Ahlul Bait Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam sejak dahulu hingga sekarang memang telah menempati ruang tersendiri dalam hati setiap orang Islam, tanpa terkecuali. Bukan hanya madzhab Syi’ah saja, akan tetapi sebenarnya madzhab Sunni juga sangat memuliakan dan mencintai Ahlul Bait. Terlebih lagi jikalau dalam diri Ahlul Bait tersebut tidak hanya terdapat kemuliaan darah suci Rasulullah yang mengalir dalam setiap nadinya, akan tetapi juga terdapat kemuliaan ilmu serta akhlak mulia Rasulullah, tentunya akan lebih luar biasa lagi dalam menarik simpati dan cinta umat Islam kepada mereka. Kecuali satu kelompok dalam Islam yang memang hatinya telah dipenuhi oleh kebencian dan permusuhan terhadap Ahlul Bait Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam. Yang dalam sejarah disebut dengan kelompok Nashibin.
Kalau kita merunut sejarah, maka kita akan menemukan banyak data yang menunjukkan betapa besar kecintaan kaum muslimin kepada Ahlul Bait. Bahkan para penyair Arab yang notabenenya kehidupan mereka akrab dengan hura-hura, foya-foya, arak, wanita biduan dan berbagai macam kemewahan serta glamor dunia pun ternyata juga sangat mencintai Ahlul Bait Rasulullah ini. Walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang malah menggunakan syair/puisi karya mereka sebagai alat untuk mencaci, menghujat dan kalau perlu mendzolimi ahlul bait.
Bagi para pengkaji Sastra Arab, nama Farozdaq tentunya sudah tidak asing lagi bagi mereka. Penyair ini pernah dijebloskan ke dalam penjara yang terletak diantara Makkah-Madinah oleh putra mahkota dinasti Marwaniyah, Al-Walid Ibnu Abdil Malik, lantaran puisi gubahannya yang dianggap sebagai alat politik guna menguatkan propaganda yang mendukung ahlul bait atau paling tidak mendukung serta mencintai ahlul bait. Dan tentunya kita sudah mafhum, bahwa dinasti Marwaniyah sangatlah memusuhi dan berusaha untuk mengenyahkan Ahlul Bait Nabi, sebagaimana dinasti Umayyah sebelum mereka.
Ya, Makkah saat itu sedang ramai oleh para peziarah dari berbagai penjuru dunia. Ka’bah pun tak pernah sepi dari para Thoifin (orang yang thowaf) mengelelilinginya, sehingga saking banyaknya, antara satu dan yang lain saling berdesakan, terlebih lagi jikalau sudah berdekatan dengan Hajar Aswad. Sebagai seorang putra mahkota, Al-Walid bin Abdul Malik Bin Marwan tentunya ingin mengitari Ka’bah dengan tanpa susah payah. Ia ingin dengan leluasa mengusap dan mencium Hajar Aswad sepuasnya tanpa diganggu oleh Thoifin yang lain. Namun apa daya, manusia-manusia yang thowaf disekitar ka’bah nampaknya sudah tidak memperdulikan lagi pada apa yang namanya strata sosial. Mereka tidak lagi membedakan apakah itu anak raja atau bukan, pertimbangan mereka hanyalah kemuliaan dalam ‘pandangan’ Allah saja. Alih-alih Al-Walid bisa leluasa mendekati Ka’bah, eh malah-malah ia tersingkirkan dan terdesak ke pinggir menjauhi Ka’bah. Akhirnya dengan rasa dongkol, ia dan para hulubalangnya hanya duduk-duduk saja dipinggiran Mathof sambil mengamati polah dan tingkah laku orang-orang yang sedang melakukan ibadah Thowaf.
Tiba-tiba peristiwa aneh terjadi. Ada sesosok pemuda yang nampak dari kejauhan berjalan dan berusaha untuk mendekati Hajar Aswad. Langkahnya pelan tetapi penuh kepastian. Perlahan namun diiringi dengan kewibawaan. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah sikap aneh yang menghinggapi orang-orang yang sedang berputar mengitari Ka’bah. Tanpa dikomando, dengan serempak mereka membelah dan memberi jalan pada sosok pemuda asing tersebut, hingga dengan mudah serta tanpa susah payah sama sekali sang pemuda tadi bisa mendekati Rukun Yamani, dimana Hajar Aswad bersemayam di sana. Dengan santainya pemuda itu mengusap Hajar Aswad lalu menciumnya.
Melihat pemandangan yang menakjubkan itu, semua mata terperanjat. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri, setelah melihat peristiwa yang unik nan aneh itu. Sambil berbisik-bisik mereka saling bertanya: “Siapakah dia?”. Mendengar keributan dan pertanyaan yang secara tidak langsung menusuk telinga dan mengusik ketenangan jiwanya, dengan ketus Al-Walid menjawab: “Ah, entahlah siapa dia, aku tidak tahu”. Jawaban Al-Walid ini tidak lain hanyalah untuk mengalihkan perhatian para hulubalang dari pemuda asing tadi. Sebab pada dasarnya ia sangat mengenal pemuda itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad bin Imam Al-Husain bin Imam Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhum.
Mendengar jawaban Al-Walid yang terkesan latah dan sinis itu, Farozdaq yang kebetulan melintasi rombongan putra mahkota itu merasa geram. Secara spontan (Irtijal) Farozdaq menyenandungkan untaian-untaian bait syair yang dikemudian hari sangatlah masyhur dengan sebutan Kasidah Mimiyyah. Disebut dengan kasidah Mimiyyah karena Qofiyah-nya berupa huruf “Mim”. Pembukaan kasidah tersebut adalah sebagai berikut:
هذا الذي تعرف البطحاء وطأته # والبيت يعرفه والحل والحرم
“(Imam Ali Zainul Abidin) ini adalah orang yang tanah Bathkha’ (tanah makkah) selalu mengenal setiap langkahnya
Ka’bah pun mengenalnya, begitu pula tanah Halal dan tanah Haram”
Sama dengan Farozdaq adalah apa yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah (pendiri Madzhab Fiqh Hanafi). Tepatnya saat Kholifah Al-Mansur memanggil Imam Ja’far As-Shodiq untuk menghadap beliau guna uji coba kesetiaan. Saat itu, Al-Mansur menyuruh Imam Abu Hanifah untuk membuat 40 pertanyaan yang paling sulit dan rumit jawabannya, semua pertanyaan itu akan digunakan untuk menjatuhkan kewibawaan serta kemuliaan Imam Ja’far di depan mata para pendukungnya. Al-mansur berencana demikian, tetapi Allah punya rencana lain. Bukannya wibawa Imam Ja’far yang jatuh, malahan Imam Abu Hanifah yang jatuh hati pada sang imam. Ke-40 pertanyaan yang tadi sudah dipersiapkan oleh Imam Abu Hanifah, ternyata semua bisa dijawab oleh Imam Ja’far dengan benar beserta argumentasi yang gemilang pula. Sungguh luar bisa. Hingga akhirnya, mau tidak mau, Imam Abu Hanifah lalu berguru kepada Imam Ja’far selama kurang lebih 2 tahun lamanya. Sehingga dalam sejarah, kita sering mendengar ungkapan menakjubkan dari seorang Imam Abu Hanifah:
لولا السنتان لهلك النعمان
“Andaikan bukan karena 2 tahun (berguru pada Imam Ja’far), niscaya Nu’man (Abu Hanifah) akan hancur”
Lalu bagaimana dengan guru-guru kita di Nusantara ini? Secara umum para ulama Nusantara sangat menghormati Ahlul Bait Rasulullah sebagaimana Farozdaq dan Imam Abu Hanifah di atas. Dalam satu kesempatan, saya pernah mendapatkan sebuah cerita dari Al-Marhum Kiai Makin Mudzakkir yang menggambarkan bagaimana bentuk pernghormatan dan kecintaan yang dilakukan oleh Kiai Maemoen Zubair terhadap salah satu Ahlul Bait dan cucu Rasulullah yang sangat ‘Alim nan mulia, yakni Al-Imam Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani.
Saat Abuya—begitulah biasanya Sayyid Muhammad akrab dipanggil oleh santri-santri dan para pecintanya—berkunjung ke Sarang, Mbah Maemoen selaku tuan rumah langsung ikut turun tangan sendiri dalam rangka meladeni Abuya. Kiai Makin bercerita bahwa saat Abuya sedang menyambut banyaknya tamu yang berdatangan dari berbagai penjuru, dan masing-masing mengeluhkan segala permasalahannya untuk kemudian dijawab satu persatu oleh Abuya, Mbah Maemoen berada disamping beliau untuk menemani. Sambil mendengarkan Abuya yang memedar keilmuan tanpa kenal lelah, Mbah Maemoen malah sibuk mengupas kulit buah apel yang telah disuguhkan di atas meja. Dengan pelan-pelan dan penuh kesabaran, Mbah Maemoen mengupas kulit apel dengan sangat hati-hati. Baru setelah kulit apel benar-benar terkelupas semua, Mbah Maemoen kemudian menyuguhkan apel yang sudah bersih tadi kepada Abuya. Melihat Mbah Maemoen yang menawarkan sebuah apel yang sudah bersih, Abuya mengambil apel itu dengan tangan beliau yang mulia serta kemudian menggigit apel itu dengan satu gigitan kecil, lalu mengunyahnya.
Ya, hanya satu gigitan saja, lalu Abuya meletakkan apel itu di atas meja. Melihat apel yang telah digigit Abuya tergeletak di atas meja, Mbah Maemoen bergegas mengambil apel itu dan memasukkannnya ke dalam saku baju beliau. Kemudian beliau kembali mengupas apel baru untuk kemudian disuguhkan kepada Abuya lagi. Dan peristiwa pertama tadi terulang kembali, Abuya hanya menggigit apel itu dengan satu gigitan saja lalu meletakkan apel tersebut di atas meja. Dan lagi-lagi Mbah Maemoen bergegas mengambil apel ‘bekas’ gigitan abuya tersebut untuk kemudian dimasukkan kedalam kantong saku beliau. Hal seperti ini terulang sampai tiga kali. Setelah Abuya meninggalkan Sarang untuk melanjutkan kunjungan ilmiah beliau, Mbah Maemoen membagi-bagikan ketiga apel yang didalamnya terdapat ‘bekas’ gigitan Abuya tadi kepada tiga orang wanita, (seingat saya) Mbah Nun yang rumahnya dibeli Mbah Maemoen untuk kemudian dibangun pondok di atasnya, kalau tidak salah adalah bangunan khos NH. Lalu yang satu lagi diberikan kepada salah satu istri beliau, namun saya lupa, siapakah istri beliau yang mendapatkan hadiah apel berkah gigitan Abuya ini. Apakah Ibu Nyai Fahimah Maemoen atau Ibu Nyai Masthiah Maemoen. Dan yang terakhir pun saya lupa, diberikan kepada siapakah gerangan apel ketiga itu.
Peristiwa ini, paling tidak memberikan gambaran kepada kita sejauh mana seorang ulama sekaliber KH. Maemoen Zubair pun sangat menaruh hormat kepada Ahlul Bait Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam. Bahkan saya sendiri sering sekali mendengar dengan telinga saya sendiri bagaimana beliau sering menuturkan hadis Tsaqolain yang sangat masyhur itu:
المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص - (ج 4 / ص 250)
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله و أهل بيتي و إنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض
“Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda: Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang berat. Kitab Allah (Al-Qur’an) dan keluargaku. Keduanya tidak akan berpisah hingga mereka mendatangiku di samping telagaku nanti”
Disamping beliau juga sering mengingatkan bahwa ulama dari kalangan ahlul bait di akhir zaman ini bagaikan sampan Nabi Nuh, siapa saja yang mau menaikinya, maka dia akan selamat. Sedang siapa saja yang enggan naik atau malah berpaling, maka dia akan celaka, hancur dan binasa. Dalam satu kesempatan, Mbah Maemoen menyampaikan analisa sejarah yang sangat menarik dan luar biasa. Dalam dunia Islam, kita mengenal apa yang disebut dengan Tajdid dan Mujaddid. Dan bahkan ada beberapa kitab yang ditulis berkenaan dengan masalah ini, semisal kitab At-Tanbi’ah Bi Man Yab’atsuhu-Llah ‘Ala Ro’si Kulli Mi’ah buah karya Imam As-Suyuthi. Begitu juga Mbah Maemoen dengan karya beliau yang hampir serupa, berjudul Ulama’una Al-Mujaddidun.
Menurut Mbah Maemoen, setelah tahun ke-1000 hijriyah/abad ke-10, para Mujaddid yang diutus oleh Allah ke bumi ini harus dari kalangan Ahlul Bait Rasulullah. Sebut saja—lanjut beliau—pada abad ke-11 Mujaddid-nya adalah Al-Imam Abdullah Bin Alawi Al-Haddad. Seorang cucu baginda Rasul yang walaupun buta mata lahir, namun melek mata batin-nya. Sehingga jangan heran jikalau kemudian banyak bermunculan karya-karya ilmiah beliau yang indah nan mempesona. Tidak hanya Habib Abdullah Bin Alawi saja yang diutus, akan tetapi juga Al-Imam Sayyid Ja’far Al-Barzanji, penulis kitab sastra berkenaan dengan Maulid Nabi yang sangat terkenal. Disamping juga kitab Lujainu-D-Dani Fi Manaqis Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.
Lalu pada abad ke-12 hijriyah, Mujaddid-nya adalah Al-Imam As-Sayyid Muhammad Al-Murtadho Az-Zabidi. Beliau adalah satu-satunya ulama yang mampu men-syarahi (memberikan komentar dan catatan) atas kitab Ihya’ Ulumiddin yang tak lain merupakan masterpiec-nya Imam Al-Ghozali. Nama syarah beliau ini adalah Ithafu-S-Sadah Al-Muttaqin (Hadiah untuk orang-orang mulia nan bertakwa). Tidak hanya berhenti pada syarah Ihya’ saja, bahkan beliau mampu menulis syarah atas kitab Mu’jam Arab yang sangat besar, yaitu Al-Qomus Al-Mukhit, buah karya dari seorang pakar Bahasa Arab (Al-Lughowi) Al-Imam Majduddin Ya’qud Al-Fairuzabadi. Syarah atas kitab al-qomus ini diberi nama dengan Taju-L-Arus Fi Syarhi-L-Qomus (Mahkota bagi pengantin, komentar atas Al-Qomus). Dan dalam abad ke-12 hijriyah ini pulalah, allah mengutus pula seorang mujtahid lagi yang mempunyai karya sederhana, ringan akan tetapi kemasyhuran serta kemanfaatannya membumbung tinggi ke seluruh penjuru dunia. Yaitu Al-Imam As-Sayyid Muhammad Al-Marzuqi yang menulis kitab nadzam Aqidatu-L-Awam.
Dan pada abad ke-13 hijriyah, Allah mengutus beberapa ulama dari kalangan Ahlul Bait. Diantaranya adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang menulis buku Tarikh Asyraf Fi Makkah dan beberapa buku keagamaan lainnya. Ada juga Sayyid Bakri Syatho, penulis Hasyiah I’anatu-T-Tholibin ‘Ala Fathi-L-Mu’in. Kitab Fathu-L-Mu’in sendiri ditulis oleh seorang ulama kelahiran india, dan menurut saya pribadi, rasa-rasanya para pengkaji kitab tersebut akan kesulitan jikalau tidak menggunakan Hasyiah Sayyid Bakri ini sebagai pendampingnya.
Lalu siapakah Mujaddid pada abad ke-14 Hijriyah sekarang ini? Mbah Maemoen mengajukan beberapa nama ulama timur tengah dari kalangan Ahlul Bait. Sebagian dari mereka kini telah wafat dan sowan kepada Allah, semisal guru besar para ulama indonesia yaitu Musnidu-D-Dunya Abul Faidh Syaikh Yasin Bin Isa Al-Fadani. Beliau adalah salah satu Ulama Nusantara yang berhasil mengukir prestasi keilmiahan ditingkat internasional, karena beliau ini mengajar di Masjid Al-Haram. Banyak karya-karya ilmiah lahir dari tangan beliau, sebut saja kitab Al-Fawaid Al-Janiyah yang merupakan hasyiah atas kitab Al-Mawahib As-Saniyyah. Belum lagi kitab Nailul Ma’mul Syarah Ghoyatu-L-Wushul yang tak lain merupakan karya besar Syaikh Zakariya Al-Anshori. Memang luar biasa imam Al-Fadani ini.
Selain Syaikh Yasin, ada juga Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, yang ceritanya telah saya tuturkan di atas. Memang bisa dikatakan bahwa cucu baginda Rasul yang satu ini merupakan satu-satunya benteng Sunni yang kokoh bertahan mempertahankan akidah Aswaja ditengah-tengah faham Wahhabi yang memang menjadi madzhab negara Saudi Arabia. Banyak karya-karya beliau yang sampai sekarang masih bisa kita nikmati dan kita kaji. Dan tentunya, kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Yah, memang kitab monumental satu ini sangatlah luar biasa hebatnya, saking hebatnya sampai-sampai hampir seluruh ulama, para hakim dan para mufti diseluruh penjuru negara Islam memberikan sambutan dan pujian mereka terhadap Sayyid Muhammad selaku penulis kitab Mafahim.
Sedangkan Mujaddid yang masih hidup sampai sekarang, menurut Mbah Maemoen adalah semisal Sayyid Zain Bin Ibrahim Bin Smith yang sekarang ini mukim di Madinah. Habib kelahiran Bogor ini juga termasuk salah satu ulama Ahlul Bait yang gigih dalam mempertahankan keyakinan Ahlussunnah di tengah hiruk pikuk faham Wahhabi, yang bisa saya katakan hampir merebak dan menjangkiti setiap sendi-sendi kehidupan warga negara Saudi. Bahkan ada sebagian teman saya yang menjadi murid beliau bercerita, bahwa karena ketegasan dan sikap kritis Habib Zain terhadap idiologi negara ini, akhirnya beliau dilarang untuk memberikan Ta’lim (pengajian) dan dilarang pula untuk menerima santri-santri yang ingin berguru kepada beliau dikediamannya seperti biasa.
Mbah Maemoen menjatuhkan pilihan beliau tentang Mujaddid terhadap Habib Zain bukanlah semata-mata karena kegigihan beliau membela faham Ahlussunnah saja, akan tetapi juga karena keilmuan beliau yang sangat luar biasa. Banyak karya-karya ilmiah yang lahir dari sentuhan tangan dingin beliau, sebut saja kitab Al-Manhaj As-Sawi, belum lagi kitab Syarah Hadis Jibril. Dan masih banyak yang lain lagi. Ada juga Syaikh Sayyid Sholih Farfur Al-Mishri beserta kedua putranya, yaitu Syaikh Sayyid Husamuddin dan Syaikh Sayyid Abdullatif, yang keduanya berada di Damaskus.
Melihat pemaparan Mbah Maemoen yang sedemikian indah nan panjang, terbersit dalam angan-angan saya sebuah pertanyaan: “Apa gerangan maksud dan tujuan analisa Mbah Maemoen yang menarik Ahlul Bait ke dalam kancah Tajdid?”. Sebenarnya, dalam kecintaan pada Ahlul Bait, Mbah Maemoen dan para ulama lainnya sedang mengamalkan firman Allah dalam Al-Qur’an:
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى [الشورى/23]
“Katakanlah, "Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku”
Disamping memang Mbah Maemoen sendiri sangat sering sekali mengutip hadis Tsaqolain yang sangat masyhur itu dengan berbagai riwayatnya, sebagaimana telah saya sebutkan di atas tadi. Tetapi yang lebih menarik perhatian saya adalah pemaknaan dan interpretasi yang diberikan Mbah Maemoen terhadap ayat dan hadis tersebut di atas tadi. Sepanjang kajian yang saya lakukan, memang saya belum pernah menemukan bahwa Mbah Maemoen menafsirkan ayat maupun hadis di atas secara eksplisit. Namun dari beberapa mauidzoh maupun pengajian beliau, seakan saya menangkap sebuah isyarat tentang pemaknaan yang diberikan oleh beliau. Sebelum saya menuturkan lebih lanjut penafsiran Mbah Maemoen yang saya pahami, saya ingin menyebutkan terlebih dahulu beberapa penafsiran seputar ayat ataupun hadis di atas. selama kajian sederhana yang saya lakukan, paling tidak ada dua interpretasi ayat di atas, terlebih lagi dalam memahami hadis Tsaqolain di atas.
Pertama adalah pemahaman madzhab Syiah yang secara tegas menyatakan bahwa makna ayat dan hadis di atas tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan madzhab Ahlul Bait, baik secara Akidah maupun Fiqhiyah. Dan dalam era kontemporer sekarang ini, madzhab Syiah yang paling nampak berkembang adalah Madzhab Ja’fariyah yang dinisbatkan kepada Imam Ja’far As-Shodiq. Juga Madzhab Zaidiyah yang dinisbatkan kepada Imam Zaid Bin Ali Zainul Abidin. Argumentasi (Hujjah) yang mereka jadikan pijakan dalam menetapkan hal ini adalah hadis Tsaqolain yang telah saya sebutkan di atas tadi. Menurut pemahaman mereka, kata [و أهل بيتي] dalam hadis yang dihubungkan dengan menggunakan huruf ‘Athof “Waw” menunjukkan makna bahwa posisi Ahlul Bait (‘Itroh) adalah sama dengan Kitabullah. Kalau Kitabullah bisa menjadi hujjah, maka Ahlul Bait pun bisa menjadi Hujjah. Atau bisa juga diartikan bahwa Ahlul Bait adalah yang telah diberi otoritas oleh baginda Nabi guna menafsirkan Al-Qur’an.
Kedua adalah pemahaman yang menyatakan bahwa ayat serta hadis di atas tidak lebih hanya menunjukkan kewajiban mencintai, menghormati dan tentunya bersimpati kepada Ahlul Bait. Walaupun andaikata Ahlul Bait Rasul terdzolimi, maka mereka pun mengatakan wajib untuk melakukan pembelaan. Hanya saja, kecintaan mereka terhadap ahlul bait tidak sampai derajat harus mengikuti/menjadikan mereka sebagai imam dan panutan dalam bermadzhab, baik dalam masalah Akidah maupun Fiqhiyyah. Dalam buku Al-Muroja’at yang merupakan buku terindah dan terbagus—paling tidak bagi saya—dalam mendeskripsikan dialog antara Sunni-Syiah, saya menemukan sebuah data bahwa makna kedua ini juga disampaikan oleh Grand Syaikh Universitas Al-Azhar, yakni Syaikh Salim Al-Bisyri.
Nah, lalu di manakah posisi Mbah Maemoen terhadap dua interpretasi yang telah saya sebutkan di atas? Saya melihat Mbah Maemoen berusaha untuk menarik makna ayat maupun hadis di atas tidak hanya pada kecintaan, penghormatan dan simpati kepada Ahlul Bait saja. Bahkan ada kesan beliau menarik ayat/hadis tersebut pada ranah ilmiah. Hal ini bisa kita lihat dari penjelasan beliau di atas yang menyatakan bahwa para Mujaddid setelah abad ke-10 hijriyah haruslah dari kalangan Ahlil Bait Rasul. Dan dalam diskursus Tajdid, tentunya ranah ilmiah lebih mendapatkan porsi dari yang lain, pergerakan atau pemerintahan misalnya. Karena memang ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa Tajdid tidak hanya berkutat pada ranah ilmiah saja, terbukti seorang Umar Bin Abdul Aziz Radhiyallahu ‘Anhu pun bisa memperoleh predikat Mujaddid dalam ranah kepemimpinan.
Sebenarnya apa yang beliau lakukan ini—menurut pemahaman dan kajian saya—hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh Madzhab Syiah yang juga menarik ayat/hadis di atas pada ranah illmiah, tidak hanya pada kecintaan dan penghormatan saja. Hingga pada akhirnya mereka mencapai pada kesimpulan bahwa kecintaan terhadap Ahlul Bait tidak mungkin terealisasi kecuali dengan Taklid pada mereka dalam masalah Akidah ataupun Fiqh, sebagaimana telah saya paparkan di depan. Yang membedakan gagasan Mbah Maemoen dan Madzhab Syiah adalah Mbah Maemoen tidak menetapkan bahwa Ahlul Bait bisa dijadikan hujjah/merupakan intrepretasi satu-satunya yang paling benar dalam memahami teks Al-Qur’an. Hal ini karena tidak bisa terlepas dari tuntunan akidah Sunni yang tidak memberikan predikat ‘Ishmah pada selain para Nabi. Karenanya siapa pun selain para Nabi dan Rasul sangat mungkin salah dalam pandangan Madzhab Sunni ini, entah itu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad maupun selain mereka. Sehingga tidak boleh fanatik terhadap selain Kitabullah dan Sunnah baginda Nabi. Masih terngiang dengan jelas ditelinga kita ungkapan spektakuler Imam Malik Bin Anas yang sangat masyhur itu:
كل منا يترك ويرد عليه قوله إلا صاحب هذا القبر
“Masing-masing dari kita boleh saja ditinggalkan dan dikritik pendapatnya, kecuali orang yang ada dalam kuburan ini (baginda Nabi Muhammad)”
Walhasil, bagi saya Mbah Maemoen telah menampilkan madzhab dan interpretasi baru dalam memahami teks ayat/hadis di atas yang sangat berbeda sama sekali dari dua interpretasi yang telah ada sebelumnya. Mbah Maemoen tidak hanya berhenti pada taraf kecintaan dan penghormatan saja, tetapi juga pada ranah ilmiah tanpa harus terjebak dalam pemahaman Madzhab Syiah. Beliau pun tidak hanya berhenti pada gagasan saja, tapi beliau juga mempraktekkan gagasan beliau ini dengan menyuruh putra-putra, cucu maupun sebagian santri-santrinya untuk melanjutkan belajar mereka kepada Sayyid Ahmad Bin Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Sayyid Abbas Bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani (adik kandung Sayyid Muhammad), Sayyid Salim Bin Abdullah As-Syathiri (pengasuh Ribath Tarim Yaman). Disamping juga belajar kepada Syaikh Sholih Farfur di Mesir dan Syaikh Husamuddin maupun Syaikh Abdullatif di Syiria yang kesemuanya pun masih Ahlul Bait Rasulullah. Ya, merekalah sampan Nabi Nuh yang akan menyelamatkan siapa saja yang “menaikinya” dari terkaman ombak duniawi yang fana ini. Lalu, maukah kita menaikinya? Semoga. Wallahu A’lam Bis Showab.
0 komentar