Uswatun hasanah. Kira-kira itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan sosok guruku yang satu ini. Dan memang benar, bagiku sendiri, beliau adalah sesosok guru yang tidak terlalu banyak memberikan petuah lewat kata-kata saja. Akan tetapi beliau lebih menekankan pada prilaku dan tingkah laku sebagai sebuah petuah. Jujur saja, aku menemukan kaidah “Lisanu-L-Haq Afshohu Min Lisani-L-Maqol” benar-benar teralikasikan dalam setiap tindakan guruku ini, yakni KH. Maftuhin Sholih An-Nadwi Allah Yarhamuh, Muassis Pondok Pesantren Ar-Raudhah Sukodadi, Lamongan.
An-Nadwi merupakan gelar ilmiah yang beliau peroleh karena kepakaran dan keahlian beliau dalam bidang tata bahasa Arab telah diakui oleh universitas Nadwatul Ulama—bukan Nahdhatul Ulama lo—India. Selain penyematan gelar tadi, ada bukti lain yang menguatkan kepakaran beliau dalam Grammer Arabic ini. Yaitu sambutan dan Taqridz (semacam sanjungan) yang diberikan oleh Prof. Dr. Mahbuburrohman Al-Azhary atas buku Syarah Nadzam Al-Amrithy yang merupakan salah satu karya Kiai Maftuhin. Padahal Dr. Mahbuburrohman adalah salah satu dosen beliau saat di India sana. Belum lagi karya-karya lain yang lahir dari tangan dingin beliau, semisal syarah Alfiyah Ibnu Malik, Nadzom Maqshud dan bahkan beliau pernah menulis kamus saku kontemporer yang menurutku belum pernah ada sebelumnya. Belum lagi karya-karya beliau lainnya yang kesemuanya menjadi bukti nyata bahwa memang beliau layak mendapatkan gelar An-Nadwi dalam bidang ilmu nahwu. Banyaknya karya tulis yang lahir dari sentuhan tangan beliau ini tidak hanya menunjukkan kepakaran beliau, tapi juga memang karena kegemaran beliau menumpahkan segala isi hatinya lewat tulisan, ketimbang lewat sebuah ucapan.
Walaupun hanya sebentar saja belajar kepada beliau di Pesantren Ar-Raudha—tidak sampai satu tahun—aku banyak mendapatkan pelajaran berharga. Yang sebentar itu ternyata membawa kesan yang begitu mendalam dan luar biasa dalam hati terhadap sosok Kiai Maftuhin ini. Terutama tentang ke-wara’-an, keteladanan, akhlak, kesabaran dan tentunya tentang kasih sayang seorang guru terhadap santri-santri. Semua itu sangat nampak nyata sekali dalam prilaku beliau, hingga akhirnya semua itu mengukir sebuah karakteristik indah dalam jiwa santri-santri beliau, termasuk diriku.
Tentang ke-wara’-an beliau, aku sudah membuktikannnya sendiri. Tepatnya saat dalam satu kesempatan beliau mengajakku dan satu teman lagi (aku lupa namanya) untuk ikut menyertai beliau pergi ke Langitan, Tuban guna mengajar disana. Dalam satu minggu, biasanya beliau mempunyai jadwal mengajar selama dua hari di ponpes Langitan yang merupakan almamater beliau dulu. Waktu itu, jarak tempuh Langitan-Lamongan yang tidaklah terlalu jauh biasa kami tempuh dengan menaiki sebuah bis engkel sedang. Dalam bis tersebut terdapat kursi yang berjajar dua-dua, samping kiri dua dan kanan dua juga. Aku dan temanku memilih duduk didua kursi bagian kiri bis, sementara beliau duduk sendirian disalah satu kursi bagian kanan. Seperti biasa, kondektur mulai berjalan perlahan sambil menarik ongkos dari masing-masing penumpang. Saat tiba pada giliranku, Kiai Maftuhin memanggil pak kondektur:
“Pak, sini...! Saya yang bayar. Ini duitnya, saya bayar untuk 4 kursi ya. Yang dua untuk 2 santri ini, sedang yang lain untukku”, begitulah kira-kira kata yang terucap dari mulut beliau yang mulia.
“Loh...Njenengan sendirian gitu kok pak?”, tanya pak kondektur kebingungan.
“Iya, tapi tolong biar kursi dipinggir saya ini dikosongkan saja. Saya yang bayar. Nanti kalau ada penumpang wanita yang mau duduk, tolong disuruh ke depan saja atau mencari tempat lain. Tapi kalau yang datang seorang lelaki, ya tidak apa-apa kalau mau duduk disamping saya ini. Anggap saja saya bayar dua”, tukas beliau.
Aku pun terkaget-kaget mendengar alasan yang beliau paparkan tersebut. Memang rada-rada aneh bagiku, tapi sejatinya inilah pendidikan ke-wara’-an secara langsung untuk seorang santri sepertiku. Demi menjaga kesucian hati, beliau rela untuk mengeluarkan pembayaran ongkos bis dua kali lipat. Aku menangkap hal itu, maka dengan rasa berat hati aku beranjak mendekati kursi kosong yang berada tepat disamping beliau, lalu mendudukinya. Melihatku datang lalu duduk disampingnya, beliau hanya tersenyum simpul, seakan beliau pun paham maksud tindakan yang aku lakukan.
Ini baru ke-wara’-an beliau, belum lagi keteladanan beliau yang sangat terang benderang bak terangnya sinar matahari di siang bolong. Ya, tentang keteladanan beliau ini, aku mempunyai kejadian unik nan menarik yang lagi-lagi hal itu membuat mataku gerimis. Pernah dalam satu kesempatan beliau mengintruksikan kami para santri untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan pesantren yang sedang berlangsung, diantaranya adalah dengan ikut menyumbangkan sebagian uang sangu kami dari orang tua. Seberapa nominalnya adalah sesuai dengan kemampuan kami masing-masing yang tentunya sangat berbeda antara satu dan yang lain. Tetapi yang sangat mengagumkan adalah apa yang beliau lakukan di depan kami semua sebelum acara pemungutan sumbangan dilakukan. Beliau berdiri lalu berkata:
“Ini—sambil memegang uang dengan nominal Rp. 100.000,- —sumbangan atas namaku pribadi. Ini—lagi-lagi beliau mengambil uang sebesar Rp. 95. 000,- —atas nama istriku. Ini—dengan memegang uang Rp. 90.000,- —untuk putraku Husain Muqoffi. Ini—dengan memegang uang sebesar Rp. 85.000,- —untuk putriku si Fulanah (aku lupa nama beliau). Ini—dengan memegang uang sebesar Rp. 80.000,- —untuk putraku si Hasan Al-Mahi. Ini—dengan memegang uang rp. 75. 000,- —untuk putraku si Ali Murtadho. Ini—sambil memegang uang rp. 70. 000,- —untuk putraku si Muhammad. Nah, aku sudah memulianya, sekarang giliran kalian”, kata beliau.
Pemandangan yang indah nan elok ini benar-benar mengguncang kejiwaan seorang santri kecil Ndeso sepertiku. Uang senilai Rp. 50. 000 saja bagiku waktu itu—sekitar tahun 2002-2003—adalah nominal yang besar. Bagaimana tidak? Aku yang tak lain hanyalah anak seorang penjual es cendol dan tukang tambal ban setiap harinya, tentunya sangat terbatas sekali sangu yang aku dapatkan dari orang tuaku. Namun sikap dermawan yang baru saja beliau tampilkan itu benar-benar memukau jiwaku. Bayangkan, masing-masing putra-putrinya yang kurang lebih berjumlah 6 orang itu, beliau shodaqohi satu persatu. Dan adegan itu beliau tampilkan di depan kami semua para santri. Aku yakin tidak ada tujuan lain dari tindakan beliau kecuali mendidik kami untuk terbiasa dalam bersedekah semampunya. Karena dengan bersedekah, keterikatan hati seseorang terhadap dunia akan berkurang, atau bahkan mungkin bisa hilang sama sekali. Akhirnya kami para santri pun masing-masing mengeluarkan uangnya untuk ikut andil dalam pembangunan pondok, walaupun pada waktu itu sebagian besar dari kami sedang bokek karena sudah mendekati akhir tahun. Aku jadi teringat dengan sebuah puisi yang dulu sering sekali di dendangkan oleh Imam Ibnu ‘Aqil dalam Syarah Alfiyah Ibnu Malik:
ليس العطاء من الفضول سماحة
حتى تجود وما لديك قليل
Kedermawanan bukanlah kau memberikan sesuatu saat ada yang lebih
Hingga engaku berani memberikan sesuatu sedang milikmu sendiri hanyalah sedikit
Kenanganku dengan beliau memang tidak terlalu banyak, tapi menurutku sangat berkesan sekali. Diantaranya adalah saat pertama kali aku datang ke pondok. Waktu itu aku bertempat di kamar Utsman, setelah sebelumnya dalam beberapa hari aku menempati kamar Ali (perlu diketahui bahwa kamar-kamar di pondok Ar-Raudhah dulu hanya ada 4 yang masing-masing sangat besar. Masing-masing dari kamar itu diberi nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Sebagai santri baru yang masih kecil, aku masih bingung dengan tatacara hidup dalam dunia pesantren, karena memang baru pertama kali itulah aku mondok. Pernah dalam satu malam, aku pengen ke kamar mandi, akan tetepi aku takut karena kamar mandi pondok Ar-Raudhah pada waktu itu berada di belakang musholla yang gelap. Perasaanku bercampur aduk, antara ingin segera buang air kecil dikamar mandi dan perasaan takut yang menghinggapi hati. Maju mundur langkahku, sesekali pintu kamar aku lewati, tapi saat perasaan takut dan merinding kembali menyeruak, aku mundur lagi.
Tiba-tiba ada telapak tangan yang memegang pundakku. Aku terkaget-kaget, dengan perasaan takut, ngeri dan merinding aku menoleh ke belakang dengan mata terpejam. Kepalaku sudah memutar, pipiku menyentuh pergelangan tangan misterius yang menyentuh pundakku. Perlahan aku buka kedua mata, dan alhamdulillah yang nampak di depanku bukanlah sesesosok jin ataupun syaitan, tetepi sebaliknya adalah sosok berkaos oblong putih bersih, jenggot putih-pirang sepanjang leher yang tertata begitu rapinya, sehingga menambah perasaan segan bagi siapa saja yang melihatnya. Ditambah lagi wajah bersih serta senyum ramah yang selalu mengembang diwajah itu, hingga siapapun orang yang memandangnya menjadi nyaman dan betah. Dan tentunya pada malam itu perasaan takutku berubah menjadi perasaan segan dan ewoh pekewoh. Dengan lembut beliau bertanya:
“Pengen ke kamar mandi? Takut tah?”
Aku hanya diam termenung sejenak dan terheran-heran mendengarkan pertanyaan guruku tersebut. Dengan tersenyum pula beliau kembali berkata: “Mari aku antar”. Aku pun menurut saja saat tangan beliau menuntunku berjalan menuju ke kamar mandi yang kebetulan berada di belakang musholla. Dan memang kamar mandi itu sangat gelap sekali, kalaupun ada lampunya ya hanya satu lampu 5 wat yang memancarkan cahaya orenj kekuning-kuningan yang tidak jelas, sedang dibelakang dan kanan-kiri kamar mandi masih banyak aku temukan tanaman bambu yang kurang terurus dengan baik. Bukannya lantas kembali meninggalkanku, guruku ini malah menunggu hingga aku keluar dari kamar mandi, dan lagi-lagi beliau menunjukkan kasih sayangnya yang sangat mendalam kepadaku—dan aku yakin begitu pula sikap beliau kepada santri-santri yang lain—dengan mengantarkan aku kembali ke kamar Utsman. Sampai di depan pintu kamar beliau berpesan:
“Cepat tidur ya, nanti pukul setengah 04.00 harus sudah bangun, kita sholat bareng-bareng”.
“Iya guru”, jawabku dengan menunduk.
Bagi sebagian teman, mungkin peristiwa ini dianggap lumrah dan biasa-biasa saja. Namun bagiku yang waktu itu masih kecil, peristiwa ini sangat luar biasa membekas dalam jiwa, karena jarang-jarang sekali aku menemukan ada seorang Kiai yang ‘Alim, ‘Amil, pengasuh pesantren dan bahkan punya banyak karya, tetapi kasih sayangnya terhadap para santri nampak begitu besar sekali, hingga urusan mengantarkan ke kamar mandi pun beliau bersedia melakukannya. Karakter beliau yang demikian inilah yang kemudian sangat menginspirasiku untuk juga welas asih dan sayang terhadap teman-teman yang menganggapku sebagai guru mereka. Semoga anggapan mereka tidak salah.
Saat aku berpamitan hendak pindah pondok—ya akhirnya memang aku pindah ke pondok Sarang asuhan KH. Maemoen Zubair karena hal tertentu yang tidak bisa saya ceritakan—aku pun sowan kepada Kiai Maftuhin. Beliau menyambut dengan penuh kehangatan dan dengan penuh kelembutan beliau bertanya kepadaku:
“Fi Ayyi Ma’hadin Sa Tumdhi Dirosatak Ya Dhiya’?[1]”
“Insya Allah Fi Ma’had Sarang Ya Syaikh, Ma’hadi-S-Syaikh Mamoen Zubair[2]”, jawabku.
“Thoyyib. Ushika Bi Tsalasti Umurin Faqbalha Bi Qolbin Saliim[3]”
“Na’am Ya Syaikhi[4]”
عليك بملازمة التعليم والتعلم في أي مكان كان. وعليك بملازمة قيام الليل فإنه من دأب الصالحين. وأحرم عليك الدخان ولا تجادلني في حكمه.
“Hendaknya engkau harus rajin belajar dan mengajar dimanapun kau berada. Hendaknya kau juga selalu melakukan Qiyamu-L-Lail (shalat malam), karena itu merupakan salah satu karakteristik orang-orang sholih. Dan aku haramkan rokok bagimu, dan janganlah kau membantahku tentang hukum rokok ini”.
Aku pun hanya terdiam mendengar pesan beliau yang singkat tetapi mendalam ini. Aku tersadar dari kediamanku saat Muzayyin—teman yang mengantarku sowan ke Kiai Maftuhin—menyenggol siku-ku, tanda dia mengajakku segera kembali. Dan dengan tergagap aku pun berkata:
“Insya Allah pesan ini akan berusaha saya lakukan duhai guruku. Aku mohon anda me-Ridhai kepergianku dan selalu mendoakanku agar ilmu Allah yang dititipkan kepadaku nanti bisa bermanfaat”.
“Iya, Insya Allah”, jawab beliau dengan senyum mengembang.
Setelah satu tahun kepulanganku dari pondok Ar-Raudhah, Lamongan, aku mendengar kabar bahwa beliau sakit. Namun lagi-lagi, karena waktu di pondok yang terbatas dan tentunya uang yang pas-pasan, aku belum bisa menjenguk beliau di Lamongan. Baru setelah 2 tahun aku pulang, aku mendengar kabar tentang kewafatan beliau dari temanku yang juga pindah ke Sarang, yaitu Gus Thoifur Tuban. Gus Thoifur ini bercerita kepadaku bahwa saat dia menjenguk Kiai Maftuhin yang dirawat di Rumah Sakit, beliau sempat menanyakan kabar teman-teman kepada Gus Thoifur, termasuk diriku juga. Kata Gus Thoifur, Kiai Maftuhin kangen ingin berjumpa dengan kami semua, tapi apa daya, aku malah baru bisa berkunjung ke Lamongan justru untuk Ziarah ke makam beliau. Bibirku hanya mampu berucap:
“Allahummaghfir Lahu War Hamhu Wa ‘Afihi Wa’fu ‘Anhu. Wa Akrim Nuzulahu Wa Wassi’ Madkholahu Waj’alil Jannata Matswahu Bi Rohmatika Ya Arhamar Rohimin”
[1] “Di pondok manakah kau akan meneruskan belajarmu Dhiya’?”. Memang dalam pondok ar-raudhah dulu diterapkan sistem Ayyamu-L-Lughoh Al-Arobiyah (yakni hari-hari dimana semua santri wajib memakai bahasa arab dalam setiap dialog yang digunakan). Akhirnya kami terbiasa untuk berbicara kepada kiai Maftuhin dengan menggunakan bahasa Arab.
[2] “Insya Allah di pondok Sarang guru, di pondoknya Kiai Maemoen Zubair”.
[3] “Baiklah, aku ingin berpesan 3 hal kepadamu, terimalah pesanku ini dengan hati yang lapang”.
[4] “Iya guru”
2 komentar
MasyaAllah
Subhanallah.
Aku punya cukup banyak cerita tentang bkewaro'an beliau
Bisa di share Ya Ustadz, siapa tahu bisa jadi biografi beliau