substansial nafas Islami adalah sesuatu yang dominan di dalamnya.
Diantara bermacam-macam tradisi diatas adalah sebuah acara ceremonial yang biasa disebut dengan Tahlilan. Umumnya acara tahlilan ini diselenggarakan oleh masyarakat kita dalam rangka untuk mendoakan salah satu keluarga yang sudah meninggal, baik itu dilakukan saat hari-hari awal kematian ataupun jauh-jauh hari setelahnya, sebagai momen untuk mengenang keluarga yang telah meninggal tadi. Tradisi ini telah berkembang dalam masyarakat muslim Indonesia—khususnya Jawa—semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya, yang mana tradisi ini muncul sebagai satu bentuk akulturasi Islam dengan budaya jawa yang telah hidup sebelumnya. Panjangnya kurun waktu yang ditempuh oleh tradisi ini, disamping kapasitas pembawanya, telah menimbulkan sebuah dampak psikis yang luar biasa dalam jiwa masyarakat muslim kita, yaitu peralihan tradisi ini dari maqam tradisi meningkat kepada maqam ajaran agama yang tidak bisa—atau lebih tepatnya tidak mau—menerima kritik keagamaan dan sosial terhadapnya. Puncak dari dampak psikis yang ditimbulkan oleh rentan waktu yang panjang ini adalah sikap masyarakat kita yang memposisikan tradisi kita yang satu ini sebagai salah satu barometer untuk mengukur ketakwaan seseorang. Apakah ini merupakan sesuatu yang benar? Dalam tulisan sederhana ini saya tidak ingin membahas benar atau tidaknya ungkapan diatas, akan tetapi saya ingin lebih menekankan pada substansi dari Tahlilan itu sendiri. Sudahkah masyarakat kita benar-benar memahani substansi dari tradisi ini? Bisakah tahlilan menjadi salah satu media untuk membangun masyarakat yang bermental Islami dan berpikiran progresif dalam menghadapi tantangan modernitas yang tidak bisa dielakkan lagi? Atau malah dia hanya menjadi semacam onggokan patung yang dipahat puluhan tahun yang lalu oleh para kaum intelektual kita dan pada akhirnya hanya bisa dinikmati oleh anak cucunya sebagai sebuah karya seni yang sangat indah dan sakral, tanpa bisa disentuh oleh tangan-tangan lainnya karena hal itu akan merusak kesakralan dan keindahan patung tersebut? Semua ini saya katakan karena pada kenyataannya para pelaku setia tradisi ini belum bisa memposisikan dirinya sebagai agent of change dalam masyarakatnya sendiri, bahkan mereka sendiri—yang notabenenya adalah masyarakat 'santri'—tidak banyak yang aktif untuk membangun masyarakatnya, malah lebih terkesan pasif dan diam saja. Padahal masyarakat secara umum mengidam-idamkan sebuah gerakan riil dari masyarakat santri ini yang tentunya pergerakan ini bertujuan utama untuk membangun masyarakat yang lebih berperadaban dan memiliki kreativitas yang tinggi, sehingga mereka bisa menjadi semacam counter discours dari pergerakan dan kebudayaan transnasional yang masuk dari luar negeri, baik itu dari timur tengah maupun dari barat.
**********
Kata “Tahlilan” diambil dari salah satu kata dalam bahasa Arab “Tahlil” yang tak lain adalah bentuk masdar dari kata kerja “Hallala” dan mempunyai arti pembacaan kalimat tauhid Laa Ilaha Illa-llaah, hanya saja ia telah menjadi sebuah term yang sudah tumbuh dan berkembang dengan subur dalam kultur masyarakat kita. Sehingga sebagai sebuah term yang sudah keluar dari lingkaran makna etimologinya, ia menemukan maknanya sendiri yang sangat berbeda dari makna asalnya, karena saat ia berposisi sebagai sebuah term tertentu ia telah mengalami penyempitan makna dari makna bahasanya, yaitu acara kumpul-kumpul di tempat tertentu untuk melakukan sebuah ritual tertentu pula yang tersusun dengan begitu rapinya. Sehingga ketika sebuah acara yang tidak mempunyai kemiripan dengan bentuk dan susunan dari tradisi tadi, maka tidak bisa dikatakan sebagai tahlilan, walaupun dalam acara tersebut banyak dilantunkan kalimat thayyibah tersebut. Hanya saja tentunya antara makna etimologi dan makna terminologinya terdapat sebuah benang merah yang menghubungkan antara keduanya, yang tak lain dan tak bukan adalah pesan ketauhidan yang sebenarnya menjadi inti utama dari serangkaian acara ceremonial ini dan pesan inilah sebenarnya jarang ditangkap oleh para fans tradisi kita yang satu ini.
Dalam memahami makna tauhid yang terkandung dalam kalimat tahlil itu kita bisa melihat bagaimana seorang Imam Asy'ari memaknai kalimat tauhid tersebut. Beliau berkata: “tidak ada pencipta kecuali Allah semata”. Dari interpretasi Asy'ari yang demikian atas kalimat tahlil, kita bisa mengambil dua poin sekaligus.
Pertama, Seorang muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini—baik itu hal yang baik ataupun hal yang jelek—adalah sesuia dengan ilmu, kehendak dan hanya ciptaan Allah saja, tidak ada pencipta selain Allah. Hanya saja Allah tidak meridhai perbuatan jelek seorang hamba. Disinilah nampak jelas perbedaan antara kehendak dan ridha Allah. Kedua, Setelah seorang muslim meyakini bahwa yang menghendaki dan menciptakan segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah Allah, maka dia pun juga harus meyakini bahwa makhluk pun juga diberi keleluasaan oleh Allah dalam berusaha dan berikhtiar, walaupun yang menciptakan semua yang ada di dunia ini adalah Allah, hanya saja ikhtiar dan usaha seorang hamba pun tidak bisa lepas dari pengetahun, kehendak dan penciptaan Allah. Atas dasar pondasi dua poin inilah dulu peradaban Islam dibangun dengan begitu megah dan dengan begitu indahnya. Sehingga pada waktu itu umat Islam benar-benar layak untuk mendapatkan label Khaira Ummah yang sangat spektakuler itu.
Label Khaira Ummah satu sisi memberikan sebuah kebanggaan tersendiri dalam jiwa kita umat Islam, akan tetapi pada sisi lain juga menimbulkan rasa sedih dan susah, karena tentunya kita harus bisa membuktikan bahwa kita memang benar-benar layak mendapatkan label ini. Karena tanpa adanya pembuktian yang lebih raelistis dalam kehidupan yang nyata, pujian Al-Qur'an yang demikian hanya akan menjadi sebuah fantasi belaka atau hanya manjadi sebuah mimpi di siang bolong, karena tentunya Allah tidak akan menjadikan umat ini sebagai umat pilihan tanpa adanya usaha dari umat tersebut sebagai bentuk dari sunnatullah yang telah berlaku didunia yang fana ini.
Upaya untuk merealisasikan pujian dan janji Allah di atas salah satunya—dan bahkan paling utama dan pertama—adalah dengan benar-benar memahami makna dari kalimat tauhid di atas dan benar-benar menjadikannya sebagai pedoman hidup. Karena substansi dari kalimat tauhid, sebagaimana telah saya jelaskan di atas, merupakan sebuah counter discours terhadap peradaban materialistik yang sekarang sedang tumbuh subur menjadi idiologi hampir mayoritas penduduk bumi. Dari idiologi materialistik ini pulalah peradaban kapitalis barat, yang sekarang dipeluk oleh dunia barat dan diikuti oleh mayoritas dunia timur, lahir untuk kemudian berkembang biak dan menampilkan bermacam-macam varian yang sekarang banyak kita lihat di supermarket-supermarket idiologi yang tersebar di hampir seluruh Indonesia dengan begitu rapi dan teratur, seperti liberalisme pasar, demokrasi, human right, persamaan gender dan masih banyak lainnya1.
  1. Deskripsi Umum Kapitalisme dan Sosialisme.
Budaya kapitalis ini bermula dari buah pemikiran kapitalisme yang dikembangkan oleh seorang pakar Ekonomi berkebangsaan Inggris yang bernama Adam Smith (1723-1790), bahkan bisa dikatakan bahwa semua pemikiran kapitalisme bersumber dari ajaran-ajarannya. Pada tahun (1766) ia menulis sebuah buku yang berjudul “An Inquiry Into The Nature And Causes of Wealth of Nation” yang merupakan buku politik ekonomi. Gagasan besar Adam Smith adalah politik ekonomi pasar bebas, yang bergerak menurut mekanisme yang bebas juga, yang secara otomatis bisa memproduksi barang dan jasa yang disenangi sekaligus diperlukan oleh konsumen2.
Semua itu pada dasarnya merupakan satu bentuk perlawanan terhadap kekuasaan greja yang sama sekali menolak nilai-nilai saintifik dan hanya menunggu sang juru selamat yakni Yesus, tanpa ada sebuah upaya untuk melakukan perubahan. Dan bahkan pihak gereja banyak melakukan inkuisisi atau mahkamah pemeriksaan yang menguji keimanan seseorang, dimana bagi siapa saja yang berbeda dengan keyakinan gereja maka akan disiksa dan dihukum. Hingga pada akhirnya muncullah perlawanan-perlawanan dari berbagai pihak karena adanya sebuah doktrin yang tidak bisa diterima oleh kemanusiaan ini3. Disamping juga kapitalisme ini hanya untuk memenuhi keserakahan manusia-manusia barat yang otaknya sudah termaterialistikan itu, walaupun sebenarnya manusia timur pun juga sudah banyak yang berganti haluan menjadi seorang kapitalis 'sejati', mekipun jika mereka disebut demikian maka mereka akan menolaknya, akan tetapi sikap dan gaya berfikir mereka adalah sebuah bukti yang tak terbantahkan. Bahkan sampai taraf pedesaan sekalipun kita akan menemukan budaya-budaya yang dulunya adalah budaya nyedulur, sekarang sudah menjadi budaya yang kapitalis ini. Contoh paling konkret adalah urusan pernikahan misalnya. Dalam kasus ini saya menjadikan Lebanon sebagai sample yang di sana banyak saya temukan kaum lelaki yang menjadi perjaka tua, karena berat dan tingginya persyaratan seseorang untuk menikahi seorang gadis, yang kesemua syarat itu diukur berdasarkan materi. Dan mungkin budaya itu pun sekarang juga sudah mulai menjadi virus di Indonesia yang notabenenya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan merupakan dunia timur yang lebih mengedapankan tenggang rasa dari pada materi. Akan tetapi kenyataan yang ada adalah semuanya sudah terpengaruh oleh kampanye materialistik barat ini.
Sebagai antitesis dari peradaban kapitalis ini, muncul peradaban sosialis yang sebenarnya juga merupakan anak cabang dari pola pikir materialistik ini pula, hanya saja mempunyai penekanan yang berbeda. Pola pikir sosialis ini sebenarnya adalah sebuah pemikiran yang muncul dari hal yang sederhana, karena ia muncul dari sikap kritis Karl Marx berkenaan dengan produksi dan hubungan antara kapital dan kerja. Kapital dalam hal ini direpresentasikan dengan para pemilik modal atau bos-bos kapitalis yang ada dan mereka walaupun minoritas akan tetapi lebih superior, sedangkan kerja yang direpresentasikan dengan kaum buruh yang walaupun mereka mayoritas akan tetapi mereka inferior. Semestinya hubungan antara kapital dan kerja adalah hubungan paralel yang seimbang, akan tetapi pada kenyataannya kaum kapitalis, yang tak lain adalah kaum borjuis menjadi lebih kaya dan kaya, karena pada akhirnya mereka pulalah yang memiliki barang-barang hasil produksi, memiliki alat-alat produksi dan semua keuntungan yang ada, sementara kaum pekerja yaitu para buruh hanya diopahi saja sebagai ganti dari tenaga kerjanya.
Kaum buruh tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya hingga mencapai taraf yang sama dalam kehidupan dengan kaum kapitalis borjuis, karena mereka terjebak dalam pola hubungan kerja yang justru membuatnya terasing dari hasil produksi dan surplus pekerjaannya, ini adalah merupakan satu bentuk pembodohan terhadap kaum buruh. Bahkan di Perancis—yang pada waktu itu masih dikuasai kaum borjuis—rakyat kecil dan buruh diinjak-injak harga dirinya dengan pembagian gaji yang tidak seimbang dengan kerja, disinilah terjadi perbudakan besar-besaran dan malapetaka kemanusiaan4. Kemudian Marx sendiri punya gagasan bahwa merubah nasib kaum buruh dan rakyat kecil ini tidak bisa terealisasikan kecuali dengan menguasai semua alat-alat produksi kaum kapitalis borjuis yang pada waktu itu berkuasa. Cara menguasai semua alat-alat produksi itu hanya bisa dengan menggunakan kekuatan politik yang pada akhirnya mendorong dia untuk membentuk partai komunis, yang selanjutnya partai ini menjadi wadah perjuangan kaum buruh dan rakyat kecil yang sebenarnya mereka adalah mayoritas masyarakat di dunia ini5.
Hanya saja, dalam kenyataan selanjutnya partai komunis ini membutuhkan para politbiro sebagai representasi dari kaum proletar, yang pada akhirnya orang-orang politbiro ini menjadi diktator baru yang menyengsarakan rakyat, walaupun atas nama diktator proletariat. Lihat saja bagaimana Vladimir Lenin yang menjadi pengikut setia dari ajaran-ajaran Karl Marx pada tahap selanjutnya menjadi penguasa paling bengis dan kejam, karena ia banyak terobsesi taktik-taktik revolusi dan tak henti-hentinya menekankan pentingnya menggunakan kekerasan dalam rangka untuk melakukan revolusi guna menggulingkan sebuah kekuasaan yang kapital. Memang dalam kenyataannya, lenin berhasil melakukan revolusi yang pada waktu itu telah mampu menggulingkan kekuasaan kaisar Tsar Nicolas II, yang mana penggulingan itu sangat terkenal dengan revolusi Bolshevik pada tahun 1917 dan kemudian mendirikan negara komunis di Rusia. Menurutnya problem apapun yang berhubungan dengan perjuangan kelas tidak dapat diselesaikan tanpa adanya kekerasan, sehingga kekerasan dalam idiologi komunis adalah sesuatu yang inheren sebagaimana dinyatakan oleh Marx sendiri tentang pentingnya ada diktator proletar6.
Setelah saya paparkan secara sederhana dua idiologi besar yang pernah hidup dan berkuasa di dunia ini—bahkan mungkin sekarang pun masih hidup dan berkuasa—maka kita bisa menyimpulkan bahwa idiologi pasar yang sekarang berkembang secara umum adalah idiologi kapitalis yang tidak hanya dipelajari dibangku sekolahan, akan tetapi juga sudah mengakar dan menjadi maindset berfikir masyarakat dunia pada umumnya, begitu juga masyarakat Indonesia. Bahkan negara-negara yang secara tegas mengikuti paham komunisme sekalipun, seperti cina misalnya, dalam sistem perekonomiannya pun mereka lebih memilih sistem pasar bebas yang tak lain lahir dari rahim kapitalisme. Lihat saja bagaimana barang-barang buatan luar negeri lebih menguasai dan mudah ditemukan di Indonesia dari pada buatan dalam negeri sendiri. Karena memang akibat dari pasar bebas ini, kemudian perusahaan-perusahaan asing bisa dengan leluasa untuk melakukan impor barang-barang produksinya ke dalam negeri tanpa ada tading aling-aling, lalu di mana peran ajaran Islam yang kita bangga-banggakan itu untuk menghadapi kekuatan kapitalis yang sudah mengglobal seperti ini? Dimana peran tahlilan sebagai counter discours atas kedua ajaran di atas? Kenapa umat Islam hanya menjadi buruh dalam rumahnya sendiri? Semua pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah PR bagi siapa saja yang mengaku sebagai muslim dan meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar dan sempurna.
    2. Tahlilan sebagai solusi.
Tahlilan dengan pengertian yang telah saya jelaskan di atas sebenarnya mengajak kita umat Islam untuk bersikap moderat dalam menyikapi segala kemelut dan problematika yang berkembang di dunia ini, dengan sikap yang moderat ini kita tidak kemudian terjebak dalama ekstrim kanan, yang direpresentasikan oleh kapitalisme, maupun ekstrim kiri, yang direpresantisikan oleh sosialisme. Karena konsep Khaliqiyyatullah dan Kasb yang selama ini dibawa dan dikembangkan oleh NU melalui doktrin ASWAJA memberikan satu pandangan hidup yang seimbang dan moderat. Dengan konsep Khaliqiyyatullah manusia tidak akan kemudian meyakini dan merasa bahwa semua yang dimilikinya—baik itu yang bersifat materi maupun yang bersifat non materi—adalah murni hasil kerjanya sendiri, akan tetapi itu tidak lepas dari anugrah Allah, sehingga sikap-sikap materialistik dengan sendirinya luntur dan hilang dari semua tingkah lakunya. Keyakinan bahwa apa yang dimilikinya bukan merupakan murni hasil jerih payahnya sendiri, akan tetapi anugrah Allah, secara otomatis menuntun seorang muslim menjadi tidak segan-segan untuk melakukan kegiatan sosial berupa bersedekah, infak, zakat dan semisalnya. Karena sebagai implementasi konsep Fadhlullah atau anugrah Allah seseorang muslim pun juga harus berusaha untuk berbagi dengan saudaranya sesama muslim walaupun tanpa imbalan, karena semuanya berdasarkan anugrah atau pemberian dengan sukarela dan secara otomatis konsep ini bersitegang dengan konsep kapitalisme yang kesemuanya diukur dengan materi.
Adapun konsep Kasb adalah satu bentuk peniadaan nilai fatalistik dalam menata kehidupan yang lebih baik lagi. Karena jika konsep yang pertama tidak diimbangi dengan konsep kasb ini, maka kesan yang muncul adalah kesan fatalistik yang menjadikan manusia untuk bermalas-malasan, enggan bekerja dan hanya bisa berangan-angan tanpa ada tindakan nyata. Secara otomatis konsep Kasb menjadi lawan utama dari konsep sosialime yang pada akhirnya menyandarkan kepentingan para proletar kepada orang-orang di politbiro yang kemudian memunculkan wajah diktator dalam sebuah negara. Konsep sosialisme yang pada akhirnya menuntut adanya kesamaan dan pemerataan segala hal bagi semua rakyat, hanya akan memunculkan diktator-diktator dari orang-orang yang duduk di politbiro untuk kemudian semua hal yang berkenaan dengan kemajuan rakyat dibatasi oleh negara, sehingga pada akhirnya rakyat menjadi bodoh dan tidak tahu akan perkembangan dunia luar. Tujuan pembodohan ini adalah kelanggengan kekuasaan seorang diktator dalam satu wilayah tertentu. Berbeda dengan itu, Islam hadir dengan konsep kasb yang menimbulkan sebuah tuntutan bagi manusia untuk aktif, dinamis, progresif dan selalu inovativ untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan ini. Karena memang kreatifitas manusia adalah anugrah Allah yang harus di syukuri oleh manusia dengan selalu giat dalam bekerja dan selalu berfikir maju ke depan. Akan tetapi tidak kemudian menjadi seorang kapitalis seperti orang-orang barat di atas.
Sifat seimbang dan moderat dalam berbagai hal inilah—baik dalam berfikir, bertindak, bekerja dan dalam menyikapi segala hal—sebenarnya yang menjadi ciri khas dari umat ideal atau khaira ummah, yaitu sikap wasathiyah yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an sendiri sebagai keistimewaan umat baginda Nabi Muhammad, sebagaimana hal itu tertera dengan jelas dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا
dan begitulah kami jadikan kalian sebagai umat yang wasath atau moderat
Dan yang memiliki corak wasathiyah ini tak lain dan tak bukan adalah kaum Aswaja itu sendiri, sebagaimana hal itu bisa kita ketahui secara tegas dari penjelasan makna kalimat tahlil yang telah saya paparkan di atas tadi. Bermula dari sebuah iman yang moderat dan kemudian teraplikasikan dalam kehidupan nyata yang moderat juga, karena memang tindakan seorang hamba adalah merupakan pengejawantahan dari keyakinannya. Jika memang keyakinan itu radikal, maka tindakan yang muncul pun bersifat radikal, begitu juga sebaliknya. Jadi sebagai pengusung faham moderat ini, pertama yang harus diperbaiki adalah keyakinan kita agar tidak bersifat radikal, akan tetepi bersifat moderat.
Hanya saja, bagaimana kita kemudian mengembangkan konsep ASWAJA ini dalam tataran dunia nyata sekarang ini yang memang kita harus benar-benar siap untuk bertanding dan berlomba dengan berbagai macam konsep asing di luar ajaran Islam semisal konsep kapitalisme dan sosialisme di atas? Disinilah kelemahan umat Islam sekarang, lebih-lebih kelompok mayoritas yang notabenenya adalah pengikut ASWAJA. Mereka menderita penyakit intelektual, penyakit mental, penyakit idola dan masih banyak penyakit-penyakit kronis lainnya yang harus di obati dengan segera jika tidak ingin mati ditelan sejarah. Di sini ungkapan seorang Syakib Arsalan mendapatkan momentumnya bahwa: “Al-Islam Mahjubun Bil Muslimin”, jadi Islam itu yang menghalangi dia untuk lebih berkembang dan dinamis adalah kaum muslimnya sendiri. Contoh kecil adalah acara tahlilan yang kita lakukan selama ini, tentunya substansi tahlilan tidak hanya sekedar acara kumpul-kumpul yang kemudian diikuti membaca berbagai macam bacaan tanpa adanya sebuah pembangunan mental dan karakter manusia yang berjiwa tahlil itu sendiri. Karena acara kumpul-kumpul yang merupakan acara ceremonial dan tradisi—bagi saya—hanyalah sebuah simbol yang bertutur kepada kita agar membangun masyarakat yang bermental tauhid kuat dan punya solidaritas tinggi terhadap yang lainnya. Dari tahlil pula kita hendaknya memahami bahwa posisi ilmu sangat vital dan urgent dalam kehidupan seorang muslim, karena itu adanya sebuah lembaga pendidikan yang berkompeten dan punya visi serta misi yang jelas dengan menjadikan ajaran tauhid tadi sebagai sumber inspirasi adalah sebuah keharusan dalam rangka memuluskan jalan terbentuknya mentalitas tahlil yang kuat dalam masyarakat.
Dalam tataran ekonomi, kita hendaknya lebih mengedapankan pembangunan ekonomi menengah ke bawah yang memang itu merupakan basis mayoritas masyarakat Indonesia yang lemah. Akan tetapi karena lemahnya mental tauhid kaum muslimin, banyak kita temui mall-mall, supermarket, indomart dan semisalnya banyak berdiri dimana-mana dan diminati oleh hampir kebanyakan kaum muslimin, sehingga kaum papa dan para pekerja UKM pun akan semakin miskin dan kere, lagi-lagi yang untung adalah kaum borjuis yang sekarang pun saya kira juga sudah banyak kaum borjuis muslim. Di antara upaya membangun masyarakat kita agar menjadi masyarakat Madani adalah kita juga harus mulai membina dan mengembangkan orang-orang yang berpotensi dan memiliki kredebilitas, tanpa ada rasa saling dirugikan, akan tetapi semua itu adalah dalam rangka membangun masyarakat muslim yang lebih baik dan berkembang. Masih banyak sebenarnya yang ingin saya paparkan, akan tetapi karena waktu sudah malam dan saya sudah mulai lelah juga ngantuk, jadi saya cukupkan sampai sekian dulu tulisan ini, kapan-kapan kita sambung lagi diskusi dengan tulisan ini. Semoga kita tidak termasuk orang yang menjadikan tahlilan sebagai simbol belaka, bukankah begitu?




Kalisari, 1-Dz. Qa'dah-1434 H




1Tim Hidayatullah (2010), Spektrum Peradaban Islam, Surabaya: Optima. Hal: 194-195.
2Ibid. Hal: 189.
3Dalam dunia Islam pernah terjadi sebuah peristiwa sejarah yang hampir sama dengan polemik inkuisisi gereja kristen ini, yakni peristiwa dimana pemerintahan Abbasiyah yang pada waktu itu di bawah kepemimpinan Al-Ma'mun menetapkan Mu'tazilah sebagai sebuah aliran resmi negara. Di sana Al-Ma'mun menyuruh para pemimpin keagamaan—yang tentunya dari kalangan Mu'tazilah—untuk menguji setiap orang agar mau menerima idiologi bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Sehingga dalam sejarah Islam kita sering mendengar kisah Mihnah khalqil Qur'an (inkusisi kemakhlukan Qur'an) dan kepahlawanan seorang Imam Ahmad bin Hanbal yang tidak mau menuruti permintaan mereka sehingga dihukum cambuk. Lihat KH.M. Najih Maimoen (tt), Haqiqatu Ahlis Sunnah Wal Jama'ah bi Aqlamil Ulama Dzawil Bara'ah, Sarang: al-Maktabah Al-Anwariyah. Hal:29.
4Tim Hidayatullah, Op. Cit. Hal: 199.
5 Ibid. hal: 200
6 Ibid.
Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Sisipkan Komentar Anda Disini
Breaking News close button
Back to top

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?
Powered by Blogger.
 
Copyright © 2014. Anjangsana Suci Santri - All Rights Reserved | Template - Maskolis | Modifikasi by - Leony Li
Proudly powered by Blogger